Disclaimer: Ace of Diamond by Terajima Yuji


Lone Wolf

Relationships are weak spots

A lone wolf is dangerous because it has no pack

Nothing to protect and nothing to lose

.

TOKYO, 1945

Berkas dibanting dengan kuat sampai kotak pensil jatuh dari meja kayu. Miyuki Kazuya menghembuskan napas gusar. Inspektur kepolisian Tokyo itu menyandarkan tubuhnya di punggung kursi sambil melepas kacamatanya. Ruangan tertutup itu sudah bau asap rokok dan jendela sama sekali tidak dibuka. Okumura Koushuu hanya menatap atasannya yang uring-uringan.

"Dengan begini, kasusnya bertambah menjadi 3 orang," kata Okumura.

Miyuki mengambil rokoknya dan menghisapnya. Dia menghembuskannya dan menambah aroma rokok di dalam ruangan itu. "Beritahu aku kalau kau menemukan sesuatu yang berguna," katanya.

"Sampai saat ini tim kami masih berusaha mengumpulkan bukti-bukti," jawab Okumura.

"Sudah melakukan autopsi?" tanya Miyuki.

"Korban terakhir sedang di bawa tim forensik untuk melakukan autopsi," jawab Okumura.

Miyuki mengusap wajahnya. "Lanjutkan investigasimu," titahnya, "pembunuh itu harus tertangkap!"

Okumura membungkuk hormat sebelum keluar dari ruangan atasannya. Dia kembali menutup pintu ruangan Miyuki dari luar dan bernapas lega karena akhirnya tidak lagi terpapar nikotin di dalam ruangan itu.

"Aku bisa mendengar bentakannya dari luar sini," kata Seto Takuma, rekan kerja Okumura.

"Begitulah," kata Okumura. "Aku akan kembali ke TKP untuk memeriksa bukti-bukti yang terlewat." Lalu, Okumura berjalan ke luar dari Kantor Polisi.

Jalanan Tokyo sedang ramai dan sibuk. Para perempuan memakai kimono atau pun gaun berjalan-jalan santai di sepanjang jalan. Mobil, sepeda, saling melintas di jalan utama. Para pengantar koran berhenti di setiap gedung untuk menaruh koran. Para Geisha berada di sudut-sudut jalan, berdiri sambil bermain mata dengan para pemuda.

Perang baru saja berakhir. Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan itu membuat semua penderitaan ini berakhir. Karena perang juga sudah berakhir, aura rakyat juga berubah. Sudah tidak perlu lagi para wanita, lansia, dan anak-anak diungsikan ke daerah, karena takut bom jatuh sewaktu-waktu.

Namun, meskipun perang berakhir, bukan berarti masalah selesai sampai di sini. Kriminalitas di dalam negeri semakin banyak, setiap harinya. Tugas kepolisian semakin pusing karena kasus-kasus yang terus masuk, termasuk kasus pembunuhan yang sedang ditangani oleh Okumura saat ini.

"Pak Detektif," sapa seorang polisi ketika Okumura sampai di TKP. Semua orang yang tidak berkepentingan sudah di usir untuk menjauh dari TKP dan mayat korban sudah dipindahkan, sehingga yang tersisa hanya jejak darahnya saja dan barang-barang di TKP.

"Kalian bertemu bukti lain?" tanya Okumura.

"Lapor! Tidak ada bukti tambahan yang ditemukan."

Okumura menghela napas jengkel. Sebenarnya dia sama frustasinya dengan atasannya, tetapi Miyuki jelas lebih bisa marah-marah daripada Okumura.

Kasus ini pertama kali dimulai 2 bulan yang lalu, karena adanya penemuan mayat seorang wanita penghibur tergeletak di lorong sempit dengan tubuh bersimbah darah. Motifnya bukan pemerkosaan, bukan juga perampokan. Wanita itu dibunuh begitu saja dan tidak ada tanda-tanda adanya kekerasan.

Lalu, kasus kedua 1 bulan yang lalu, seorang wanita penghibur juga, di tusuk hingga mati dengan tubuh bersimbah darah. Tidak ada tanda-tanda pemerkosaan dan juga perampokan. Dan terakhir, kasus ketiga, terjadi 1 hari yang lalu dan semuanya masih segar. Sekarang, mayat akan di identifikasi oleh tim forensik.

"Semuanya wanita penghibur," kata salah satu polisi yang bertugas. "Apa mangsanya memang hanya wanita penghibur?"

Okumura menghembuskan napasnya. "Untuk saat ini. Aku juga belum bisa menemukan pola target korban selain semuanya wanita penghibur. Meski begitu, kita tidak bisa membiarkan pembunuh itu lepas."

Polisi itu mengangguk. Dia kembali memberi hormat dan pergi meninggalkan Okumura. Detektif muda itu menatap sekelilingnya. Tempat pembunuhan itu berada di distrik merah Tokyo, dekat kedai minum. Dengan kata lain, memang rumah para Geisha dan juga wanita penghibur. Kalau memang ingin membunuh para wanita penghibur, jelas ini adalah danau dengan ikan terbanyak.

Namun, kenapa?

Kenapa harus wanita penghibur? Apakah karena pekerjaan mereka? Atau karena ada yang mendendam pada wanita penghibur? Mungkin itu juga masuk akal, karena kadang wanita penghibur tidak jarang menipu para lelaki yang datang dan memeras uang mereka banyak sekali. Banyak juga yang menjadi bangkrut karena hal itu. Namun, dari keterangan forensik, tidak ada tanda-tanda dendam.

Okumura mengadahkan kepalanya, menatap langit Tokyo yang sudah tenang, sejak perang berakhir. Kasusnya buntu.

.

Miyuki Kazuya melangkah menuju kedai minum setelah satu hari yang stress berakhir dia lalui. Pintu kedai dibuka oleh dua orang pelayan. Miyuki masuk dan berjalan ke dalam kedai minum. Kedai minum sedang ramai-ramainya. Semua pria yang baru pulang kerja, mampir ke kedai minum dan para Geisha menemani mereka sambil ikut berbincang-bincang. Miyuki menyusuri seluruh ruangan dan tatapannya jatuh pada seseorang di ujung ruangan.

Miyuki melangkah menuju orang tersebut. Orang itu hanya sendiri, tidak ada teman minum dan tidak ada Geisha yang menemaninya. Kepalanya jatuh ke atas meja kayu dan dua botol sake kosong terguling di atas meja. Secara kasat mata, orang itu tampak mabuk. Miyuki duduk di depan orang itu dan melambai pada seorang pelayan.

"Satu botol sake," katanya. Pelayan itu mengangguk. Miyuki kembali menatap orang yang sedang mabuk di depannya. Orang itu memakai yukata. Penampilannya berbeda dengan Miyuki yang berpenampilan rapi, selayaknya pegawai pemerintahan. Miyuki bahkan bisa mendengar orang itu mendengkur, sampai kakinya ditendang oleh Miyuki agar bangun.

Orang itu tersentak dan kepalanya terangkat. Wajahnya perpaduan antara mabuk dan tidur. Iris sewarna coklat emas itu menatap Miyuki. "Pak Inspektur," katanya sambil menguap. Lalu, dia kembali tidur.

"Jangan tidur lagi," kata Miyuki. Dia menendang kaki orang itu lagi.

"Berhenti menendang kakiku," katanya, "sepatumu itu bisa membuat tulangku patah."

"Berhentilah jadi pengangguran kalau begitu," kata Miyuki. "Sudah berapa banyak hutangmu?"

Orang itu mendengus. "Aku bukan pengangguran, sial," katanya, "aku juga sedang bekerja."

"Berjudi? Itu bukan bekerja."

Seorang pelayan datang membawa sake pesanan Miyuki. Orang itu menatap si pelayan. "Aku juga mau sake," katanya.

Pelayan kedai itu mendengus. "Bayar dulu botol-botol sake dari dua minggu yang lalu, baru kau akan mendapat sake baru, Sawamura-san!" katanya pedas.

Sawamura, orang itu, mendengus. "Begitu sikapmu pada pelanggan?" tanyanya.

Kakinya ditendang oleh Miyuki lagi. "Lain kali, seret saja dia keluar dari kedai ini," kata Miyuki pada si pelayan. Pelayan itu hanya mendengus dan pergi meninggalkan mereka berdua.

Miyuki menuang sake ke cawannya, dan ketika Sawamura ingin mengambil botol sake Miyuki, tangannya ditepis. "Aku butuh bantuanmu."

"Kau ingin aku melakukan apa? Tidak banyak yang bisa kukerjakan," kata Sawamura.

"Aku butuh Sawamura Eijun untuk membantuku," kata Miyuki lagi, lebih jelas dan menekan.

Sawamura hanya mengangkat bahunya. "Yang mana? Yang pergi berperang? Yang mabuk? Aku tidak mau membantumu."

Miyuki menghembuskan napasnya. Menghadapi Sawamura Eijun yang ini memang butuh kesabaran. Dia tidak bisa membanting berkas ataupun menghajar rekannya di medan perang dulu.

"Ada pembunuhan berantai 2 bulan ini," kata Miyuki, "detektifku sedang menyelidikinya, tapi dia menemukan jalan buntu. Aku butuh bantuanmu untuk membantunya menemukan pelaku."

Sawamura menopang dagunya bosan. Dia menatap Miyuki. "Aku tidak tertarik kembali ke militer ataupun ke pemerintahan. Masa baktiku berakhir dan aku sekarang terbuang menjadi seorang penjudi," katanya.

"Itu karena kau tidak bisa melepaskan ingatan perangmu," kata Miyuki. "Zaman telah berubah, Sawamura. Kita sudah hidup aman."

Sawamura tertawa serak. "Dan sekarang Pak Inspektur datang memohon padaku untuk membantunya memecahkan kasus pembunuhan berantai. Tidak terlalu aman, eh?"

Miyuki menatapnya lurus. Dia mengenal Sawamura Eijun ketika masa perang. Saat itu, mereka berdua bertemu ketika menjadi tentara yang dikirim ke Port Moresby tahun 1942. Serangan Jepang gagal dan menewaskan banyak tentara. Kejadian itu berbekas sekali di ingatan Miyuki dan dia yakin Sawamura sama traumanya dengannya. Namun, Sawamura tidak mampu mengatasi masalah itu.

"Aku tidak akan mengomentari cara hidupmu, atau betapa banyaknya hutangmu," kata Miyuki, "aku hanya ingin kau membantu bawahanku saja. Pembunuhan ini harus berhenti."

Sawamura menatap rekannya. Miyuki Kazuya adalah temannya di area perang. Mereka ditugaskan bersama-sama, terluka bersama, melihat tubuh tentara yang lain hancur lebur karena bom atau bolong-bolong karena rentetan senjata. Mereka memiliki luka yang sama dan trauma yang sama juga. Namun, Miyuki tidak membiarkan ketakutannya mengendalikan dirinya.

Setelah perang berakhir, Miyuki mengambil posisi Inspektur di Kepolisian Tokyo, sementara Sawamura berhenti untuk berurusan dengan kemiliteran ataupun pemerintah. Apa yang diberikan oleh pemerintah pada Sawamura? Hanya trauma dan mimpi buruk.

"Aku tidak yakin otakku masih bisa berfungsi dengan baik," kata Sawamura sambil mengetuk-ngetuk kepalanya.

Miyuki mendengus. "Otakmu justru akan semangat," katanya, "daripada kau hanya berjudi saja."

Sawamura mendengus. Dia mengadahkan tangannya ke arah Miyuki. "Apa?" tanya Miyuki.

"Bagi rokok."

Miyuki menatapnya sinis sebelum memberikan satu batang rokok pada Sawamura. Malam hari itu, kedua teman lama saling minum dan merokok bersama. Teman satu penderitaan dan teman perangnya.

.

Hari baru bukan berarti masalah selesai begitu saja. Sakit kepala Okumura semakin menjadi-jadi dengan datangnya hari baru. Laporan forensik tidak jauh berbeda dengan kedua korban sebelumnya. Apa itu hal yang bagus? Tidak juga.

Okumura baru saja dipanggil ke ruangan Miyuki dan asap rokok semakin kuat hari itu. Di dalam ruangannya, seorang laki-laki duduk dengan mengangkat satu kaki ke kursi dan merokok dengan santai bersama dengan atasannya.

Lelaki itu memakai yukata berwarna hijau tua. Dia memiliki rambut coklat tanah dan badannya tegap. Mereka berdua melihat ke arah Okumura ketika detektif itu masuk. Ketika lelaki itu menoleh, irisnya terang, seperti emas yang tertimpa sinar matahari. Namun, tatapan matanya seperti orang mati.

"Okumura, aku ingin memperkenalkanmu dengan seseorang," kata Miyuki. Dia bangkit dari kursinya dan memberi kode pada tamunya juga untuk berdiri. "Ini Sawamura Eijun, dia akan membantumu menyelesaikan kasus itu."

Okumura menatap bergantian antara Miyuki dan orang yang bernama Sawamura. Dari penampilannya saja, Okumura bisa tahu bahwa Sawamura Eijun adalah seorang pemabuk. Kantung matanya hitam, dan di sekeliling dagunya banyak rambut-rambut halus yang belum di cukur.

"Ini Okumura Koushuu, detektif yang menangani kasus pembunuhan berantai itu," kata Miyuki.

Sawamura mengangkat tangannya. "Halo," katanya. Okumura menunduk singkat. Dia beralih pada Miyuki dan mengabaikan Sawamura.

"Laporan forensik sudah keluar," kata Okumura, "tidak ada perbedaan antara ketiga korban."

Miyuki mengangguk. "Kau diskusikanlah dengan Sawamura," katanya. Sawamura menatap temannya yang sudah akan lepas tanggung jawab begitu saja. "Lapor padaku kalau pelakunya sudah tertangkap."

"Tidak bertanggungjawab," kata Sawamura sambil geleng-geleng kepala. Dia bangkit dari kursinya dan ternyata dia setinggi Miyuki. Okumura jadi merasa kecil disebelahnya. Namun, dia tidak mengatakan apapun.

"Ya sudah," kata Sawamura, "aku mau lihat TKP dulu." Lalu, dia membuka pintu ruangan Miyuki dan pergi dari sana. Dia tidak menunggu Okumura. Sementara, detektif itu masih di dalam ruangan Miyuki dan menatap atasannya.

"Maaf jika saya lancang, tapi siapa dia?" tanya Okumura.

"Aku sudah memberitahu bukan?" Miyuki kembali duduk di bangkunya, "dia orang yang akan membantumu memecahkan kasus ini."

Okumura tidak terlihat puas sama sekali. "Saya akan memecahkan kasus ini sendirian. Kepolisian sudah punya bukti. Kami tinggal mencari daftar tersangka," kata Okumura.

"Dan kalian belum memberikan hasil padaku," kata Miyuki. Dia menaruh rokoknya di asbak dan menatap Okumura. "Sekilas dia memang tidak meyakinkan, tapi dia memiliki kemampuan yang kalian butuhkan."

"Saya merasa cukup untuk menangani kasus ini," kata Okumura. Dia masih tidak mau mengalah begitu saja. Rasanya tidak adil kalau dikalahkan begitu saja oleh pemabuk.

Miyuki menghela napas. "Jangan terlalu menolaknya dulu," kata Miyuki, "kau lihat sendiri Sawamura dan nilailah dia sendiri."

Okumura masih menatap atasannya dengan tatapan protes. Dia masih tidak bisa menerima jawaban Miyuki yang seolah meremehkan kinerjanya. Apalagi dia disuruh bekerja sama dengan orang yang tidak jelas asal-usulnya itu.

"Apa dia juga anggota kepolisian?" tanya Okumura.

"Mantan tentara, sepertiku," kata Miyuki, "jadi aku sudah kenal baik dengannya. Aku tahu kemampuannya."

Jika Sawamura adalah mantan tentara, maka dia juga merupakan tentara perang, seperti Miyuki Kazuya. Biasanya, mantan tentara perang dialihfungsikan sebagai pegawai pemerintahan, seperti Miyuki. Namun, memang tidak sedikit juga yang memilih pensiun dan tidak mau terlibat lagi dengan pemerintahan. Banyak yang menyimpan luka dan trauma dan itu tidak bisa disembuhkan dalam waktu sehari dua hari, bahkan bertahun-tahun sekalipun.

Akhirnya, Okumura keluar dari ruangan Miyuki dan menuju TKP. Ternyata, di sana Sawamura sedang melihat-lihat sambil melipat tangannya di dada.

Seto Takuma menghampiri Okumura. "Kau tahu pria di sana? Dia tidak mau pergi dan mengabaikan polisi. Haruskah kutangkap?" tanyanya.

Okumura menggeleng. "Tidak perlu, dia bersama denganku," kata Okumura.

Seto memberinya pandangan bingung. "Siapa?"

"Kenalan Miyuki-san," kata Okumura, "dia akan membantuku membereskan kasus ini."

Seto melihat ke arah Okumura dan juga orang asing bernama Sawamura. "Apa Miyuki-san tidak percaya denganmu?" tanyanya hati-hati.

Ekspresi Okumura mengeruh. "Entahlah," katanya, "aku tidak memikirkan hal itu dulu. Sekarang menangkap pelaku adalah yang paling utama."

Dia berjalan menghampiri Sawamura. "Apa yang Anda temukan, Sawamura-san?" tanya Okumura dengan formal.

Sawamura hanya meliriknya singkat. "Tidak perlu terlalu formal. Meskipun aku teman bosmu, tapi aku bukan atasanmu."

Okumura tidak menjawab. "Bagaimana menurut Anda, kasus ini?" tanya Okumura lagi, mengabaikan pernyataan Sawamura.

"Korbannya wanita penghibur, ditusuk satu kali di tengah dada, tidak ada tanda-tanda kekerasan," kata Sawamura sambil mengusap dagunya. Dia menatap Okumura, "apa ada keterkaitan antara ketiga korban?" tanya Sawamura.

Okumura mengeluarkan buku catatan kecilnya, tempat dia mencatat semua hal penting selama penyelidikan. Dari mulai interogasi, benda-benda di TKP, dan lain-lain. "Usia korban berkisar 20-25 tahun, semuanya bekerja di rumah pelacuran yang sama, sisanya tidak ada kesamaan lagi."

Sawamura tampak berpikir. Kedua alisnya menekuk dan ekspresinya serius. "Begitu ya," gumamnya, "Apa kepolisian sudah punya daftar tersangka?" tanya Sawamura lagi.

Okumura menggeleng. "Sulit menentukan tersangka. Terlalu banyak motif untuk dijadikan alasan pembunuhan."

Sawamura mengetuk-ngetuk dagunya dan kemudian dia menguap. "Apa kau punya rokok?" tanyanya.

Okumura menggeleng. "Saya tidak merokok."

Sawamura menatapnya seolah tidak percaya. "Ternyata masih ada lelaki yang tidak merokok di Jepang ini," katanya. Sawamura telah merokok sejak usianya 17 tahun, ketika dia ikut wajib militer di tengah pecahnya Perang Dunia Kedua. Semua senior dan tentara di kamp pelatihan merokok, jadi tidak mungkin jika Sawamura tidak merokok. Apalagi, rokok memang bisa menenangkannya sebelum pertempuran.

Sawamura telah dikirim ke banyak tempat, kalah perang berkali-kali, dirawat seadanya oleh dokter tentara, dan kemudian di kirim berperang lagi. Begitu terus siklus hidup Sawamura selama dia menjadi tentara. Di tengah siklus hidup bagai jembatan gantung, Sawamura berusaha bertahan hidup. Jika dia tersandung, maka dia akan mati. Rokoklah yang membantunya memenangkan tubuhnya sebelum ke medan perang dan juga mengurangi mimpi buruknya.

"Aku mau membeli rokok," kata Sawamura. Dia berjalan menjauhi TKP. Okumura mengikutinya dari belakang.

"Apa Anda menemukan sesuatu?" tanya Okumura.

Sawamura berhenti dan dia menatap Okumura. Tatapan itu tidak bisa dilupakan oleh Okumura karena ekspresi Sawamura yang tersenyum mengejek dengan wajah malas benar-benar membuatnya kesal dan ingin menikam jantungnya hingga mati. "Kalau polisi saja tidak bisa menyimpulkan hal sederhana, kalian tidak akan pernah bisa menemukan pelakunya."

Lalu, dia melambai dan hilang di ujung jalan, meninggalkan Okumura yang menahan kesal sampai ke ubun-ubun.

.

"Kau bisa bilang pada Miyuki-san kalau kau tidak cocok dengannya," saran Seto ketika malam di kedai minum. Seto menuang sake di cawan milik Okumura dan dirinya sendiri.

"Baru satu hari, tidak mungkin aku mengatakan hal itu pada Miyuki-san," kata Okumura sambil meneguk sake-nya. Rasa manis dan panas menjalar ke seluruh kerongkongannya. Dia menaruh cawan itu lagi.

"Kalau begitu, kau harus bertahan," kata Seto, "tapi, apa dia sudah punya gagasan sendiri mengenai pelaku?" tanya Seto.

"Dia hanya bertanya hal dasar dan kemudian pergi begitu saja," kata Okumura, kesal sekali jika mengingat kejadian waktu itu.

"Dan dia meledekmu?" tebak Seto.

Okumura memalingkan wajahnya. Dia sama sekali tidak mau membahasnya. Wajah Sawamura yang seolah mengejeknya semakin membuatnya kesal dan akhirnya dia mengambil botol sake dan menuangnya kali ke cawannya hingga penuh dan langsung diminum dalam dua teguk.

Suasana kedai semakin lama semakin ramai. Para Geisha hilir mudik sambil menggaet para lelaki, pegawai pemerintahan ataupun pembisnis. Lelaki yang ber-yukata ataupun berjas seperti orang barat.

Botol sake sudah habis, tapi Seto memesan satu botol lagi. "Besok masih harus bekerja," kata Okumura mengingatkan.

"Hanya satu botol lagi saja," kata Seto, "tidak akan membuat mabuk."

Okumura menghela napas. "Aku mau ke toilet sebentar," kata Okumura. Seto mengangguk dan Okumura bangkit dari kursinya. Dia memang bilang ingin ke toilet, tetapi dia tidak ke toilet. Dia hanya pusing karena kedai semakin ramai dan aroma alcohol mengudara bersama dengan aroma rokok.

Okumura ingin menghirup udara segar dan berjalan ke pintu belakang kedai, tempat taman di desain dengan indah. Di taman itu, banyak para lelaki yang sibuk berbincang-bincang sambil tertawa-tawa. Lalu, di sudut taman, ada satu kerumuman besar dan tampak seru. Tanpa sadar, Okumura melangkah ke arah kerumuman itu.

Rupanya, kerumunan itu ada karena ada beberapa orang yang sedang berjudi. Semua sibuk mengamati alur perjudian. Yang berjudi ada 6 orang lelaki.

"Dia pasti kalah," kata orang di sebelah Okumura.

"Dia memang selalu kalah."

Okumura mendekat untuk melihat lebih jelas, dan seorang wajah yang familiar terlihat di antara 6 orang yang sedang berjudi. Sawamura Eijun sedang memegang kartu ditangannya dan rokok di mulutnya. Ekspresinya datar dan tenang, meskipun Okumura yakin itu hanya kedok saja.

"Sawamura-san?" panggil Okumura tanpa sadar. Sawamura mengangkat kepalanya dari kartu dan tatapan mereka berdua bertemu. Sawamura tampak kaget melihat Okumura di tempat judinya. Rokoknya terjatuh dari mulutnya dan mengenai yukata-nya.

"Panas! Panas!" kata Sawamura sambil refleks berdiri dan menepuk yukata-nya yang terkena rokok dan abunya.

Kelima orang meletakkan kartu di atas meja sambil menatap Sawamura. Sawamura yang melihatnya tampak tidak senang. Dia meludah dan melempar kartunya kasar ke atas meja.

"Dia kalah lagi."

"Kau memang Rajanya Kalah."

"Itu bukan pujian di telingaku," gerutu Sawamura.

"Satu ronde saja?" tanya seorang laki-laki yang berjudi bersamanya tadi. "Biasanya kau pantang pulang sebelum mabuk dan bangkrut."

"Aku sudah bangkrut," kata Sawamura. Dia bangkit dari kursinya dan berjalan menjauh dari meja judi dan menghampiri Okumura.

"Kau mau menangkap kami, Pak Detektif?" tanya Sawamura. Sawamura berbau alcohol dan rokok.

"Itu pekerjaanmu sehari-hari? Berjudi?" tanya Okumura, lebih sengit dari biasanya.

Sawamura mengangkat bahunya. "Hiburan," katanya santai, "tidak perlu terlalu serius juga hidup ini."

Okumura merasa semakin kesal saja. Sawamura benar-benar mendalami kehidupannya sebagai seorang pemabuk dan Okumura selalu berusaha sebisa mungkin agar kehidupannya berguna. Dan, kini dia harus bekerja sama dengan orang yang bahkan tidak berusaha hidup dengan benar?

Dia berjalan mendahului Sawamura. "Akan saya tangkap pelaku itu sendirian. Kepolisian tidak membutuhkan bantuan dari penjudi rendahan," katanya dingin dan kasar. Dia lalu berjalan keluar dari kedai minum itu. Seto menatapnya bingung dan bertanya-tanya, apa yang menyebabkan suasana hati Okumura tiba-tiba berubah.

.

Ketika Okumura sampai di kantor polisi, Sawamura sudah bersandar di dinding gerbang sambil merokok. Dia memakai yukata hijau tua yang warnanya sudah usang. Okumura menulikan semua indranya dan berjalan cepat-cepat agar tidak bertemu dengan Sawamura.

"Selamat pagi Pak Detektif," sapa Sawamura. Dia membuang rokoknya dan menginjak putungnya hingga tidak ada percikan api yang tersisa. Sampah putung itu lalu dia tendang-tendang dengan kakinya hingga masuk ke dalam selokan depan kantor polisi.

"Dilarang buang sampah sembarangan," kata Okumura dingin, "Anda bisa kena denda."

"Hanya satu putung rokok tidak akan menyebabkan Tokyo kebanjiran," kata Sawamura. "Penebangan besar-besaran yang bisa menyebabkan banjir."

Okumura mengabaikan kalimat itu. "Apa yang Anda lakukan di sini? Saya sibuk dan kepolisian juga sibuk. Banyak kasus yang harus kami tangani."

Sawamura mendengus. "Aku tidak tahu kenapa kau tiba-tiba bersikap dingin seperti ini padaku," kata Sawamura, "tapi kita punya kasus yang harus diselesaikan, bukan?"

Okumura menahan dirinya untuk tidak lebih kesal. "Polisi akan menyelesaikan kasus itu tidak lama lagi. Kontribusi Anda tidak dibutuhkan. Selamat pagi," kata Okumura. Dia berjalan untuk memasuki wilayah kepolisian.

Namun, kata-kata yang diucapkan Sawamura membuatnya menghentikan langkah.

"Aku habis menyusuri TKP lagi," kata Sawamura, "dan mewawancarai orang-orang di sekitar rumah pelacuran."

Okumura menatap Sawamura. "Kalian, para polisi, masih belum menetapkan daftar tersangka kan? Aku bisa memberikan daftar tersangka itu pada kalian."

Okumura mengeratkan genggamannya pada tas kerjanya. Apa Sawamura sedang mempermainkannya sekarang?

"Apa kata-kata Anda bisa dipertanggungjawabkan?" tanya Okumura tajam.

Sawamura menghela napas. "Kau kaku dan formal seperti biasa ya," gumamnya. "Tentu saja bisa. Kau pikir aku mau menghabiskan pagiku yang berharga kalau bukan untuk bertemu denganmu?" tanyanya.

Okumura menimbang. Awalnya dia ingin menolak, tetapi, jika kasus ini tidak kunjung selesai, maka Miyuki juga akan semakin sering marah-marah dan itu bukan hal yang bagus juga. Akhirnya, dia menatap Sawamura. "Saya mendengarkan."

Sawamura memberinya isyarat untuk mendekatinya. "Temani aku melihat-lihat pohon Sakura."

.

"Jadi, informasi apa yang Anda punya untuk menetapkan daftar tersangka?" tanya Okumura. Mereka berdiri di tepi jembatan. Okumura menatap ke arah aliran sungai yang jernih dan tenang, sementara Sawamura merokok sambil duduk di pagar jembatan. Dia menatap bunga-bunga Sakura yang sudah mulai berkuncup dan siap mekar beberapa minggu lagi. Para tukang koran menggowes sepeda mereka dan para wanita bangsawan berjalan-jalan dengan kimono yang cantik.

Para Geisha juga banyak yang berjalan dengan lelaki berjas maupun yang memakai pakaian adat Jepang. Mobil-mobil pejabat pemerintah kadang melintas di jalan. Angin musim semi berhembus, tetapi pembunuhan berantai membuat Okumura tidak bisa menikmati udara sejuk ini.

"Akan aku mulai dari awal," kata Sawamura. "Dari laporan forensik, ditemukan bahwa korban ditikam satu kali tepat di bagian dadanya, dan tidak ada tanda-tanda kekerasan. Lalu, korban juga berusia muda dan berasal dari satu rumah pelacuran."

"Tidak ada tanda-tanda kekerasan seksual maupun fisik juga," tambah Okumura.

"Benar, dengan begini, kita bisa menyimpulkan bahwa pelakunya bukan orang asing," kata Sawamura.

Okumura menatapnya. "Bukan orang asing?" ulangnya.

Sawamura mengangguk. "Kalau tidak ditemukan tanda-tanda paksaan atau kekerasan, artinya korban mendatangi si pelaku atas keinginannya sendiri. Dia tidak dipaksa."

"Berarti pelakunya kenal dengan para korban," kata Okumura.

"Itu satu," kata Sawamura.

"Kalau hanya seperti itu, cangkupan pencarian masih terlalu luas," ujar Okumura.

"Berarti kita harus mempersempit pencarian lagi." Sawamura mendongak menatap langit tak berawan. "Pelakunya harus kenal dekat dengan korban, sehingga saat dia ingin membunuh mereka, tidak ada satu orangpun yang curiga."

"Bisa jadi para pelanggan setia," kata Okumura.

"Itu dua."

"Tapi para pelanggan biasanya dari kalangan pekerja hingga bangsawan. Kalau pembunuhnya adalah bangsawan, mereka sudah tidak tersentuh lagi," kata Okumura.

"Bukan bangsawan," kata Sawamura. "Memang ada kemungkinan pelakunya seorang bangsawan, tetapi dalam kasus ini hanya sekitar 2% saja."

Okumura menatap Sawamura dari samping. "Kenapa begitu?"

"Hanya orang bodoh yang mau mengambil risiko seperti itu," kata Sawamura. "Perang baru saja berakhir, pemerintahan juga sedang masa-masa krisis dan belum stabil. Kalau seorang bangsawan membunuh terang-terangan seperti itu, politik bisa kacau balau. Tidak ada yang mau melakukan hal seperti itu."

"Bisa jadi dia menyuruh orang," kata Okumura.

Sawamura tertawa. "Iya, itu bisa juga jadi kemungkinan. Namun, kalau memang kasusnya seperti itu, kita hanya bisa menangkap si pesuruh dan memenjarakannya. Kasus di tutup. Si bangsawan tidak akan tersentuh hukum."

"Berarti, pelaku merupakan pelanggan yang cukup sering sampai para korban kenal," gumam Okumura pada dirinya sendiri. "Aku harus mulai menanyakan para wanita lainnya."

"Tidak perlu," kata Sawamura, "aku sudah melakukannya."

Okumura menatapnya. "Kau apa?"

"Aku sudah ke rumah pelacuran tadi pagi dan sudah menanyai banyak orang di sana." Sawamura mengambil satu lembar kertas dari dalam yukata-nya. "Dan aku juga sudah menyaring para daftar tersangka hingga mengerucut menjadi hitungan jari."

Sawamura menyerahkan kertas itu kepada Okumura. Okumura menerimanya dan membaca. Ada 5 nama tertera di dalam kertas itu, semuanya tulisan Sawamura.

"Tulisan Anda jelek," kata Okumura spontan. Lalu, dia sadar bahwa dia mengatakan hal itu keras-keras.

Sawamura berdecak kesal. "Aku jarang menulis! Berterima kasih sedikit akan lebih baik daripada mengomentari tulisanku!" katanya kesal. Okumura memperhatikan matanya menyipit seperti mata kucing ketika sedang kesal. Entah mengapa, Okumura tahu bahwa Sawamura tidak benar-benar kesal ketika Okumura mengejek tulisannya.

Okumura membaca 5 nama tersebut. Yamamoto Atsushi, Tanaka Hiro, Saito Fudo, Hasegawa Kenzo, dan Matsuda Morio.

"Semua ini pelanggan?" tanya Okumura.

"Hasegawa Kenzo adalah seorang penjaga keamanan rumah pelacuran," kata Sawamura. "Yah, aku belum sempat bertemu kelima orang itu, karena seharian hanya bertanya-tanya pada orang-orang sekitar saja."

Okumura kembali melayangkan tatapannya pada Sawamura. Mantan tentara itu masih menikmati pohon-pohon Sakura yang tumbuh dengan besar di pinggir jalan. Kondisi Tokyo sejak perang berakhir menjadi semakin hidup dan ekonomi mulai berjalan. Tidak perlu lagi masyarakat takut karena bom sewaktu-waktu jatuh dan meluluhlantakkan kota. Kejadian Nagasaki dan Hiroshima sangat berbekas di hati negara ini dan para korbannya pun tidak sepenuhnya pulih sempurna.

Perang begitu memakan banyak korban, begitu banyak menghabiskan dana negara dan membuat seluruh negara terus-menerus berada dalam duka. Para anak lelaki dipaksa wajib militer dan dikirim untuk tugas-tugas pengepungan, hanya untuk kembali dalam bentuk tubuh hancur dan nama saja. Semudah itu menyia-nyiakan nyawa dalam sebuah perang untuk tanah yang bukan benda hidup.

Sawamura tidak tampak seusia Miyuki, rokok dan alcohol merenggut usianya lebih cepat dari seharusnya. Kulitnya kering dan pecah-pecah. Kantung matanya tebal dan hitam. Yukata-nya selalu punya lipatan di sekitar lutut, yang artinya Sawamura menghabiskan waktu berjam-jam duduk untuk berjudi. Posisi tangan Sawamura dalam posisi yang aneh, seperti dia sedang berpangku pada sesuatu.

"Saya bisa menginterogasi mereka," kata Okumura. Dia menatap Sawamura, "terima kasih untuk informasinya."

Mendengar Okumura berterima kasih membuat Sawamura mengerjapkan matanya berulang kali. Dia memasang wajah seolah dia salah dengar mengenai kata-kata yang diucapkan oleh Okumura. "Wow," kata Sawamura, "ternyata kau bisa berterima kasih juga." Dia berdecak kagum. Bagi Okumura, itu tampak seperti sindiran.

"Saya masih punya tatakrama," katanya. Dia melipat kertas itu dan dimasukkan ke dalam satu celananya. "Saya duluan, Sawamura-san." Lalu, dia pergi dari jembatan itu sendirian, meninggalkan Sawamura yang masih berdiri sambil bersandar.

Sawamura mendengus melihat punggung Okumura yang semakin lama terlihat semakin kecil. "Dasar dingin," katanya pada dirinya sendiri. "Tapi, memang jangan terlalu peduli juga denganku."

Sawamura akhirnya berjalan meninggalkan jembatan tersebut. Dia sedang memikirkan, baiknya berjudi dimana lagi dan bagaimana caranya dia bisa minum sake tanpa harus membayar.

.

Yang diinterogasi pertama oleh Okumura Koushuu adalah Hasegawa Kenzo. Alasan logisnya, karena dia adalah penjaga rumah pelacuran dan paling mudah juga dilacak keberadaannya.

Namanya Hasegawa Kenzo, usianya 55 tahun, berasal dari Hokkaido dan sudah menjadi penjaga rumah pelacuran selama 5 tahun terakhir. Sebelumnya adalah petani dan karena perang, dia dipaksa ikut wajib militer dan setelah pulang dari perang, dia menetap di Tokyo karena tidak punya uang untuk pulang.

"Siapa yang tidak kenal mereka bertiga?" retorik Hasegawa, "mereka oiran yang cukup terkenal di daerah ini!"

"Cukup terkenal?" ulang Okumura.

Hasegawa mengangguk. "Mereka muda dan cantik. Pelanggan mereka juga biasanya dari kalangan bangsawan. Tarif mereka cukup mahal, ngomong-ngomong."

"Dimana Anda saat malam ketiga pembunuhan ketiga?" tanya Okumura.

"Aku biasanya main judi," kata Hasegawa, "kalau Pak Polisi tidak percaya, orang-orang bisa membuktikannya, karena hampir setiap hari aku di sana."

"Apa Anda tahu kenapa mereka bertiga bisa dibunuh?" tanya Okumura lagi.

Hasegawa mengangkat bahunya. "Mereka cantik dan pelanggan mereka bangsawan. Siapa yang tidak mau membunuh mereka? Bunuh yang paling bersinar supaya yang lain bisa bersinar."

"Tapi kenapa harus mereka bertiga?" tanya Okumura lagi.

Hasegawa menghela napas kasar. "Mana saya tahu Pak Polisi! Saya bukan cenayang!" bentaknya di akhir. "Saya harus kembali lagi ke tugas saya!" katanya sebelum meninggalkan Okumura sendirian. Bahkan, Okumura belum sempat bertanya apapun lagi.

"Terima kasih atas kerjasamanya," katanya pada punggung yang mulai menjauh.

"Tetap sopan meskipun sudah dibentak-bentak ya."

Okumura menoleh pada sumber suara dan Sawamura Eijun berdiri tak jauh darinya sambil mengapit satu batang rokok di antara bibirnya.

"Sawamura-san," kata Okumura, "sedang apa di sini?"

Sawamura melangkah mendekatinya. "Ini distrik merah, kau tahu. Tentu saja aku di sini untuk berjudi."

Seharusnya Okumura tidak menanyakan apapun lagi. Ketika Sawamura sudah cukup dekat, Okumura bisa mencium aroma sake yang menyengat. "Ini masih siang dan Anda sudah mabuk?" tanyanya dengan nada mencela.

"Seperti biasa, kau tidak berusaha menyembunyikan ketidaksukaanmu padaku," kata Sawamura. Okumura mengabaikan sindirannya. "Sudah ada kemajuan?" tanya Sawamura.

Okumura menghela napas. "Saya baru mewawancarai Hasegawa Kenzo," katanya, "dan alibinya kuat."

"Oh ya?" tanya Sawamura.

"Dia selalu berada di tempat-tempat judi," kata Okumura, "dan kita bisa bertanya untuk memastikannya."

Sawamura mendengus malas. "Aku kenal tempat ini lebih baik daripada kau. Setiap tapak di daerah ini adalah tempat judi dan pelacuran. Buang waktu dan tidak penting. Lagipula, kalaupun dia di tempat judi, itu tetap bukan alasan."

"Apa maksudnya?"

"Bisa saja dia keluar sebentar dan membunuh korban dan kembali lagi."

Okumura menyetujuinya. Meskipun Sawamura berbau alcohol, kalimatnya masuk akal.

"Saya akan mewawancarai tersangka yang lain lagi," kata Okumura. "Permisi," katanya pada Sawamura. Dia kembali berjalan, tetapi lengannya ditahan oleh Sawamura.

"Apa ada lagi?" tanyanya. "Banyak yang harus saya kerjakan," tambahnya.

"Mau makan siang bersama?" tawar Sawamura, dia mengabaikan kalimat dingin Okumura. "Kau belum makan kan? Setelah itu, kita bisa cari tersangka yang lain."

"Saya tidak punya waktu," kata Okumura. "Saya sedang bekerja."

Sawamura melepaskan genggamannya. "Kau dingin sekali," katanya, "aku kan hanya menawari saja."

"Permisi," kata Okumura lagi dan dia berjalan menjauh. Kali ini Sawamura tidak menghentikannya.

"Kalau ini medan perang, dia pasti mati pertama," kata Sawamura sambil menggaruk belakang kepalanya. Lagipula, kenapa dia tiba-tiba ingin mengajak Okumura? Padahal dia tahu seperti apa Okumura padanya. Mungkin karena Sawamura merasa lucu saja dengan sikap permusuhan tidak jelas yang Okumura berikan padanya, apalagi polisi itu sama sekali tidak berusaha menyembunyikannya. Sawamura sudah merasakannya sejak dia diperkenalkan dengan Miyuki.

Sawamura menyeringai. Dia punya bahan obrolan menarik untuk kawannya jika mereka minum-minum bersama lagi.

.

"Bagaimana? Apakah ada kemajuan?" tanya Miyuki Kazuya.

"Kami sudah menetapkan daftar tersangka," jawab Okumura, "semuanya ada lima orang."

Miyuki mengangguk. Setidaknya sekarang sudah ada langkah maju, bukannya jalan di tempat. "Lalu, apa lagi yang kalian temukan?"

"Kami baru bisa menginterogasi para tersangka," kata Okumura, "tapi belum mendapatkan bukti yang penting."

Miyuki bersandar di punggung kursi. "Jadi, bagaimana?" tanyanya.

Okumura menatap atasannya bingung. "Bagaimana apanya?" tanya Okumura.

"Sawamura," kata Miyuki, "dia lumayan berguna kan?' retoriknya.

Okumura tidak langsung menjawab. Sawamura Eijun adalah tukang mabuk dan penjudi yang jelas-jelas hidupnya tidak berguna. Namun, 5 tersangka itu juga berkat Sawamura. Okumura tidak tahu bagaimana cara Sawamura bekerja hingga bisa menghasilkan 5 tersangka, tetapi bukti kerja Sawamura nyata dan itu jelas membantunya.

"Apa dia memang selalu seperti itu?" tanya Okumura. Miyuki menatapnya bingung. "Mabuk, minum sake di siang hari. Apa dulu dia juga seperti itu?" tanya Okumura.

Miyuki kembali mengingat-ingat masa baktinya ketika menjadi tentara perang dahulu. Jika senior mereka di kamp tentara menawari dan memaksa mereka minum, mereka tidak bisa menolak, karena pasti akan dihajar sampai babak belur. "Mungkin efek senioritas," kata Miyuki.

Okumura tidak menangkap maksud atasannya, tetapi dia tidak bertanya lebih jauh. Miyuki menangkap raut wajah Okumura yang masih tampak tidak puas dan keberatan. Dia menghela napas. "Mungkin Sawamura memang sedikit menyebalkan dan brengsek," kata Miyuki, "tapi jika dia sudah diberi tugas, dia pasti akan melakukannya dengan sungguh-sungguh."

Okumura ingin membantah, karena Sawamura tidak tampak seperti itu. "Dia hanya tidak bisa menghapus memori perangnya," kata Miyuki, "dia bukan orang jahat."

"Saya tahu," jawab Okumura. Sawamura memang tidak jahat, dia juga tidak mengatakan bahwa Sawamura jahat.

"Tapi kau sepertinya terganggu dengan sikapnya," kata Miyuki. Okumura diam lagi. Atasannya mengatakan hal yang menusuknya, tetapi dia tidak membenarkan perkataannya. Dia bersikap professional.

"Saya akan bekerja sama dengan Sawamura-san sampai kasus ini selesai," kata Okumura, "saya pasti akan menemukan pelakunya," ujarnya penuh determinasi.

Miyuki mendengus. "Kau mengucapkannya seperti pidato saja." Dia menatap keluar jendela kerjanya, ke arah langit Tokyo yang damai dan tenang. Dia kembali menatap Okumura. "Lanjutkan investigasimu. Laporkan jika ada sesuatu yang berguna."

Okumura menunduk hormat. "Baik!" Lalu, dia keluar dari ruangan Miyuki.

.

Miyuki Kazuya sedang menikmati sake ditemani dango di sebuah kedai kecil saat Sawamura Eijun datang dan langsung duduk di sebelahnya.

"Apa tidak masalah Pak Inspektur minum sake di sore hari?" tanya Sawamura sambil melambai ke arah seorang pelayan perempuan. "Aku juga mau sake dan dango," katanya pada si pelayan.

"Aku hanya membayar untuk pesananku saja," kata Miyuki sambil memakan camilan manis itu.

"Aku tidak minta dibayarin," kata Sawamura. Sawamura melepaskan sandalnya dan duduk bersila di atas bamboo yang dijadikan tempat duduk sekaligus meja tempat menaruh sake dan dango.

"Menang banyak, hari ini?" tebak Miyuki sambil menyeringai.

Sawamura mendengus. "Jangan remehkan insting berjudi milik Sawamura Eijun," katanya sombong.

"Katanya, jika yang selalu kalah berjudi mendadak menang banyak, akan ada musibah," ejek Miyuki.

Sawamura menatap temannya kesal. "Brengsek kau Miyuki Kazuya!"

Miyuki hanya tertawa menanggapinya. Seorang pelayan datang membawa satu botol sake, cawan dan satu piring kecil yang berisi 3 tusuk dango. Lalu, pelayan itu kembali melayani pelanggan yang lain.

"Bagaimana detektifku?" tanya Miyuki.

Mendengar pertanyaan Miyuki, Sawamura tidak bisa tidak tersenyum. Dia memang ingin menceritakan mengenai detektif muda itu. "Dia tidak berusaha menutupi kalau dia tidak menyukaiku," kata Sawamura sambil mengambil tusukan dango yang pertama. Rasanya manis dan kenyal. Makanan manis memang enak.

Miyuki ikut terkekeh. "Dia memang seperti itu," katanya, "tidak bisa menyembunyikan auranya dengan baik." Miyuki menuang sake ke cawannya. "Terlepas dari itu, bagaimana menurutmu?"

Sawamura mengunyah dango-nya. "Ambisius dan tampak gila kerja," kata Sawamura. "Seperti anak muda pada umumnya."

"Sok bijak," decih Miyuki.

"Kau mau kucolok dengan tusuk dango?" tanya Sawamura kesal. "Muda dan ambisius, memang seperti itu harusnya hidup," kata Sawamura, tampak ke dirinya sendiri.

Miyuki memperhatikan rekannya. Sawamura juga dulu seperti itu, muda dan ambisius. Rasa penasarannya tinggi dan dia banyak belajar berbagai macam hal. Medan perang adalah guru yang kejam dan dingin, tetapi guru pengalaman yang dapat membuat orang belajar selamanya.

"Mengingatkanmu saat kau ditugaskan sebagai mata-mata?" tanya Miyuki.

Sawamura mendengus. "Itu beda cerita," kata Sawamura.

"Ya, aku masih ingat ekspresimu yang bodoh itu," kata Miyuki.

Sawamura hanya tertawa hambar. Rasanya sudah terlalu lama, tetapi masih terasa dekat bagi Sawamura.

"Okumura bilang kalian belum mendapatkan bukti," kata Miyuki.

Sawamura mendengus. "Aku saja belum menebar umpan," katanya. Dia menatap Miyuki, "kau harus sabar kalau ingin memancing."

"Cara bicaramu sok keren sekali," kata Miyuki.

Sawamura mendengus. "Bukan hanya kau yang bisa jadi keren."

Miyuki mendengus. "Jadi aku keren?"

Sawamura mengeluarkan suara seperti muntah. "Menjijikan."

"Sawamura," panggil Miyuki, "apa kau tidak mau bekerja untuk kepolisian?" tanyanya.

Pertanyaan Miyuki Kazuya tidak begitu mengejutkan untuk Sawamura, dan dia juga bukannya tidak tahu bahwa Miyuki mungkin bertanya hal seperti itu. Itu bukan pertanyaan pertama yang diajukan. Jauh sebelum mereka menghabiskan waktu di sore hari itu, setelah perang berakhir, Miyuki pernah menanyakan hal yang sama.

Sawamura ingat hari itu, mereka baru saja kembali ke Jepang, Sawamura satu ruangan dengan para tentara yang sudah cacat, kehilangan tangan, kaki, kehilangan penglihatan, kehilangan pendengaran, dan bersama juga dengan jasad teman-teman mereka. Tidak ada yang bersuara. Tidak ada yang bersorak senang karena akhirnya mereka pulang ke tanah air. Aura kesedihan, ketakutan, dan trauma terasa begitu berat. Sawamura masih bisa mendeskripsikannya dengan baik dan jelas.

Beberapa minggu setelah mereka sampai di Jepang, kalah dan hancur, Miyuki Kazuya mendatangi temannya. Dia mengatakan bahwa dia direkrut untuk bekerja di kepolisian Tokyo. "Ikutlah bekerja di kepolisian," kata Miyuki saat itu.

Saat itu Sawamura hanya mendengus dan menggeleng. "Sudah cukup aku mengorbankan hidupku untuk negara ini." Dan dia membanting pintu itu tepat di depan muka Miyuki.

"Apa kepolisian sudah menurunkan standar mereka? Sampai kau merekrutku?" tanya Sawamura. Dia menuang sake ke dalam cawan dan meneguknya.

"Penawaran ini tidak datang untuk sembarang orang."

"Kalau begitu, jangan menawarkannya pada sembarang orang."

Miyuki menatap Sawamura Eijun. Sawamura menatap datar ke jalanan yang ramai dan sibuk. Matanya tidak berfokus pada satu titik, dia hanya melihat apa yang terlintas di depan matanya. Miyuki Kazuya dari dulu paling suka melihat bola mata milik Sawamura. Irisnya bersinar dan berkilat. Namun, setelah perang, iris itu tampak mati, meskipun tetap bersinar. Bersinar dalam pandangan kosong.

"Kau bukan sembarang orang," kata Miyuki.

Sawamura menatap temannya seolah dia menatap hal paling mustahil di dunia ini. "Kau tidak pernah menyerah ya?" dengusnya.

"Kau tidak akan menghabiskan hidupmu untuk mabuk dan judi," kata Miyuki, "kau bisa mati muda nanti."

"Aku tidak keberatan," kata Sawamura, "terima kasih pada perang."

"Kau seperti serigala yang kehilangan betinanya," kata Miyuki Kazuya. "Siap depresi sampai mati."

"Aku tidak punya serigala betina," kata Sawamura, "dan aku juga tidak berniat untuk mencari." Sawamura menggaruk kepalanya dan kembali memakan dango keduanya.

Sawamura Eijun juga tidak bisa menjanjikan apapun jika dia punya pasangan. Dia hanya mantan tentara yang menyedihkan, hidup miskin dan kerjanya hanya mabuk-mabukan dan berjudi sepanjang harinya. Kalau wanita waras, tidak akan memilih Sawamura Eijun sebagai pasangannya. Hidup sendiri jauh lebih baik.

"Aku tidak tertarik di kepolisian," kata Sawamura, "tapi aku akan menyelesaikan kasus ini."

"Kata-katamu semakin membuatku ingin memasukkanmu ke dalam kepolisian."

Sawamura mendengus. "Kau hanya ingin naik pangkat saja," katanya. Miyuki menyeringai. "Dasar serakah."

"Kalau kau di divisiku, aku bisa angkat kaki santai dan membuatmu menyelesaikan semua kasus. Sangat menguntungkan," kata Miyuki.

"Dan Miyuki Kazuya si brengsek sudah kembali lagi." Sawamura tepuk tangan secara tidak niat sebanyak dua kali.

Hening melanda tak lama setelahnya. Mereka berdua hanya menikmati suara-suara ramai di kota Tokyo yang terasa sangat bising. Namun, Sawamura Eijun tahu apa bising yang sesungguhnya. Suara bom, suara pesawat tempur, rentetan senapan, dan teriakan pilu teman-teman seperjuangannya, itulah bising yang sesungguhnya.

"Dunia ini sudah damai," kata Miyuki, "setidaknya, kau harus menanamkan konsep itu, supaya bisa melangkah maju."

Sawamura tidak menjawab. Dia bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia ingin melangkah maju.

.

Siang itu Sawamura Eijun tidak berbau sake ataupun rokok, dan tanpa sadar Okumura menghela napas lega. Mereka berdua pergi menemui tim forensik untuk menanyakan ulang dan melihat tubuh dari korban terakhir.

Tubuh korban sudah pucat dan membiru, serta tubuhnya telanjang. Jahitan memanjang di badannya, menunjukkan bahwa tim forensik sudah menyelidiki hingga organ dalam.

"Apa ada sperma ditemukan?" tanya Sawamura.

"Tidak ada," jawab dokter forensik.

Sawamura menatap keseluruhan dari tubuh pasien. Sebuah luka tusuk sudah berwarna merah hitam tepat di atas jantungnya. Hanya satu dan fatal. Sawamura melihat lebih ke bawah, ke bagian perut, tidak ada satu tanda memar ataupun kekerasan, hanya ada lebam mayat saja. Ke daerah kemaluan, tidak ada tanda-tanda lecet akibat kekerasan seksual. Lalu, Sawamura turun ke daerah ekstremitas bawah. Kakinya tanpa lecet dan memar, sampai ketika pergelangan kaki kanan, mata Sawamura berhenti.

"Apa ada sesuatu?" tanya Okumura ketika melihat Sawamura menyentuh pergelangan kaki korban.

"Luka ini apa?" tanya Sawamura. Dia meraba luka tersebut. Itu adalah luka sayat yang sangat tipis, hanya melukai vena-vena superfisial dan darahnya sudah berhenti bahkan sebelum tubuh pasien menjadi kaku.

"Semua korban punya luka itu di pergelangan kaki mereka," kata Okumura.

Sawamura menatapnya. "Aku tidak membacanya di koran-koran."

"Memang tidak begitu penting dan berguna," kata Okumura, "jadi kami tidak melakukannya."

Sawamura tampak berpikir. "Sebuah tanda?" bisik Sawamura, lebih ke dirinya sendiri. "Untuk apa?"

"Apa ada lagi yang ingin dilihat?" tanya Okumura.

Sawamura menggeleng. "Sudah semua," kata Sawamura. Mereka berdua keluar dari kantor forensik dan Sawamura langsung meregangkan seluruh tubuhnya. "Berapa banyak lagi tersangka yang harus diinterogasi?"

"Empat," jawab Okumura. Sawamura mengeluh. Mereka berjalan bersama di sepanjang jalan.

"Hari ini Anda tidak minum sake?" tanya Okumura.

Sawamura mencuri pandang untuk menatap Okumura. "Karena ada yang tidak suka kalau aku minum siang-siang," katanya.

Okumura tidak menanggapinya, tapi Sawamura bisa melihat telinganya memerah. Mungkin karena sinar matahari yang cukup terik di awal musim semi.

"Kenapa Anda tidak meneruskan karir militer Anda?" tanya Okumura. Suara mesin dari mobil-mobil pemerintah berseru-seru keras di jalanan.

"Karena menurutku sudah cukup," jawab Sawamura.

Okumura meliriknya. "Dan memutuskan untuk mabuk-mabukan?" tanyanya lebih dingin dari yang diinginkan.

Sawamura mendengus. "Kau tidak pernah menginjak medan perang ya?" retorik Sawamura. Dia menatap Okumura, dalam dan lama, sampai Okumura merasa gugup dan sensasi aneh menjalar ke sepanjang tulang punggungnya. "Mabuk adalah cara tercepat untuk melupakan hal-hal menyebalkan."

Okumura Koushuu masih terpaku ditatap Sawamura dengan begitu dalam. Tatapan Sawamura tidak seperti ikan mati, tetapi di dalam kabutnya itu, terdapat sebuah luka yang tidak bisa disembuhkan. Okumura tersentak ketika Sawamura menariknya mendekat hingga tubuhnya menempel pada Sawamura.

"Hati-hati," kata Sawamura. Rupanya, tadi Okumura hampir menabrak orang lewat. Kalau sedekat ini, Okumura jadi semakin sadar bahwa perbedaan mereka bukan hanya sekedar tinggi badan saja. Dada Sawamura bidang dan keras, yang berarti militer telah membentuknya dengan sempurna. Lengannya ternyata lebar dan terasa hangat ketika menyentuh lengan Okumura.

"Kau tidak apa?" tanya Sawamura. Ketika dia berbicara, jakunnya bergetar. Okumura harus mengumpulkan semua kesadarannya kembali agar tidak meninggalkannya sendirian hanya karena dia disentuh Sawamura Eijun. Apa yang terjadi dengannya?

"Ah, iya." Dia harap suaranya tidak melengking tinggi. Okumura Koushuu berdeham untuk mengusir gugup. "Terima kasih. Saya tidak melihat tadi."

Sawamura melepaskan genggamannya dan rasa hangat itu menghilang. Mereka kembali berjalan. Namun, Okumura Koushuu sudah tidak bisa fokus lagi untuk melakukan pekerjaan.

.

Seto Takuma menatap rekannya bingung. Okumura Koushuu sudah kehilangan fokusnya sedari tadi pagi. Dia salah menulis laporan sebanyak 3 kali, salah membuat antara kopi dan teh, sampai terjedot pintu.

"Kau oke?" tanya Seto. Okumura menghela napas. Dia tidak bisa bilang kalau pikirannya tidak fokus karena kemarin dia melihat jakun Sawamura naik turun dan tanpa sengaja membayangkan seluruh bentuk tubuh Sawamura yang selalu terbungkus yukata tua.

Dia menatap Seto dan berusaha mengumpulkan lagi seluruh konsentrasinya. "Maaf, kau bicara apa tadi?" tanyanya.

Seto menatapnya semakin bingung. "Aku tanya, kau baik-baik saja? Sudah setengah rim kertas habis karena kau salah menulis laporan terus."

Okumura melirik gumpalan-gumpalan kertas yang berserakan di lantai sekitar meja kerjanya. Kalau dikumpulkan, mungkin kertas-kertas itu bisa membuat api unggun saking banyaknya. "Maaf," katanya, "aku hanya sedikit lelah."

"Aku bisa bilang supaya Sawamura-san tidak usah menunggumu," kata Seto.

Ucapan itu membuat Okumura membuka seluruh matanya penuh dan menatap temannya. "Apa?" tanyanya sambil menegakkan punggung.

Seto menunjuk ke arah pintu luar dimana Sawamura sedang merokok sambil bersandar di dinding depan. Melihat punggung Sawamura saja bisa mengalirkan sensasi aneh di seluruh tulang belakang Okumura. Seperti ada yang meniupkan angin musim dingin tepat di tengkuknya. Sensasi yang membuatnya tidak nyaman, tetapi tidak cukup kuat untuk membuatnya menghindar.

Okumura langsung bangkit. "Tidak masalah," katanya pada Seto. "Aku akan menemuinya." Lalu, Okumura mengambil jasnya, dan segera angkat kaki dari meja kerjanya. Meninggalkan Seto dan laporan-laporan yang belum di selesaikannya.

Sawamura masih merokok sambil menatap ke kejauhan ketika Okumura membuka pintu depan Kantor Kepolisian. "Sawamura-san," panggilnya.

Sawamura langsung menoleh dengan rokok yang masih berada di celah antara bibirnya. "Kau sudah selesai?" tanyanya. Dia mengambil rokok yang ada di celah mulutnya dan mengapitnya dengan jari telunjuk dan jari Tengah.

"Ada apa?" tanya Okumura mengabaikan pertanyaan Sawamura.

"Ada yang ingin kudiskusikan," ujarnya.

Lalu, mereka berjalan bersama keluar dari Kantor Polisi. Untuk sesaat, tidak ada yang bicara. Okumura tidak mau menghancurkan keheningan menenangkan yang terjadi di antara mereka berdua. Sawamura masih merokok sampai rokoknya sudah sangat pendek dan akhirnya dia menginjaknya di aspal.

"Aku ingin bicara mengenai para korban," kata Sawamura.

Mereka mencari bangku di taman yang sedikit sepi supaya bisa bicara dengan leluasa tanpa ada yang mendengar. Jika melakukan pembicaraan di kedai sake atau restoran, suasananya terlalu berisik sehingga pertemuan mereka tidak terlalu kondusif.

"Jadi, ada apa dengan para korban?" tanya Okumura sambil duduk di sebelah Sawamura. Tempat duduk mereka menghadap ke arah danau yang cantik dan terawat. Seolah tempat itu sama sekali tidak terjangkau oleh perang. Seolah mereka sedang berada di dunia yang berbeda. Dunia yang damai, indah dan penuh dengan kebaikan.

Seandainya saja Sawamura hanya mengenal dunia itu, hidupnya akan jauh lebih mudah dan bahagia. Namun, dia memfokuskan diri lagi ke arah polisi muda yang duduk di sampingnya saat ini. Bukan saatnya membandingkan nasibnya dengan danau cantik di taman. Justru, karena jasa Sawamura-lah, danau itu bisa terlihat cantik dan indah. Karena Sawamura terseok-seok dan menderita di medan perang, maka dunia menjadi indah dan damai.

"Ketiga korban ditusuk satu kali di dada, tepat di jantung. Apa ini berarti sesuatu menurutmu?" tanya Sawamura.

Okumura mendengarkan pertanyaan itu dan memutar otak untuk menjawabnya. Berbagai kemungkinan berkelibatan di dalam benaknya, tetapi dia tahu bahwa Sawamura menginginkan jawaban konkret. Semua hipotesis yang tidak perlu, harus dihapuskan.

"Pelakunya percaya diri," ujar Okumura. "Satu tusukan fatal yang langsung menembus jantung, artinya pelakunya tidak pernah ragu-ragu. Tidak ada keragu-raguan dalam eksekusinya. Dia sudah memperhitungkan semuanya dengan baik."

Sawamura mendengarkan jawaban Okumura dengan saksama. Okumura juga menatap Sawamura dan menanti reaksi laki-laki itu. "Selain itu? Apa yang kemungkinan bisa terjadi?"

Okumura kembali berpikir. Sawamura belum puas dengan jawabannya. Dia menginginkan sebuah jawaban spesifik. Okumura kembali menggali ingatannya. Menyusun satu per satu keping informasi dari tim forensik, dari TKP, dari wawancara. Semuanya. Apa yang terlewat? Apa yang telah dilihat oleh Sawamura tapi masih tertutup kabut olehnya?

"Para korban adalah para Geisha, tidak ditemukan tanda kekerasan secara fisik maupun secara seksual. Ditikam satu kali di jantung, tidak ada luka lainnya. Berarti para korban mengenal pelaku dengan baik dan cukup percaya dengan pelaku. Bisa pelanggan tetap atau orang-orang yang sering berinteraksi dengan para korban. Pelaku tahu persis jadwal korban, sehingga dia tahu kapan harus menyerang."

Okumura merangkum kasus tersebut sambil menatap Sawamura. Tidak ada satu detik pun dilewatkan Sawamura. Dia menyimak penjelasan Okumura tanpa ada tatapan mencela. Tatapannya datar, tetapi menusuk. Okumura merasa napasnya dirampas keluar dari paru-paru selama Sawamura menatapnya seperti itu. Namun, Okumura tidak boleh hancur di bawah tatapan mata tajam Sawamura. Dia harus bisa mempertahankan irinya sendiri. Jadi, dia menyelesaikan rangkuman kronologisnya.

"Sifat pelaku bisa disimpulkan seorang yang percaya diri, narsistik. Dia sudah melakukan tiga pembunuhan di depan mata kepolisian dan public dan sampai sekarang masih belum tertangkap. Sepertinya dia juga menikmati perhatian yang didapatkannya karena kasus pembunuhan ini. Dari luka yang di dapatkan di tubuh-tubuh korban, bisa dipastikan bahwa dia bukanlah orang yang gugup atau mudah ragu. Dia perfeksionis."

Setelah Okumura selesai, ada keheningan melanda. Sawamura tidak langsung bicara, tidak menyangkal, mengkritik atau berusaha merevisi ucapan Okumura. Malah, diam-diam dia tersenyum dalam hati. Rupanya Okumura sendiri sudah berhasil sampai sejauh ini. Penilaiannya terhadap si polisi muda semakin tinggi.

Memang, kita bisa melihat perilaku dan sifat pelaku dari cara pembunuhan atau metode yang dia gunakan. Seperti apa kepribadiannya, seperti apa kesehariannya, sebuah luka di tubuh korban mampu mengungkap banyak hal mengenai pelaku. Dan inilah yang seharusnya mereka kejar sejak awal. Inilah yang luput dari mata kepolisian. Bahwa luka bisa menceritakan banyak hal kepada kita. Bahwa luka bukan hanya saja bukti, tapi juga saksi.

"Jadi…" ujar Okumura karena Sawamura tidak bersuara sedari tadi.

Sawamura mengejap. Dia kembali dipanggil ke bumi setelah melamun sambil mendengarkan Okumura bicara.

"Kau benar, pelaku yang kita cari adalah seorang narsistik. Hanya saja, jika dia memang seorang narsistik, seharusnya dia meninggalkan sebuah pesan kematian atau sebuah tanda yang akan membingungkan polisi. Narsistik akan merasa diakui jika mereka berhasil membuat kepolisian kebingungan dan public memberitakan mereka besar-besaran. Yang tidak aku mengerti, pelaku hanya membuat sebuah tanda kecil di pergelangan kaki para korban yang bahkan tidak dianggap penting oleh forensik. Bahkan kepolisian pun tidak mengumumkan hal itu."

"Berarti menurut Sawamura-san, pelakunya tidak bergerak karena dia narsistik?" tanya Okumura.

Sawamura mengerutkan kedua alisnya. Kedua irisnya semakin bersinar terang saat dia berpikir dengan penuh konsentrasi. "Kita jangan menghapus kemungkinan narsistik itu. Bisa jadi dia memang narsistik. Namun, ada hal lain yang ingin dicapai oleh pelaku. Ada hal yang berbeda dari kepribadiannya. Mungkin, itulah yang menjadi alasan si pelaku."

"Seperti apa contohnya?"

Sawamura memperbaiki posisi duduknya dan sekarang dia berhadapan dengan Okumura. "Ini yang mengganjal. Luka bisa menjelaskan berbagai macam hal. Luka bisa berbicara kepada kita, asal kita bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda. Dari sudut pandang yang tepat. Pertanyaannya, bagaimana cara melihat luka ini dari sudut pandang yang tepat? Kalau kita tidak ketemu jawabannya dari sudut pandang yang saat ini kita gunakan, maka kita harus mengubah sudut pandang."

"Maksudnya, kita harus melihat dari suut pandang si pelaku?" tanya Okumura.

Sawamura menjentikkan tangannya dengan bersemangat. "Tepat!" ujarnya riang. "Nah, kalau aku jadi pelaku, kenapa aku menusuk korban satu kali di dada? Supaya cepat selesai? Supaya tidak banyak darah yang tercecer? Apa tujuanku? Hanya satu tusukan di dada, tanpa ragu-ragu dan langsung mengoyak jantung. Jika aku memiliki dendam kesumat pada korban, maka aku akan menusuk lebih dari satu kali dan tusukannya akan sangat berantakan. Luka itu menunjukkan dendam. Luka itu berbicara sebagai dendam. Jika aku seorang narsistik, maka aku tidak akan membunuh dalam keheningan. Aku akan meninggalkan berbagai pesan berantai dan mengejek polisi, supaya seluruh perhatian datang padaku. Luka itu menunjukkan bahwa semua pembunuhan ini hanyalah sebagai permainan. Fantasi semata."

"Tapi pelaku tidak melakukan kedua hal itu," sambung Okumura.

Sawamura menggeleng. "Tidak. Dia tidak melakukannya. Jadi, kenapa aku menusuknya satu kali? Seperti ingin segera selesai?"

Pertanyaan itu menggantung cukup lama sampai Okumura menjawab. "Karena pelaku adalah algojo. Algojo selalu menghabisi korbannya dengan cepat."

Okumura tidak bisa melupakan senyum yang terpatri di bibir Sawamura sore hari itu. Senyumannya berkilau bersama sinar mentari dan irisnya yang terang. Untuk sesaat, mata itu tidak seperti ikan mati. Untuk sesaat, Okumura bisa melihat siapa Sawamura. Bukan seorang tentara perang, bukan seorang pemabuk, bukan pula sebagai seorang penjudi. Sawamura sebagai Sawamura. Sebuah jiwa yang belum terkoyak-koyak oleh trauma dan lelah oleh kehidupan. Apakah ini Sawamura yang asli? Atau itu hanyalah fantasi dari Okumura?

"Ada apa?" tanya Sawamura.

Pastilah Okumura membuat wajah yang sangat bodoh sampai Sawamura bertanya keheranan. Okumura lekas menggeleng kuat-kuat. Lalu dia berdeham.

"Jadi, sekarang kita tahu bahwa pelaku bertindak sebagai algojo. Dia menganggap dirinya seorang eksekutor. Pertanyaan selanjutnya, siapa kah yang menjadi alasan? Seorang algojo hanya bergerak dengan perintah atasannya. Algojo tidak pernah bertindak sendiri. Sekarang orang itu yang harus kita cari," simpul Okumura.

Sawamura sekarang mengubah lagi posisi duduknya. Dia menyandarkan punggungnya ke punggung bangku taman. Dia menatap ke kejauhan. "Bisa jadi, siapa itu tidak terlibat. Bisa saja bukan fisiknya yang terlibat, tetapi mungkin ideologi yang tertanam di dalam pikiran si pelaku adalah alasan dia menjadi algojo atau eksekutor. Gagasan mengenai siapa ini yang menjadi motif si pelaku."

Okumura menghembuskan napas berat. "Kalau katamu seperti itu, maka kita seperti mengejar hantu."

Sawamura tidak mendebatnya. "Memang. Itulah yang mengerikan dari ideologi. Tidak berbentuk, tidak memiliki tubuh fisik, tidak memiliki jiwa, tetapi sangat berbahaya. Perang pun dimulai dan diakhiri oleh ideologis."

Di tahap ini Okumura yakin Sawamura tidak bicara mengenai kasus yang sedang mereka bahas. Sawamura seperti sedang berbicara pada orang lain, orang yang tidak bisa dilihat oleh Okumura. Orang yang hanya hadir di dalam imajinasi mimpi buruk Sawamura. Sawamura yang sekarang tampak berbeda dari yang tadi. Dia seolah terpisah dari dunia tempatnya berpijak dan ditarik kembali ke medan perang. Dia seolah dipertontonkan lagi berbagai jenis adegan traumatic dan menjadi alasan kenapa Sawamura belum juga mengakhiri hidupnya.

Okumura tidak mau melihat Sawamura yang seperti ini. Kepingan jiwa yang ini terlalu menyakitkan untuk dilihat, dan Okumura tahu bahwa luka yang ini tidak bisa disembuhkan siapapun. Tidak bisa disentuh siapapun, bahkan oleh Sawamura sekali pun.

.

Bunyi ledakan yang begitu keras membuat Sawamura hampir melepaskan senjata laras panjang yang sedang didekapnya. Dia membuka matanya lebar-lebar dan mendapati bahwa dia sedang berbaring di tenda medis di Port Moresby.

"Halo brengsek."

Sawamura menatap ke sumber suara dan mendapati Miyuki sedang duduk di samping tempat tidurnya. Kacamatanya retak dan dia menghisap rokok, atau lintingan Ganja. Sawamura tidak bisa membedakannya saat ini. Kepalanya dibalut perban yang bernoda darah, tetapi senyuman miring arogannya masih menempel di wajahnya.

Sawamura ingin menangis bahagia mendapati sahabatnya masih hidup dan masih bisa menghinanya. Namun, dadanya terasa sakit setiap dia bernapas.

"Kuharap dunia kiamat saja," kata Miyuki, "untuk apa bernapas kalau itu membuat semua orang kesakitan?"

Sawamura tahu bahwa Miyuki tidak bersungguh-sungguh. Miyuki adalah orang dengan ambisi yang tinggi dan pantang dengan kegagalan. Namun, Jepang melemah dan setiap serangannya berakhir dengan kegagalan. Kegagalan kecil kalau hanya luka-luka dan kegagalan besar jika mati di tanah asing.

Meskipun dadanya sakit setengah mati, Sawamura berhasil mengeluarkan suaranya. "Jangan bohong. Kau akan mengamuk pertama kali kalau dunia kiamat."

Miyuki tertawa serak mendengar suara Sawamura. Antara tawa lega dan tawa menghina. Dia bahkan sampai menunduk dan menggosok matanya dengan tangannya yang tidak memegang rokok.

"Sialan kau," katanya pelan. "Kalau aku tidak jadi jendral setelah ini, akan kuobrak-abrik neraka dan surga."

"Kau masih narsistik. Setidaknya itu patut disyukuri," kata Sawamura setelah setengah mati sambil menahan rasa sakit di dada.

Sawamura lupa dia terkena apa. Apakah ranjau darat, granat atau tembakan peluru? Rasanya sungguh menyakitkan. Bahkan, napas pun seperti dilarang.

"Kita bisa pulang setelah ini," kata Miyuki pelan. Dia balik kacamatanya yang retak, Sawamura bisa melihat sinar matanya yang meredup. Penuh dengan duka, ketakutan, dan kesakitan. Miyuki telah merindukan rumah, tanah air mereka, Sawamura pun begitu. Perang telah merenggut banyak hal dalam hidup mereka, tapi setidaknya mereka bisa pulang sebentar lagi.

Sawamura mengangguk. "Persetan. Persetan," bisiknya. Lalu, dia mengulang-ulang kata-kata itu terus-menerus sambil berlinang air mata.

.

Ketika Sawamura bangun, keringat dingin mengucur deras. Tidak pernah ada satu malam tenang dimana dia bisa tidur nyenyak dan meminpikan taman anggrek dan bebek-bebek yang berenang di tengah danau. Setiap dia menutup mata, bayangan peperangan kembali muncul dalam episode-episode kelam tanpa akhir.

Rentetan bom yang meledak dan menewaskan teman-teman di samping kanan kirinya terekam dengan jelas. Sawamura masih bisa mendeskripsikannya dengan jelas dibandingkan dia mendeskripsikan warna jubah Kaisar Jepang.

Dia bangkit dari futon tipisnya dan membenarkan yukatanya. Hari ini dia tidak ada jadwal apapun. Biasanya dia lebih suka menghabiskan waktunya di distrik merah sambil main judi dan mabuk. Setidaknya dua hal itu bisa membantu Sawamura melepaskan penat dan trauma yang bersarang di dirinya.

Sawamura tidak tahu apakah dia bisa atau akan pernah bisa melepaskan trauma peperangan yang melekat kuat di dalam dirinya. Ketika dia kembali ke Jepang, untuk sesaat suasana muram melanda satu negeri. Hiroshima dan Nagasaki baru saja di bom. Namun, perlahan-lahan Jepang mulai bangkit kembali. Pemerintahan di tata ulang, infrastruktur diperbaiki dan ekonomi mulai berjalan.

Dunia pun terus berjalan.

Namun, Sawamura tidak. Dia masih terhenti di kereta yang telah lama kehilangan relnya. Kereta waktu yang mengurungya dalam ingatan perang. Dia tidak ingat Jepang yang damai seperti ini. Dia tidak ingat suara bahagia kakak dan adik yang berlarian di jalanan tanpa takut ada bom yang jatuh. Setiap dia ingin keluar dari kereta waktu tersebut, sebuah kabut gelap dari mimpi buruk menariknya masuk kembali, membuatnya sesak napas dan tidak berdaya.

Bagaimana Miyuki bisa melawan kabut gelap tersebut? Bagaimana temannya itu bisa melangkah maju tanpa ragu? Sawamura juga ingin seperti itu. Ingin bisa keluar dari kereta waktu yang sepi ini. Hanya ada dia seorang diri yang terjebak di dalamnya. Dia tidak bisa kemana-mana, hanya ditemani oleh para hantu dari masa lalu. Hantu para teman-temannya yang tubuhnya berceceran di tanah lapang. Hantu dari temannya yang menjerit agar Sawamura menolongnya supaya dia tetap hidup, padahal separuh badannya telah hancur dan ususnya terbuyar.

Hantu-hantu itu menarik Sawamura terus-menerus supaya mereka tidak sendirian. Supaya mereka tidak lupa rasanya menjadi seorang manusia. Sawamura perlahan-lahan menjadi hantu hidup. Cangkang kosong. Apapun itu sebutannya.

Ketukan di pintu depan membuatnya tersentak. Biasanya tidak ada yang berkunjung ke kediamannya. Miyuki telah menyerah datang setelah Sawamura membanting pintu sebanyak 5 kali di depan wajahnya. Bapak pemilik tempat hanya meneriakinya di jalan bahwa Sawamura belum membayar uang sewa selama 5 bulan. Namun, tidak ada yang pernah mengetuk pintu Sawamura. Ketukan itu dibiarkan oleh Sawamura untuk beberapa waktu. Supaya dia benar-benar yakin bahwa itu bukan halusinasinya.

Namun, ketukan tetap berlanjut sampai Sawamura penasaran siapa yang datang.

"Selamat malam."

Sawamura diam sejenak ketika menatap wajah Okumura Koushuu di depan pintunya. Dia tidak pernah memikirkan kemungkinan bahwa Okumura akan datang ke tempatnya. Jadi, dia hanya melongo seperti orang bodoh.

"Apa saya boleh masuk? Apa saya datang di waktu yang tidak tepat?" tanya Okumura.

Sawamura mengerjap beberapa kali dan mengangguk. Dia menggeser tubuhnya supaya Okumura bisa masuk. "Tempatku berantakan," ujar Sawamura. Okumura belum masuk juga ke dalam tempat Sawamura. "Tahu tempat ini darimana?" tanyanya.

"Dari Miyuki-san," jawabnya.

"Kenapa?"

Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Sawamura. Dia tidak bermaksud bertanya seperti itu. Okumura tampak kaget ditanya seperti itu, tapi dia mengatur air wajahnya menjadi setenang lapisan air danau.

Kenapa kau datang? Kenapa rasanya aku seperti menunggu seseorang datang? Kenapa kau tampak sangat nyata? Kenapa bersusah-susah datang ke tempat menyedihkan ini?

"Saya ingin membahas kasus lagi bersama Sawamura-san, tapi hari ini kau tidak datang ke kantor polisi. Awalnya saya mau menelepon, tapi kata Miyuki-san, kau tidak punya telepon. Jadi, Miyuki-san memberikan Alamat ini.," jelasnya.

Sawamura masih mencerna informasi ini. Polisi muda di depannya memang unik dan menarik. Dia tidak menyukai Sawamura, tapi rela datang jauh-jauh hanya untuk mengecek Sawamura hanya karena hari ini Sawamura tidak datang ke kantor polisi. Sawamura ingin sekali mengguncangkan bahunya yang lebih kecil itu dan berkata bahwa Sawamura tidak sepenting itu untuk diperhatikan oleh polisi dengan masa depan yang panjang sepertinya. Bahwa Sawamura tidak membutuhkan rekan atau pasangan untuk menemaninya. Bahwa jauh di lubuk hatinya, Sawamura berharap dia akan mati sendirian, di tempatnya yang gelap dan bergabung bersama dengan hantu-hantu yang selama ini hidup berdampingan dengannya. Pada akhirnya, dia akan menjadi penghuni abadi kereta waktu yang telah kehilangan relnya itu.

Namun, Sawamura tidak melakukan hal itu. Dia tidak mengguncang bahu Okumura. Dia hanya mempersilahkan Okumura masuk ke tempatnya yang kotor dan berantakan. Kalau Okumura memang terkejut ataupun jijik dengan tempatnya yang berantakan, dia pintar menjaga ekspresinya agar tetap datar. Sawamura mengikutinya di belakang. Punggungnya tampak lebih kecil lagi kalau dilihat dari belakang seperti ini.

"Aku bawa bir," kata Okumura sambil mengangkat kantung belanja yang ada di tangan kanannya.

"Kau sepertinya sudah siap berdiskusi," ujar Sawamura.

"Kau sepertinya sangat butuh bir," kata Okumura.

Mendengar hal itu, membuat Sawamura mendengus geli tanpa sadar. Okumura Koushuu itu seperti kucing liar yang malu-malu dengan orang asing. Tampak ganas, tapi sebenarnya sangat perhatian. Sekilas dia tampak membenci dan tidak suka keberadaan Sawamura, tapi di lain sisi dia juga bisa memperhatikan detail-detail kecil di kehidupan Sawamura yang Sawamura sendiri pun terkadang luput memperhatikan.

Mereka berdua duduk berhadapan dengan dibatasi oleh sebuah meja kecil. Di atas meja itu hanya ada asbak rokok dan putungan-putungan rokok yang tidak pernah dibereskan. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyingkirkan asbak itu. Okumura menaruh dua botol bir di atas meja dan sebungkus kacang rebus.

Sawamura bersiul pelan. "Rupanya kau tahu juga caranya bersenang-senang."

"Aku tidak hidup di dalam goa," ujar Okumura. "Sesekali menikmati bir itu wajar."

Sawamura meraih satu botol bir dan membukanya. Dia meneguk isinya satu kali. Rasa dingin, panas, menyengat dan manis yang familiar segera memenuhi seluruh mulut dan kerongkongannya. Dia baru menyadari bahwa dia sangat membutuhkan alhokol setelah rentetan mimpi buruk itu saat dia menelan cairan tersebut.

"Jadi, sekarang setelah kita menyimpulkan beberapa hal mengenai pelaku, mari kita bergerak ke masalah selanjutnya. Ideologi apa yang dianut oleh pelaku, apakah itu seperti suatu sekte keagamaan, dan juga mengenai senjata pembunuh."

Sawamura menaruh lagi botol bir tersebut di atas meja. "Itu memang pertanyaan selanjutnya yang harus kita jawab. Sekte keagamaan di Jepang lumayan banyak dan kalau kita mencarinya satu per satu, maka itu akan memakan waktu banyak. Lagipula, korban adalah para wanita penghibur, sepertinya kita bisa mencoret kemungkinan bahwa para korban adalah anggota sebuah sekte keagamaan."

"Kenapa?" tanya Okumura.

"Biasanya, kalau sekte-sekte sesat keagamaan membunuh itu tidak jauh-jauh dari ritual penumbalan untuk siapapun yang mereka sembah. Dewa, Manusia, Hewan, apapun itu. Dan, ritual penumbalan biasanya melarang tumbal-tumbal mereka dalam kondisi Najis atau kotor. Biasanya, pembunuhan mereka akan lebih terarah dan juga lebih rapih. Akan banyak kita temukan simbol-simbol yang menjadi ciri khas suatu penumbalan sekte. Sementara para korban tidak masuk kriteria itu.

"Para korban adalah wanita penghibur, yang artinya bagi Masyarakat luas kondisi mereka Najis atau kotor dan juga pembunuhan ini dilakukan di tempat yang tidak suci. Tidak ada altar, tidak ada punduk atau candi atau apapun yang menjadi simbol. Distrik merah tidak bisa dikatakan sebagai simbol suatu sekte keagamaan. Aku tidak pernah menemukan sekte keagamaan yang menjadikan distrik merah sebagai simbol."

Okumura masih mendengarkan.

"Justru, dengan begitu ruang lingkup pencarian kita menjadi sempit. Penanaman ideologi tidak hanya dilakukan oleh para sekte agama. Kita tidak pernah sadar, bahwa sebenarnya ada pula tempat-tempat yang bisa dilakukan untuk menanamkan ideologi. Hanya saja tempat-tempat itu begitu sederhana sehingga sering kali luput dari penilaian kita. Manusia memang seperti itu, hanya melihat sesuatu yang dianggap terlalu aneh, padahal segala sesuatu yang biasa saja adalah tempat persembunyian terbaik."

"Jadi, maksud Sawamura-san, para korban ini tergabung dalam suatu kelompok yang menerapkan semacam ideologi?"

Sawamura menggeleng. "Tidak. Berlebihan menyebutnya kelompok. Okumura, kau sudah meneliti masa lalu para korban? Dimana mereka lahir, tumbuh besar?"

Okumura mengangguk. "Ketiganya besar di Okinawa, lalu mereka menuju Tokyo setelah dijual untuk dijadikan Geisha. Kepergian mereka tidak serempak, itu yang kami tahu dari tanggal mereka diserahkan ke tempat pelacuran."

"Hanya keterangan besar di Okinawa? Tidak ada yang lebih spesifik lagi?" tanya Sawamura.

Okumura menggeleng. "Ketiganya tidak memiliki kerabat di Tokyo dan tidak ada yang bisa mengonfirmasi kebenarannya juga. Mereka sebatang kara di Tokyo ini."

"Begitu ya. Jadi, mereka hanya punya satu sama lain sebagai orang dari kampung halaman yang sama," kata Sawamura setengah melamun.

Persis seperti aku. Sebatang kara.

"Benar," kata Okumura. Lalu, ada keheningan yang menggantung. Sawamura tampak sedang berpikir atau sedang melamun, Okumura tidak tahu. Bir nya belum tersentuh lagi. Okumura sendiri sedang tenggelam dalam pikirannya.

Apa yang dia pikirkan saat mendatangi kediaman Sawamura dan membawa bir? Kenapa dia merasa terganggu dan merasa harus datang ke rumah Sawamura untuk mengecek keadaan lelaki itu? Hanya karena Sawamura tidak datang ke kantor polisi atau berada di distrik merah seperti biasa, Okumura merasa terganggu.

Apa yang sedang terjadi pada dirinya?

Sawamura yang berada di rumah adalah versi yang paling menyedihkan yang pernah dilihat oleh Okumura. Rumahnya kotor, berantakan, persis seperti kehidupan Sawamura. Dia tidak berniat membenahinya. Apa itu artinya Sawamura juga tidak ada niat untuk memperbaiki hidupnya? Okumura memang tidak pernah pergi berperang, tetapi kenapa Sawamura harus membiarkan trauma perang menguasai hidupnya? Tidak adakah yang ingin dicapai atau dilihatnya dalam hidup?

"Oke!" seru Sawamura mendadak. Suara itu membuat Okumura kaget, tetapi dia tidak bereaksi. Dia hanya menatap Sawamura. "Aku baru mendapat hipotesis." Okumura masih menatapnya. "Tidakkah kau merasa aneh? Tiga orang Perempuan, dari Okinawa, dijual ke Tokyo untuk bekerja di Rumah Pelacuran. Kebetulan sekali karena mereka bertiga bekerja di tempat yang sama, dari kampung halaman yang sama. Apa tidak terlalu kebetulan?" tanya Sawamura.

Pertanyaan itu membuat roda-roda gigi di otak Okumura mulai menemukan engselnya dan berjalan perlahan-lahan. Sampai sebuah pemahaman memenuhi otak Okumura. "Mereka dari panti asuhan yang sama. Panti asuhan itu mungkin bekerja bersama seorang kolektor dari Tokyo dan rutin menjual gadis-gadis ke Tokyo untuk dijadikan Geisha."

"Tepat!" kata Sawamura bersemangat. "Bayangkan, mereka adalah gadis yang hidup di jaman perang. Krisis moneter dimana-mana. Banyak sekali anak-anak yang menjadi yatim piatu akibat perang. Yang laki-laki diambil untuk menjadi prajurit dan yang Perempuan dijual untuk menjadi wanita penghibur. Menjual anak Perempuan lebih berharga dibandingkan menjual ayam atau hewan ternak. Itulah kesamaan para korban."

Okumura mengangguk paham. "Kalau begitu, pelakunya orang yang paham seluk beluk sejarah para korban. Orang yang juga tumbuh besar bersama korban, Orang yang dijual juga. Pelakunya adalah salah seorang Geisha."

Sawamura menatapnya. "Mungkin si pelaku menghabisi ketiga korban karena ketiganya telah hidup bertentangan dengan ideologi yang mereka bagi selama mereka hidup di panti asuhan. Kalau begini, jadi sedikit repot."

"Repot? Kenapa?"

"Karena mungkin pelaku kita tidak dalam kondisi stabil. Dia memang seorang algojo untuk ideologinya, tapi dia juga seorang narsistik. Dia tidak bisa menahan fantasinya untuk bersinar. Bukti nyatanya adalah tanda tidak khas pada setiap mayat yang tidak penting. Dalam fantasinya, dia bersinar dan ingin dikenal, tetapi ideologi menahannya. Karena itu dia mengguratkan tanda di tubuh masing-masing korban. Itulah fantasi narsistiknya. Dengan kata lain, dia berbahaya dan sangat kejam."

Okumura bagai disiram air dingin. Rasanya kebenaran selangkah lagi bisa diraihnya. Namun, belum. Jangan terburu-buru. Bisa-bisa mangsa di depan kabur secapat kilat jika dia buru-buru.

"Kita hanya harus mencari Geisha yang berasal dari Okinawa," kata Okumura. Lalu, dia menatap wajah Sawamura, "tapi kurasa tidak semudah itu."

Sawamura menggeleng. "Tidak, memang. Logat bisa disamarkan. Latar belakang bisa dipalsukan, dan tidak ada yang bisa membuktikannya. Pelaku bisa lolos semudah itu. Kita harus memikirkan jebakan yang paling tidak menimbulkan kecurigaan jika ingin menangkapnya."

Okumura menatap Sawamura. "Dan kita juga masih harus memikirkan senjata pembunuh. Jika benar dia seorang narsistik yang memiliki ideologi tertentu, maka senjata itu tidak akan terlalu jauh dari si pelaku. Senjata itu memiliki nilai sentimental sendiri, jadi dia pasti membawanya. Artinya, kita tangkap si pelaku, kita bisa juga menemukan senjata pembunuhnya."

.

Distrik Merah selalu ramai. Hal itu adalah satu dari sekian banyak hal yang disukai oleh Sawamura. Berada di Distrik Merah membuatnya tidak merasa sendiri. Dia tidak perlu takut oleh para hantu yang senantiasa berada di sisinya. Dia tidak perlu takut tenggelam oleh teriakan-teriakan para hantu yang memintanya untuk tetap tinggal.

Dia bisa menjadi manusia di antara para manusia.

"Selamat datang Tuan," sapa seorang pelayan di sebuah Rumah Pelacuran. Sawamura menyunggingkan senyum. Dia mulai memasuki Rumah Pelacuran tersebut.

"Aku mau Oiran yang paling hebat," katanya pada pelayan tersebut. Si pelayan menilai harga Sawamura dari atas sampai ke bawah. Yukata lusuh, rambut acak-acakan, dan juga mata merah karena terlalu banyak minum alcohol. Penampilan seperti itu bukanlah penampilan dari para pemuda kaya yang layan diberikan Oiran terbaik. Sawamura tak ubahnya seorang gembel yang bermimpi memiliki bulan.

"Hei, jangan menilaiku terlalu keras. Aku punya uang," katanya sedikit tersinggung.

Pelayan itu membungkuk untuk minta maaf. "Maaf, Tuan. Akan saya antar menuju kamar milik Ayumi-san." Lalu, mereka berjalan bersama di koridor Rumah Pelacuran tersebut. Dari ruang-ruang santai terdengar banyak tawa ceria dari para Geisha. Banyak pula yang sedang berpesta sambil ditemani oleh Geisha, sehingga suasana sorak-sorai begitu membahana. Wangi aromaterapi bercampur dengan alcohol mengudara, membuat udara beraroma manis dan memabukkan. Ini tempat yang cocok sekali untuk melepas penat dengan kenikmatan duniawi.

Sawamura di bawa ke lantai 2, tempat yang lebih privat dan kamar lebih tebal dindingnya. Dia dimasukkan ke dalam kamar yang berada di ujung lorong, yang paling besar dan paling mewah.

"Mohon tunggu sebentar Tuan," kata si pelayan. Lalu, pintu di tutup dan Sawamura berdiri sendirian di dalam kamar.

Kamar itu luas, ada sebuah futon empuk di gelar di tengah ruangan, lilin-lilin aromaterapi dinyalakan di setiap sudut ruangan dan meja kecil berisikan cawan-cawan untuk arak tersedia dengan rapi. Penerangannya remang-remang, tapi tidak terlalu gelap, sehingga menampilkan kesan sensual jika seorang Oiran memasuki ruangan. Terdapat Shamisen yang mulus dan terawat tergantung di dinding. Sawamura mengelus Shamisen tersebut dan mendentangkan senarnya.

"Apa Anda ingin saya memainkan Shamisen untuk menghabiskan waktu?"

Suara lembut nan ayu terdengar dari belakang Sawamura. Ketika dia berbalik, seorang Oiran yang paling cantik yang pernah ditemui Sawamura sedang menatapnya dan tersenyum lugu. Lugu, tetapi mematikan.

"Kau pasti Ayumi," kata Sawamura.

Ayumi membungkuk penuh tatakrama. Wajahnya dipoles make-up tipis dan bibirnya tebal. Dia memiliki semua kecantikan yang diidam-idamkan oleh wanita. Rabut hitam lebat, tubuh semampai nan seksi, serta tutur kata yang lembut dan juga bersahaja. Jika dia tidak berada di Rumah Pelacuran, mungkin orang-orang akan menganggapnya sebagai Putri Bangsawan.

Sawamura menghampirinya. Lalu, tanpa menyentuh Ayumi, Sawamura duduk di depan meja kecil yang sudah tersedia sake dan cawannya. "Tolong tuangkan aku minum," ujar Sawamura.

Ayumi melakukannya tanpa protes. Dia menuang sake dengan seni yang begitu luwes dan tampak seperti tarian. Sawamura berandai-andai, berapa uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan kelas atas seperti ini.

"Silahkan Tuan," kata Ayumi. Sawamura mengambil cawan sake itu dan meneguk isinya. Ayumi duduk di sampingnya. Jarak yang terlalu dekat, sehingga Sawamura bisa menghidu wewangian yang digunakan Ayumi dan payudaranya yang menempel di lengan Sawamura.

Anehnya, yang terlintas di benak Sawamura saat dia merasakan payudara Ayumi menempel adalah leher jenjang milik seorang polisi serta punggungnya yang kecil, tetapi tahan banting. Sawamura berusaha menghilangkan bayangan itu. Apa-apaan tadi? Bisa-bisanya dia memikirkan tubuh laki-laki saat ada Oiran cantik sedang berusaha merayunya. Otaknya pasti setengah rusak karena terlalu banyak alcohol.

"Mengerikan bukan," kata Sawamura, "kudengar tiga Geisha disini tewas terbunuh. Apa kau kenal mereka secara pribadi?" tanyanya.

Ayumi menampilkan wajah terguncang dan kesedihan yang mendalam. Matanya yang bulat seperti buah almond itu berkaca-kaca. "Siapa yang tidak kenal mereka? Mereka orang yang baik, ramah dan selalu membantu para junior di sini."

"Kau sedih?"

Ayumi mengangguk. "Aku merasa sangat kehilangan sekali. Ketika aku baru pertama datang ke sini, ketakutan dan bingung, mereka menyambutku dengan baik. Mereka bilang kami keluarga, jadi harus saling menjaga. Tapi…"

Suaranya menghilang. Air mata mengalir turun dari pipinya yang seputih salju. Sawamura dengan lembut mengangkat tangannya untuk menghapus aira mata asin itu. Tetesannya terasa panas, seperti suhu tubuh manusia.

"Kau pasti ketakutan," bisik Sawamura.

Ayumi mengangguk. Dia dengan berani menyenderkan kepalanya ke dada Sawamura. Sawamura mengelus puncak kepalanya.

"Mengerikan sekali ketika mengingatnya," kata Ayumi. "Apalagi polisi tampak tidak membuat kemajuan yang berarti. Kenapa pelaku belum tertangkap?"

"Kudengar mereka masih mencari bukti-bukti. Apa kau mengikuti beritanya?" tanya Sawamura.

Ayumi mengangguk lagi. Puncak kepalanya menggesek dagu Sawamura. Rambutnya selembut kain sutra. "Sudah pasti. Mereka seperti saudaraku di sini. Para Geisha tidak punya siapa-siapa kecuali sesama Geisha. Aku pasti ingin tahu perkembangannya."

Ayumi menatap Sawamura dengan mata bulatnya yang menggemaskan, tetapi berlinang air mata. "Apa aku bisa jadi korban selanjutnya? Si Pelaku mengincar para Geisha, jadi kami semua sebenarnya takut setengah mati. Tapi tidak mungkin bisnis ini ditutup hanya karena kasus pembunuhan. Apa kepolisian sudah menemukan motifnya?"

Sawamura terkekeh pelan. "Kau salah menanyakan orang, Non. Aku bukan polisi. Aku hanya seorang pelanggan."

Ayumi mengangkat bahu. "Tetap saja mengerikan. Padahal pelaku meninggalkan luka gores di kaki. Apa itu tidak cukup jadi petunjuk?"

Sawamura tidak mengatakan apapun untuk menjawab Ayumi. Sesaat keheningan melanda. Ayumi bangkit dan menuangkan lagi sake ke cawan Sawamura yang telah kosong. Sawamura meminumnya lagi.

Alcohol selalu bekerja cepat di pusat otaknya, sehingga kesadarannya sudah mulai berkabut. Dia tidak mau melewatkan malam ini tanpa bersenang-senang dengan Oiran paling cantik di Tokyo. Jadi, ketika Ayumi menuang sake ketiga, dia menggeleng.

"Aku mau bersenang-senang tanpa mabuk," katanya. Ayumi mengangguk. Dia menaruh lagi cawan sakenya dan sekarang bergelayut manja di lengan Sawamura.

"Kita mau melakukan apa?" tanyanya dalam nada polos nan seduktif. Bisakah seseorang melakukan itu? Tampaknya Oiran tersebut bisa.

Sawamura berpikir. "Aku biasanya banyak ide. Tapi malam ini aku mau bermain Permainan Kejujuran."

Ayumi mengangkat alis. "Tidak pernah dengar permainan itu."

Sawamura melambai. "Modifikasi dari permainan asal Barat Truth or Dare, tapi malam ini aku hanya mau kita berdua saling jujur satu sama lain. Aku akan memulainya, boleh?"

Ayumi mengangguk. "Silahkan."

Sawamura menatap mata Ayumi. "Di mana kau menyembunyikan senjata pembunuh?"

Hening.

Aromaterapi dan sake mengudara di kamar luas tersebut. Api dari lilin-lilin masih berkobar kecil. Sawamura menatap Ayumi yang tidak bergeming barang dua detik. Selanjutnya, Ayumi membuat ekspresi wajah bingung bagai bonek sempurna dari Eropa.

"Apa kita akan bermain seperti itu? Aku tidak masalah, tapi kalau bisa jangan meninggalkan luka di tubuh. Nanti biayanya akan semakin mahal," jawabnya.

Sawamura mau tertawa mendengar jawaban dari Ayumi. "Bukan. Maksudku, pisau yang kau gunakan untuk membunuh ketiga orang itu, kau sembunyikan dimana? Sepertinya itu bukan sembarang pisau, karena orang sepertimu selalu memiliki barang sentimental untuk disimpan. Seperti kau menggoreskan luka di kaki mereka."

Ayumi melepaskan pelukannya dan duduk tegak. "Tuan, ini tidak lucu. Aku bisa berteriak dan kau akan dikeluarkan dari sini."

"Kurasa sudah basi jika kau berpura-pura seperti itu. Di sini hanya ada kita saja, apa salahnya membuka topeng barang sejenak? Apa kau tidak lelah menyembunyikannya? Mereka bertiga pasti menghalangimu dengan sangat kuat sehingga kau tidak tahan untuk tidak menyingkirkannya. Orang narsistik dan psikopat sepertimu tidak akan tahan jika ada yang lebih hebat."

Sepertinya kata-kata Sawamura itu memicu sesuatu di dalam diri Ayumi, atau setidaknya itulah harapan Sawamura. Memang, mengguncang emosi seorang psikopat narsistik adalah pilihan yang buruk dan bisa berakibat fatal karena kondisi emosional mereka tidak stabil. Meskipun mereka sangat tenang dalam membunuh, tapi pusaran emosi mereka bagaikan badai pasir dahsyat yang tidak bisa dikendalikan.

Air wajah Ayumi berubah. Topeng Oiran polos nan seksi itu berubah menjadi wajah dingin dan kejam dari seorang pembunuh. Anehnya, dia malah tampak semakin menawan. Mungkin itulah pesona asli dari Sang Oiran.

"Seharusnya kau tidak segampang itu menyebut seseorang sebagai psikopat. Itu adalah kata-kata yang kejam."

"Apa itu panggilan yang diberikan oleh mereka bertiga kepadamu? Psikopat?" tanya Sawamura, bagaikan menuag bensin ke api yang telah menyala. "Kalian berempat berasal dari Okinawa. Mungkin saja mereka tahu sisi kelammu lebih dari yang lain. Apa itu alasanmu membunuh mereka?"

Ayumi tertawa. Tawanya nyaring dan kejam. Apakah dia tertawa seperti ini juga ketika berhasil membunuh para korban? Apakah Ayumi menikmati kilat kengerian di wajah korban sebelum mati?

"Kalau hanya itu yang mereka lakukan, aku bisa menahan-nahannya. Meskipun para psikopat itu gila, tapi aku memiliki kesabaran yang luar biasa. Aku rela menanti bertahun-tahun untuk memangsa. Seharusnya kau tahu hal itu."

Memang, Sawamura mengakui fakta itu. Meskipun pikiran mereka bagaikan badai pasir, tapi pembunuhan menentramkan jiwa mereka, nyaris seperti ritual berdoa bagi masyarakat biasa.

"Jadi, apa yang memicu? Kesalahan apa yang mereka buat sehingga kau menghabisi mereka dengan brutal dan cepat? Siapa yang membisikimu perintah?"

Ayumi bangkit dari posisi duduknya. Dia berjalan memunggungi Sawamura dan menuju jendela kecil di kamar itu. Jendela itu tidak bisa digunakan untuk kabur dan lagi Sawamura yakin Ayumi tidak akan kabur. Dia harus melepaskan hasratnya ke seseorang, dan orang itu adalah Sawamura. Pasti Ayumi sudah memendamnya lama sekali, sehingga dia bisa bercerita begitu saja pada Sawamura.

"Kau benar, kami berasal dari Okinawa, tapi lebih dari sekedar itu. Kami juga berasal dari panti asuhan yang sama. Kau pasti masih mengingat masa perang yang belum lama berlalu. Perang tidak hanya membuat trauma para prajurit, tapi juga rakyat seperti kami. Semua orang yang berkumpul di panti asuhan memiliki satu kesamaan, yaitu sebatang kara. Entah Ayah kami terpaksa pergi berperang dan tidak pernah kembali lagi atau Ibu kami telah menjual kami demi beberapa butir nasi.

"Di Panti Asuhan, ada seorang wanita tua yang menjadi penyelia kami. Wanita itu mengajari dasar-dasar yang dibutuhkan oleh seorang Geisha. Singkatnya kami dilatih sebelum kami dibawa ke Tokyo untuk mulai bekerja. Jujur saja, aku sendiri tidak keberatan menjadi seorang Geisha. Perempuan tidak punya banyak pilihan, kecuali kau adalah bangsawan. Tidak mati tergeletak di pinggir jalan setelah diperkosa saja sudah cukup bagiku. Apalagi jika menjadi seorang Geisha, aku bisa mendapat uang dan juga tempat tinggal. Kau harus tahu bahwa pekerjaan ini adalah segalanya bagiku. Aku seperti ditakdirkan menjadi seorang Geisha."

Sawamura masih mendengarkan ceritanya. Ayumi masih memandang ke luar jendela. Ke arah Kota Tokyo dengan segala modernisasinya.

"Makanya aku tidak bisa tahan ketika mereka bertiga memutuskan untuk pergi meninggalkan dunia ini. Mereka bilang ini dunia kotor, hanya wanita hina yang sanggup bertahan di dalamnya. Dasar tidak tahu diri! Padahal Rumah Pelacuran ini telah memberikan mereka tempat tinggal yang aman dan nyaman. Hanya disuruh melayani beberapa orang saja sudah mengeluh! Aku tidak bisa melihatnya! Aku tidak bisa tinggal diam ketika mereka menjelek-jelekkan pekerjaan ini. Seolah derajat mereka lebih tinggi! Seolah mereka berhak meludahi pekerjaan ini.

"Apalagi ketika mereka memutuskan untuk pergi diam-diam dan menikah diam-diam dengan laki-laki yang tidak sanggup membayat harga mereka. Aku tidak tahan! Kalau kau memang mau pergi dari sini, sekalian saja pergi dari dunia ini! Sekalian saja tidak usah kembali selamanya!" Suaranya meninggi karena penuh dengan emosi.

"Karena itu kau menggores kaki mereka. Sebagai simbol yang menandakan mereka telah terantai di tempat ini selamanya," simpul Sawamura.

Ayumi meliriknya. Ekspresinya masih sedingin badai salju. "Aku tidak berharap kau mengerti. Aku tidak berharap siapapun mengerti. Bagi kebanyakan orang, pekerjaan ini adalah pekerjaan yang hina. Hina, tetapi dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh para orang-orang munafik, yang bersumpah setia pada istri dan anak-anak mereka, tetapi setiap malam mencari kenikmatan lain yang tidak bisa diberikan oleh istri mereka. Kenikmatan akan fantasi mereka."

Sawamura mengerti, malah dia jauh lebih mengerti kondisi Ayumi dari wanita itu sendiri. Apapun yang sedang dialami oleh Ayumi tidak berbeda jauh dari kondisi Sawamura. Sawamura selalu terikat dengan perang yang telah usai. Semua teman seperjuangannya telah melangkah maju untuk melanjutkan hidup, tetapi dia tidak. Dia masih terjebak di masa lalu, dengan para hantu. Kini, dia mulai dilupakan oleh dunia dan tidak ada yang bisa dilakukannya.

"Bagaimana dengan pisau itu? Apa itu memiliki nilai sentimental bagimu?" tanya Sawamura.

Ayumi serta merta berbalik dan tangan kanannya telah menggenggam sebuah pisau dapur yang berkilat tajam. Sawamura mempertahankan ekspresi netralnya. Dia adalah seorang prajurit yang telah berulang kali menuju medang perang. Dia pernah melihat temannya tewas karena bom, tubuh terburai dan tubuh membusuk. Dia pernah bermalaman di dalam lumpur sampai dia mati rasa dan dia pernah menembaki musuh sampai kepalanya hancur.

Seharusnya, dia tidak takut dengan Ayumi yang hanya seorang wanita dan memegang pisau dapur. Sawamura bisa melumpuhkannya dengan mudah. Namun, Ayumi bukanlah musuh di medan perang. Dia seorang psikopat narsistik berdarah dingin yang membunuh tiga orang hanya karena memilih jalan hidupnya sendiri.

"Maksudmu ini?" tanyanya sambil terus berjalan ke Sawamura. Sawamura masih terus terpaku ditempatnya. Entah dia merasa terpesona atau ada hal lain yang membatasi gerak Sawamura. Bilah pisau itu menempel di pipi Sawamura. Dingin, sedingin es. "Tidak ada yang special. Hanya saja pisau ini ukurannya lebih kecil dari pisau pada umumnya, sehingga mudah disembunyikan. Mudah diasah juga, jadi bilahnya selalu tajam. Kedalamannya pas, bisa langsung menembus jantung," bisik Ayumi.

Seharusnya bisikan itu bernada sensual, tetapi Sawamura hanya merasakan aliran listrik di sepanjang tulang belakangnya. Dia hanya sendiri dengan seorang pelaku pembunuhan berantai.

"Kurasa aku salah satu hal," ujarnya pada diri sendiri. Ayumi tertawa. Dia menjauhkan bilah pisau itu dari wajah Sawamura.

"Kau menarik dan selera humormu bagus," puji Ayumi. "Kalau kau tidak membahas pembunuhan itu, mungkin kita bisa bercinta sepanjang hari dan aku bisa memberi diskon."

Sawamura hanya menggedikkan bahu. "Sayangnya sekarang kau harus mendekam di penjara," kata Sawamura. Dia bangkit untuk menghampiri Ayumi, tapi mendadak dia langsung terjatuh dengan keras di tatami. Seluruh tubuhnya terasa sangat berat dan sakit. Kepalanya mendadak pusing dan dia tidak bisa merasakan seluruh tubuhnya.

Dia menatap Ayumi yang masih berdiri tegak dengan pandangan ganda. "Maaf, aku tidak menerima perintah dari laki-laki. Oiran itu bebas memilih."

Lalu, Ayumi mendekatkan bilah pisau itu ke perut Sawamura dan menghilanglah pisau itu dari jarak pandang Sawamura. Sawamura kira dia akan merasa sakit ketika Ayumi menikam perutnya, tetapi ternyata dia tidak merasakan apapun. Dia hanya merasa mengantuk dan mengantuk.

Bergabunglah bersama kami. Kenanglah kami.

Kenapa kau tidak menyelamatkanku, Sawamura? Aku telah berteriak meminta diselamatkan.

Kenapa kau yang harus selamat, Sawamura? Aku punya istri dan anak menantiku di rumah. Bertukarlah denganku.

Maaf, batin Sawamura ketika bisikan-bisikan itu semakin jelas. Maaf karena aku tetap hidup. Maaf karena aku tidak berdaya. Maaf karena aku menyia-nyiakan kehidupanku. Maaf karena aku tidak layak hidup. Maaf karena aku berpaling dari teriakan kalian.

Maaf.

Sawamura tidak lagi berada di dalam kamar Sang Oiran. Dia kembali ke Port Moresby, tempat dinasnya sebelum dia dipulangkan dalam keadaan babak belur dan kalah. Dia kembali berlindung di bawah benteng yang dibuat sekedarnya dengan karung-karung pasir. Dia kembali menatap langit keruh yang hampir hujan. Dia menatap Miyuki yang kacamatanya retak, tubuhnya pingsan dan untuk sesaat yang mengerikan Sawamura berpikir bahwa Miyuki telah mati, seperti teman-teman mereka yang lain.

Betapa nikmatnya jika Sawamura mati saat itu.

Betapa akhirnya dia terbebas dari belenggu perang. Membusuk di tanah asing, dikubur seadanya atau dibiarkan saja tubuhnya terkoyak oelh burung gagak dan anjing liar. Sawamura tidak peduli. Dia hanya lelah dan ingin istirahat.

Sekaranglah saatnya kau istirahat, bisikan itu mengeras.

Bergabunglah, Sawamura. Tinggalkan dunia orang hidup dan jadilah hantu masa lalu. Untuk dilupakan, untuk ditinggalkan.

Benar, karena tidak ada yang menanti Sawamura, tidak ada yang menunggu kepulangannya. Dia sendiri, dulu, sekarang dan selamanya. Apa bedanya mati sekarang dengan mati 50 tahun lagi? Hanya memperpanjang penderitaannya saja. Toh, jika dia tidak mati di bunuh, maka dia akan mati keracunan alcohol.

Aku bisa beristirahat sekarang.

.

Sawamura bergerak sendiri, Okumura tahu hal itu. Sejak diskusi mereka yang terakhir, Sawamura tidak mengatakan apapun, tapi Okumura bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa Sawamura seorang diri akan pergi mengonfrontasi si pelaku. Padahal, Sawamura sendiri yang bilang bahwa emosi si pelaku tidak stabil.

Jadi, hari itu seharian Okumura mengikuti Sawamura. Dugaannya tidak salah, karena Sawamura pergi ke distrik merah dan langsung menuju Rumah Pelacuran. Untuk sesaat Okumura bimbang, apakah dia harus mengikuti Sawamura sampai ke dalam atau menghubungi bala bantuan. Bagaimana kalau dia salah? Bagaimana jika Sawamura memang hanya ingin bersenang-senang saja? Nanti bisa terjadi keributan besar.

Akhirnya. Setelah 10 menit dia galau, Okumura menghubungi Seto lewat telepon umum yang terdekat. Ketika Seto menyanggupi bantuan, Okumura menanti-nanti kapan Sawamura akan keluar dari Rumah Pelacuran, tetapi di tunggu 30 menit pun dia tidak keluar-keluar. Akhirnya, Okumura memutuskan untuk masuk ke dalam tempat tersebut dan bertanya dimana Sawamura berada.

Dan betapa terkejutnya Okumura ketika melihat pemandangan di dalam kamar luas tersebut. Darah segar yang menggenang, telah menyerap ke dalam tatami. Sang Oiran, atau pelaku pembunuhan berantai, sedang menikam perut Sawamura yang tergeletak tidak berdaya. Sake tumpah membasahi tatami. Aroma darah segar, aromaterapi dan wewangin bercampur menjadi satu dan itu semua membuat Okumura mual.

"Kau terlambat."

Si Pelaku berkata dengan dingin dan melepaskan genggaman pada pisaunya.

Okumura mati-matian tidak langsung berlari dan mengecek kondisi Sawamura. Sebuah kengerian yang pekat menyelimuti tubuhnya. Apakah Sawamura sudah mati?

"Aku menangkapmu," kata Okumura. Lalu, beberapa petugas polisi masuk dan menahan Ayumi. Wanita itu tidak memberontak atau berusaha kabur. Dia sendiri sudah tahu apa takdirnya. Dia digiring keluar dari Rumah Pelacuran, disaksikan oleh berbagai mata yang penasaran dan tidak percaya.

Oiran yang terkenal lembut dan periang ternyata seorang pembunuh berdarah dingin.

Okumura langsung menghampiri Sawamura. Dia masih bisa merasakan hembusan napas hangat Sawamura yang lemah. Aliran kelegaan hampir membuat Okumura goyah. Namun, dia bertahan.

Dengan cepat dia memotong kain futon dan membalutkan kain itu di sekitar luka Sawamura, untuk mencegah perdarahan yang lebih banyak lagi. Pisaunya dibiarkan tetap menancap sebagai penghalang darah keluar lebih banyak.

"Kita harus membawanya ke rumah sakit!" seru Okumura pada bawahannya.

Beberapa polisi membuat tandu darurat untuk mengangkat Sawamura.

"Bertahanlah," bisik Okumura pada Sawamura yang masih tidak sadar. Namun, bibir bawahnya bergetar dan keringat dingin membanjiri seluruh tubuh Sawamura. "Kau akan baik-baik saja. Aku ada di sini."

.

Aku ada di sini.

Itu bukanlah kalimat dari para hantu. Para hantu selalu menghasut Sawamura untuk melepaskan semuanya.

Bertahanlah. Jangan pergi. Aku ada di sini.

Suara siapakah itu? Siapa yang menyuruhnya untuk tetap tinggal? Kenapa Sawamura harus tetap tinggal? Apakah ada orang yang menanti dirinya?

Kembalilah. Bangunlah.

Dan sekonyong-konyongnya, Sawamura merasa terpanggil sehingga dia meninggalkan balutan mimpi buruk itu. Untuk sekali saja, dia tidak mau terkurung di dalam kereta tanpa rel itu. Dia ingin bergerak maju.

Seluruh tubuhnya terasa berat ketika dia membuka mata di ruang rawat inap rumah sakit. Perutnya berdenyut-denyut menyakitkan, seolah ada yang menyobek perutnya dan menyiramnya dengan cuka, yang mana memang perutnya di tusuk.

"Aduuuuh," gumamnya sambil berusaha menggerakkan tubuhnya.

Lalu, pergelangan tangannya disentuh dengan lembut. "Jangan banyak bergerak dulu."

Dengan penglihatan yang masih buram, dia menatap wajah seorang polisi muda yang warna kulitnya sangat pucat dengan rambut pirang yang pucat juga. Apa waktu telah berlalu seribu tahun? Kenapa Okumura tampak letih dan menua dengan cepat?

Menyadari kerongkongannya sekering Gurun Sahara, Sawamura berbisik serak, "Minum."

Dengan sigap Okumura mengambilkan segelas air dan meminumkannya dengan pelan ke arah Sawamura yang masih berbaring. Lebih banyak air yang tumpah daripada yang masuk ke mulutnya, tapi setidaknya kerongkongannya tidak terasa seperti menelan pisau lagi.

"Kau mau apa?" tanya Okumura lagi.

"Duduk."

Okumura membantunya duduk tanpa banyak kata-kata. Setelah posisi duduknya nyaman dan tidak menekan bekas jahitan, barulah Sawamura menatap Okumura.

"Apa yang terjadi?" tanyanya. Dia berusaha sesantai mungkin karena wajah Okumura tampak tidak senang. Okumura seperti sedang menahan banyak beban dan tampak ingin memukul Sawamura sampai sekarat. Sebenarnya, lebih kurangnya Sawamura tahu mengapa.

"Kepolisian harus menyelamatkan orang bodoh yang mengonfrontasi pelaku pembunuhan berantai seorang diri. Untungnya polisi tepat waktu," ujarnya datar, tetapi mengandung nada jengkel yang sangat kental.

"Untunglah polisi punya dektektif cerdas sepertimu," kata Sawamura berusaha melucu.

"Tidak lucu!" bentak Okumura.

Sawamura terdiam. Dia tidak menyangka Okumura akan semarah itu. Mata si polisi muda berkilat-kilat. Dia berusaha mengatur napasnya supaya tidak hiperventilasi. "Kau bisa mati, kau harus tahu itu! Kau hampir mati di TKP, lalu kau juga hampir mati di ruang operasi. Apa kau sebegitunya ingin mati?" tanya Okumura dengan nada menusuk.

Sawamura terdiam.

Sampai beberapa waktu lalu, iya. Sawamura memang ingin mati. Tidak seara aktif, hanya saja jika ada kesempatan untuk mati, maka Sawamura akan senang hati mendatanginya. Namun, ketika melihat Okumura, keinginan itu mendadak sirna seperti embun di pagi hari. Tidak berbekas, tidak ada jejak.

"Maaf," kata Sawamura.

Dia meminta maaf lagi. Dia meminta maaf kepada para hantu karena dia masih hidup dan dia meminta maaf kepada Okumura karena dia ingin mati. Hidupnya penuh dengan permintaan maaf.

"Lupakan saja," ujar Okumura dingin. Dia tidak memandang Sawamura, tetapi tidak beranjak dari ruang rawat inap juga. Kehadiran Okumura sedikit banyak membuat Sawamura lega. Jika detik itu si polisi memutuskan untuk pergi, Sawamura tidak punya lagi alasan yang mempertahankannya bertaut di dunia.

Okumura datang dan tanpa sadar mengobrak-abrik kekacauan di dalam diri Sawamura. Okumura datang dan Sawamura seperti melihat harapan di dalam polisi itu. Mungkin itu adalah suara Okumura yang menahannya di dunia. Suaranya yang meminta Sawamura agar tetap bertahan. Agar kembali. Supaya bisa memulai kembali. Supaya bia memiliki masa depan. Mungkin dia tidak akan menjadi serigala yang kesepian lagi.

Jadi, Sawamura melakukan hal yang tidak pernah dilakukannya. Dia meraih tangan Okumura yang terkepal dengan tegang. Okumura berjengit, tetapi tidak mengatakan apapun. Dia kembali menatap Sawamura dengan bingung.

"Terima kasih sudah ada di sini."

.

SELESAI


A/N: Cerita yang udah nganggur selama 1 tahunan di laptop dan akhirnya punya kekuatan untuk menyelesaikan cerita ini. Komentar, kritik dan saran terbuka di kolom review.

Salam,

Sigung-chan