Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.

Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.

.

.

Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei

.

Chapter 27

.


.

Berkat Montgomery yang ternyata telah terbangun entah sejak kapan, ia membawa Nagiko keluar dari Ruangan Anne dan keponakan Bos ADB itu tidak melupakan apa pun yang terjadi di dimensi tersebut, terutama ceramah Paman Yukichi yang dituturkan panjang lebar dengan susah payah dalam kondisinya yang seperti itu.

Keluar dari Ruangan Anne, Nagiko langsung memanggil taksi untuk ke rumah sakit. Jalanan tidak ramai, tapi gadis itu tahu diri untuk tidak meminta supir melanggar peraturan lalu lintas dengan mengebut mentang-mentang jalanan lancar. Tiba di rumah sakit, ia segera ke meja resepsionis, menanyakan kamar rawat Dazai-san. Habis itu Nagiko segera menuju lift dan setengah berlari mencari nomor kamar rawat yang diincarnya.

Begitu tiba di depan kamar, gadis itu membuka pintunya perlahan, langsung disuguhi pemandangan Dazai-san yang mengenakan baju pasien, dan setidaknya ada dua selang terhubung di tubuhnya. Pemuda itu yang sedang duduk di ranjang rawatnya dan memegang ponsel yang ditempelkan di telinga. Mantan Eksekutif Mafia itu menoleh ke arah pintu, tampak agak tercengang karena mungkin tidak menyangka bahwa Nagiko akan datang.

Kemudian Dazai-san mengerjap sejenak sebelum ia mengeluarkan suaranya lagi ke ponselnya, "Tanizaki, kuhubungi lagi nanti." Lalu ia menurunkan ponselnya, tersenyum pada gadis itu. "Nagiko," panggilnya lembut.

Nagiko masuk dan menutup kembali pintu kamar rawat Dazai-san. Tanpa ba-bi-bu, gadis itu berjalan cepat menghampiri Sang Pasien. Ia pikir, kalau ia terlalu banyak menunda, kemungkinan keberaniannya keburu lenyap dan tidak jadi menyatakan perasaannya seperti yang sudah-sudah. Jadi dengan nekad dan tidak mengatakan apa-apa, Nagiko mencium bibir Dazai-san.

Gadis itu tidak tahu cara mencium bibir seseorang. Ia pernah melihatnya di drama yang ditontonnya, tapi ia tidak pernah mempraktekkannya sendiri. Kunikida-san pernah mencium bibir bawah Nagiko, tapi ya hanya menempel begitu saja. Jadi dengan contoh yang pernah ia alami sendiri, gadis itu melakukan hal yang sama—mencium bibir bawah Dazai-san.

Ia bisa merasakan pemuda itu mematung, mungkin karena terkejut. Jangankan Dazai-san, Nagiko sendiri juga kaget. Tapi ketika Nagiko memutuskan untuk melepaskan diri, tangan Dazai-san menahan tubuhnya dan mengambil alih sesi ciuman mereka. Pemuda itu mendekapnya erat, sampai Nagiko balas memeluknya sambil meladeni bibir Dazai-san sebisanya.

Dan ketika akhirnya Dazai-san berhenti menciumnya, Nagiko baru sadar bahwa ia agak sesak nafas sekarang. Ia terengah di pelukan pemuda yang masih duduk di ranjang itu.

"Nagiko," gumam Dazai-san lembut, kemudian mencium kening Si Gadis. "Sayangku…, akhirnya."

Wajah gadis itu terasa sangat hangat, Dazai-san pasti bisa melihat rona merah di wajah Nagiko. Dengan sayang, pemuda itu menyelipkan rambut keponakan bosnya di samping telinga, lalu mengelus pipi Si Gadis.

"D-Dazai-san, aku boleh cerita?" tanya Nagiko. "Maksudku, saat Dazai-san menyatakan perasaanmu, Dazai-san juga cerita banyak, jadi kupikir, aku ingin melakukannya juga."

Pemuda itu tersenyum lembut dan mengangguk. "Tentu saja, aku mau dengar semuanya." Dazai-san menggenggam tangan satu tangan Nagiko, jadi gadis itu duduk di tepi ranjang bersama dengan Sang Pasien.

"Dazai-san," mulai Nagiko, dijawab 'hm?' halus rekannya. "Kalau tidak ada Dazai-san, jika ada yang tanya tentang orang yang kusukai, jawaban termudahku adalah Kunikida-san."

"Aduh," ringis Dazai-san spontan, mau tak mau Nagiko menyengir kecil.

Tapi setelahnya Nagiko tersenyum pedih. "Tapi, nyatanya, menyukai Kunikida-san itu merepotkan. Aku selalu insekyur dengan banyak hal. Walau sudah berusaha untuk menarik perhatiannya dengan menjadi yang ideal baginya, aku jadi dihantui pikiran bahwa jika seandainya aku berhasil menarik perhatiannya, maka suatu saat dia akan mudah berpaling pada yang lebih ideal terutama jika aku lengah pada salah satu poin yang dia tulis. Tapi, bahkan ketika aku acak-acakan, Dazai-san dengan santai membantuku merapikan rambutku sambil tersenyum. Rasanya, kalau bersama Dazai-san, aku jadi santai. Kalau dengan Dazai-san, aku tidak perlu khawatir.

"Dan itu tidak hanya berlaku tentang gaya pakaianku saja. Sehari-hari, kalau kutahu ada Dazai-san, rasanya aku jadi tahu semua akan baik-baik saja pada akhirnya. Jadi, Paman memaksaku menyadari sesuatu tadi, tentang alasan kenapa aku jadi bisa mengendalikan The Pillow Book."

Dazai-san mendengarkan sambil tersenyum lurus padanya, membuat Nagiko tahu bahwa pemuda ini pun sebenarnya tahu apa yang membuat gadis itu bisa terlelap sendiri belakangan ini.

"Ketika Dazai-san tidak menyentuhku, aku bisa terlelap, itu karena aku merasa tenang. Aku tahu bahwa Dazai-san ada untukku walau secara fisik tidak benar-benar ada di sampingku." Nagiko membalas genggaman tangan Dazai-san yang kemudian mengelus punggung tangan gadis itu dengan ibu jari. "Dazai-san … aku mencemaskanmu, tapi bukan karena aku takut tidak akan bisa tidur, soalnya aku masih bisa tidur dengan bantuan Kak Akiko."

Dazai-san mengangguk sambil terus tersenyum. "Paham, Nagi, aku paham."

Gadis itu menarik nafas dalam sebelum melanjutkan perkataannya. Ia tahu bahwa ia harus mengatakan inti dari perkataannya mengenai perasaannya, tapi ketakutan Nagiko mencuat lagi. "Dazai-san, janji tidak akan hilang setelah aku menyatakan perasaanku?"

Senyum Dazai-san lenyap, pemuda itu mengerjap, mungkin bingung. Nagiko pikir, dari semua detil kecelakaan yang menewaskan kedua orangtuanya, mungkin Paman Yukichi tidak menceritakan bagian yang satu itu pada anak buahnya ini. "Aku janji untuk tidak pergi jauh darimu, kan?"

Nagiko memegang tangan pemuda itu dengan kedua tangannya. "Dazai-san … malam itu, papaku bilang akan membawa kami ke kebun binatang besoknya sebagai hadiah karena aku terpilih sebagai perwakilan prefektur untuk lomba memanah. Saking senangnya, kubilang bahwa aku sangat menyayangi papa dan mamaku. Tidak sampai dua menit setelahnya, mobil kami terhantam truk."

" … ah, makanya kamu takut setelah ini aku akan pergi juga," konklusi Dazai-san, paham, lalu tersenyum pedih. "Makanya, walau kamu sudah tahu tentang perasaanmu sendiri, dari kemarin-kemarin itu kamu tetap tidak menyatakannya padaku?"

Gadis itu mengangguk lesu. "Maafkan aku…."

Dazai-san mengelus pipi Nagiko lagi dengan tangannya yang bebas. "Sayangku, aku tuh, hobi cari mati, lho, dan sampai detik ini masih hidup. Jadi, kupikir, sekalipun tiba-tiba bangunan ini ambruk dan membuatku tertindih banyak batu besar, aku akan tetap hidup. Jadi, kamu jangan khawatir soal itu. Kalau tidak percaya, kenapa tidak kita buktikan dengan pernyataan sayang darimu?"

Nagiko termegap kecil, ia menggigit bibir. Waktu itu Dazai-san bilang bahwa Nagiko tinggal mencium bibirnya sebagai jawaban kalau ia punya perasaan yang sama. Karena mereka telah berciuman tadi, berarti seharusnya gadis itu tidak perlu lagi menggunakan kata-kata lagi, kan? Tapi tampaknya Dazai-san masih ingin mendengar lewat suara gadisnya.

Pemuda itu tersenyum lembut, lalu mengusap pelan bibir Nagiko. "Kalau sulit, mau kubantu pancing?"

"Eh?"

"Sayang." Pemuda itu menarik tubuh Nagiko agar mendekat lagi kepadanya, lalu Dazai-san mencium keningnya. "Nagiko, aku mencintaimu."

Si Gadis menelan ludah susah payah. Ia meremas baju Dazai-san saking gugupnya, tapi ia juga bisa merasa bahwa pemuda itu sedang berusaha membuatnya tenang dengan mengelus punggungnya.

"Dazai-san," kata Nagiko yang akhirnya menemukan suaranya, "Dazai-san, aku mencintaimu."

Dengan cepat, entah bagaimana, kini Nagiko ada di bawah Dazai-san. Gadis itu termegap kaget melihat pemuda itu di atasnya. Dazai-san tersenyum bahagia, tapi sempat meringis sambil memegang perutnya, membuat Nagiko jelas cemas.

"Perutmu—astaga, Dazai-san kan, habis operasi!" pekik Nagiko.

"Hahaha—," tawa pemuda itu sambil agak meringis, "—tidak apa—"

"—kalau lukanya terbuka lagi, bagaimana?!"

"Nagi," ucap Dazai-san, menempelkan dahinya pada dahi gadis itu, "setelah aku mendengar pengakuanmu, mati sekarang pun aku rela."

Spontan Nagiko memukul pundak lelaki itu. "Akunya yang tidak rela!"

Dazai-san terkekeh. "Maaf, deh, aku bercanda." Lalu ia berdeham sambil tersenyum. "Aku sumpah, aku tidak akan melakukan percobaan bunuh diri lagi, kecuali jika kamu mau ikutan bunuh diri denganku."

Nagiko manyun. "Kenapa jadi bawa-bawa aku…."

"Karena kita saling mencintai, Sayang."

Gadis itu kembali tersipu mendengarnya. Suara Dazai-san terdengar lembut dan tegas bersamaan. Si Pemuda tersenyum, lalu mulai mencium kening Nagiko, turun ke kelopak matanya, setelahnya ke pipi gadis itu.

"Nagi, sepertinya ini sudah dua menit," ucap Dazai-san kemudian, ia tersenyum lebar di atas gadis itu, "dan, lihat, kan? Aku masih disini bersamamu, lho."

Mata gadis itu memanas dan berkaca-kaca. Air matanya perlahan mengalir ke pipinya, Nagiko terisak sambil mengangguk. Dirasakannya jemari Dazai-san menghapus air mata yang mengalir jatuh lewat pipi gadis itu, dan ia melakukannya sambil terus berbisik 'aku mencintaimu' pada Si Gadis.

Dan ketika Nagiko sudah lebih tenang dan berhenti mengisak, ia berusaha menatap lurus pada Dazai-san yang masih menatapnya dengan sayang. "Dazai-san."

"Hm?"

" … aku mencintaimu," cicit Nagiko.

"Aku jauh lebih mencintaimu, Nagi."

Keduanya tidak mengatakan apa-apa lagi, karena Dazai-san telah mempertemukan bibir mereka lagi. Awalnya memang hanya sekedar dua pasang bibir yang saling menempel, tapi kemudian Nagiko merasakan kepala pemuda itu mulai miring dan bibir bawahnya diisap lembut sambil menarik gadis itu masuk dekapannya. Si Gadis meladeni Dazai-san sebisanya, ia tidak berani memegang pinggang pemuda itu—takut kena bagian yang kena tembak, makanya Nagiko hanya terus memegang lengan dan pundak rekannya saja. Ia melenguh pelan sesekali dalam ciuman mereka, dan Nagiko bisa merasakan bibir Dazai-san tersenyum di bibirnya sendiri.

Entah sudah berapa lama mereka dalam posisi seperti itu, tapi akhirnya bibir Dazai-san lepas juga. Ada dua hal yang membuat Dazai-san akhirnya menghentikan ciuman mereka. Pertama adalah karena Nagiko sudah agak mendorongnya untuk lepas, pasalnya gadis itu sudah keburu membutuhkan oksigen untuk kembali bernafas—ia agak heran Dazai-san masih bisa terus bernafas setelah seperti itu, tapi mungkin pemuda itu sudah terbiasa dan lebih berpengalaman dibanding keponakan bosnya.

Alasan kedua adalah karena ada kucing yang menggaruk-garuk luar kaca jendela kamar rawat Dazai-san seakan minta masuk. Kucing itu tampak persis seperti Mii-chan, kucing Haruno-san, dan ia membawa ikan sarden kering di mulutnya.

"Ah—" celetuk Dazai-san sambil agak buru-buru membuka jendelanya, tapi kemudian meringis sambil memegang perutnya—disitu Nagiko baru teringat lagi bahwa pemuda itu baru saja menjalani operasi beberapa jam lalu.

Begitu jendela dibuka, Mii-chan langsung melompat masuk, mengeluskan puncak kepalanya sendiri ke paha Nagiko yang sudah duduk di ranjang rawat Dazai-san. Dengan bingung, gadis itu membalas mengelus leher Si Kucing. Lalu Mii-chan menaruh ikan yang dibawanya di tangan Nagiko, setelahnya agak mendesis pada Dazai-san.

Gadis itu luar biasa bingung dengan kucing satu ini. Ia bertambah bingung ketika ia merasa ada yang aneh pada bagian perut ikan sarden yang diberikan Mii-chan. Sambil mengernyit, ia agak mengoyak ikan kering tersebut, mendapatkan sebuah chip data disana. Terbelalak, Nagiko spontan menatap Dazai-san. Pemuda itu tampak kaget juga, tapi kemudian menyengir pada Si Kucing.

"Makasih, lho, sensei," ucap Dazai-san.

Mungkin hanya perasaan Nagiko saja, tapi Mii-chan malah membuang muka, sampai Dazai-san saja mencibir. Tanpa ba-bi-bu, Mii-chan kembali melompat keluar lewat jendela, berlari entah kemana. Kemudian Dazai-san mendekati Nagiko lagi, mengambil chip data yang Nagiko temukan, lalu mengangguk sendiri. Diraihnya ponsel di nakas, memencet tombol beberapa kali, lalu menempelkan gawai itu di telinganya.

"Ah, Tanizaki? Ke tempatku sekarang dengan laptopmu, ada chip yang harus kamu buka," ujar Dazai-san cepat. "Oh, kalau ada yang singgung, kasih tahu yang lain kalau Nagiko ada disini denganku."

.

.

Nagiko cemberut sambil menyilangkan tangan di depan dada. Kunikida-san yang sedang menyetir di sebelahnya tampak tidak berani mengajaknya bicara, mungkin karena tahu apa yang menyebabkan keponakan bosnya merasa sebal. Terang saja, kok, bisa-bisanya tidak ada yang memberitahu bahwa Paman Yukichi pergi keluar dari Ruangan Anne?

Awalnya Nagiko berpikir bahwa Sang Paman hanya ingin keponakannya segera mengakui perasaannya pada Dazai-san, tapi kalau dipikir-pikir lagi, mungkin Bos ADB itu memang sengaja membuat Nagiko keluar dari dimensi tersebut lebih dulu agar tidak ada yang menghalanginya untuk bangun dari tempat tidur. Makanya, begitu Nagiko keluar dari Ruangan Anne, ternyata Paman juga bangkit dari ranjang, dan Montgomery membiarkannya. Pemilik ruang dimensi itu melapor lewat walkie-talkie, pesan itu diterima Kak Akiko dan Atsushi-kun, dan Junichiro-lah yang menghubungi Dazai-san—jadi ketika Nagiko tiba di kamar rawat pemuda itu, Mantan Mafia itu memang baru mendapat laporannya. Nagiko menghembus nafas berat, menimbang-nimbang ingin mengomeli siapa duluan, pamannya atau rekan-rekan kerjanya.

Kunikida-san menyetir mobil kontainer melewati hutan. Memang ada jalan di antara pepohonan walau tidak beraspal, jadi mereka tinggal mengikuti jalan itu. Tidak bakal bisa bersembunyi kalau mereka lewat jalan seperti ini, sih, tapi entah kapan mereka baru akan bisa tiba jika tidak lewat sana. Makanya mereka menggunakan mobil kontainer, biar tidak terkesan mencurigakan, karena tempat persembunyian musuh mereka ada di daerah bekas tambang batu bara. Kunikida-san berhasil menepikan mobil besar ini sehingga setidaknya mereka bisa terhalang pepohonan untuk parkir.

"Kita sampai," kata Kunikida-san dengan agak kencang.

Dazai-san dan Atsushi-kun muncul setelah membuka batas ruang kontainer dan ruang depan mobil, berarti tanpa dipegang Dazai-san pun entah bagaimana Akutagawa bersedia untuk duduk tenang di belakang kontainer.

"Penjaganya banyak sekali…," gumam Atsushi-kun.

Nagiko mengangguk. Terlihat pagar yang cukup tinggi di sana. Jarak antara pagar dengan pintu masuk tambang sebenarnya masih lumayan jauh, tapi darisini saja sudah terlihat banyak orang di sekitar sana dan sebagian besar memegang senjata.

"Ah, mereka semua memakai alat komunikasi nirkabel, jadi semua suara mereka akan sampai ke markasnya," kata Dazai-san. "Terlebih lagi, data pendeteksi organ vital mereka dikirim tiap menitnya. Jadi, setiap hal yang mencurigakan akan memicu alarm musuh dan kita takkan pernah dapat menangkap mereka lagi. Pendeteksi suhu tubuh di jalur masuk pasti untuk menghadapi kemampuan ilusinya Tanizaki."

Lagi Nagiko mengangguk. Walau bukan tipe petarung, tapi kemampuan Junichiro itu memang sangat berguna dalam banyak hal—bahkan lawan mereka saja menggunakan antisipasi khusus demi melawan Light Snow anak itu. Untungnya, Dazai-san mengirim Junichiro dan Kenji-kun untuk melihat pergerakan lawan dari atas dengan helikopter, dan kemampuan ilusi pemuda tersebut digunakan untuk menutupi keberadaan mereka di atas sana.

Terdengar pintu tengah kontainer terbuka dan kemudian tertutup, sontak saja Nagiko menoleh, melihat Akutagawa telah turun dari mobil dan berjalan meninggalkan kendaraan besar ini.

Atsushi-kun segera melongokkan kepalanya dari jendela. "Oi, Akutagawa—"

"—Manusia Harimau," potong Akutagawa yang lalu menoleh. "Kau hanya perlu mengingat dua hal: kalau terlalu lambat, aku akan meninggalkanmu. Kalau menghalangi jalanku, kau akan kubunuh. Paham?"

Nagiko merinding mendengar suara berat dan dingin bersamaan itu. Atsushi-kun maupun kedua pemuda lain di mobil ini tidak sempat merespon, Akutagawa telah langsung mengeluarakan Rashoumonnya, membentuk seperti pita hitam panjang untuk ditancapkan ke tanah, membuat dirinya terlompat tinggi ke udara dan mendarat cepat di atas area tambang. Disana terlihat ia menggunakan kemampuannya lagi, entah untuk apa, pokoknya setelah itu Nagiko melihatnya tampak turun ke bawah. Selanjutnya dengan samar gadis itu bisa melihat sosok Akutagawa sudah ada di dalam area tambang, dan tidak ada seorang penjaga pun yang menyadari adanya suara atau apapun yang berbeda saat anggota Mafia itu menerobos masuk kesana.

"—ah, kau sudah ditinggal," celetuk Dazai-san.

"AHH!" pekik Atsushi-kun. Mungkin sama seperti Nagiko, Bocah Harimau itu terlalu asyik tercengang melihat bagaimana Akutagawa bisa menggunakan kemampuannya untuk menyeludup masuk. Pemuda berambut abu-abu itu segera turun dari mobil. "Aku juga pergi!"

"Tunggu, Atsushi!" panggil Kunikida-san. "Bagaimana caramu—"

Bocah Harimau itu memasang posisi di tanah dan mengubah kedua tangan dan kakinya menjadi alat gerak harimau putih. Kemudian, dengan cepat ia melesat pergi dari sisi mobil, dan tahu-tahu Nagiko melihatnya sudah bersama dengan Akutagawa. Atsushi-kun masih sempat menoleh ke belakang untuk menganggukkan kepalanya, mungkin tanda bahwa ia pamit untuk lebih memasuki tempat tambang sebelum pergi dengan anggota Mafia itu—bagaimana pun para seniornya yang di mobil juga tidak akan bisa memantau mereka dengan mata telanjang lebih dari ini.

"Dengan menggunakan kemampuan harimau pada kakinya, dia mempercepat dirinya sampai mampu melewati sensor deteksi, bahkan para penjaga tidak dapat melihatnya," gumam Kunikida-san, lalu menghela. "Si Bocah Atsushi itu, sejak kapan ia mencapai kemampuan itu?"

"Setelah semua yang telah dia lalui, bukannya wajar kalau kemampuannya berkembang?" tanya Nagiko.

Dazai-san yang sudah duduk di antara Nagiko dan Kunikida-san mengangguk. "Yah, kita juga tidak boleh kalah. Nagi, pinjam laptop."

Nagiko menurut, diopernya gawai yang ia bawa pada pemuda itu. Atsushi sudah mengenakan intercom untuk berjaga-jaga saat mereka naik mobil kontainer ini, dan Dazai-san ingin segera menghubunginya. Sebenarnya, kalau tidak ingin terhalang sinyal, walkie-talkie tetap lebih enak dipakai. Tapi, jelas akan sulit kalau selalu dipegang, dan apalagi suara lawan bicara akan terdengar agak kencang sampai bisa terdengar penjaga, makanya mereka memutuskan untuk pakai intercom saja.

Benar juga, sinyalnya sangat sulit untuk menembus ke dalam sana. Jika lawan mereka hanya tukang onar biasa, Nagiko bisa saja meretas sistem keamanan tempat itu, tapi ia paham bahwa jika lawan mereka sadar telah diretas maka target mereka akan semakin sulit ditangkap. Makanya mereka lebih membutuhkan kemampuan khusus Katai-san untuk meretasnya, bukan dengan cara yang manual seperti yang biasa dilakukan Nagiko.

Masih belum bisa menembus masuk ke intercom Atsushi-kun, Dazai-san memutuskan untuk menghubungi Katai-san. Mantan karyawan Paman Yukichi itu melaporkan bahwa Atsushi-kun dan Akutagawa sedang mengejar orang yang punya kemampuan virus, jelaslah Dazai-san kembali giat berusaha menghubungi juniornya. Karena tetap tidak bisa, akhirnya Dazai-san pakai jalan terakhir, yaitu menghubungi lewat ponsel—dan untungnya yang dihubungi langsung mengangkat telepon.

"Atsushi-kun? Akhirnya tersambung juga," kata Dazai-san yang ternyata menghubungi juniornya dengan video call.

"Dazai-san!" sahut yang di seberang dengan agak terengah.

"Aku dengar dari Katai kalau kalian sedang mengejar pengguna kemampuan virus. Virus itu masuk melalui luka—demam tinggi dan pusing akan membuat sulit berjalan. Kalian bahkan tidak boleh terkena luka goresan."

Lalu Nagiko mendengar suara tembakan pistol dari tempat Atsushi-kun.

"Biar kuurus bosnya, Si Dostoevsky," kata Dazai-san kemudian, "jangan biarkan pengguna kemampuan virus itu kabur!"

Suara dentuman kencang terdengar dari sisi lain video call, lalu sambungan teleponnya terputus. Tepat setelah itu, terlihat para penjaga memasang wajah cemas, dan sebagian masuk ke dalam tambang. Sayangnya, ada beberapa yang tampak menuju pagar juga.

"Kunikida-san, kita harus segera keluar darisini," sahut Nagiko.

Seniornya yang berkacamata itu mengerang kecil, tapi setuju juga. Tapi bukannya segera menyalakan mobil, ia malah membuka pintu pengemudi dan bersiap keluar. "Nagiko, bawa mobilnya keluar dari hutan, aku akan menunggu yang lain disini. Pastikan kalian mencari lokasi yang tidak terlalu mencurigakan dan bisa mendapat sinyal yang baik, Dazai akan sangat membutuhkannya saat ini, paham?"

Akhirnya Nagiko mengangguk. Si Kacamata turun dari mobil dan Nagiko pindah ke kursi pengemudi. Gadis itu segera menyalakan mobil dan menyetir menjauh darisana. Ini pertama kalinya Nagiko mengendarai mobil kontainer. Terasa lebih berat daripada yang biasa ia bawa, tapi untungnya tidak ada muatan berat di bagian belakang mobil.

Ketika mereka sudah keluar dari hutan, Dazai-san menghubungi Junichiro yang langsung menerima panggilan intercomnya.

"Tanizaki-kun, apa kau melihat ada yang kabur di dekat tambang yang terlantar itu?" tanya Dazai-san.

"Seperti ucapanmu, Dazai-san, aku memantau jalur keluarnya dari udara, tapi … tidak ada seorang pun disana," jawab Junichiro.

"Agensi detektif dan Port Mafia terus mengawasi daerah perkotaan, karena itulah dia bersembunyi di tempat itu," ujar Dazai-san. "Kesempatan emas yang diberikan oleh Natsume-san kepada kita tidak boleh kita sia-siakan."

"—Dazai-san! Ada mobil yang keluar dari sisi utara tambang tua!"

"Tak hanya satu, ada dua—tidak, ada tiga mobil!" sambung Kenji-kun disana.

"Mereka pasti menggunakan kendaraan untuk kabur! Beritahukan kepada pasukan darat untuk mengejar mereka!" kata Junichiro lagi.

Dazai-san terdiam sejenak sebelum mengeluarkan suaranya. "Hiraukan mereka."

"Eh?!" Suara kaget Junichiro dan Kenji-kun terdengar jelas di mobil, tapi Nagiko juga ikut memasang ekspresi kaget.

"Mereka hanya umpan untuk memperkecil jumlah kita," jelas Dazai-san singkat.

"Ah, untuk mengalihkan perhatian," gumam Nagiko, dan Mantan Mafia itu mengangguk.

"Tapi, mungkin saja yang asli—bagaimana kau tahu mereka hanya umpan?" tanya Junichiro.

"Karena kalau itu aku, aku juga akan melakukan hal yang sama," jawab Dazai-san.

"Eh? Tapi—" Nagiko menghentikan kata-katanya sendiri.

"Ada apa?" tanya pemuda berambut hitam itu.

Seketika itu Nagiko ragu, jadi ia menggeleng. "Tidak, tidak apa-apa."

Dazai-san menatap dalam gadis itu, Nagiko yakin pasti Dazai-san tahu Si Gadis kepikiran tentang sesuatu. Tapi, di saat begini, pemuda itu tidak bakal punya cukup waktu untuk memaksa Nagiko buka suara lebih lanjut.

"Sebuah truk tertutup baru saja keluar dari sisi barat!" lapor Kenji-kun. "Apa yang ini?"

Yang ditanyai menggaruk pelan dagunya sebelum menjawab. "Bukan yang itu, hiraukan yang itu juga."

"Dari sisi selatan ada beberapa prajurit bersenjata yang sedang bergerak!" Giliran Junichiro yang melapor. "Mereka mengawal seseorang yang menggunakan tudung!"

"Hiraukan mereka."

"Tapi—"

"—ini adalah penangkapan iblis," potong Dazai-san, "kita tidak boleh menyia-nyiakan satupun pasukan. Hiraukan mereka."

Lalu Nagiko menggigit bibir. Perasaannya jadi sangat tidak enak. Perutnya mulas, tapi bukan karena salah makan, melainkan karena khawatir tebakan di dalam otaknya sendiri benar. Tapi, Dazai-san yang sudah terbiasa dengan taktik lawan tampak begitu yakin dengan keputusannya untuk menyuruh Junichiro dan Kenji-kun menghiraukan setiap personal yang mereka temukan disana.

Yang membuat Nagiko ragu justru karena lawan mereka sempat menggunakan otak Ranpo-san yang luar biasa cerdas itu untuk menggiring mereka ke orang yang salah. Bagaimana kalau sekarang lawan mereka ini memanfaatkan otak Dazai-san juga?

"Dazai-san! Ada helikopter militer tak dikenal muncul dari timur!" lapor Junichiro kemudian. "Kalau dia kabur dengan itu, kita takkan bisa mengejarnya dengan peralatan kita yang sekarang!"

"Helikopter …," gumam Dazai-san. "Dia pasti sudah memikirkannya, dengan kata lain—"

"—ayo panggil bantuan dari pihak militer! Dengan teknologi mereka, kita bisa mengejar dan—"

"—tidak, tidak, menggunakan helikopter militer itu akan membuatnya sangat mencolok," celetuk Nagiko.

Mantan Mafia yang sedang menggunakan laptopnya itu mengangguk setuju. "Tanizaki-kun, apa sekarang ada orang di darat?"

"Eh? Sekarang? Tidak, tidak ada—"

"—oh, ada satu!" potong Kenji-kun. "Ada satu orang … di dekat kaki gunung, sepertinya seorang pendaki. Dia memakai topi musim panas, jadi tidak bisa melihat wajahnya. Saat ini dia sedang berjalan menuju arah barat!"

"Itu dia!" sahut Dazai-san cepat. "Semuanya, pergi menuju pendaki gunung itu dengan kecepatan tinggi!" abanya cepat. "Pasukan Mori-san juga bergerak, sekarang!"

Spontan Nagiko menggeleng. "Dazai-san, kurasa itu bukan dia," katanya dengan wajah pucat.

"Apa? Nagi, apa maksudmu?" tanya pemuda itu, dan kepucatan wajah Nagiko telah menular padanya.

Nagiko menelan ludah dengan sangat susah payah. "Kurasa, mungkin, dari awal Dostoevsky bahkan tidak ada di sekitar tambang itu."

"Nagiko, kenapa kamu bisa berpikir—"

"—Dazai-san! Orang ini bukan dia!" lapor Junichiro yang di seberang radio komunikasi. Suaranya terdengar begitu terengah-engah, tampaknya ia sudah mendarat dan lari bersama kelompok darat untuk mengejar orang yang Dazai-san suruh. "Dia seorang pendaki gunung dengan sayatan di tenggorokan dan borgol yang hancur! Dia bukan Dostoyevksy!"

Mata Dazai-san terbelalak dan wajahnya tetap pucat. Ia menelan ludah, lalu menoleh pada gadis yang bersamanya lagi. "Nagiko, apa maksudmu?"

Nagiko mengangguk. "Mereka menggunakan kemampuan deduksi Ranpo-san untuk mengelabui kita, kan? Jadi mungkin pelakunya melakukan taktik yang sama untuk mengecoh Dazai-san. Sebelum kita keluar dari rumah sakit tadi, Dazai-san sempat bilang bahwa Dostoevsky itu cara berpikirnya sama dengan Dazai-san, kan? Maka dari itu, yang dia lakukan sekarang mungkin adalah sesuatu yang tidak Dazai-san pikirkan atau lakukan. Ketika Dazai-san fokus dengan area tambang, maka dia tidak akan ada di tambang."

" … dia ada di kota dengan santai," gumam Dazai-san, dan Nagiko mengangguk.

"Dazai, ini aku," kata Kunikida-san, menghubungi lewat intercomnya ke laptop Nagiko. "Pushkin telah melepas virusnya dari Pak Presdir dan Pemimpin Mafia. Tapi Dostoevsky tidak ada disini—kami telah mengecek setiap kendaraan yang ada di sekitar ini juga dan tidak ada tanda bahwa dia pernah kesini."

Dazai-san menggeram mendengarnya.

"Dazai-san, bagaimana kalau aku meretas kamera pengawas kota sekarang?" tawar Nagiko.

Pemuda itu tidak langsung menjawab, ia tampak agak pucat. Dazai-san menghela sebentar, kemudian—"—ah!"

Nagiko mengerjap.

"Nagi, aku baru kepikiran sesuatu yang lebih baik," cengir Dazai-san, lalu ia mengelus puncak kepala gadis itu. "Kita kembali ke kota sekarang. Aku belum tahu kita akan kemana persisnya, tapi kita akan segera tahu begitu seseorang yang kuat mendapatkan posisi lawan kita."

"Seseorang yang kuat?"

Dazai-san hanya tetap menyengir.

.


.

Bersambung

.


.

A/N: Akhirnya tiba di adegan kissu dooong, terharu ih. Kenapa lama banget baru ada adegannya? Karena kalau mereka udah sampe di adegan itu, berarti fanfiksi ini sudah mau selesai, hiks. Dan adegan kissu-nya pun agak beda dengan yang awal Fei rencanain, tapi kalau gas takutnya nyerempet ke rated M, jadinya ya begini aja.

Sebenarnya alasan kenapa Nagiko bisa sampai syok dan sebagainya itu lumayan simpel ya, kemungkinan besar bakal dianggap remeh dengan perkataan 'begitu doang kok sampai trauma'. Tolong diingat, pertahanan hati dan otak setiap manusia beda-beda, 'begitu doang' menurutmu itu bisa jadi sesuatu yang luar biasa besar untuk orang lain.

Review?