Malaikat dan Iblis
Summary
Shirley Earlgrey tidak tahan dengan sikap keluarganya dan berharap penderitaannya berakhir. Itu memang terjadi, tapi dengan cara yang lebih baik.
.
.
.
Disclaimer
Naruto dan MotoMusu dimiliki oleh pemiliknya masing-masing. Author hanya meminjam mereka demi kepentingan fanfic ini.
.
.
Genre
Utama: Romance
Selingan: -
.
.
Pairing
[Uzumaki Naruto x Shirley Earlgrey]
.
.
"Dasar menjijikkan! Kenapa juga aku harus melahirkan monster sepertimu!"
Monster.
Itulah panggilan yang sering diterima anak perempuan itu dari ibunya. Tidak hanya ibunya, banyak orang yang bertemu dengan anak perempuan itu terkadang memanggilnya dengan julukan serupa, baik terang-terangan maupun sebaliknya.
Seakan belum cukup, adiknya Alice, juga berbuat hal buruk kepadanya di setiap kesempatan, salah satu contohnya adalah mendorongnya jika mereka bertemu.
"Ah, lain kali aku pasti hati-hati saat berjalan, 'Onee-sama'."
Alice dengan arogan melewati kakaknya itu. Walau demikian, dia hanya tersenyum dan tidak mengatakan apapun, lalu pergi ke arah lain.
Pintu itu terbuka dari luar. Anak perempuan ini masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dari dalam.
"…"
Perlahan, air mata menetes dari matanya, dan dia duduk di lantai sambil menahan suara tangisannya. Jika ada alasan mengapa dia melakukan hal tersebut, itu karena kalau sampai orang tuanya mengetahui ini, mereka akan menghajarnya tanpa ampun.
'Siapa saja… aku mohon… tolong aku...'
Saat itu juga.
Shirley kecil menangis dalam diam.
.
.
.
Malam ini.
Keadaan mansion itu sepi karena sebagian besar penghuninya pergi ke pesta yang diadakan di kerajaan. Semua kecuali Shirley tentu saja.
"Kau adalah aib bagi klan kami, dan aib sepertimu tidak layak pergi ke istana, paham?!"
Begitulah kalimat terakhir keluarganya sebelum pergi.
Namun, Shirley merasa bersyukur, karena dengan kepergian mereka dia bisa menikmati kesendirian ini. Saat menghabiskan waktunya, Shirley lebih tertarik dengan sesuatu yang berbau pengetahuan, seperti membaca buku misalnya. Genre favorit anak perempuan itu adalah fantasi atau dongeng.
"Dan setelah melalui tantangan yang panjang, pangeran pada akhirnya berhasil menyelamatkan sang putri dari penyihir jahat, dan mereka hidup bahagia selamanya… tamat."
Shirley meletakkan buku di meja usai membacanya. Dia berseri-seri ketika mengamati halaman terakhir di buku.
"Enaknya jadi tuan putri di dongeng, kisah mereka selalu saja berakhir bahagia," gumam Shirley.
Shirley mengambil roti kering terakhir di piring.
Walau tindakan keluarganya buruk, untuk beberapa alasan, mereka masih memberikan makanan yang layak kepadanya. Namun setelah penderitaan yang dialaminya, Shirley berpikir mungkin itu mencegahnya agar tidak mati, dan mereka bisa menyiksanya lagi kalau dia tetap hidup.
Turun dari kursi, dia menyimpan buku di lemari, berbalik dan melihat seseorang duduk di jendela.
"Hai."
"Kyaaa!"
Shirley tergelincir jatuh. Melihat ke arah jendela, dia menyadari ada seorang anak laki-laki mungkin seumuran dengannya, mempunyai rambut pirang dan iris mata biru.
"S-Siapa kamu? N-Ngapain kamu kemari?" tanya Shirley.
Nada bicaranya ketakutan.
Anak itu terkejut.
"O-Oh maaf, kalau aku tidak menyapamu duluan, aku pikir itu gak sopan… tapi yang terjadi malah aku membuatmu ketakutan. Sekali lagi aku minta maaf," kata anak itu.
Shirley tidak bicara lalu mengamati keranjang di tangannya.
"…"
Anak lelaki itu meletakkan semacam keranjang buah di meja. Dia tersenyum.
"Aku memetiknya dari kebun kami, jadi masih segar kualitasnya. Kuharap kau suka."
Shirley merasa malu saat ini. Namun, di satu sisi, dia masih tidak nyaman menerima 'kebaikan' hati dari orang asing.
'Yah sudahlah … mau aku hidup atau tidak, aku sudah gak peduli lagi.'
Dengan pemikiran pesimis itu, Shirley mengambil buah apel, lalu menggigit sebagian dan mengunyahnya perlahan.
"Gimana? Rasanya enak?"
Shirley terkejut dengan rasa apelnya. Dia mengangguk antusias.
"Hehe, bagus kalau begitu, dattebayo."
Shirley terdiam sejenak.
"Um, makasih… dan, maaf," ujar Shirley.
Anak lelaki itu kebingungan.
"Kenapa kau minta maaf?"
"Karena kupikir… kau orang jahat."
Dia tercengang kemudian berpikir sebentar.
"O-Oh benar juga, aku belum memperkenalkan diriku padamu ya?"
Shirley mengangguk malu-malu.
"Err, ya, namaku…"
Dia berpikir sebentar.
"…Naruto, Naruto Pendragon."
Shirley menerima itu. Dia matanya melebar.
"B-Bentar, jangan bilang kau ini… Pangeran Naruto?!"
Naruto tertawa gugup.
"Yah… itu kenyataannya sih."
Pertemuan yang mengubah nasib seseorang terjadi detik itu juga.
Menjelang siang hari.
Kondisi ibukota di kerajaan ini damai dan tentram. Banyak penduduk berkeliaran di jalan sambil menjalani aktivitas mereka masing-masing. Beberapa di antaranya seperti berdagang, berkendara, dan masih ada lagi.
Namun, aktivitas semua orang terhenti saat melihat dua orang ini, tepatnya sepasang wanita dengan rambut pirang dan putih. Mereka mengenakan pakaian bangsawan dengan kecantikannya masing-masing.
"Selamat siang Shirley-sama, Lily-sama."
""Siang.""
"Kebetulan sekali, Lily-sama, silakan mampir dulu ke toko parfum kami. Kami ada diskon khusus untuk hari ini."
"E-Ehehehe, mungkin lain waktu saja, Rick-san."
"Shirley-sama, apa kau keberatan mencoba sample dari produk roti terbaru kami?"
"Fufu, itu bukan masalah... wah, ini enak."
"Haha, kami senang kalau kau menyukainya, Shirley-sama."
Keduanya adalah Shirley Earlgrey dan Lily Pendragon. Teman merangkap saudara ipar karena Shirley bertunangan dengan kakak Lily.
Saat ini, mereka ada rencana pergi ke sebuah tempat, dan itu terletak di wilayah komersial. Shirley dan Lily berbincang sambil berjalan melewati kerumunan.
"Shirley Nee-sama, kudengar kau menyelamatkan sebuah desa dari wabar penyakit seminggu lalu. Apa itu benar?" tanya Lily.
Shirley memahami pertanyaan Lily.
Seminggu lalu, tunangannya sedang ada urusan lain di kerajaan tetangga, maka dari itu Shirley menawarkan diri untuk menangani kasus ini. Raja dan Ratu awalnya tidak setuju mengirim calon menantu mereka. Namun, setelah melihat keseriusan di mata Shirley, mereka dengan berat hati membiarkannya pergi.
"Ya, sumbernya berasal dari penyihir yang juga mempunyai bidang di obat-obatan. Setelah kutelusuri lebih lanjut, dia sengaja menyebarkan wabah ke setiap desa agar para warga terus-menerus bergantung pada ramuannya supaya dapat sembuh," jelas Shirley.
Lily meringis.
"Aku memang pernah mendengar ada mantra semacam itu. Tapi aku yakin sekali kita membicarakan Dark Magic di sini."
Shirley tersenyum.
"Yang bisa kukatakan sekarang cuma satu; jauhi sihir yang seperti itu."
"Siaaap."
Tak lama kemudian. Bunyi aneh terdengar dari salah satu perut mereka.
"…"
"…"
"Mungkin ada baiknya kita cari makan dulu. Kebetulan aku juga masih lapar sama sepertimu," ujar Shirley.
Nada bicaranya terdengar humoris.
Lily mengangguk dan wajahnya menunduk. Muka gadis itu memerah karena menahan malu. Shirley tertawa saat melihat tingkah calon adik iparnya ini.
Keduanya memutuskan berkunjung ke sini. Shirley dan Lily menyadari sudah ada sejumlah petualang mengisi sebagian meja. Walau disebut penginapan, kenyataannya tempat ini juga menyatu dengan restoran, dan pengunjung yang datang bisa makan tanpa perlu menginap dulu.
Seorang wanita datang dari balik pintu dapur.
"Selamat datang… oh, Shirley-sama, Lily-sama, suatu kehormatan bisa bertemu kalian lagi," kata wanita itu.
Nada bicaranya terdengar gembira.
Lily berseri.
"Martha, gimana kabarmu?"
Martha adalah wanita yang dulunya pernah bekerja di kerajaan sebagai salah satu koki mereka. Namun, setelah jatuh cinta, dia memutuskan berhenti dan membuka usahanya sendiri bersama suaminya di ibukota.
"Kabarku baik-baik saja, Lily-sama. Nah pesanan biasa, kuharap?"
Shirley dan Lily mengangguk. Martha tersenyum lalu pergi ke dapur. Sementara itu, mereka berdua mengisi meja tertentu, dan tidak sengaja mendengar percakapan beberapa petualang.
"Hey, kau tahu gak keadaan di kerajaan sebelah sekarang?"
"Oh, kerajaan yang pemimpin dan istrinya itu mati secara misterius, bukan? Kenapa memangnya sekarang?"
"Kudengar semenjak putra mahkota Albert Ragdoll naik takhta, para bangsawan di sana mulai bertindak kurang ajar lagi, sama seperti di era sebelum revolusi."
Shirley mengeluarkan buku seni dan membaca dengan tenang. Lily menuangkan air dan minum. Walau demikian, kenyataannya mereka masih pasang telinga, dan mendengarkan dengan teliti.
"B-Bukan cuma itu saja, sahabat penaku yang tinggal di sana juga bilang pembayaran pajak semakin lama semakin tinggi, dan itu terjadi setelah yang mulia Albert menikahi seorang gadis bangsawan bernama Alice. Kira-kira beberapa tahun yang lalu."
Shirley terdiam.
'Jadi mereka kembali ke sana rupanya,' batin Shirley.
Delapan tahun lalu pada malam hari itu, Shirley bertemu dengan seseorang yang tidak hanya menunjukkan kebaikan kepadanya, tapi juga membawanya ke istana dan menjaganya dari tangan kejam keluarganya.
Tak hanya itu, saat pihak kerajaan memperhatikan kondisi Shirley setelah tinggal bersama, mereka menelusuri kediaman Klan Earlgrey dan menemukan banyak fakta mengejutkan. Usut punya usut, rupanya Earlgrey bukan bangsawan murni dari Kerajaan Camelot, tapi berasal dari kerajaan sebelah aka Kerajaan Mannequin.
Alasan mereka bisa berada di sini karena raja terdahulu, Regal Pendragon, merupakan seseorang yang korup dan tidak segan bekerja sama dengan bangsawan kerajaan lain demi kepentingan pribadi. Itu diteruskan pada beberapa generasi, dan baru berhenti ketika Edward Pendragon naik takhta, sekaligus menjadi raja baru.
Seolah belum cukup, mereka menemukan sejumlah bukti transaksi ilegal, beberapa di antaranya seperti dokumen penyelundupan organ manusia dan informasi pribadi negara. Namun, untuk beberapa alasan pihak kerajaan tak menemukan anggota keluarga Earlgrey di rumah mereka, hal ini seakan mereka telah menyadari kalau kejahatan mereka akan terungkap dan kabur saat itu juga.
Shirley tentu saja tidak ambil pusing dengan nasib keluarganya. Itu karena apa yang terjadi selama delapan tahun ini… membuatnya bahagia.
'Ah, entah kenapa aku jadi ingat momen itu lagi... fufu.'
Shirley tertawa kecil.
Lily penasaran.
"Nee-sama, kenapa kau tiba-tiba tertawa?" tanya Lily.
Shirley berkedip.
"O-Oh, enggak ada apa-apa, aku cuma... teringat wajah kaget Naruto, pas kubilang kalau kami sudah lama bertunangan."
Lily berkedip lalu tertawa geli.
"Habisnya pas Nii-sama membawamu ke istana, ayahanda dan ibunda berpikir kalau Nii-sama sudah memilih calon tunangannya. Makanya kami hanya diam dan setuju saja dengan kemauannya." Lily menambahkan. "Tapi aku lega pada akhirnya kalian saling mencintai."
Shirley hanya tersenyum.
"Tentu saja, dan jika ada yang berani memisahkan kami, bahkan dewa sekalipun akan kutebas dengan Igarima dan Shul Shagana… fufu, ufufufu~"
Hawa gelap aneh menguar darinya. Petualang di sekitar langsung tak sadarkan diri karenanya.
Lily tertawa gugup.
'Seram… tapi kalau dipikirkan lagi, ibunda gak jauh beda sih,' pikir Lily.
Martha datang dari balik pintu dapur. Dia membawa nampan ke meja keduanya.
"M-Maaf, Shirley-sama, Lily-sama, bahan makanan kami sempat habis jadi kubeli dulu tadi," ungkap Martha bersalah.
"Ah, itu enggak masalah bagi kami. Benarkan, Lily?" sahut Shirley.
"Itu benar sekali," tambah Lily.
Martha lega tapi menyadari pelanggan lain pingsan. Dia menyipitkan matanya ke arah Shirley.
"…"
Shirley tersenyum gugup.
"Jadi… apa ada yang bisa kubantu?"
Martha menghela nafas
"Aku terkesan pertemuan tadi itu berjalan lancar."
'Mengingat posisiku yang sekarang, seharusnya wajar aku menganggap serius tugasku, bukan?'
Naruto Uzumaki, atau yang sekarang dikenal sebagai Naruto Pendragon, berjalan melewati gerbang bersama pengawalnya. Keduanya terkadang disapa ksatria yang berjaga dan Naruto menyapa balik mereka.
Saat ini, dia berencana melapor ke sang raja terkait perkembangan hubungan dengan negeri tetangga, tentu saja berita yang dibawakan sudah pasti kabar baik.
"Um, Naruto-sama, minta izin untuk bicara sebentar?"
"Diterima. Ada masalah apa, Kyle?"
Kyle adalah salah satu kandidat ksatria dengan potensi bagus. Dia mendaftar sebagai ksatria dengan tujuan membalas budi atas kebaikan panti-asuhan (yang telah) membesarkannya hingga sekarang.
Namun, untuk sekarang dia berada dalam posisi pengawal, dan pengangkatannya akan dilakukan bertahap sampai dia layak menerima gelar ksatria.
"Sudah cukup lama aku pergi merantau, jadi pada cutiku nanti, aku berencana kembali ke kampung halamanku," ujar Kyle.
Mereka memasuki istana. Keduanya berjalan di lorong yang tampak sepi.
"Aku mengerti, nanti aku kasih tahu Lily soal ini," sahut Naruto.
Nada bicaranya usil.
Kyle gelagapan.
"T-Tunggu sebentar, jika sampai Lily-sama tahu ini, Yang Mulia pasti akan memenggal kepalaku nanti!"
Sudah bukan rahasia di antara mereka kalau Kyle mempunyai perasaan terhadap Lily. Itu karena saat pelatihan dulu, Kyle pernah diselamatkan oleh Lily dari serangan demon beast, dapat dibilang kalau ini merupakan cinta pada pandangan pertama.
Namun, masih ada dinding besar yang menghalangi keduanya, dan itu dibentuk dalam wujud Edward Pendragon.
Edward Pendragon adalah raja dengan keadilan tinggi dan tegas terhadap peraturan kerajaan. Namun, bagi mereka yang mengenalnya dengan baik menyadari kalau dibalik pemimpin ideal, terdapat monster seram… jika menyangkut urusan putrinya.
"Jangan khawatir. Soal alasan dan sejenisnya serahkan saja padaku. Asal kau janji, setelah dirasa cukup… hadapi ayahku, dan tunjukkan bahwa kau mampu membahagiakan Lily, paham?" kata Naruto.
Nada bicaranya terdengar serius.
"B-Baik!" seru Kyle.
"Bagus."
Kurama menyeringai.
"Kau cuma gak mau adikmu bertunangan dengan pangeran dari negeri lain, bukan?"
Naruto menahan senyumnya.
'Dan dari pertemuan yang sering kuhadiri, kebanyakan dari mereka antara tukang makan dengan tubuh gemuk, rakus harta, dan perlu kusebut ada pangeran dengan usia 40-an yang gemar cewek 30 tahun lebih muda darinya?'
Seringai Bijuu itu memudar.
"Oh… kau benar."
'Cuma hal kecil yang ada di realita dunia ini, Kurama, cuma hal kecil.'
Mereka berhenti tepat di depan pintu megah ini.
Kyle membungkuk dan pergi ke suatu arah, sedangkan Naruto, dia menghembuskan nafas lalu membuka pintu tersebut.
Satu hal yang ada dipikiran Naruto adalah ruang takhta sangat luas. Mungkin itu mengisyaratkan betapa besar tanggung jawab seorang pemimpin. Naruto juga memperhatikan aneka lukisan di setiap sudut dinding. Tidak hanya itu, terdapat juga vas bunga, pillar, dan tentu saja sejumlah kursi yang diletakkan sesuai posisi dan jabatan masing-masing. Anehnya, dia menyadari kursi penasehat dan kepala ksatria kosong, tapi dirinya mengabaikan hal itu karena mungkin mereka sedang ada urusan lain.
Naruto berhenti sejenak lalu berlutut di hadapan raja dan ratu. Sang raja mengangguk dan membuat isyarat.
"Berdiri lah, putraku."
Naruto menuruti permintaan ayahnya itu.
"Aku mendengar dari kabar burung perihal yang terjadi di Kerajaan Undertis. Kerja bagus," ujar Edward.
"Pada dasarnya Undertis adalah kerajaan laut, baik raja dan prajuritnya, mereka tidak terbiasa diserang di area yang bukan medan perang mereka. Aku mengusulkan serangan dengan penambahan sihir gravitasi, yang gak cuma membuat para naga kesulitan terbang, tapi juga memberikan kesempatan bagi Kerajaan Undertis untuk menyelesaikan urusannya," jelas Naruto.
Alicia Pendragon berseri.
"Berkat usahamu hubungan diplomatik kita terjaga dengan baik. Sebagai orang tuamu kami bangga padamu, Naruto."
Edward ikut tersenyum. Dia setuju dengan perkataan istrinya itu.
Naruto bangga mendengarnya.
Di kehidupan pertamanya, dia tidak pernah merasakan kasih sayang Minato dan Kushina karena keadaan khusus. Namun, di kehidupan keduanya ini, Naruto tidak hanya berkesempatan menjadi pemimpin, tapi juga menerima kasih sayang penuh dari Edward dan Alicia setiap harinya.
Maka dari itu, di usianya yang delapan tahun (di mana kepalanya terbentur batu, dan ingatannya kembali karena itu), Naruto berlatih keras mulai dari sihir(sebenarnya chakra, tapi kebanyakan orang menganggap yang dilakukannya tetap sihir), pengetahuan strategi-taktik, dan juga berpedang. Naruto juga memastikan untuk berkeliaran di sekitar wilayah kerajaan, menyapa rakyat, dan terkadang mendengarkan keluhan terkait banyak hal. Bahkan Naruto pernah mengirim klon dan melempar sejumlah kriminal (atau bangsawan kotor) ke sel tahanan usai menemukan bukti kejahatan mereka. Itu semua dilakukannya demi tanah kelahirannya ini.
"Jika ada hal yang kusuka dari kehidupan ini, yaitu kau yang masih bisa mengakses sistem chakramu."
'Kalau itu gak terjadi, mustahil kita bisa mengobrol sekarang, Kurama.'
Bijuu itu terkekeh.
"Heh, kau benar. Itu mengingatkanku, bukannya kau sudah ada janji dengan Shirley terkait baju pernikahan kalian?"
Keduanya mengamati perubahan ekspresi putra mereka.
"Putraku? Apa ada masalah?" tanya Edward.
"O-Oh, maaf ayahanda, tapi aku seharusnya pergi menemani Shirley memilih baju pernikahan kami sekarang," jawab Naruto.
Alicia tersenyum tipis.
"Kau bukannya lupa, cuma banyak kegiatan."
Naruto tertawa gugup.
"Y-Ya, ibunda benar. Kalau begitu aku pamit undur diri."
Edward dan Alicia mengangguk lalu melihat anak kebanggaan mereka itu pergi. Sekarang hanya ada mereka berdua di sini.
"Lihat? Sudah kubilang anak kesayangan kita itu perlu liburan, minimal seminggu tiga kali," ujar Alicia.
"Kau bilang begitu, tapi yang kulihat adalah seseorang yang sudah siap mengemban takdir sebagai raja," sela Edward.
Alicia menghela nafas.
"Dasar. Pindah ke topik lain, tampaknya ada bangsawan lain yang tertarik untuk menunangkan putra mereka dengan Lily."
Edward mengerutkan alis.
"Bukankah kita sudah menolak mereka? Kenapa berdatangan lagi?"
"Oh, baiklah, dengan Kyle kalau gitu." (Alicia).
"Apalagi dia!" (Edward).
"Dasar suami standar ganda! Kucubit juga kau!"
"Argghhh!"
Sang raja menjerit kesakitan.
"Masakan Martha-san memang gak ada duanya. Benarkan, Nee-sama?"
"Yup."
Setelah makan, mereka keluar dari penginapan, dan bergabung dengan kerumunan di jalan. Keduanya meneruskan perjalanan ke suatu tempat saat ini.
Lily mengerutkan alis.
"Tetap saja, aku penasaran gimana nasib kerajaan itu. Kudengar saat ini sedang terjadi perang internal di sana."
Shirley berkedip.
"Aku mungkin ketinggalan berita, tapi bukankah Kerajaan Mannequin masih punya sekutu yang seharusnya membantu mereka?"
"Soal itu… kudengar kabar jika Yang Mulia Albert sendiri yang memutus hubungan diplomatiknya, dan bahkan sampai ngeludah ke wajah utusan dari masing-masing kerajaan yang datang."
Wanita muda itu melongo.
'Bukankah sudah hal umum untuk menyambut baik orang-orang yang datang dengan tujuan membantu kerajaanmu? Tapi mengapa yang dilakukannya malah sebaliknya?'
Selama ini, Shirley memang sering mengikuti acara kerajaan karena statusnya, tapi entah mengapa dirinya tidak pernah melihat kehadiran keluarga Kerajaan Mannequin. Mungkin karena mereka punya masalah dengan anggota Kerajaan Camelot makanya tidak hadir? Namun, apapun alasannya, Shirley tidak terlalu tertarik sebetulnya.
Tak lama kemudian.
Keduanya melihat kerumunan di depan tampak mengitari seseorang.
"..y-ya, nanti pasti akan kuatur solusi dari masalah kalian. Pasti itu."
"Fuuh, makasih banyak, Naruto-sama."
"Terima kasih banyak, Pangeran Naruto."
"A-Ahaha, sama-sama."
Kerumunan ini terpisah ke arah berbeda. Orang ini menghela nafas dan menyadari kehadiran mereka.
"Oh, Shirley, Lily, aku baru saja mau menyusul kalian tadi," ujar Naruto.
Shirley berbinar matanya dan langsung memeluk pemuda itu. Naruto gelagapan dengan sikap tunangannya tersebut.
"B-Bentar, Shirley, ini masih di tempat umum, kau tahu."
Shirley mengangkat wajahnya sebelum tersenyum manis.
"Habisnya aku kangen sama kamu, Naruto," ujar Shirley.
Naruto memerah wajahnya.
"O-Oh, baiklah kalau begitu."
Shirley kali ini memeluk lengan Naruto. Lily teringat sesuatu dan angkat bicara.
"Uh, Nii-sama, aku baru ingat ada urusan lain, jadi… dah!"
Lily segera pergi meninggalkan mereka berdua. Namun, jika diperhatikan, ada semburat merah muda tipis di pipi gadis itu. Naruto dan Shirley melihat kepergiannya lalu tertawa kecil.
"Pasti menemui Kyle." (Shirley).
"Yah, dia juga dulu hampir mengorbankan nyawanya saat melindungi Lily dari vampir, jadi wajar mereka saling suka."
Keduanya berjalan lagi pada akhirnya. Tujuan mereka saat ini adalah sebuah toko.
Tak berselang lama.
Ketiganya memasuki toko baju ini. Sepasang wanita dan pria berpenampilan modis tersenyum lebar ketika melihat mereka.
"Akhirnya kalian datang juga, Naruto-sama, Shirley-sama. Kami sudah menyediakan beberapa pilihan khusus untuk pernikahan kalian nanti."
Sejumlah orang keluar dari ruang berbeda dan meletakkan beberapa patung di ruangan ini. Setiap patung dibalut gaun pengantin dan setelan dengan ciri khas berbeda.
Naruto tersenyum simpul.
"Kerja bagus, Suel."
Pria itu terkekeh.
"Pujianmu adalah kepuasan tersendiri bagiku. Nah, silakan dipilih, kami akan sabar menunggu."
Naruto dan Shirley mengangguk. Mereka berdua mengamati semua pakaian ini bersama-sama.
"Shirley, sudah ada yang menurutmu cocok?" tanya Naruto.
"Umm, sebenarnya semuanya bagus, jadi agak sulit juga buat milihnya," ungkap Shirley jujur.
"Nah, enggak perlu buru-buru juga, kita santai saja milihnya."
"O-Oh, baiklah."
Sementara Shirley sibuk memilih, Naruto hanya tersenyum saat mengamati tunangannya itu, dan teringat kenyataan kalau mereka sudah lama bertunangan.
Malam hari ini.
Naruto dan Shirley terlihat berkeliaran di sudut taman. Mereka menikmati waktu sambil berbincang.
"…dan saat kukalahkan kumpulan titan itu, entah kenapa banyak ksatria yang pingsan setelahnya," jelas Naruto.
"Mungkin karena mereka kaget dengan apa yang bisa dilakukan olehmu," ujar Shirley.
Sudah banyak waktu dilalui bersama, dan pada momen itu juga, keduanya menjadi dekat satu sama lain hingga mereka besar seperti sekarang. Namun, jika ada hal yang berubah ketika Naruto membawa Shirley ke istana, yaitu ayahnya tidak memaksanya untuk memilih calon tunangannya lagi. Dapat dikatakan Naruto bersyukur dengan hal tersebut.
"Bisa saja. Tapi aku keren, 'kan?"
"Fufu, begitulah."
Naruto menyengir. Kemudian, dia memperhatikan sesuatu, dan memegang lengan Shirley (yang tampak) merah di beberapa bagian.
"Shirley, apa kau… memaksakan dirimu lagi?"
"…"
Shirley perlahan mengangguk.
"Aku… banyak berlatih dalam berbagai bidang, agar bisa membuatmu senang suatu hari nanti, Naruto."
Naruto tersentuh mendengarnya.
Ironisnya, dia bisa melihat bayangan dirinya pada Shirley. Namun, tidak seperti Naruto yang berniat membuktikan kelayakannya pada seluruh orang dengan menjadi Hokage, Shirley murni melakukan itu semua deminya.
Dia.
Pria yang dicintainya.
"Aku sudah bilang ini berapa kali, tapi aku akan mengulanginya lagi; cewek ini sangat jatuh hati padamu, dan perasaannya gak akan pernah pudar, sampai kapanpun juga."
Naruto menemukan ironi dibalik perkataan partnernya itu.
'Kalau dipikirkan lagi… aku gak pernah memikirkan putri dari kerajaan lain, tidak saat Shirley berada di sisiku… benarkan, Kurama?'
Sudah bukan hal aneh bagi Naruto untuk bertemu dengan banyak orang dari negeri tetangga. Baik di pesta maupun acara kunjungan. Namun, saat bersama Shirley, Naruto merasa… nyaman.
"Heh, kau sadar juga akhirnya."
Naruto menyadari apa yang harus dilakukannya sekarang.
"Shirley, aku… ada hal yang ingin kubicarakan padamu, bisa kita duduk di sana?" ujar Naruto.
"Eh? O-Oh, baiklah," balas Shirley.
Mereka duduk di bangku taman. Keheningan menyelimuti suasana keduanya.
"…"
"…"
"Shirley," panggil Naruto.
"Y-Ya?" respon Shirley.
Nada bicaranya gugup.
"Aku… belum lama ini berpikir, tentang status hubungan kita… oleh sebab itu…"
Naruto mengenggam tangan Shirley. Ekspresi lelaki itu begitu serius.
"…Shirley, maukah kau bertunangan denganku?"
Shirley berkedip.
"Naruto-sama, bukan berarti aku menolakmu, tapi bukankah… kita memang bertunangan selama ini?"
"Huh?"
"M-Maksudku, ingat saat kau membawaku ke sini delapan tahun lalu? Alicia-sama-maaf, ibunda, sudah pernah bilang kepadaku kalau kita bertunangan, jadi aku diam saja dengan kebersamaan kita karena kupikir… kau sudah tahu hal ini."
"…"
Dia pingsan.
"Naruto? Eh? Ehhhh?!"
"…"
"Teringat kenangan memalukan?"
'Berisik, Kurama.'
Kurama terkekeh.
"Kuanggap itu sebagai iya."
Merasa diperhatikan, dia beralih ke samping, dan menyadari Naruto mengamatinya.
Shirley salah tingkah.
"N-Naruto, kenapa kau melihatku seperti itu?"
Naruto tersadar.
"E-Enggak, Shirley, aku gak bermaksud-maksudku, kau selalu saja cantik jadi…"
"O-Oh, Naruto juga selalu terlihat menarik bagiku…"
Mereka sama-sama merona saat ini. Demi menyembunykan rasa malu masing-masing, keduanya segera memilih pakaian pernikahan mereka, dan pada akhirnya pergi usai membayar.
Malam hari ini.
Banyak orang berkumpul di istana. Baik dari kalangan bangsawan, biasa, semuanya menyatu di kerumunan dan memberikan salam kepada pasangan yang baru menikah ini. Yaitu Naruto Pendragon dan Shirley Pendragon (nee Earlgrey).
"Hmm, rasanya menenangkan bisa ngeliat semua orang agak akur. Benarkan, Kyle?"
"Kau benar, Lily-sama. Kedamaian memang yang terbaik."
Lily dan Kyle berdiri berdampingan di antara kerumunan. Satu memakai gaun dan satunya lagi dengan setelan khusus. Mereka sesekali menyantap hidangan yang dibawakan para pelayan.
Lily berdeham.
"Jadi… lusa, benar?"
Kyle menyadari maksudnya.
"Y-Ya, itu hari cutiku, dan rencananya aku akan berangkat pagi-pagi sekali."
Gadis itu berseri dan mengangguk. Kyle memerah wajahnya ketika menyadari niat Lily.
Sementara itu, Shirley mengamati orang-orang ini, dan terhibur ketika melihat sesuatu.
"Aku liat ada beberapa kelompok petualang juga ikut hadir. Sepertinya karismamu mencapai berbagai kalangan, Naruto."
Naruto terkekeh.
"Singkatnya, harus ada seseorang yang jadi pemimpin figur bagi mereka, karena jika enggak, masalah eksternal akan sulit teratasi jika bagian dalamnya saja sudah terpecah belah."
Shirley mengecup pipi suaminya itu.
"Pintar."
Naruto menyengir.
Tak lama kemudian.
Mereka melihat Alicia dan Edward berjalan mendekat. Alicia tersenyum.
"Ara, kau tampak menawan dengan pakaian itu, Shirley," puji Alicia.
Shirley berseri.
"Aku senang kalau ibunda menyukainya," balas Shirley.
Naruto dan Edward berhadapan satu sama lain.
"Saat kau menggantikanku nanti, jangan pernah lupa kalau setiap perbuatan akan ada konsekuensinya," kata Edward.
"Pasti," ucap Naruto.
Edward puas.
"Dan juga, jaga adikmu baik-baik. Ingat itu."
Naruto (sweatdrop).
"Yah… baiklah."
Alicia tersenyum. Dia mengikat lengan Edward dengan tangannya.
"Kebetulan ada kenalan ibunda juga di sini, jadi… silakan nikmati waktu kalian."
Mereka pergi mendekati kelompok tertentu. Naruto beralih ke arah Shirley.
"Mungkin ada baiknya juga kita menyapa tamu yang lain. Gimana menurutmu?" tanya Naruto.
"Mmn, kurasa bukan ide buruk," balas Shirley.
Ia tersenyum. Naruto dan Shirley berkeliling lalu berbincang dengan tamu.
Kebahagiaan menyelimuti Kerajaan Camelot saat itu juga.
.
.
.
Kekacauan sedang terjadi di kerajaan ini. Banyak bangunan runtuh dan api berkobar di setiap penjuru wilayah.
Sementara di dalam istana, seorang raja maha agung Albert Ragdoll menggeram frustrasi di takhta-nya, di sampingnya duduk Alice Ragdoll, istri 'setia' yang tampak cemas dengan keadaan mereka.
"A-Albert-sama, apa para pemberontak itu berhasil ditumpaskan?" tanya Alice.
"Belum, Alice, tapi kau jangan cemas karena ini gak akan lama, aku janji padamu," sahut Albert.
Alice tersenyum.
"Aku juga berpikir sama sepertimu." Alice menambahkan. "Karena kenyataannya kau adalah pemimpin yang bijak, sedangkan mereka yang menentangmu cuma orang-orang bodoh yang buta dengan kebenarannya."
Albert tersentuh.
"Alice… terima kasih karena telah setia di sisiku."
"Fufu, itu bukan hal besar, suamiku, bukan hal besar."
Alice menengok ke arah lain, lalu dalam sekejap, ekspresi wajahnya berubah menjadi dengki.
'Cih, cepatlah selesaikan semua ini supaya aku bisa kembali nikmati kemewahan lagi, dasar raja gak guna.'
Namun, dalam pikiran wanita muda itu, terbesit dugaan lain.
'Shirley, yah setiap kesialan yang kualami ini pasti ulahnya, jika saja dia gak pernah terlahir, pasti aku berada di pelukan Naruto-sama sekarang,' batin Alice kesal.
Alice mengingat dengan baik kejadian delapan tahun lalu. Jika saja orang tuanya mendengarkan perkataan Alice dan membunuh Shirley selagi bisa, semua kejadian buruk ini pasti tak akan pernah terjadi kepadanya.
'Tapi dari yang kudengar ayah dan ibu mati karena ulah pemberontak, heh, itulah karma kalian karena gak pernah dengerin ucapanku.'
Pintu besar ini terbuka paksa. Seorang ksatria datang tergesa-gesa lalu berlutut.
"Y-Yang Mulia, hamba datang membawa kabar kalau pertahanan terakhir kami telah roboh. Para pemberontak akan segera tiba jadi silakan Yang Mulia dan Nyonya Ratu pergi ke--"
Kepala ksatria itu menggelinding di tanah.
Albert menyarungkan pedangnya.
"Dasar lemah! Mengurus orang-orang barbar itu saja gak becus!"
Alice membuang muka dari 'kekejaman' itu. Namun, jika diperhatikan, ada seringai mengembang di wajahnya.
Banyak orang tiba-tiba datang sambil membawa obor api.
"Itu mereka!"
"Bunuh! Bunuh para bajingan ini!"
"Pemimpin sialan! Bersiaplah menemui penciptamu!"
Alice menjerit sementara Albert menggeram.
"Dasar rakyat jelata! Aku raja kalian! Seharusnya kalian-"
Mereka tidak mendengarkan dan langsung menangkap Albert dan Alice. Beberapa orang menuangkan minyak dan menyalakan api pada mereka.
""ARRRRRRGGHHHHHHHHHHHHH!!""
Api melahap keduanya seketika.
END
A/N: Helllooo reader-san sekalian! Gimana one-shot kali ini? Menyenangkan? Membosankan? Letakkan komentar di tempat seharusnya :D
Tadinya author mau buat Naruto jadi saudaraan dengan Albert, tapi setelah melalui pemikiran ulang, jadinya yaa begini dah, lumayan ada Pendragon juga di universe ini mwehehe.
Dan saat mereka bertemu, baik Naruto dan Shirley berusia dua belas tahun, sedikit berbeda dari canon yang di mana Shirley berumur sebelas tahun pas ketemu si Aswbert (typo yg disengaja, bajingan itu karakter XD).
Huh, walau one-shot, author ngerasa ada yang kurang, nah sudahlah, lupakan saja wehehe
Btw, bagi kalian yang sudah baca nih fic jelas ada sedikit penyesuaian saat karakter Naruto diperkenalkan, seperti kehadiran Lily Pendragon (visual cek di Saber Lily FGO), latar belakang Klan Earlgrey, kekaisaran diganti dengan Kerajaan Mannequin, chara Phillia author hilangkan, dll.
Dan ya, author berani bilang kalau author masih belajar soal sistem kerajaan, jadi parah dah ini awkwk
Terakhir…
Sampai jumpa di one-shot berikutnya :D
{Racemoon: Sign out}
Fajar telah tiba.
Dua anak perempuan dengan penampilan mirip ibu mereka nampak melukis di bangku taman. Mereka adalah Sophie Pendragon dan Tio Pendragon.
"Selesai!" seru Sophie.
"Eeehh? Padahal aku baru mulai buat sketsa bangunannya," ujar Tio.
Sophie tersenyum bangga.
"Huhu, ciri-ciri orang pintar adalah mereka biasanya cepat kalau ngerjain apapun."
Tio menghela nafas.
"Iya deh, iya, aku ngaku kalah-eh? Kenapa lukisanmu hitam semua?"
"Aku buat langit malam. Masa kau gak tau?" (Sophie).
"Curang! Kalau itu doang mah aku bisa!" (Tio).
"Weee! Yang penting aku selesai duluan! Wee!" (Sophie).
Tio menyipitkan matanya. Dia turun dan tiba-tiba memegang sebuah pedang.
"Kalau gini caranya, kau gak kasih aku pilihan, Phi."
Sophie tidak mau kalah. Dia ikut turun lalu menarik sebuah pedang dari dimensi penyimpanan juga.
"Demi hak makan pancake sepuasnya… Tio, aku pasti akan mengalahkanmu."
Mereka menatap tajam satu sama lain. Sophie dan Tio seketika lenyap dalam blur emas. Secara bertahap banyak tanaman terpotong, retakan di tanah, dan aneka kerusakan lainnya di taman luas ini.
Sementara dari kejauhan, Naruto yang baru menyelesaikan urusannya, bersama Shirley mengamati pertarungan unik anak mereka.
"Suamiku, apa menurutmu kita harus membiarkan mereka terus seperti ini?"
"Nikmati pertunjukan saja, Shirley, nikmati pertunjukan."
"Mmn, baiklah."
Mereka tertawa saat keduanya jatuh ke lumpur.
