Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.
Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.
.
.
Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei
.
Chapter 25
.
.
"Paman, aku pulang duluan, ya," pamit Nagiko, melongokkan kepala di pintu ruang Presdir.
"Hati-hati," balas Paman Yukichi sambil mengangguk.
Nagiko tersenyum lalu menutup pintu tersebut, kemudian wajahnya merona saat melihat Dazai-san menunggunya di pintu keluar kantor. Digigitnya bibir sambil berjalan menghampiri pemuda itu. Sebenarnya bukan ingin mendekati si Eks Mafia, melainkan memang pintu yang disana memang satu-satunya jalan keluar dari ruang kantor.
"Nagi," bisik Dazai-san sambil tersenyum begitu Nagiko sudah ada di dekatnya. "Sudah lewat dua hari, lho, kamu masih merona gara-gara keinget saat kucium lewat masker, ya?"
"Kh—" Spontan gadis itu menampar lengan Si Pemuda. Wajahnya sangat merah padam, dan berharap tidak ada orang lain di kantor yang melihat kondisi mukanya saat ini, pun mendengar perkataan Dazai-san.
Bukan takut habis dipukul, pemuda itu malah terkekeh kecil habis meringis. Lalu dibukanya pintu, memberi gestur untuk mempersilakan Nagiko keluar duluan. Gadis itu tidak ingin merona berlama-lama disana, jadi ia benar keluar duluan, diikuti Dazai-san yang menutup kembali pintu kantor. Mereka menuruni gedung dan keluar bersama, dan saat itu langit masih belum terlalu gelap.
Paman Yukichi memang sering menjadi orang terakhir—atau setidaknya salah satu dari beberapa orang terakhir—yang akan keluar dari kantor. Nagiko tidak tahu apa yang dikerjakan pamannya sampai harus pulang ketika langit gelap, padahal para karyawannya sudah diperbolehkan pulang pukul lima sore—bahkan staf detektif yang jam kerjanya fleksibel pun masih bisa pulang lebih awal daripada pimpinan mereka. Gadis itu tahu, sih, Paman Yukichi berhubungan langsung dengan para petinggi dan klien VIP, dan biasanya beliaulah yang menyortir kasus mana yang akan mereka kerjakan—tapi jika para staf detektif sudah pulang, entah apalagi yang akan dikerjakan Pak Bos sampai malam.
Nagiko curiga pamannya akan berpatroli malam-malam, entah untuk mencari apa. Kalau untuk mengurus kasus, biasanya hampir selalu Nagiko-lah yang diminta patrol atau mencari informasi di malam hari. Saat Nagiko masih tinggal di rumah pamannya pun, biasanya Ranpo-san dan Kak Akiko akan pulang duluan dan bilang bahwa bos mereka masih di kantor. Dengan kata lain, sejak dulu pamannya memang sudah kebiasaan pulang malam. Gara-gara itu, walau agak penasaran, Nagiko tidak cemas, apalagi dia tahu bahwa Paman Yukichi jago bela diri walau usianya tidak lagi muda.
"Nagi—"
"—ah!"
Prang!
Gadis itu merutuk pelan dalam hati. Karena kaget, gelas yang sedang ia lap malah jatuh dan pecah di lantai. Terakhir kali ia memecahkan gelas, seingatnya itu sewaktu di dapur kantor. Nagiko memang kadang ceroboh sih, tapi ini baru gelas kedua yang dipecahkannya.
"Nagiko, ponselmu bunyi," kata Dazai-san. "Itu biar aku yang beresin, sana angkat teleponnya."
Nagiko mengangguk. Ia menghampiri ponselnya yang masih tercolok dengan kabel pengisi daya, menghampiri karena ada tulisan 'rumah sakit' sebagai penelepon di layarnya. Dicabutnya kabel, lalu ia menerima panggilan telepon itu.
"Halo?"
"Selamat malam, dengan Kiyohara Nagiko?" tanya suara perempuan dari seberang.
"Benar, itu saya sendiri. Ada apa, ya?"
"Kami dari rumah sakit, menelepon Anda sebagai panggilan darurat dari Pak Fukuzawa Yukichi. Beliau ditemukan tak sadarkan diri oleh seorang warga dan dilarikan ke rumah sakit ini."
Rahang Nagiko mengeras, dengan susah payah ia berusaha untuk tetap bisa mengeluarkan suaranya. "Ap—bagaimana—ada apa dengannya?"
"Dokter sedang memeriksanya. Tampaknya Pak Fukuzawa masih belum menyadarkan diri. Ketika dibawa kemari pun, wajah beliau tampak kesakitan."
"Saya—saya akan kesana sekarang." Nagiko segera memutus sambungan telepon.
Ia berlari mengambil tasnya di kamar, lalu keluar lagi, menuju pintu depan. Dazai-san yang kaget langsung menahan tangan gadis itu.
"Nagi—ada apa?" tanya pemuda itu, tampaknya kecemasan keponakan Bos ADB itu langsung menular.
"Paman—masuk rumah sakit," jawab Nagiko, ia menelan ludah susah payah. "Ada yang menemukannya tidak sadarkan diri di jalan."
Nagiko jelas panik saat ini, dan itu wajar. Dazai-san sempat panik melihat gadis itu panik, tapi kemudian wajahnya menjadi lebih tenang. "Baiklah, tunggu dulu, aku akan ikut denganmu."
"Tidak usah—aku bisa sendiri—"
"Tidak," tegas Dazai-san. "Kamu bakal gabrak-gubruk kesana, aku gak mau kamu nyusul pamanmu ke rumah sakit sebagai sesama pasien, jadi aku akan memastikan kamu tiba disana baik-baik saja."
Mata Dazai-san memandangnya lurus. Nagiko menelan ludah lagi, mulai bisa mengatur nafas, jadi dia mengangguk.
.
.
Dokter kebingungan saat akan menjelaskan kondisi Paman Yukichi. Katanya, Bos ADB itu masih tetap tidak bisa diajak berkomunikasi. Dibilang pingsan pun nyatanya tidak, karena beliau terus-terusan mengerang seperti kesakitan. Wajahnya tampak pucat dan berkeringat dingin. Dokter telah mengambil sampel darah dan memeriksanya, tapi tidak ada tanda apa-apa. Kalau mau jahat, bisa saja dibilang bahwa Paman Yukichi hanya sedang tertidur dan mengigau karena mimpi buruk. Tapi, jika sudah seperti itu, seharusnya beliau akan terbangun ketika dipanggil-panggil, kan?
Warga yang menemukan Paman Yukichi masih ada di rumah sakit ketika Nagiko dan Dazai-san tiba. Menurut kesaksiannya, pria paruh baya itu sedang tengkurap seorang diri di suatu gang. Saksi ini memanggilnya dan mencoba membangunkannya, tapi Paman Yukichi tidak merespon. Ada genangan darah di bawah tubuh paman, membuat Saksi ini terkejut dan mengira itu adalah darah paman, jadi langsung saja ia memanggil ambulans.
Genangan darah tersebut ternyata bukanlah darah Paman Yukichi, tidak ada bekas luka di bagian perut atau dadanya. Ada, sih, tapi itu adalah bekas luka yang sudah sangat lama dan tidak mengeluarkan darah lagi. Tapi dokter menemukan luka di leher Paman Yukichi. Bukan luka besar, itu hanya seperti goresan kecil, tapi sudah kering. Entah kapan paman mendapatkan luka itu, tapi tampaknya itu bekas yang baru didapat. Walau begitu, genangan darah disana juga bukan berasal dari lehernya.
Dokter meminta izin Nagiko untuk mengambil darah Paman Yukichi lagi, kali ini mereka ingin memeriksa lebih menyeluruh. Gadis itu langsung mengizinkan. Selesai mengambil darah, dokter itu keluar dari kamar rawat Paman Yukichi, Dazai-san juga keluar untuk mengurus administrasi, membiarkan Nagiko menjawa sang Bos ADB sendiri.
Dan disitulah Nagiko baru tersadar.
"Aki—nee—"
Dirogohnya tas untuk mencari ponsel, dengan segera ia mencari nomor Dokter Wanita kebanggaan Agensi Detektif Bersenjata itu.
"Halo?"
"Aki-nee," sahut Nagiko agak sesunggukkan.
"Nagiko?"
"Paman masuk rumah sakit."
" … hah?"
"A—aku tidak tahu apa yang terjadi, dokter juga tidak paham, ada yang menemukannya tidak sadarkan diri, lalu sekarang paman seperti kesakitan, wajahnya pucat—"
"—Nagiko, tenanglah, aku akan kesana, oke?"
Gadis itu mengangguk sambil menggumam 'oke' pelan sebelum memutuskan sambungan telepon.
Dengan masih agak takut ia duduk di samping ranjang pamannya. Seharusnya ia tidak perlu khawatir lagi—Kak Akiko akan datang dan Paman Yukichi akan baik-baik saja setelah disembuhkan dari apa pun yang membuatnya merintih kesakitan. Tapi Nagiko tidak bisa merasa tenang sama sekali. Seumur hidupnya, ia tidak pernah melihat sang paman tampak begitu pucat dan tak berdaya. Memang pamannya baru menjadi wali Nagiko sejak sembilan tahun lalu, tapi tetap saja, figur Paman Yukichi selama ini adalah sosok yang kuat tanpa cela sama sekali, mungkin karena ada otak cerdas Ranpo-san dan kemampuan penyembuh Kak Akiko di belakangnya. Jadi, mungkin sebenarnya Paman Yukichi sudah pernah ada di situasi seperti ini di belakang Sang Keponakan, tapi ia telah lebih dulu disembuhkan Dokter Wanita mereka sebelum pulang ke rumah.
Benar, pasti begitu.
Tapi wajah Nagiko menjadi semakin pucat dan kepalanya jadi pening ketika Kak Akiko datang terburu-buru dan kemampuan penyembuhnya tidak bekerja sama sekali. Gadis itu melihat si Dokter Wanita saling pandang dengan Dazai-san dengan serius, membuat Nagiko bingung.
"Mungkin … ini kerjaan seorang pengguna kemampuan?" gumam Kak Akiko.
Dazai-san mengangguk. "Masuk akal. Jika begitu, maka kemampuan penyembuh atau obat apa pun tidak bakal berpengaruh."
"Ap—lalu, paman bagaimana?" tanya Nagiko mulai mengisak.
Kak Akiko membelai punggung adik angkatnya. "Untuk sekarang, kita tidak tahu. Kita perlu informasi lebih tentang ini. Dan yang pasti, kita berharap Pak Fukuzawa bisa segera bangun untuk memberitahu kita apa yang terjadi."
Dokter yang tadi memeriksa Paman Yukichi akhirnya kembali. Lagi-lagi ia mengatakan bahwa mereka tidak menemukan hal aneh dari sampel darah yang mereka ambil kedua kali, semuanya tampak normal. Prihatin karena pasiennya masih terus merintih, dokter pun memberikan obat penenang. Sebenarnya, kalau hanya obat penenang, orang-orang ADB tentu tahu bahwa ramuan Kak Akiko-lah yang paling mujarab, tapi Dokter Wanita ini tetap menghormati dokter yang bekerja di rumah sakit tempat bosnya dirawat, membiarkan Paman Yukichi diberikan obat penenang yang bukan darinya.
Mungkin dosisnya lumayan tinggi, makanya rintihan dan erangan sakit Paman Yukichi perlahan hilang. Wajahnya masih pucat, keringat dingin juga masih bercucuran. Nagiko masih tidak bisa bernafas lega, ia bahkan bisa merasakan tangan dan kakinya gemetaran menatap Sang Paman yang masih tetap tidak merespon panggilannya.
" … aku akan beri pengumuman di grup tentang ini," tutur Kak Akiko. "Ah, tunggu. Mm, kurasa aku akan memberitahu Ranpo-san dan Kunikida secara pribadi dulu, baru kutaruh di grup. Dazai, temani Nagiko sebentar."
Nagiko mendengar suara pintu terbuka dan tertutup lagi, berarti Kak Akiko telah keluar. Ia menghembus nafas berat dengan perasaan bingung. Kalau dokter andalan mereka saja tidak berdaya menghadapi apa pun yang sedang dialami Paman Yukichi saat ini, apalagi dirinya?
Diambilnya sapu tangan untuk menyeka keringat di wajah dan leher pria paruh baya yang terbaring itu, untuk menemukan bekas goresan yang sempat dibilang dokter yang memeriksa Sang Paman. Mata gadis itu menyipit dan otaknya berpikir keras. Jika dia berasumsi bahwa jatuhnya Paman Yukichi adalah karena luka ini, bagaimana mungkin pamannya bisa kena luka tersebut? Bos ADB ini sangat jago bertarung jarak dekat, rasanya mustahil bisa mendapat luka di tempat seperti itu.
Lalu Nagiko teringat bahwa gang yang disebut warga yang menolong paman ini sebenarnya dekat dengan kantor agensi. Pemerintah dan kepolisian tidak mau repot-repot menyorot detil gang buntu dengan kamera pengawas, tapi setidaknya ada tiga sampai empat kamera dari sudut yang berbeda yang mungkin bisa menangkap sedikit-sedikit aktivitas yang ada di gang tersebut.
Jadi gadis itu mengambil ponselnya lagi dan menyalakan layarnya—
"—Nagi, mau ngapain?" tanya Dazai-san, sambil memegang erat ponsel yang masih dipegang Nagiko.
Dengan agak kaget, Nagiko mendongak pada pemuda itu. "Aku mungkin bisa mengecek siapa yang melakukan ini pada Paman!"
Mata Dazai-san menyipit. "Nagiko, bukannya Pak Fukuzawa sudah pernah melarangmu untuk jangan meretas kamera pengawas pakai ponsel?"
"Tapi—"
Dengan paksa pemuda itu menyita ponsel Nagiko, lalu berlutut di samping gadis itu dengan wajah tegas. "Aku akan segera ke apartemenmu untuk mengambil laptop dan membawanya kesini." Lalu Dazai-san tersenyum sambil mengembalikan ponsel itu pada yang punya, lalu menggenggam tangan Si Gadis dan mengelus punggung tangannya dengan ibu jari. "Aku akan kembali secepatnya. Jadi, tunggu aku, ya?"
Nagiko menggigit bibir, lalu mengangguk. Dazai-san berdiri dan hendak beranjak pergi. Ia melangkah cepat dengan kaki jenjangnya, tapi Nagiko berhasil menahan lengannya sebelum pemuda itu meraih pintu.
"Dazai-san," gumam Nagiko cemas. "Hati-hati."
Pemuda itu tersenyum kecil. "Paham." Ia menyelip rambut Nagiko di belakang telinga, lalu mengusap pelan pipi gadis itu dan mencium lembut dahinya sebelum keluar dari kamar rawat Pak Bos.
.
.
Paman Yukichi kembali mengerang ketika beberapa saat sebelum Kunikida-san dan Ranpo-san tiba. Dokter ingin kembali memberikan obat penenang, tapi beliau jadi ragu karena masih belum mengetahui penyebab tak sadarkan diri sang pasien. Mereka tidak tahu bagian mana yang sakit, tidak tahu apa yang sebenarnya dirasakan Presdir ADB itu. Tapi karena kasihan, akhirnya obat penenang itu diberikan juga.
Hanya ada Paman Yukichi yang dirawat di kamar itu, sehingga staf rumah sakit tidak ada yang menegur bahwa ada lima orang sekaligus yang menunggui sadarnya Sang Pasien. Nagiko menggunakan laptop yang dibawakan Dazai-san di sudut ruangan pun, tidak ada yang melarang juga.
Keponakan pemimpin ADB itu memasang mata baik-baik menonton video rekaman kamera pengawas yang diincarnya. Dazai-san, Kunikida-san dan Kak Akiko ikut menonton dalam diam. Karena kejadiannya ketika matahari sudah terbenam, di dalam gang pula, adegan yang mereka cari dalam rekaman jadi agak sulit dilihat—apalagi pada dasarnya tidak ada kamera pengawas yang benar-benar menyorot ke dalam gang tersebut. Jadi Nagiko mencari kamera pengawas yang menyorot sekitaran gang itu, mendapati sosok gelap yang berjalan dan melompat cepat di udara menuju gang dan tak lama kemudian pergi dengan cara yang sama.
"Nagiko, bagian itu bisa diperlambat?" pinta Kunikida-san.
Gadis itu mengangguk. Setelah sekalian memperbesar adegan itu, ia memutar bagian yang dimaksud lagi. Ia menghela pelan, karena ternyata mereka tetap tidak bisa melihat dengan jelas sosok yang tiba-tiba menyita perhatian mereka.
"Jika kita mengasumsikan sosok itu menyerang Pak Fukuzawa … sepertinya teknik berjalan di udara itu bukanlah kemampuan istimewa yang dipakai untuk melukainya sampai begitu, kan?" gumam Kak Akiko.
"Hanya ada luka kecil di leher Pak Bos, berarti Pelaku menggunakan sesuatu—berarti racun, kan?" sambung Dazai-san.
"Kalau begitu, kenapa Pelaku datang dengan seperti itu? Maksudku, kenapa dari awal dia tidak menunggu di dalam gang?" tanya Nagiko. "Ini seperti—seakan dia ingin memamerkan bahwa dia bisa berjalan di udara, kan?"
"Tunggu—," kata Kak Akiko. "Dazai, bukannya Nakahara dari Port Mafia itu bisa berjalan di udara?"
"Aku tahu yang tertangkap di video ini bukan dia, sangat jelas pasti bukan," tegas Dazai-san.
"Tapi Nagiko ada benarnya," ujar Kunikida-san. "Caranya datang dan pergi itu seperti sedang memamerkan kemampuannya. "
Jadi Nagiko mengutak-atik laptopnya, mencari kasus yang mungkin serupa dengan apa yang dialami pamannya. Ia terkejut karena ternyata selama seminggu ini sudah ada hampir sepuluh kasus penyerangan terhadap Pengguna Kemampuan Khusus, dan hampir semuanya terjadi di gang gelap.
Buru-buru Nagiko mencari rekaman kamera pengawas di tempat-tempat kasus. Karena sebagian besar sudah lewat dari 36 jam yang lalu, rekamannya sulit dicari. Ia ingin menelepon Junichiro untuk membantunya dari kamar asrama anak itu sendiri, tapi takut menganggunya karena ini sudah tengah malam. Di saat begini, ia jadi berharap Katai-san membantunya, tapi Kunikida-san pernah bilang ia sedang mencari informasi penting lain. Jadi saat ini Nagiko hanya mendapat bantuan ketiga rekannya untuk mencari rekaman mana yang mereka butuhkan dalam satu layar laptop.
Ketika sinar matahari sudah mulai ada di luar sana, akhirnya mereka baru menemukan rekaman penyerangan yang terjadi tidak pada malam hari. Tetap berada di gang, kamera pengawas juga tidak terlalu menyorot kesana, tapi langit masih agak terang, sehingga mereka bisa melihat dengan agak lebih jelas.
"Topeng apa itu?" gumam Kunikida-san. "Apa bisa dicari itu model apa?"
Nagiko mencoba mencarinya, tapi tampaknya topeng yang digunakan Pelaku hanyalah topeng random biasa yang dipilih secara asal untuk sekedar menutupi wajahnya.
Kak Akiko menghela. "Berjam-jam, dan kita tetap tidak tahu bagaimana para korban kena serang… —Ampun, ternyata sudah pagi."
Nagiko melihat ke arah Ranpo-san yang masih terduduk di samping ranjang Paman Yukichi. Gadis itu tidak tahu bagaimana Ranpo-san bisa begitu dekat dengan pamannya, tapi Nagiko paham bahwa Paman Yukichi adalah keluarga yang luar biasa penting bagi Sang Detektif Terhebat sampai tidak bergeming sama sekali dari tempat duduknya disana.
" … kantor agensi masih tetap buka hari ini … kan?" gumam Kunikida-san.
"Sepertinya begitu," jawab Kak Akiko lesu.
"Kalau begitu, aku dan Dazai akan ke kantor untuk cari informasi lebih lanjut, kalian bertiga tetap disini saja," kata Si Kacamata lagi.
Jika bukan masalah penting, Dazai-san pasti sudah merengek untuk bisa tetap bersama dengan Nagiko. Tapi, ketika gadis itu menoleh padanya, Si Mantan Mafia itu hanya mengangguk dan tersenyum pedih.
"… hati-hati," gumam Nagiko, "kalian berdua, hati-hati."
.
.
Junichiro dan Kenji-kun datang ke rumah sakit membawakan makan siang untuk Nagiko, Kak Akiko, dan Ranpo-san, sekaligus menjenguk pimpinan mereka. Sang Detektif Terhebat harus dipancing Kak Akiko dengan kalimat 'Pak Fukuzawa bakal marah kalau mereka tidak makan dengan benar saat berjaga' agar Ranpo-san mau menyentuh makanannya.
Tidak ada perubahan yang berarti pada Paman Yukichi, beliau juga tidak kunjung menyadarkan diri, seakan Bos ADB itu habis makan apel beracun yang ada di dongeng Putri Salju—bedanya sesekali pria paruh baya ini akan merintih seperti sedang mendapat mimpi buruk. Karena tampaknya Sang Paman tidak menunjukkan gejala apa-apa, Nagiko jadi ragu bahwa mungkin pria itu tidak kena racun. Entah kena serang apa, tapi rasanya kalau yang namanya racun itu identik dengan menurunnya kesehatan secara signifikan, kan? Tapi ini sudah lebih dari dua belas jam sejak Paman Yukichi pingsan, dan tidak ada gejala baru yang muncul.
Obat penenang diberikan secara berkala—mungkin hanya perasaan Nagiko, tapi efek obat tersebut makin lama makin sebentar. Ketika Junichiro dan Kenji-kun tiba tadi, Paman Yukichi baru saja diberi obat penenang. Tapi saat ketiga anak asuhnya selesai makan siang, perlahan Sang Pasien mulai merintih menahan sakit lagi. Segera saja kelima agen detektif itu menghampiri ranjang.
Tetapi ada hal yang sangat berbeda dengan kondisi Paman Yukichi. Erangan sakitnya masih sama seperti sebelumnya, keringat dinginnya juga keluar seperti dari semalam. Yang membuat berbeda adalah tiba-tiba muncul suatu lingkaran biru bercorak aneh di atas tubuh pria itu.
"Ap—apa-apaan ini?" gumam Kak Akiko ngeri. Dokter wanita itu kemudian menyibakkan tangan di udara, berusaha mengibas ke arah lingkaran biru itu, tapi tangannya malah tembus. Lalu Kak Akiko menurunkan selimut bosnya, tapi lingkaran itu masih berada di atas tubuh Paman Yukichi—dengan kata lain, lingkaran itu adalah tanda untuk Sang Bos ADB, bukan selimutnya.
Keringat dingin Paman Yukichi makin menjadi, jadi Nagiko dan Kak Akiko masing-masing mengelap dari kanan dan kiri pria itu. Dan ketika menyentuh area wajahnya, mereka menyadari bahwa ayah angkat mereka sudah demam, padahal sekitar satu atau dua jam yang lalu suhu tubuhnya masih normal.
Kak Akiko mendecak kecil ketika ponselnya berbunyi, dengan sebal ia mengangkat teleponnya. "Ada apa?"
Perlahan Nagiko melihat perubahan wajah dokter wanita tersebut, Kak Akiko memasang wajah ngeri dan tegang bersamaan. Kemudian Perempuan yang lebih tua empat tahun dari keponakan bosnya itu termegap dan spontan menatap lurus Nagiko, membuat gadis yang lebih muda itu mengerjap bingung. Tapi setelahnya Kak Akiko memejamkan mata dan menghela berat. Nagiko mendengar kakak angkatnya berkata 'baiklah' dengan berat sebelum memutus sambungan teleponnya.
"Itu dari Kunikida," lapor Kak Akiko kemudian. "Jadi, Dazai berhasil bertemu dengan dalangnya dan mendapat informasi mengenai apa yang terjadi pada Pak Fukuzawa."
"Dazai-san? Apa yang dia dapat?" tanya Nagiko, setengah lega mendengar nama itu.
Kak Akiko menggenggam satu tangan bosnya sambil duduk di sebelah ranjang pria itu. "Luka yang di leher itu, memang dilakukan pelaku untuk memberikannya racun, pelakunya memang benar seorang Pengguna Kemampuan. Ada semacam virus bersemayam di tubuh Pak Fukuzawa saat ini, dan akan membunuh inangnya dalam 48 jam."
"Empat puluh—besok malam, kan?!" tanya Nagiko lagi, kaget.
"Ah, tapi, kalau Dazai-san telah bertemu inangnya, berarti dia seharusnya telah membatalkan kemampuannya, kan?" sahut Kenji-kun.
Dokter wanita itu menggeleng. "Sayangnya, orang yang menyerang Pak Fukuzawa, yang memberikannya racun, dan yang menjadi Dalang adalah tiga orang yang berbeda. Kemudian, ada yang lebih kacau lagi mengenai virus ini. Mereka memberikan virus ini bukan hanya kepada Pak Fukuzawa, tetapi juga kepada Bos Mafia."
"Eh? Dua bos organisasi?" gumam Junichiro.
Kak Akiko mengangguk. "Ini kacau sekali. Katanya, virus akan membunuh inang dalam 48 jam. Tapi, jika salah satu dari inangnya tewas, berarti inang yang satu lagi akan tetap hidup. Dengan kata lain, antara Pak Fukuzawa atau Mori sensei, salah satu harus meninggal agar yang satu bisa hidup."
Nagiko terduduk lesu, paham kenapa Kak Akiko menggenggam tangan bosnya dengan sangat erat. Pelaku kasus ini sepertinya memang ingin menghancurkan kedua organisasi tanpa mengotori tangannya secara langsung. Parahnya, saat ini masih sedang ada gencatan senjata antara Agensi Detektif Bersenjata dan Port Mafia. Tapi, demi melindungi pemimpin masing-masing, pasti bakal ada perang.
Kerutan di wajah Paman Yukichi jadi semakin nampak karena pria itu seperti sedang menahan sakit. Nagiko menggigit bibirnya dan merasa takut sendiri. Nyatanya, kedua orangtuanya yang tidak meringis sakit berjam-jam saja bisa meninggal juga karena kecelakaan, bagaimana dengan Paman Yukichi?
"Nagiko …," gumam Kak Akiko yang menatapnya dengan sedih. Dokter Wanita itu memutuskan untuk menghampiri gadis yang lebih muda itu, meremas pundaknya. "Ada hal lain yang Kunikida beritahu di telepon tadi."
"Selain tentang Paman hanya tinggal punya waktu sampai besok malam?"
Kak Akiko mengangguk pelan. "Dazai bertemu dengan Dalang dan mendapatkan informasi itu. Dia melaporkan semua yang diketahuinya dengan susah payah pada Kunikida dan Atsushi sembari dirinya dibawa ke rumah sakit."
Kedua mata Nagiko terbelalak. Tubuhnya mematung, rahangnya mengeras, lidahnya kelu. Ia ingin bertanya 'kenapa?', tapi suaranya tak mau keluar dan kepalanya menjadi pening.
"Nagiko … Dazai ditembak sniper setelah mendapatkan informasi itu," tutur Kak Akiko. "Ia dibawa ke rumah sakit terdekat untuk segera dioperasi."
Tangis Nagiko pecah.
.
.
Bersambung
.
.
