BoBoiBoy © Monsta

Keping Kisah Asmaradana © Roux Marlet

The author gained no material profit from this work of fiction.

Alternate Universe, Historical, Romance

#Octoberabble Day 2: Bliss

Bab 2: Prasannata

.

.

.

.

.

Yogyakarta, 1915.

.

Sejujurnya, Gusti Raden Mas Taufan Ramadhan Angkasadjaja menyangka bahwa yang namanya kebahagiaan itu belum pernah ada penemunya di abad ke-20. Ibarat suatu ciptaan baru, invensi; temuan oleh manusia, namun belum ada yang cukup bijak atau cukup pandai untuk menemukannya.

Sejak kecil tumbuh tanpa sosok seorang ibu, dididik dengan keras oleh ayah dan kakeknya, dilarang main ini-itu, 'dipaksa' bersekolah ke seberang lautan demi ekspektasi sebagai ahli waris takhta … semua sudah Taufan jalani dan dia tidak merasa bahagia dengan itu.

Namun, tak perlu jauh-jauh mencari ke negara seberang: karena Taufan akhirnya menemukan kebahagiaan ketika bertemu Yaya. Ajeng Anindya Candramaya, putri tunggal almarhum Laksamana Tarung, pemilik pertanian Delanggu, Klaten. Taufan tidak pernah tahu perasaan bagai bunga-bunga bermekaran di dalam dadanya, gelora api asmara yang menerbitkan senyum paling tulus di wajah kecokelatan terbakar matahari itu, yang juga senantiasa penuh seringaian dan cengiran oleh karena keceriaan yang lekat di jati diri.

Taufan mengira dirinya tidak bisa lebih bahagia lagi ketika Yaya bilang bahwa gadis itu pun mencintainya. Rasanya sudah seperti bahagia di tingkat tertinggi ketika akad pernikahan mereka berlangsung dengan sederhana di pendapa pertanian itu.

"Saya terima nikahnya, Ajeng Anindya Candramaya binti Muhammad Tarung bin Malik, dengan mas kawin seperangkat gamelan kuningan, dibayar tunai."

Sahutan-sahutan yang terdengar kemudian, menerbangkan Taufan menuju awan-gemawan. Dia tak pernah berhenti tersenyum sepanjang persiapan dan perjalanan memboyong sang istri ke Istana Mangkunegara. Semua rasa bahagia telah menghapus segala keletihan dan sedikit dukacita, karena seorang anggota keluarga tersayang baru saja berpulang di hari yang sama.

"Yaya," bisik Taufan malam itu. Perempuan itu menatapnya balik, lekat-lekat, jarak mereka makin terkikis. "Aku akan selalu membuatmu bahagia."

Balasan Yaya adalah senyum indah yang semakin bersinar.

"Aku juga, Taufan." Yaya tiba-tiba berdeham dan menatap Taufan penuh arti. "Atau, aku harus memanggilmu Mas Taufan? Atau, Gusti Raden Mas Taufan?"

Taufan terkekeh pelan, dia suka selera humor Yaya yang nyambung dengan dirinya. Panggilan yang pertama masuk akal karena Taufan empat tahun lebih tua dibanding Yaya, sedangkan panggilan yang kedua tentunya berkaitan dengan gelar jabatannya sekarang.

"Terlalu panjang. Keburu kucium duluan."

.

Lagi, Taufan mengira bahwa bahagianya sudah di level tertinggi dan tak ada lagi yang bisa melampauinya.

"Aku mau."

"Ha?" Taufan bengong.

"Aku mau punya banyak anak denganmu," seloroh Yaya sambil menggenggam tangan Taufan. "Bersiaplah. Kalau sudah jadi ayah nanti, pecicilannya dikurangi, ya."

Ada yang lebih tinggi daripada bahagia sampai ke langit?

.

Rupanya ada.

Hari itu, diselenggarakan upacara mitoni di Istana Mangkunegara. Yaya adalah bintang acara beserta sang janin berusia tujuh bulan dalam kandungannya. Siraman untuk menyucikan lahir-batin telah disusul prosesi berganti pakaian tujuh motif kain batik.

Rasanya kebahagiaan Taufan tak ada batasnya. Tak ada habisnya.

Dan, untuk segala kebahagiaan itu, Taufan tak lupa untuk senantiasa bersyukur pada Tuhannya.

.

.

.

.

.

Catatan Penulis:

Judul bab ini adalah bahasa Sanskerta yang artinya sama dengan prompt XD /nggakkreatif

Bab ini terinspirasi dari dua lagu: Wherever You Are (ONE OK ROCK, 2010) dan Congratulations (Cliff Richard, 1968)

Terima kasih sudah membaca!

[2 Oktober 2023]