Maybe OOC!!


Sakura menggelengkan kepalanya dengan kuat. Ia seolah tidak percaya apa yang di dengarkannya. "Apa kau gila?" Sentaknya sengau. "Kau mau menjadikan aku seorang pembunuh?"

Ino merasa kepalanya akan pecah. Sakura tidak kooperatif, padahal ini adalah permasalahannya. Ia maju sedikit mendekati Sakura yang telah menyandarkan kepalanya pasrah pada meja yang menjadi tumpuan.

Ino memegang lengan Sakura dengan sedikit kuat. "Ini." Tangan Ino sedikit menggoyangkan lengan Sakura. "Adalah tubuhmu. Kau berhak atas tubuhmu sendiri. Kau berhak memilih ingin melahirkan seorang anak ataupun menggugurkannya. Jangan takut! Kau memiliki hak tersebut. Wanita juga berhak memutuskan apa yang ia inginkan, oke. Aku akan membantumu untuk mendapatkan hak itu. Aku akan mengerahkan semua pikiranku agar kau tidak dihakimi oleh orang-orang apabila kau mengambil pilihan yang sangat jahat."

Ino memang mengatakan seperti itu. Tetapi, bukan berarti Ia tidak kesal dengan tindakan Sakura yang menginginkan solusi agar bisa tetap bersama Sasuke. Baginya, kalau ini tetap berjalan, yang paling terluka bukan wanita itu. Tapi Gaara dan Sasuke.

Mereka berdua akan terluka karena pilihan Sakura. Di sisi lain, ia tidak ingin sahabatnya menjadi gila karena tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.

Ahhh, kenapa kesalahan Sakura, membuatnya menjadi sakit kepala.

Hidup ini pahit. Ino telah melihat banyak orang yang tidak mampu menjalani hidupnya dan lebih memilih untuk mengabaikan semuanya. Terutama wanita yang selalu mendapatkan standar ganda dalam menentukan kehidupannya.

Ino tidak memahami kenapa wanita selalu disorot ketidakmampuannya dalam memilih, bahkan untuk menggugurkan anak yang tidak diinginkannya. Mereka cenderung pasrah dan tidak melawan. Ino tidak suka. Ia tidak suka ketika kemerdekaan dalam berbicara dan memutuskan sesuatu pendapat selalu dibatasi oleh seseorang berjenis kelamin laki-laki.

"Pilihan lainnya apa?" Tanya Sakura setelah terdiam lama.

"Yang kedua, kau melahirkannya dan menyerahkan anak tersebut kepada Gaara. Seandainya Gaara tidak mau mengakuinya, kau bisa mengadukannya kepada tetua desa Suna agar Gaara di sidang karena telah melanggar kode etik jabatan Kazekage. Tetapi aku yakin Gaara tidak akan seperti itu. Dan yang ketiga adalah, kau tidak mengakuinya kepada Gaara, tapi kau tetap melahirkannya. Kau bisa meminta tugas ke desa lain menjadi relawan atau sesuatu lainnya. Kau di sana sembari menunggu kelahiran dan setelah lahir kau bisa menyerahkan anak itu untuk di adopsi." Ino melihat sistem ini ketika berada di Negeri Sunyi. Mereka telah menetapkan peraturan untuk pengadopsian anak yang dilakukan secara ketat untuk meminimalisir perdagangan anak dan pemilihan orang tua angkat yang buruk. "Pikirkan dengan matang Sakura. Aku mungkin akan mendukungmu aborsi kalau kau hamil dengan laki-laki lain. Maksudku, ini Gaara. Kau mengenalnya dengan baik. Kau tahu bagaimana sifatnya. Di antara aku dan Tenten, Gaara lebih dekat denganmu sebagai teman perempuan. Kau tidak bisa menyakitinya." Setelah puas berkata-kata, Ino mengangkat tubuhnya, dan berdiri untuk pergi. Dia masih memiliki tempat tujuan lain. "Pikirkan baik-baik. Kabari aku, setelah kau sudah memutuskannya."

Ino pergi berjalan keluar dari rumah sakit. Kakinya melangkah dengan goyah. Cerita Sakura tadi membawanya terbang, pergi ke masa lalu. Bukan hanya Sakura yang ia berikan pilihan untuk melakukan aborsi.

Tapi dirinya sendiri juga.

"Ino." Suara Sasuke menyentaknya kembali sadar ke dunia nyata. " Kau lama. Ayo kita pergi ke gedung interogasi."

.

.

.

"Kau mencariku hanya untuk menemui Tora?" Ino berujar bingung. Mereka berjalan pergi menuju gedung Interogasi.

"Aku ingin segera pergi melanjutkan perjalananku tanpa meninggalkan masalah untuk desa dan Tora adalah salah satu masalah yang aku bawa." Ujar Sasuke tanpa melihat ke arah Ino.

Ino berhenti berjalan. Tubuhnya diam, sampai Sasuke ikut berhenti berjalan dan berbalik menghadap ke arahnya. "Aku akan mengambil alih. Sudah aku katakan bukan. Tora bukanlah masalah. Mungkin dia tertutup dan penuh rahasia, tapi aku bisa pastikan dia tidak akan berbuat jahat."

Sasuke mengernyit bingung. Iya, Sasuke bingung dengan sikap Ino yang selalu berusaha untuk membantu hidup orang lain. "Ino, kenapa kau selalu berusaha melindungi hidup orang lain?"

"Maksud Sasuke-kun?" tanya Ino yang tidak mengerti konteks pembicaraan. Ino tidak pernah merasa peduli dengan hidup orang lain.

"Tora dan anak laki-laki yang di jaga oleh Kazuho di desa perbatasan Negara Api." Jawabnya singkat.

Ino mundur sejengkal. Tangannya terkepal dengan kuat. Kukunya menancap di kulit tangan, sedikit menimbulkan luka. Ia panik. "Kau tahu tentang Rai?" tanyanya gugup.

"Sudah aku katakan bukan. Aku mengikutimu waktu itu."

Ino menarik nafas, "Itu jadi rahasia kita berdua, Sasuke-kun. Tidak ada yang boleh mengetahui bahwa Rai ada bersamaku." Ino memejamkan matanya berusaha untuk menenangkan diri. Ia harus mempercayai Sasuke saat ini. Tapi, sisi kecil hatinya memberontak, untuk tidak mempercayai orang lain.

"Itu misiku beberapa waktu lalu." Lanjutnya lagi saat melihat Sasuke ingin protes.

"Jadi, apa jawabanmu tentang itu?" tanya Sasuke tertarik untuk mendengar jawaban Ino.

Ino tersenyum kecil dan kembali menghadap ke depan untuk melanjutkan perjalanan. "Aku tidak melindungi siapa-pun, Sasuke-kun. Yang aku lakukan adalah saling membantu."

"Membantu seseorang akan membuat tanggung jawabmu semakin besar."

"Aku hanya membantu sebisaku."

"Kau tidak bisa menolong semua orang yang kau temui di luar desa, Ino. Perbuatanmu itu tidak akan mengubah dunia."

"Tapi setidaknya itu mengubah hidup Tora. Aku hanya ingin membantu Tora. Danzo merusak hidup Tora, dan aku akan memperbaikinya, walaupun tidak secara utuh akan kembali sempurna. Tapi setidaknya, Tora bisa hidup kembali."

Ino mendorong pintu gedung dan berjalan masuk ke sebuah ruangan yang sering ia datangi. "Di mana dia?" tanyanya pada Ichiro—salah satu petugas interogator yang juga senior Ino di divisi Intelijen. Ada Ibiki dan juga Sai selaku Anbu yang diutus Hokage untuk mengawasi jalannya interogasi.

"Di dalam. Sasuke mengatakan bahwa hanya kau yang mengerti tentangnya."

Ino mengangguk melihat Tora dari balik kaca yang terhubung ke ruang interogasi. Tidak ada yang berubah dari lelaki itu walaupun sudah tidak bertemu hampir satu tahun lamanya. "Akan aku coba."

Ino menatap nanar Tora yang duduk meringkuk ketakutan di lantai. Suara lirihnya terus mengucapkan angka 1932 yang tidak Ino mengerti.

Ino perlahan membuka pintu dan masuk ke dalam ruang interogasi. Dibukanya jas kerja yang melingkupi tubuhnya agar dapat bergerak lebih leluasa.

Ia duduk bersila di depan Tora. Jarinya menyentuh telapak tangannya yang terluka karena tancapan kuku yang dalam. Sejujurnya, Ino ragu untuk memulai.

"Tora." Panggilnya lirih. "Tora?" Ino memegang lutut lelaki itu, berusaha untuk mendapatkan perhatiannya. Ia menelan ludahnya berusaha untuk tegar. "Harus aku akui, aku bukan tipe orang yang mau membantu orang lain. Aku tidak suka itu. Aku tidak suka, tapi aku tidak bisa mengabaikanmu. Kau membuatku melakukannya dan itu karena matamu. Kau mempunyai mata yang paling sedih. Lebih sedih dari mataku." Tubuhnya masih bergetar, tetapi Tora berhenti meracau, dan dia menatap kosong dinding gelap di belakang Ino. "Masalahnya, kau selalu bilang kalau aku menyelamatkanmu. Itu tidak benar, sama sekali tidak. Setelah perang berakhir aku mendapatkan masalah yang mengharuskan aku sendirian. Ada saatnya orang yang... entah bagaimana, mereka mengatakan bahwa aku salah. Bahwa aku tidak sendirian, bahwa aku punya..." perkataan Ino berhenti. Ia mulai meracau tidak jelas. "Orang mengecewakanmu. Orang menyakitimu. Orang berbohong dan aku sendirian. Kecuali untukmu... Rai, Kazuho, dan Katsuri, kita menjaga mereka. Kita menyayangi mereka, tetapi hidup mereka tidak gelap. Mereka berbeda. Jadi. Tora, kau harus sadar dari ini semua. Apa pun itu, apa pun yang terjadi padamu, kau harus kembali padaku. Aku membutuhkanmu. Hanya kau yang kumiliki. Kau adalah segalanya. Karena dulu aku tidak menyelamatkanmu di hutan itu. Kaulah yang menyelamatkanku." Bibir Ino bergetar. Sekelibatan masa lalu pertemuan antara dia dan Tora di hutan yang terletak di pinggiran Negara Sunyi terulang.

Ino menunggu, tidak melepaskan pandangannya dari lelaki itu. "Aku rasa dulu aku punya keluarga." Tora berujar masih namun masih enggan menatap Ino.

Ino terperangah, ia membekap lemah mulutnya, hampir tidak mempercayai ucapan Tora.

"Tapi aku tidak ingat itu nyata atau khayalanku." Lanjutnya lagi.

"Bagaimana menurutmu?"

Tora akhirnya menatap Ino dan menangis seperti anak kecil. "Aku rasa itu nyata."

Ino mengangguk mengerti. "Kalau begitu mereka nyata. Berarti kau punya keluarga."

"Itu nyata?"

"YA." Ino mengangguk dan memegang lengan Tora.

"Aku melakukan banyak hal jahat." Tuturnya ketakutan.

"Kita semua melakukan hal jahat." Sahut Ino percaya diri dan untuk pertama kalinya, Tora memegang tangan Ino yang masih bertengger di lengannya.

Dari kaca pembatas, Sasuke melihat interaksi Ino dan Tora yang begitu dekat. Mereka seperti saling melindungi satu-sama-lain.

Ino berdiri dan memberikan tangannya membantu Tora untuk berdiri. Ia menyeka air mata di pipi Tora dengan salah satu jarinya.

"Kini kita tidak akan pernah tahu." Celoteh Ichiro yang juga ikut melihat interaksi mereka.

"Tidak pernah tahu apa?"

"Apa makna dari 1932."

"Siapa Rai, Kazuho dan Katsuri yang Ino katakan?" Ibiki membuka suara.

Tidak ada yang tahu. Kecuali satu orang.

"Mereka teman-teman Ino di Negara Sunyi." Sahut Sasuke yang memilih untuk berbohong.

Sai menarik nafasnya. Ia menatap Tora dengan sedikit santai. Mereka pernah pada satu divisi yang sama, itu makanya Sai juga ingin menolongnya. Sama seperti yang Ino lakukan. "Jadi, apa yang akan kita laporkan kepada Hokage mengenai ini?"

.

.

.

Satu bulan telah berlalu. Semua aman dan terkendali. Tora dibebaskan dan diberikan hak untuk tinggal di desa Konohagakure. Lalu Sasuke yang kembali melakukan perjalanannya.

Mengingat Tora dan Ino mempunyai sejarah yang lama, Hokage menempatkannya di tempat yang sama dengan Ino, Konoha Torture and Interrogation Force.

Saat ini juga, Rokudaime Hokage sedang memperjuangkan pembentukan divisi baru Intelijen. Ibiki Morino selaku ketua divisi tersebut setuju dengan ide yang Ino berikan. Menurutnya, langsung turun ke lapangan dan mempelajari seluk-beluk target adalah hal yang sangat penting, mengingat Ino menghabiskan waktunya sangat banyak di lapangan, gadis itu pasti sudah mempelajarinya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk berjuang.

Bukan hanya Hokage, Ino serius dengan apa yang menjadi tujuannya. Saat ini, setelah mendapatkan izin dari Hokage, ia pergi keluar dari desa Konoha menuju Otogakure. Dia ingin bertemu dengan Orochimaru.

"Yamato-san." Ino menepuk pundak lelaki yang diutus oleh Hokage untuk mengawasi Orochimaru sepanjang hidupnya.

"Ino kah?" sang nama hanya tersenyum dan mengangguk. "Kakashi-san telah memberitahukan kedatangan kau. Kalau boleh aku tahu, kenapa kau ingin menemui Orochimaru?"

"Dia ada di dalam?" tanya Ino sambil merogoh tasnya mengambil sesuatu. Setelah dapat, ia memberikan sebuah minuman kepada Yamato. "Aku ingin mewawancarainya." Lanjutnya lagi.

"Wawancara? Seperti yang ada di televisi?" seloroh Yamato bingung, menerima minuman. Untuk apa Orochimaru tampil di televisi?

Tawa Ino langsung keluar, ketika mendengar perkataan polos lelaki itu. "Tentu saja tidak. Aku sedang mengumpulkan data. Orochimaru masuk dalam daftar yang ingin aku temui."

Yamato mengangguk. "Dia ada di dalam. Terima kasih untuk minumannya. Apa perlu aku temani?"

Ino menggeleng. "Aku sendiri saja."

Katanya sambil berjalan masuk ke dalam markas Orochimaru. Gedung tersebut gelap dengan lorong tak berujung.

Ino merasakan sesuatu yang tajam dan dingin di lehernya ketika memasuki sebuah ruangan di ujung lorong yang bercahaya. Itu sebuah kunai.

"Kunai itu tidak akan bisa membunuhku." Ujarnya datar.

"Siapa yang tahu." Balasnya balik.

Ino langsung sigap memundurkan tangan yang memegang kunai tersebut lalu dengan cepat, tidak terbaca merampas senjata itu dan berbalik menusuk perut lelaki yang mengancamnya tadi. Ia berseru dalam hati ketika lelaki itu langsung berubah mencair menghindari luka.

"Cukup Suigetsu." Ahh, itu namanya. Ia hanya tahu wajah yang menjadi pengikut Sasuke dulu. Apa ya? Tim Taka? Hebi? "Seharusnya kita menjamu tamu jauh yang datang."

Ino tidak lagi fokus dengan suara Orochimaru. Ia sedikit salah fokus dengan banyaknya tabung yang berisi seorang anak?

Memasang wajah antusias, Ino berbalik melihat Orochimaru. "Kau membuat manusia buatan?"

"Itu akan menjadi penemuan terbaikku. Ino, Hokage memberitahukan kedatanganmu, tapi tidak dengan tujuanmu. Ada perlu apa kau kesini?" ujar Orochimaru sambil mengajak Ino ke ruangannya.

"Ada yang ingin aku tanyakan. Tapi, itu manusia buatan itu benar-benar bisa hidup? Terbuat dari apa?" tanyanya sedikit antusias.

"Terbuat dari beberapa hal yang tidak kau mengerti." Ino manyun.

Saat Ino menemukan sebuah kursi, ia merebahkan badannya dan mendesah keenakan. Konohagakure dan Otogakure memiliki jarak tiga hari dua malam, dan ia menjadikannya hanya dua hari satu malam. Ia tidak berhenti untuk beristirahat karena tidak bisa meninggalkan desa terlalu lama.

"Aku kesini ingin mewawancaraimu terkait obsesimu dulu pada sebuah keabadian." Ujar Ino memulai.

Terjadi pembicaraan seru antara dua orang itu, apalagi saat gadis itu membantah dan mencoba menggali lebih dalam mengenai percobaan yang Orochimaru lakukan terhadap manusia. Banyak catatan-catatan yang akan masuk ke dalam jurnal yang akan ia tulis.

Menurutnya, Orochimaru adalah psikopat paling pintar yang ia temui. Obsesinya dalam keabadian itu terpicu dari kematian orang tuanya yang di bunuh oleh Nidaime Hokage karena alasan keamanan desa.

Lalu tercetuslah di pikirannya mengenai ini. "Kenapa semua orang ingin abadi?" tanya Ino menerawang jauh. "Maksudku. Masa depan paling pasti itu adalah kematian. Hidup berubah setiap harinya. Akan banyak orang serakah hadir. Apa kau tidak muak hidup terus di dunia ini?"

Orochimaru mendengus, ia memberikan sebuah minuman kepada Ino. "Ini minuman keras. Kau sudah cukup umur bukan untuk mabuk?"

Ino tidak suka ditantang. Jadi dia menerima minuman itu dan meminumnya walaupun terasa pahit di lidah.

"Bagiku, melihat sejarah dan ikut masuk dalam perkembangan zaman itu sangat menyenangkan. Aku abadi dan akan memiliki kuasa." Ujar Orochimaru yang duduk di samping Ino.

"Daripada kau membuat manusia buatan dan mencari hal keabadian. Kenapa kau tidak membuat sesuatu alat agar bisa pergi ke dimensi lain? Maksudku, seperti yang Kaguya lakukan saat perang dulu?" Ino meracau aneh namun diserap dengan baik oleh Orochimaru. Ia mendapatkan sebuah ide gila yang mungkin akan membuat dunia ninja sedikit kacau.

"Ino." Panggil Orochimaru berdiri tegak, menatap Ino yang mulai mabuk namun tidak kehilangan akalnya. Minuman keras itu cepat habis karena mereka berbagi pada gelas yang sama. "Sepertinya kita bisa berteman mulai sekarang."

.

.

.

Berteman dengan Orochimaru? Yang benar saja.

Pengampunan Orochimaru dan Kabuto yang diberikan oleh desa saja banyak menuai protes dari masyarakat termasuk dirinya juga.

Ketika meminta penjelasan kepada Hokage, Kakashi hanya berkata bahwa kepintaran Orochimaru dan Kabuto bisa memiliki manfaat untuk desa kedepannya. Terlalu naif kalau hanya menghukum Orochimaru. Hidup bukan hanya tentang keadilan. Pemanfaatan nilai guna seseorang harus dipertimbangkan dengan matang. Menghukum Orochimaru hanya akan membuat desa tidak bisa mengikat Otogakure.

Dan juga, Ino diberitahu oleh Shikamaru bahwa Sasuke telah menanamkan jutsu peledak di markas Orochimaru. Segel itu bisa meledak apabila manusia abadi itu berusaha untuk mengkhianati Konoha. Jadi, Ino rasa itu sudah cukup.

Sasuke memang bukan orang jahat. Tapi dia tidak naif seperti Naruto. Kegelapan di luar desa membuatnya tidak bisa menganggap semuanya baik-baik saja.

"Oh... aku baru saja memikirkanmu dan whosshh kau tiba-tiba saja datang, Sasuke-kun." Ujar Ino dengan kepala mendongak sambi melihat ada tiga orang Sasuke.

"Kau mabuk?" Sasuke nyaris mengumpat. Dia juga terlihat sangat risih dengan Karin yang terus menggelayuti tangannya.

Ia memicingkan matanya tajam ke arah Orochimaru. "Kenapa dia ada di sini dan kenapa kau memberikannya minuman keras."

"Lama tidak berjumpa, Sasuke-kun. Sepertinya kau sangat mengkhawatirkan temanmu ini ya." Sahut Orochimaru dengan tenang.

Raut wajah Sasuke kembali menjadi datar. "Apa yang dia lakukan di tempat ini?"

"Bukankah seharusnya kau mengucap salam dulu?" Orochimaru menopangkan dagunya santai.

"Cepat katakan saja." Balas Sasuke tidak kalah singkat.

"Gadis itu mewawancaraiku untuk jurnalnya."

Sasuke mengangguk mengerti. "Lalu, apa kau mengenal Murakami Kitsuo?" tanyanya kembali sambil melirik Ino yang kepalanya sudah tertunduk dalam.

"Seperti inikah caramu bertanya pada seseorang?"

"Cepat katakan saja!" Orochimaru kalah.

"Murakami Kitsuo adalah pemimpin Negara Sunyi. Sudah hampir dua tahun dia menjabat ketika menggantikan Genggo yang di bunuh oleh orang dari Konoha." Orochimaru menjelaskan.

"Apa ada informasi lain tentang Negara Sunyi dan Murakami Kitsuo?" Tanyanya lagi.

"Murakami Kitsuo? Ada apa dengannya?" Ino terlonjak ketika mendengar nama itu. Sontak saja badannya langsung berdiri dengan tiba-tiba dan menyebabkan rasa pusing yang hebat sehingga nyaris membuatnya jatuh kalau saja tidak langsung di pegang oleh Sasuke.

"Kau mengenal Murakami Kitsuo?"

Ino diam. Rasa pusing di kepalanya semakin menjadi dan tanpa sadar, ia menyandarkan kepalanya di bahu Sasuke. Ino jadi menyesal meminum minuman keras dari Orochimaru.

Sementara Karin yang mengikuti Sasuke bersama Suigetsu dan Juugo gigit jari melihat perhatian kecil Sasuke kepada Ino.

Karin juga sedikit tidak suka dengan gadis pirang tersebut. Ia sudah pernah bertemu dengan Sakura dan Karin sangat menyetujui kalau Sasuke berakhir dengan rambut merah muda tersebut daripada gadis pirang ini.

Ino menjauhkan jarak dengan menyandarkan diri pada dinding. "Murakami Kitsuo adalah pemimpin Negara Sunyi dan dia adalah pemimpin yang baik." Ujarnya sambil memijit kepala.

"Negara Sunyi menutup semua akses pintu masuk ke negara tersebut dan kemungkinan besar para Daimyo Sunyi telah di bunuh. Mereka membuat evolusi besar-besaran. Gokage akan bertemu di Konoha untuk membahas hal ini." Tangan Ino meluruh lunglai, tidak mempercayai ucapan Sasuke.

"Murakami Kitsuo adalah orang yang baik dan bertanggung jawab, dia mampu menghadapi segala tekanan dari para petinggi dan dia adalah orang yang mampu menggerakkan hati nurani masyarakat Negara Sunyi untuk membuat peradaban yang lebih baik. Jadi, kau pasti mengarang tentang hal tadi." Ujar Ino dengan sangat tegas. Tiba-tiba saja efek dari mabuknya menghilang.

Sasuke mengangguk mengerti. "Kita kembali ke desa. Sepertinya kau lebih mengerti tentang Negara Sunyi dan kau harus mengatakan semuanya di hadapan para Kage." Perintah Sasuke tidak ingin dibantah.

Matilah aku.

Kini Ino hanya bisa mengumpati dirinya dalam hati.

.

.

.

"Bagaimana Otogakure?" Tora bertanya saat Ino sedang menyapa Ibunya di toko bunga. Dia sedang melakukan sesuatu dengan sebuah mesin yang ia dapat.

Sasuke dan Ino tiba di Konoha beberapa jam yang lalu. Hokage menyarankan mereka untuk pulang karena baru Kazekage yang tiba. Informasi Negara Sunyi pertama kali datang dari Sasuke sehingga mereka kembali mengadakan pertemuan Alinsi Shinobi di Konoha.

Biasanya, pertemuan Aliansi Shinobi berada di sebuah negara yang netral dari negara ninja, seperti Negara Besi. Tapi untuk kali ini sepertinya tidak.

"Bagus. Setidaknya Orochimaru tidak mencoba melakukan sebuah percobaan kepada tubuhku." Ujar Ino sekali lewat.

Tapi, tidak sampai beberapa menit, ia kembali menemui Tora. "Tora, kau tahu situasi di Negara Sunyi saat ini?"

"Aku keluar dari negara tersebut tepat enam bulan yang lalu." Tora menggelengkan kepalanya. "Kau mau aku mencari tahunya?"

"Kau bisa?" Ino balik bertanya.

"Aku sedang mengotak-atik mesin yang aku curi dari Negara Sunyi. Mungkin aku bisa menemukan sesuatu." Ujarnya tidak lagi melihat ke arah Ino.

"Aku tunggu, Tora."

"Ino, kau tahu kan, Negara tersebut perlahan-lahan akan menanjak menjadi Negara maju. Semua sistem pemerintahan tersebut kau yang membuat gagasannya."

Ino melipat bibirnya ke dalam. "Tora apa yang terjadi?"

"Pada akhirnya nanti, kau mungkin orang yang akan meruntuhkan sistem tersebut." Tora beralasan. "Itu warisanmu akibat luasnya gagasan pemikiranmu. Kau akan terluka, Ino."

Ino tersenyum. "Tapi, ada kau yang akan melindungiku bukan, Tora?"

Tora tidak menjawab pertanyaan Ino. Ia hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Berbicara loyalitas Tora untuk Ino tidak bisa diragukan lagi. Dia akan terus bekerja untuk melindungi Ino, seperti Ino yang melindunginya di Negara Sunyi.

.

.

.

"Aku meminta bantuanmu, Ino." Ujar Sakura yang menutup pintu ruangannya.

Siang tadi, sebelum pulang ke rumahnya. Sakura menemuinya dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. "Jadi, apa pilihanmu?" Tanya Ino yang seperti sudah tahu apa yang ingin dibahas.

"Aku akan menggugurkannya. Aku akan meminta Kakashi-sensei untuk memberi misi ke luar desa agar kita bisa melakukannya." Ujar Sakura seraya terus menganggukkan kepalanya. Ia terus melafalkan kata maaf dalam hatinya sambil mengusap perutnya. Sakura sangat merasa bersalah.

"Kau yakin? Itu anaknya Gaara, Sakura." Ino berujar kecewa.

BRAKK!!

"Sasuke-kun." Sakura berujar takut.

Mata Ino membulat, ia panik. Tidak seharusnya menjadi seperti ini.

"Kau hamil? Dan itu anaknya Gaara?" intonasi Sasuke terlihat biasa saja. Wajah datarnya juga terlihat biasa saja ketika menatap Sakura.

Malah yang membuat Ino takut adalah Sasuke yang menatap tajam ke arah dirinya. "Dan kau memberikannya pilihan untuk menggugurkan kandungannya?"

Sasuke tidak lagi bertanya, ia segera pergi keluar dari rumah sakit.

"Aku minta kau berhenti sekarang juga." Ino mengejar Sasuke sampai ke gedung Hokage. Dia berjalan dengan cepat berusaha mensejajarkan dirinya dengan lelaki itu. "Aku minta kau menghentikan apa yang ingin kau lakukan." Namun sayangnya Sasuke tidak menggubris perkataan Ino yang terdengar panik.

"Kau tidak mau memberitahuku?" Ujarnya marah.

"Aku akan beritahu setelah Sakura memutuskannya. Sasuke, ayo kita bicarakan saja." Ino panik karena ia tahu tempat tujuan Sasuke sekarang.

"Aku sudah muak untuk bicara karena kau tidak menjawab pertanyaanku tadi."

Sasuke membuka pintu ruangan Hokage, dan dengan cepat ia memukul Gaara yang tidak siap.

Ada satu hal yang bikin Ino curiga. Kenapa pasir Gaara tidak bereaksi dengan pukulan Sasuke?

.

.

.

Pintu ruangan tersebut terbanting keras, menampakkan raut wajah Ino yang penuh amarah. Gadis itu berhenti di sebuah jendela pada ujung lorong dengan Sasuke yang menyusul dirinya.

"Ino." Ujar Sasuke memegang bahu Ino.

Ino berusaha menetralkan nafas dan emosinya. Di dalam ruangan tadi begitu menyesakkan dengan semua orang yang menyalahkan dirinya.

"Aku butuh waktu." Ujar Ino singkat membalikkan badannya untuk menatap Sasuke.

Dan,

Sesuatu tidak terduga terjadi. Sasuke menarik Ino untuk masuk ke dalam pelukannya dengan Ino yang juga ikut melingkarkan tangannya pada bahu Sasuke.

"Aku melakukan sesuatu yang menurutku benar. Sakura meminta bantuanku dan aku memberikan bantuannya. Tapi..." Ino tidak selesai berbicara. Ia lebih memilih untuk menyembunyikan wajahnya pada bahu Sasuke.

Biarlah ini terjadi, mungkin itu yang ada di pikiran Ino saat ini. Toh nyatanya, mereka memang sudah sangat dekat saat berada di luar desa.

Pelukan ini bukanlah apa-apa.

.

.

.

TBC


Author Note's:

Cerita ini masih sangat panjang. Sudah memikirkan beberapa arc konflik yang terjadi. Semoga ada yang masih menunggu cerita ini ya.