A First Love Crap
By ewfzy
.
.
.
CHANBAEK STORY
Genre : Romance, Drama?
.
.
.
Ini part yang lumayan panjang, jadi siapkan posisi yang nyaman buat lanjut baca.
Happy reading!
...
Jackson berjalan di samping Chanyeol, tangan kirinya menggenggam erat tangan sang ayah sementara yang satunya memegang sebucket bunga lily putih. Samar-samar aroma harum bunga itu menguar tertiup angin bersamaan dengan langkah kaki yang menjejak mendekati gundukan tanah yang sudah hampir dua bulan tak mereka kunjungi.
Kedua sosok itu bersimpuh di samping gundukan tanah. Sorot mata Chanyeol redup tak lagi bersinar seperti dulu lagi. Ia lelah, tak pernah sehari pun bisa tidur dengan nyenyak. Malam-malamnya selalu ia lalui tanpa tidur yang cukup.
Karangan bunga di tangan mungil itu telah berpindah, Jackson letakkan dengan hati-hati di samping nisan sebagai tanda penghormatan. Sepasang mata bulat itu terpejam mengikuti bagaimana ayahnya juga melakukan itu.
Chanyeol menghela napas pelan, meletakkan tangannya di atas nisan dengan lembut. "Hai... Bagaimana kabarmu?" sapanya pertama kali. Angin berembus tiba-tiba seolah membalas sapaan hangat itu.
"Bagaimana di sana?" Hening, pertanyaan Chanyeol tentu saja tak akan mendapatkan jawaban apapun. Chanyeol tersenyum kecil namun senyuman itu nyatanya malah membuat Jackson yang melihatnya sedih.
"Sayang, sebenarnya Daddy datang hari ini untuk meminta sesuatu." Chanyeol kembali bersuara. Tangannya setia mengusap nisan itu, seolah tengah membelai kasih kepala pemiliknya. Matanya memandang teduh, ia tarik dalam napasnya yang berat lalu ia embuskan perlahan.
"B-bisakah kau tidak membawa Papa ikut bersamamu?" Suara Chanyeol pecah. "Aku mohon, biarkan Papa di sini bersama Daddy hmm?" Tenggorokannya tercekat hingga napasnya tersengal, dadanya sakit sekali. "Jangan bawa Papa bersamamu."
Jackson memang sering melihat ayahnya diam-diam menangis seorang diri, tapi tak sekalipun ayahnya menangis di hadapannya. Dan, hari ini untuk pertama kalinya ia akhirnya melihat pertahanan ayahnya runtuh. Mata bulat serupa miliknya itu memerah sebelum akhirnya menjatuhkan bulirnya.
"Maafkan Daddy," ujarnya. Jarinya segera mengusap air matanya kasar. "Ah, kenapa aku menangis." Ucap Chanyeol sambil mendongakkan kepala, berusaha menahan air matanya agar berhenti mengalir.
Jackson bergerak mendakati Chanyeol, tanpa ragu segera memeluk ayahnya. "Tidak apa Dad, bukankah Daddy pernah bilang jika menangis tidak akan membuat kita terlihat lemah. Itu manusiawi, jika Daddy sedih menangis saja ada Jack di sini."
Chanyeol tak kuasa, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah tanpa bisa dibendung lagi. Untuk hari ini ia tak lagi menahannya, semuanya pecah di pelukan putranya. Pundak sempit itu menjadi saksi bisu seberapa banyak air mata yang Chanyeol tumpahkan. Punggung lebarnya bergetar meski tak ada suara apapun yang keluar dari bibirnya.
Jackson tidak memiliki ide tentang apa kalimat yang harus ia katakan, ia buntu bagaimana harus menghibur ayahnya. Karena saat ini rasanya ia juga ingin menangis, kesedihan itu nyatanya turut menular padanya. Jackson terdiam sambil menepuk pelan punggung ayahnya, menikmati embusan angin dengan suara isakan yang teredam sebagai latar.
...
Tangan berjari lentik itu Chanyeol usap perlahan menggunakan handuk basah. Menyekanya dengan lembut dan sangat hati-hati seolah benda berharga yang akan pecah jika sedikit saja ia perlakukan dengan kasar.
Pada akhirnya dokter memang tidak bisa menyelamatkan bayi mereka. Hanya Baekhyun yang selamat, meski sampai sekarang ia tak kunjung membuka matanya. Selang-selang itu terpasang di hidung dan tangannya. Napasnya sudah lebih teratur sekarang, begitupula dengan detak jantungnya.
Tapi kenapa Baekhyun betah sekali tertidur seperti itu?
Hari-hari Chanyeol tak pernah berhenti mempertanyakan hal itu. Ia tak bisa tenang, selalu diliputi kalut. Takut jika Baekhyunnya tak mau membuka mata lagi untuk selamanya.
Lagi-lagi pria tinggi itu menangis. Kali ini ia boleh bernapas lega karena tak ada siapapun selain dirinya dan Baekhyun di ruang itu. Chanyeol bingung, entah pada siapa ia harus marah. Kepada Jane kah? Atau kepada dirinya sendiri?
Mungkin jika ia tak bertindak gegabah Jane tak akan senekat itu. Atau mungkin jika ia tak mengajak Baekhyun pindah ke New York ini semua takkan terjadi. Andai hari itu ia tak membiarkan Baekhyun membeli kopi seorang diri dan bagaimana jika saat itu ia bisa berlari lebih cepat?
Chanyeol tidak mengerti dari mana semua kejadian itu mulai salah.
Tapi bukankah nasi sudah menjadi bubur? Terlalu sia-sia jika terus menyesalinya sekarang. Toh, Jane juga sudah mendekam dipenjara, meskipun Chanyeol masih ingin membakar wanita itu hidup-hidup jika mengingat apa yang telah ia lakukan.
Selesai dengan kegiatannya membersihkan tubuh Baekhyun pria itu kembali mendudukkan diri di sampingnya. Mengusap tangan mungil itu sayang, sambil menciuminya beberapa kali. Kini mata bulatnya ia arahkan untuk menatap wajah damai sang pujaan hati.
Untuk sepersekian detik Chanyeol membeku. Mata bulan sabit yang selalu menjadi kesukaannya itu terbuka sambil menatap lurus ke arahnya. Chanyeol benar-benar terpaku, diam seperti pria dungu yang kehilangan akal sehatnya.
Rupanya hari ini doa-doa yang telah ia panjatkan berhasil menembus langit, Baekhyun akhirnya bangun dari tidur panjangnya.
Chanyeol tak tahu bagaimana menjelaskan rasa bahagianya, yang jelas buncahan itu masih berdesir hebat bahkan ketika Baekhyun sudah selesai menjalani berbagai macam pemeriksaan lanjutan.
Sepeninggal para petugas medis Chanyeol bisa melihat Baekhyun yang mencoba memanggil namanya. Suaranya tak keluar, dokter bilang itu hal wajar mengingat Baekhyun sudah enam bulan terbaring koma. Pria mungil itu membutuhkan beberapa terapi untuk bisa mengembalikan seluruh fungsi tubuhnya seperti sedia kala.
Chanyeol tak menghiraukan kalimat apa yang coba Baekhyun ucapkan, ia terlalu sibuk memeluk Baekhyun. Mendekap tubuh ringkihnya sambil menumpahkan tangis bahagia di dadanya.
"Baekhyun... Terima kasih, terima kasih sudah bertahan dan kembali bersamaku."
Chanyeol ciumi wajah pucat itu hingga ikut basah karena air matanya. Baekhyun tidak memprotes, karena kini air matanya juga menetes. Ia ingat semuanya, kejadian naas yang menimpanya. Si mungil membalas pelukan Chanyeol lemah dengan seulas senyum tipis di bibirnya.
...
Dua hari berlalu sejak Baekhyun membuka mata. Pria manis itu terlihat masih pucat namun binar di matanya berangsur-angsur nampak cerah lagi. Ia bahkan sudah bisa duduk di atas ranjangnya, suaranya perlahan juga mulai terdengar meski sangat lirih.
Ia tak pernah menyangka jika dirinya sudah berbulan-bulan terbaring di sana. Yang Baekhyun ingat kejadian itu seperti baru kemarin terjadi.
"Papa!" Si kecil Jackson datang bersama Willis. Bocah itu masih menggunakan setelan seragam sekolahnya berlari menghampiri Baekhyun yang duduk di ranjang inap, memberikan ciuman manis serta pelukan hangat.
"Halo jagoan!" Baekhyun meminta Chanyeol mengangkat Jackson agar bisa duduk di sampingnya. Lantas ia ciumi wajah putranya sayang.
"Hai Will," Sapa Baekhyun kini beralih pada sosok tinggi berkulit putih yang memasuki kamar inapnya. Chanyeol menyambut Will dan mengambil alih bingkisan yang pria itu bawa. "Terima kasih."
"Aku senang sekali begitu mendengar kabar kau sudah sadar."
"Apa kau terkejut?"
"Tentu, tapi aku sudah menduga jika kau pasti bisa melalui ini semua."
Baekhyun tersenyum. "Aku sendiri juga tidak menyangka kalau sudah tertidur selama itu."
"Aku tahu kau orang yang kuat Baekhyun. Lalu bagaimana kata dokter?"
"Baekhyun masih harus melakukan beberapa terapi agar semua bisa normal kembali." Kali ini Chanyeol yang menjawab.
"Kau harus cepat pulih."
"Tentu, lagipula siapa yang mau berlama-lama di sini. Aku juga sudah tidak sabar ingin melihat putra bungsuku-" Baekhyun tersenyum lembut mengatakannya. Sementara dua orang dewasa lain di sana saling bertukar pandang.
"Sangat disayangkan aku tak bisa merawatnya selama ini. Kau pasti sudah bertemu dengannya kan? Bagaimana dia? Apakah menggemaskan? Menurutmu wajahnya lebih mirip aku atau Chanyeol?" Senyuman Will kaku membalas pertanyaan Baekhyun. Mata elangnya beberapa kali berpendar melirik Chanyeol meminta bantuan.
.
"Chanyeol aku ingin melihat Baby J," Itu adalah rengekan yang entah keberapa Baekhyun ucapkan kepada Chanyeol hari ini.
"Kita akan bertemu dengannya jika kau sudah sembuh oke? Sekarang waktunya minum obat." Baekhyun mengerucutkan bibirnya tak senang meskipun tetap menuruti apa yang Chanyeol ucapkan.
Tiga minggu berjalan tanpa terasa. Chanyeol senang Baekhyun pulih dengan cepat. Tapi di sisi lain ia mulai gusar.
"Aku bosan berada di sini. Tidak bisakah kita pulang saja? Aku bisa melanjutkan terapi di rumah, lagipula dokter mengatakan jika progress ku bagus, beberapa kali terapi lagi pasti aku sudah bisa berjalan normal."
Chanyeol memberikan gelengan tidak setuju. "Tidak, akan lebih baik jika kau di sini sampai benar-benar sembuh dan bisa berjalan dengan normal lagi."
Chanyeol pikir penderitaannya telah berakhir begitu Baekhyun bangun dari komanya. Tapi nyatanya tidak, sekarang ia terus dihantui rasa takut. Takut kehilangan Baekhyunnya lagi, takut pria itu kembali sakit setelah mengetahui kebenarannya. Chanyeol buntu memikirkan bagaimana cara terbaik menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tentang putra mereka dan bagaimana kondisi pria itu sekarang.
Chanyeol sengaja mengulur waktu. Ia belum siap, hati dan pikirannya belum menyiapkan tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Tapi hari yang terus Chanyeol hindari itu pada akhirnya akan tiba juga. Kini Baekhyun sudah diperbolehkan pulang. Pria mungil itu terkejut ketika memasuki apartemen mereka. Willis ada di sana bersama Jackson, menyambut kepulangannya dengan sebuah boneka beruang raksasa dan kue coklat bertabur strawberry kesukaan Baekhyun. Senyum lebar tercetak di bibir tipisnya sebagai reaksi atas kejutan yang diberikan untuknya.
"Selamat datang Papa!" Jackson berseru penuh semangat sebelum berlari dan menghambur dalam pelukan Baekhyun.
...
"Chanyeol kenapa kita pergi ke sini? Bukankah kita akan menemui Baby J?" Baekhyun mengangkat satu alisnya heran. Hari ini ia sudah sangat bersemangat karena Chanyeol akhirnya setuju untuk membawanya menemui putra bungsunya. Tapi Baekhyun berubah bingung ketika pria itu malah mengendarai mobilnya ke tempat pemakaman umum.
Chanyeol turun pertama kali, mengambil bucket bunga di kursi belakang yang diikuti Baekhyun.
"Kita mau ke makam siapa?" Baekhyun menerawang memperhatikan sekitar. Chanyeol tak mengatakan apapun alih-alih menuntun Baekhyun menuju makam yang rutin ia kunjungi.
"Chanyeol kita mau ke mana?" Rengek Baekhyun masih tak mendapati tanggapan.
Kedua pasang kaki itu berhenti tepat di hadapan sebuah gundukan tanah dengan nisan berukiran nama yang Baekhyun kenal di luar kepala. Jasper Park, itu adalah nama yang Baekhyun pilih untuk menamai putra keduanya.
"Chanyeol apa maksud ini semua?"
"Kau ingin bertemu Baby J kan? Dia ada di sini." Ujar Chanyeol mencoba menjelaskan.
Baekhyun tersenyum tak percaya, otaknya mendadak dungu. "Chanyeol kuperingatkan padamu jika kau sedang bercanda ini sama sekali tidak lucu!"
Chanyeol menangkap lengan Baekhyun yang perlahan menjauh darinya. Menariknya perlahan, lantas ia genggam telapak tangan mungil itu.
"Maaf karena tak memberitahumu sejak awal. Hari itu dokter tidak berhasil menyelamatkan Jasper."
"Tidak mungkin...," bisiknya lirih. Baekhyun pikir detik itu ia seperti kehilangan nyawanya.
"Baekhyun maafkan aku..."
"KAU BERBOHONG!" Baekhyun menjerit. Jeritan yang terdengar begitu memilukan.
"Semua ini tidak benar kan Chanyeol! Kau berbohong padaku!" Jiwanya seolah ditarik paksa dari raganya. Tak pernah Baekhyun bayangkan rasanya akan semenyakitkan ini. Hatinya lebur membayangkan bayi malang yang bahkan tak sempat ia lihat rupanya.
"Kau berbohong," suaranya melirih. Kakinya melemah sementara tubuhnya ambruk dalam pelukan Chanyeol.
...
Pecahan kaca tercecar di seluruh penjuru kamar. Beberapa serpihan mengenai tangannya, tapi ia tak ambil peduli. Baekhyun meringkuk dengan lelehan air mata yang telah mengering. Kakinya ia peluk dengan kedua lengannya, sedangkan kepalanya terkulai lemah di atas lututnya.
Belum usai rasa sedih akan kehilangan darah dagingnya, Baekhyun harus menelan pahit satu fakta lain.
Ia abaikan teriakan seseorang di luar kamarnya. Terlalu bising, ia hanya ingin waktu sendiri.
BRAK!
Pintu kayu itu berhasil dibuka paksa dari luar. Mata bulat Chanyeol segera menyusuri tiap sudut ruangan. Menemukan Baekhyun yang tengah menggigit-gigit jarinya. Meringkuk seorang diri di sudut kamar. Mata sabit itu menatap sendu ke depan. Terlampau kosong seperti tak ada lagi kehidupan di dalamnya.
"Baekhyun," panggil Chanyeol.
Chanyeol mengangkat tubuh ringkih itu. Menjauhkannya dari serpihan kaca yang bisa melukainya lebih banyak lagi. Baekhyun tidak berontak, tidak juga mengatakan sepatah kata apapun. Jackson yang melihat bagaimana kondisi Papanya hanya bisa menangis di ambang pintu.
"Jack ambilkan kotak obat untuk Papa!" Seru Chanyeol sambil membopong tubuh Baekhyun ke atas sofa. Tanpa menunggu, Jackson dengan sigap segera berlari mengambilkan apa yang Daddynya minta.
Hari-hari berikutnya kondisi Baekhyun tak jauh berbeda. Ia masih menolak bicara dengan siapapun. Memilih mengurung diri di dalam kamar seharian. Kamar yang sama di mana pria itu mengamuk beberapa hari lalu. Tapi kini Chanyeol sudah memastikan tak ada benda-benda yang berpotensi membahayakan di dalam sana.
Tak banyak hal yang bisa Chanyeol lakukan, ia tak ingin membuat Baekhyun semakin tertekan. Chanyeol memutuskan untuk memberikan sedikit ruang untuk Baekhyun. Menunggunya hingga benar-benar siap menerima kenyataan yang ada.
Suara pintu yang diketuk dari luar sama sekali tak menarik minat Baekhyun. Baekhyun memutar tubuhnya, memunggungi Chanyeol yang masuk ke kamarnya. "Waktunya makan."
Baekhyun hanya menjawab dengan sebuah gumaman kecil, tak ingin repot-repot menoleh ke arahnya.
Usai meletakkan nampan berisi sarapan di atas nakas Chanyeol menghela napasnya pelan.
"Sampai kapan kau akan mengurung diri seperti ini?" Pertanyaan Chanyeol dibiarkan tanpa balasan.
"Aku mengerti kau mungkin butuh waktu untuk menenangkan dirimu, tapi ku mohon jangan abaikan Jackson. Jangan buat Jack sedih dan merasa semakin buruk. Dia hanya tak mengerti apa yang sedang terjadi."
Baekhyun lalu memutar tubuhnya, menatap ke arah Chanyeol yang berdiri di samping ranjangnya.
"Dia menangis saat kau sakit. Dia adalah orang pertama yang selalu mengucapkan selamat pagi padamu dan menunggumu bangun. Apa kau tahu, bahkan bocah malang itu selalu berdiri di depan kamarmu hanya untuk berjaga-jaga jika kau membutuhkan sesuatu."
Baekhyun tergugu, kenyataan yang Chanyeol ucapan menamparnya telak. Nyatanya ia terlalu egois. Tak pernah terpikirkan jika putranya juga turut menderita karena sikapnya.
Pintu kamar Baekhyun kembali tertutup dan Chanyeol segera menemukan Jackson yang tengah menunggunya. "Daddy, bagaimana keadaan Papa?" Tanya Jackson dengan wajah khawatirnya.
"Papa baik, hanya butuh istirahat sedikit lebih lama lagi." Ucap Chanyeol sambil mengusap surai putranya sayang.
Jackson mengangguk mengerti. Lalu kembali duduk di samping kamar Papanya.
Pada hari berikutnya Jackson terkesiap ketika pintu kamar Papanya tiba-tiba terbuka dari dalam. Wajah cantik yang amat ia rindukan muncul menghampirinya. "Papa! Papa sudah sembuh? Atau Papa butuh sesuatu?" Tanya Jackson bertubi-tubi menyambutnya.
Raut khawatir itu nyatanya membuat Baekhyun semakin hancur. Tidak memiliki pilihan lain selain berjongkok mensejajarkan tingginya dengan sang putra.
Baekhyun menggeleng dengan hati rapuhnya. "Maafkan Papa,"
"Apakah Papa marah kepada Jack?" Baekhyun memejamkan matanya sejenak. Menelan pertanyaan polos putranya bulat-bulat.
Baekhyun sentuh wajah putranya lembut. "Tidak sayang, Papa tidak marah kepada Jackson."
"Papa, maaf jika Jack nakal, maafkan Jack kalau selalu membawa kesialan untuk Papa." Baekhyun tidak mengerti dari mana pemikiran itu berasal. Tapi yang pasti kalimat itu sukses membuat hatinya remuk redam. Bagian lain dari dirinya hancur berkeping-keping.
"Apa yang Jack katakan? Itu semua tidak benar!" Air mata Baekhyun berdesakkan keluar, tak kuasa menahan koyak hatinya. Baekhyun tak pernah tahu jika apa yang ia lakukan memengaruhi pemikiran putranya sebegitu jauh. Ia terlalu egois, hanya memikirkan batinnya yang sakit, tubuhnya yang cacat, serta kematian putranya yang tak adil. Baekhyun lupa jika punya putra lain yang selama ini tak pernah becus ia urus.
Baekhyun kemudian membawa Jackson ke dalam pelukannya yang rapuh. "Maafkan Papa, Jack maafkan Papa." Mohonnya penuh tangis.
...
Mereka berhadapan kembali, tapi kali ini tidak secara pribadi. Seluruh orang nampak tegang ketika seorang wanita dengan penampilan lusuhnya dibawa masuk. Tangannya dihiasi borgol sementara tubuhnya terbalut setelan tahanan. Tubuhnya jauh lebih kurus dan jelas sekali tak terurus.
Namun bukannya iba, Chanyeol malah melihatnya dengan rasa marah. Perasaan itu secara spontan merasuki dirinya. Tangannya terkepal di samping tubuh, rahangnya mengeras, sedang matanya menatap tajam. Baekhyun yang duduk di kursi saksi pun tiba-tiba merasa sesak melihat wajah itu lagi.
Jane dan pengacaranya begitu gigih memberikan pembelaan, di sisi lain pihak Chanyeol dan Baekhyun juga tak ingin kalah. Mereka takkan membiarkan wanita itu lolos. Lagipula semua bukti dan saksi sudah jelas di sini.
Peradilan panjang yang melelahkan itu akhirnya berakhir, wanita itu tak bisa berkutik lagi. Tak ada yang bisa dia lakukan selain menerima semua tuduhan.
Jane didakwa atas tindak pembunuhan, penyerangan yang mengakibatkan kecacatan, penyebarluasan data pribadi secara ilegal, serta pencemaran nama baik.
Terpidana Jane Seymor dengan ini dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Pengajuan kasasi dan banding dinyatakan ditolak, putusan hakim bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
Chanyeol membawa Baekhyun dalam pelukannya. Semua orang bersorak, bernapas lega begitu hakim membacakan putusan akhir. Air mata Chanyeol tanpa sadar menetes, sedangkan Baekhyun sudah lebih dulu menangis.
Jane di sebrang sana tak terima, wanita itu mengamuk, menangis, menjerit, dan yang terakhir ia lakukan adalah bersujud di bawah kaki Chanyeol dan Baekhyun. Memohon agar bisa diberi keringanan hukuman
Tapi semua itu sia-sia, semua sudah berakhir. Tidak ada kata maaf. Terlambat, putranya takkan bisa dihidupkan kembali dan waktu takkan bisa diputar ulang.
...
1 Year Later
Pagi yang sibuk kini selalu menjadi rutinitas Baekhyun. Pria itu akan bolak-balik berlarian di sekitar dapur. Membagi fokusnya untuk menyiapkan sarapan serta membantu putra semata wayangnya bersiap untuk berangkat ke sekolah.
Sesekali ia juga akan mampir untuk melihat Chanyeol yang sibuk dengan iPad ditangannya. "Letakkan dulu pekerjaanmu, ayo kita sarapan!"
Hari demi hari ia lalui, perlahan mencoba menyembuhkan luka batinnya. Menerima semua kenyataan yang ada mengikhlaskan apa yang telah terjadi.
"Hng? Iya sebentar." Sahut Chanyeol yang masih fokus dengan benda elektronik itu.
Baekhyun yang jengkel akhirnya merampas iPad di tangan Chanyeol. Sementara Chanyeol berubah panik, dengan segera mengambil kembali iPad miliknya. Ia tidak ingin Baekhyun membaca percakapannya dengan seseorang. Karena demi Tuhan Chanyeol masih berada dalam ruang obrolan itu.
"Kenapa?" Baekhyun yang merasa ada yang aneh hanya mengernyit. "Ah, maaf, apa kau sedang menghubungi kekasih barumu? Tenang saja aku tidak membacanya." Ucap Baekhyun enteng.
Sementara Chanyeol berubah kesal "Bicara apa kau ini!"
"Tidak perlu malu Chanyeol, kau sudah mengantongi restu dariku." ujar Baekhyun menggodanya.
"Sudah berapa kali kubilang agar tidak melantur! Tidak ada kekasih atau apapun itu."
"Kenapa? Apa tidak ada yang mau denganmu? Apa karena kau seorang duda beranak satu? Ah, kalau begitu biar aku saja yang mengasuh Jackson." Cibir Baekhyun.
Chanyeol menutup matanya, mencoba meredam segala emosi yang hendak meledak. "Tidak, sampai kapanpun Jackson akan bersamaku!"
Selain pagi yang sibuk, pagi Baekhyun juga sering sekali dibumbui dengan pertengkaran kecil itu. Ia selalu meminta agar Chanyeol mencari orang lain, mencari kekasih atau apapun itu. Tapi si telinga lebar selalu marah jika ia membahasnya.
Baekhyun hanya tak ingin mengikat Chanyeol bersamanya. Ia ingin Chanyeol menemukan seseorang yang jauh lebih baik darinya.
...
Mood Chanyeol rusak dari pagi, tapi hal itu tak menghentikannya untuk tetap pergi bekerja. Ia tidak senang dengan kalimat-kalimat konyol yang terus Baekhyun ucapkan akhir-akhir ini. Tapi sayangnya ia tidak bisa membencinya.
Besok adalah hari ulang tahun si mungil menyebalkan itu. Chanyeol berencana memberikan sedikit kejutan. Semua sudah Chanyeol rencanakan dengan matang dan ia harap kali ini semua berjalan mulus lancar tanpa hambatan.
Sebuah makan malam romantis mungkin sedikit terdengar klise tapi memang itulah yang Chanyeol siapkan. Pria jangkung itu menyewa sebuah restaurant bintang lima khusus untuk mereka berdua. Tidak seluruhnya, hanya sebuah ruang private yang bisa membuat mereka lebih intim nantinya.
"Tenang Park Chanyeol, semua pasti akan baik-baik saja." Gumam Chanyeol pada dirinya sendiri. Kini ia sedang dalam perjalanan menjemput sang pujaan hati.
Jam telah menunjukkan pukul 9 malam, beberapa menit lalu Chanyeol lebih dulu mengirim pesan, menyuruh si mungil bersiap menggunakan baju yang telah Chanyeol siapkan sebelumnya.
Baekhyun terus bertanya ke mana mereka akan pergi, kenapa mereka tidak membawa Jackson ikut, bagaimana jika Jackson mencarinya, dan berbagai pertanyaan lain yang hanya dibalas singkat oleh Chanyeol.
Setelah perjalalan kurang lebih setengah jam akhirnya mereka sampai. Mereka berdua disambut hangat begitu memasuki restaurant dan berjalan menuju ruang VIP dengan diantar oleh salah seorang pelayan.
Pintu terbuka menampilkan sebuah meja makan yang dihiasi cahaya lilin beraroma. Lampu sengaja dibuat agak temaram dibantu cahaya bulan yang menembus dari atap kaca. Suara iringan musik klasik juga turut dihadirkan untuk menambah kesan romantis.
"Apa ini Chanyeol?" Untuk beberapa saat Baekhyun terkesima dengan pemandangan yang disuguhkan.
Chanyeol tak menjawab alih-alih menuntun Baekhyun untuk duduk di kursinya. "Kejutan kecil."
Belum genap lima menit Baekhyun duduk, pintu kembali terbuka oleh seorang pelayan. Ia datang membawa sebuah kue ulang tahun dan sebotol wine. Menuangkan cairan berwarna merah itu dengan elegan di gelasnya.
"Selamat ulang tahun."
Baekhyun tersipu. Ia sedikit merona dengan perlakuan Chanyeol. Merasa jika apa yang ia lakukan sedikit berlebihan. Seperti Baekhyun tidak pantas mendapatkan semua ini.
Malam itu Baekhyun dibuat berkali-kali terkejut. Entah ada berapa banyak hadiah lagi yang Chanyeol siapkan untuknya. Senyuman manisnya tak pernah hilang dan pria jangkung itu terus-terusan menatap memuja ke arahnya.
"Aku mencintaimu Baekhyun." Ucap Chanyeol tiba-tiba.
Baekhyun terkesiap, sedikit salah tingkah pula, tapi ia memutuskan bergeming.
Chanyeol cukup menelan pahit kenyataan saat lagi-lagi Baekhyun tak membalas ungkapan cintanya.
"Kau memyiapkan ini sendiri?" Tanya Baekhyun mencoba mengalihkan perhatian.
Chanyeol memberikan anggukan, masih menatap intens si mungil yang terus melarikan pandangan darinya.
"A-aku suka steiknya, bagaimana kau bisa menemukan restaurant seenak ini?" Kembali Baekhyun mengelak, mengalihkan pembicaraan dengan hal-hal tidak penting.
Chanyeol tak menjawab pertanyaan itu.
"Aku mencintaimu Byun Baekhyun." Lagi kalimatnya Chanyeol ulang. Baekhyun masih keras kepala, tak mau menanggapi alih-alih menyibukkan diri dengan makanannya.
Tapi hari ini Chanyeol takkan menyerah, sudah cukup ia mengalah. "Lihat aku!"
Bagaimanapun Baekhyun tidak bisa lepas dari dominasi pria itu. Secara otomatis kepalanya mendongak. Sedikit bergetar kala menyadari tatapan intens itu masih menghujaninya. "Berhenti menatapku–"
"Hadiah terakhir," potong Chanyeol. Pria itu mengeluarkan sebuah kotak beludru dari saku jasnya.
Bola mata Baekhyun melebar ketika sebuah cincin berhiaskan berlian Chanyeol sodorkan untuknya.
"Menikahlah denganku Byun Baekhyun."
Itu tak lebih dari empat kata, dilontarkan dengan pelan serupa bisikan. Dan, ini bukan pertama kali Baekhyun mendengarnya tapi kenapa dampaknya masih begitu besar?
Ia sempat kehilangan napasnya beberapa saat. Jutaan perasaan menghujam jantungnya, dan senyum di bibirnya perlahan menghilang.
"Aku—" tenggorokan Baekhyun rasanya tercekat.
"Aku tidak mau menerima penolakan lagi kali ini Byun." Chanyeol lebih dulu menginterupsi. Ia benar-benar tidak ingin kembali ditolak dengan alasan konyol lagi. Jujur ia masih tak mengerti dengan jalan pikiran pria di hadapannya.
"Kau bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku Chanyeol."
Omong kosong. Lagi-lagi omong kosong itu lagi.
"Tidakkah kau berpikir jika mencintaiku hanyalah kesia-siaan bagimu?" Baekhyun menatap Chanyeol dalam, "Memangnya apa yang kau dapat dari mencintaiku Park Chanyeol?"
Mata sabitnya ia alihkan, menatap kedua tangannya yang tertaut dingin di atas pahanya. "Aku seseorang yang cacat, lalu kenapa kau masih ingin menghabiskan sisa hidupmu denganku?"
Chanyeol pasti sudah menggebrak meja andai ia tak ingat sedang berada di mana. Merasa frustasi akan keadaan.
"Karena aku mencintaimu. Kau adalah satu-satunya orang yang aku inginkan di dunia ini." Chanyeol mengusap wajahnya kasar. "Tidakkah kau terlalu egois? Memnagnya kenapa jika kau tak bisa hamil lagi? Memangnya apa yang akan berubah? Tidak ada Baekhyun, kau masihlah Baekhyun ku. Aku mencintaimu bagaimanapun keadaanmu.
Chanyeol melanjutkan, "dan apa yang kau katakan? menikahi orang lain? Aku pasti sudah melakukannya bertahun-tahun lalu jika memang bisa. Tapi tidak Baekhyun, aku tidak bisa."
Tatapan yang tadinya menyoroti tajam itu berubah lembut ketika menyadari Baekhyun memandangnya sayu. Ada bulir-bulir air mata di sudut-sudut sabitnya serta beberapa yang telah turun membasahi pipinya. Barulah Chanyeol mengerti jika ia telah kehilangan kontrol akan dirinya sendiri.
Baekhyun kebingungan dengan apa yang tengah ia rasakan. Rasanya begitu penuh, meluap-luap, ia tidak ingin kehilangan Chanyeol tapi ia juga merasa tidak pantas. Bagaimana menjelaskannya?
Setelah semua yang terjadi, ia benar-benar merasa tidak pantas.
"M-maaf... kau seharusnya tidak terperangkap bersamaku."
Chanyeol bangkit dari duduknya, menghampiri Baekhyun untuk menangkup kedua rahangnya. "Aku tidak butuh orang lain, hanya kau yang kuinginkan Baekhyun."
Jemari Chanyeol bergerak mengusap pipi itu lembut dan menghapus jejak-jejak air mata di sana. Baekhyun mendongak, tenggelam dalam kedua obsidian pria di hadapannya, begitu pula sebaliknya. Dan ketika Chanyeol mulai mendekat Baekhyun menutup kedua matanya, menyambut apapun yang hendak pria itu lakukan.
"Apa kau tahu bagaimana gilanya aku saat kau terbaring koma selama berbulan-bulan?" Mata Baekhyun kembali terbuka ketika Chanyeol berbisik pelan padanya. "Saat itu aku berpikir untuk menghabisi diriku sendiri dan Jackson, lalu menyusul kalian berdua jika kau benar-benar pergi."
Mata sabit itu membola, terkejut dengan apa yang barusan Chanyeol katakan. Namun Chanyeol tak membiarkan otak Baekhyun mencerna lebih jauh karena ia lebih dulu mendapatkan bibirnya di bibir yang lebih mungil.
Ciuman tak dapat dihindari, dua manusia yang saling merindu itu saling berbagi. Di detik ini barulah Baekhyun menyadari jika mereka memang saling membutuhkan.
Baekhyun mengabaikan seluruh bisikan di dalam otaknya. Menutup mata erat untuk menyerahkan dirinya pada Chanyeol– wajah memerah oleh
hembusan hangat yang menerpa hidungnya. Chanyeol membungkukkan punggung semakin rendah untuk mulai menggerakkan bibir mereka lambat dengan satu tangan yang beristirahat pada pinggang sang pujaan hati.
Sesuatu dalam dada Baekhyun meletup-letup tidak karuan, detak jantung yang sangat berantakan terlanjur mengambil alih otaknya. Chanyeol kembali membisikkan sesuatu di sela jeda pendek ciuman mereka.
"Menikahlah denganku, teruslah di sampingku lalu kita perbaiki semua yang pernah kita sesalkan." Chanyeol menatapnya penuh permohonan. Tatapan bulat yang teramat tulus menginginkannya.
Baekhyun merasakan matanya kembali memburam. Hatinya tak pernah siap. Meski ia tahu jika hatinya hanya berlabuh untuk Chanyeol. Tapi jika ia mengiyakan, apa pria itu takkan menyesal nantinya?
"Kau tidak akan menyesal?" Lirih Baekhyun coba memastikan sekali lagi.
"Tidak, aku takkan menyesali apapun." Chanyeol tersedan, tubuhnya perlahan melemah ketika Baekhyun mengusap rahangnya.
"Kalau begitu—" ucapnya sangat parau hingga ia takut Chanyeol mungkin tak bisa menangkap kalimatnya. Baekhyun menelan ludahnya, masih mencoba mempertahankan kontak matanya yang gemetaran. "Ayo kita menikah, dan memperbaiki apa yang selalu kita sesalkan."
...
..
.
END
Akhirnya sampe endingnya juga.
Kalau boleh tahu apanih kesan pesannya setelah baca cerita ini? Atau buat masing-masing tokohnya? Tolong tulis di komentar ya!
Aku mau ngucapin banyak-banyak terimakasih buat para reader-nim yang sudah baca sampai sejauh ini. Terimakasih atas support yang diberikan pada ceritaku yang jauh dari kata sempurna dan banyak sekali kekurangannya. Makasih juga karena sudah sabar menanti kelanjutan setiap babnya
Kalau ada yang ingin disampaikan ke aku boleh banget ya, kalian bisa langsung tulis di kolom komentar atau DM. Segala bentuk kritik dan saran yang membangun pasti aku terima.
Sampai jumpa di cerita selanjutnya
