"Sayang—"
"—Dazai-san, tolong menjauh sedikit…."
Pemuda itu bukannya menjauh, malah semakin menarik pinggang Nagiko untuk makin mendempetkan posisi duduk mereka. "Yang namanya kencan bukannya memang harus deket-deketan?"
"T-tapi ini terlalu dekat—dan ini bukan kencan!"
Dazai-san malah menyengir jahil, lagi-lagi menghiraukan perkataan gadis itu. Agaknya rekan kerjanya itu tahu, bahwa Nagiko tidak bakal menghajar tubuh Si Pemuda karena takut luka di perutnya terbuka. Gadis itu juga pasti tidak berani mengomel dengan suara keras karena akan mengundang perhatian orang-orang di kafe.
"Dazai-san, geser—"
Perkataan gadis itu terhenti ketika Dazai-san dengan lembut mencium bibirnya. Hanya ciuman sederhana yang mungkin hanya berlangsung sekitar lima detik, tapi Nagiko tersipu malu luar biasa. Ia tidak bisa menatap pemuda itu ketika bibir mereka terpisah, dan Dazai-san terkekeh halus padanya.
"Ehem—," deham pria pirang yang duduk di depan mereka. "Tuan dan nona detektif, kalian tidak lupa bahwa aku ada disini, kan?"
Senyuman Dazai-san berubah menjadi agak serius. "Nagi, denger gak, barusan kayak ada nyamuk yang ngomong gitu."
"Heh," ucap pria pirang itu agak tersinggung.
Ya, selain karena malu Dazai-san memeluk pinggangnya dekat di tempat umum, alasan lain Nagiko ingin pemuda itu menjauh sedikit adalah karena mereka tidak hanya berdua saja di meja ini—ada Fitzgerald juga disana.
"Tak kusangka kau membawanya kesini, memangnya tidak takut Dostoevsky akan mengincarnya demi mengalahkanmu di masa depan?" tanya Fitzgerald.
"Hmm, aku sih, tidak heran kalau lawan-lawanku menyekapnya demi memancingku," aku Dazai-san, yang satu tangannya masih di pinggang Nagiko. "Fakta bahwa aku berani mengajaknya kesini, berarti aku tahu bahwa aku bisa melindunginya. Tapi seandainya memang benar Dostoevsky atau yang lain menangkapnya suatu hari nanti—" Dazai-san menoleh pada Nagiko dan tersenyum lembut. "—Nagi, kamu tetap percaya padaku, kan?"
Kedua bola mata itu menatap Nagiko dengan tulus, jadi Si Gadis tersenyum juga dan mengangguk.
"Lagipula," lanjut Dazai-san, kembali menatap ke Pria Priang di hadapan mereka, "aku membiarkan Dostoevsky melihatnya karena aku ingin mengancamnya. Port Mafia juga sudah tahu tentang ini—jika ada yang menyentuh Nagiko dengan sengaja, itu sama artinya dengan mengajak perang pada Agensi Detektif Bersenjata, soalnya banyak yang sayang dia, sih, di agensi."
Fitzgerald manggut-manggut. "Jangankan menyentuh, mau melihatnya saja susah—saat aku datang ke kantor kecil kalian, rekan detektif kalian membuatnya selalu memunggungiku."
Ah, Nagiko ingat. Di hari kedatangan pria itu, Ranpo-san menyuruhnya untuk tetap melihat kepadanya saja, agar tamu-tamu mereka dari Guild tidak dapat melihatnya. Mau tak mau Nagiko jadi tersenyum geli sendiri.
"Yah, kurasa kau dan aku sama-sama paham bahwa seorang laki-laki akan melakukan apa pun demi melindungi perempuan yang mereka cintai, kan?" sahut Dazai-san.
"Benar juga," balas Fitzgerald.
Kedua laki-laki itu berbicara dengan nada santai, tapi berhasil membuat Nagiko tersipu lagi, terutama saat Dazai-san menyebut frasa 'perempuan yang mereka cintai'—bukankah itu sama saja dengan Dazai-san memberitahu pada orang yang di depan mereka bahwa ia mencintai Nagiko? Mungkin Fitzgerald sudah mengetahuinya, tapi tetap saja gadis itu malu sendiri kalau harus mendengarnya secara langsung.
"—ah, dia bangkit dari kursinya," celetuk Fitzgerald.
Dazai-san dan Nagiko perlahan menoleh ke belakang, melihat ke arah pria berjubah hitam dan topi ushanka putih yang sama dengan kemeja dan celananya. Pria itulah alasan lain kenapa Nagiko tidak mau suara omelannya menarik perhatian orang-orang kafe, sebab nyatanya mereka bertiga sedang akan mencegatnya, si Fyodor Dostoevsky.
"—hai!" sapa Dazai-san. Dostoevsky terbelalak melihat kepada yang menyapanya. "Sudah kuduga, kau akan terkejut. Kau ingin menanyakan 'bagaimana kau bisa tahu aku ada disini', kan?" Dazai-san tersenyum. "Ini kafe yang indah, bukan? Kami tidak menghentikan semuanya. Tapi untuk menipu sang iblis, Nagiko memberitahuku kalau langkah yang biasa takkan bisa mengecohnya."
"Sudah lama, ya, Tikus," giliran Fitzgerald yang menyapanya Dostoevksy.
"Ahh, sungguh menakjubkan, 'The Eyes of God', kan?" tebak target mereka.
"Kau benar. Kemampuan The Eyes of God yang dapat melihat semua rekaman kamera yang ada di kota." Dazai-san mengacak pelan rambut di puncak kepala Nagiko di sampingnya. "Kalau mengecek semuanya sekaligus akan memakan waktu. Jadi Nagiko memperkecil pencarian kami dengan mengintai semua perangkat yang sedang tersambung ke siaran radio yang sama dengan yang mereka temukan di tambang. Dengan begitu, kami bisa menemukanmu disini—itu saat kau sedang sibuk mengatur tindakan di lokasi persembunyianmu. Harga untuk meminjam kekuatan ini adalah dengan mengembalikan keuntungan tersembunyi yang kau curi dari The Guild—yang omong-omong, telah Nagiko deteksi dan retas semua untuk transaksi ini."
Fitzgerald mendengus kecil. "Aku tidak terlalu peduli dengan uangnya, tapi aku tidak bisa berdiam diri saat mengetahui tikus sepertimu yang mencuri semuanya."
Lalu banyak orang berpakaian khusus berwarna gelap menghampiri mereka. Muncul Sakaguchi-san yang berjalan melewati tim itu, ini adalah pertama kalinya Nagiko bertemu langsung dengan laki-laki itu setelah mereka pernah melihat satu sama lain lewat sambungan video call saat Fenomena Kabut.
"Kami akan mengambil alih dari sini, Dazai-kun," kata Sakaguchi-san.
Dazai-san menggesturkan 'silakan' dengan tangannya. Dostoevsky yang telah dikepung dan ditodongi pistol tampak berlutut di lantai dengan kedua tangan di kepalanya. Seseorang dari tim itu maju dengan menyiapkan borgol.
"—tunggu! Jangan menyentuhnya!" sahut Dazai-san, tapi terlambat.
Personel yang lebih dulu menyentuh Dostoevsky langsung mengerang keras. Nagiko spontan memekik dan melompat kecil dari kursinya terutama ketika darah tersembur keluar masker gas yang dipakai personel tersebut. Dazai-san langsung buru-buru menutupi pandangan mata Nagiko dengan berdiri di depan gadis itu.
" … dia mati," gumam Fitzgerald.
"… kalau kau membuat pergerakan yang mencurigakan, kami akan melubangi tubuhmu," ujar Sakaguchi-san dingin.
"Aku mengerti," jawab Dostoevsky dengan tenang dan santai.
Nagiko melongokkan kepalanya dari punggung Dazai-san, melihat target mereka berdiri dengan sendirinya, dan kedua tangannya masih terangkat. Dostoevsky berjalan dengan masih dikepung pasukan bersenjata—sudah pasti tidak ada yang berani menyentuhnya karena berpikir akan mengalami nasib yang sama dengan yang telah tersungkur tak bernyawa dan tubuhnya dipapah oleh dua personel lain. Sakaguchi-san menoleh pada Dazai-san untuk mengangguk sekali, kemudian pergi bersama dengan para rekannya.
"Detektif, apa kau tahu kemampuan orang itu?" tanya Fitzgerald.
"…tidak," jawab Dazai-san singkat.
Kemudian Nagiko menggenggam erat parka pemuda itu. "Dazai-san, kalau memang dia punya cara pikir yang sama dengan Dazai-san, berarti kemungkinan besar sekarang dia tertangkap itu sudah masuk dalam rencananya juga, kan?"
Fitzgerald terkekeh. "Nona, masa iya—"
"—habisnya," potong Nagiko, "hanya dengan menyentuhnya, seseorang bisa langsung tewas. Berarti, kalau dia ingin kabur, Dostoevsky bisa saja menyentuh lebih banyak orang lagi untuk bisa pergi, kan?"
"Ah."
Dazai-san mengangguk lalu menepuk pelan puncak kepala gadis itu sambil tersenyum. "Benar, tapi kita tetap tidak tahu apa yang dia rencanakan. Untuk saat ini, setidaknya kota aman. Kita hanya tinggal mencaritahu apa yang sedang ia rencanakan."
.
.
Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.
Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.
.
.
Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei
.
Chapter 28
.
.
Nagiko manyun melihat Paman Yukichi mengenakan yukata hitam, ia sangat berharap pamannya akan pakaian barat seperti jas. Tapi, sepertinya Fitzgerald yang menjadi sponsor pesta kali ini sangat memahami model pakaian yang diinginkan Bos ADB ini, makanya memberikan stel pakaian tersebut untuknya.
Selain kapal pesiar, mantan bos The Guild itu juga menghadiahi pakaian baru untuk semua karyawan Paman Yukichi tanpa terkecuali. Fitzgerald jugalah yang membayar semua perlengkapan pesta syukuran di kapal itu untuk Agensi Detektif Bersenjata. Dazai-san menebak bahwa ada dua hal yang membuat pria pirang itu begitu dermawan: pertama adalah tanda terima kasih karena Nagiko dan Dazai-san turun tangan dalam mengembalikan hartanya, kedua adalah sebagai tanda permintaan maaf di muka karena mungkin pria itu akan mengajak mereka perang lagi. Yah, apa pun alasan yang sebenarnya, setidaknya untuk saat ini para karyawan agensi bisa menghembus nafas lega, terutama Nagiko, karena bos mereka sudah dalam kondisi sehat.
Memastikan pakaian Paman Yukichi sudah benar, Nagiko berjalan dengan pamannya ke ruang aula kapal. Sambil menuruni tangga aula, gadis itu menatap kagum dengan besarnya ruangan itu serta melimpahnya makanan yang tersedia di meja.
Kunikida-san menghampiri mereka—lebih tepatnya Pak Bos. Semua karwayan yang lain menghentikan kegiatan mereka untuk menyapa presdir mereka lewat tatapan mata. Si Kacamata langsung membungkuk dalam, tindakan itu diikuti oleh Kak Akiko, Kenji-kun, Kyoka, dan Junichiro yang ada di belakangnya.
"Kami akan menerima segala macam hukuman," tutur Kunikida-san.
Nagiko sempat bingung sebentar, tapi kemudian ia kepikiran bahwa mungkin ini tentang Paman Yukichi yang melarang mereka untuk bertarung dengan Mafia, tapi malah dilanggar karena ingin berusaha bernegosiasi.
"Kita akan menentukan hukuman kalian nanti," tegas Paman Yukichi. "Tapi aku sangat berterimakasih atas kerja kalian dalam masalah ini."
Nagiko tersenyum. Menurut kata Dazai-san, Natsume-san-lah yang menemukan lokasi tambang. Tapi tetap saja, jika bukan karena kerja keras rekan-rekannya itu, virus yang ada pada Paman Yukichi mungkin tidak bakal terangkat.
Bos ADB itu tersenyum tulus, bahkan Nagiko sendiri jarang melihat pamannya tersenyum begitu di hadapan para bawahannya. "Kerja bagus, semuanya!"
Staf karyawan yang ada disana bertepuk tangan untuk para staf detektif yang mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan bos mereka selama belasan jam terakhir. Ranpo-san melanjutkan makannya dengan Kenji-kun dan Kyoka. Junichiro merasa tersipu, tapi kemudian kembali gugup karena Naomi menyodorkan sangat banyak makanan ke mulutnya. Kak Akiko mengambil gelas anggur setelah ditantang Haruno-san untuk lomba minum banyak. Paman Yukichi menepuk-nepuk punggung Kunikida-san, mungkin maksudnya biar Si Kacamata tidak perlu terlalu kaku untuk hari ini.
Kemudian Nagiko baru sadar. "Lho, Dazai-san dan Atsushi-kun mana?"
"Hmm? Ah, sepertinya mereka sedang mengobrol di luar," jawab Naomi yang menyuapi kakaknya.
Nagiko mengangguk, lalu menggiring pamannya untuk mengambil makan dan minum lalu menuju ke tempat duduk di salah satu meja yang ada di pinggir. Sebagian besar dari peserta pesta makan dan minum sambil berdiri di sekitar meja besar, mungkin maksudnya biar bisa langsung mengambil lagi jika yang di tangan mereka sudah habis. Jika sedang tidak bersama pamannya, mungkin Nagiko juga akan ikut dengan Ranpo-san.
"Hanya untuk mengonfirmasi," kata Paman Yukichi saat mereka sedang makan. "Kamu sama sekali tidak meretas dengan ponsel, kan?"
Gadis itu mengerjap sebentar sebelum tersenyum. "Dazai-san berhasil menghentikanku sebelum aku melakukannya. Jadi semua peretasan yang kulakukan itu pakai laptop."
Paman Yukichi mengangguk. "Bagus."
Sebenarnya aktivitas peretasan termasuk dalam tindak kriminal. Saat dia masih SMP, Nagiko yang gabut dan sebal karena tidak bisa tidur, iseng mengutak-atik situs yang ia temukan di internet pada komputer di rumah Paman Yukichi. Dari situ, ia berhasil melakukan peretasan pertamanya. Bukan cracking, melainkan hacking. Dan entah kenapa, ia jadi suka menonton video yang tertangkap kamera pengawas di sekitar kota. Waktu itu Nagiko tidak tahu persis mengenai kantor agensi ayah asuhnya, ia hanya tahu bahwa Paman Yukichi dan Ranpo-san bekerja sebagai detektif. Sedikit-banyak ia tahu kasus-kasus yang sedang ditangani keduanya, dan keisengan Nagiko dengan memantau kamera pengawas ternyata malah membantu dalam penyelidikan.
Masalahnya, meretas tetaplah meretas. Paman Yukichi khawatir kalau Nagiko akan dikenai hukuman walau saat itu Sang Keponakan masih di bawah umur, makanya bos ADB itu meminta pada Taneda-san agar Nagiko diberi izin khusus untuk meretas kamera pengawas. Pemimpin Divisi Spesial itu malah memberi laptop pada Nagiko—itu adalah laptop yang bisa dipantau Divisi Spesial tiap kali Nagiko meretas agar gadis itu tidak mengutak-atik atau merusak data yang dia retas sampai melanggar hukum lebih jauh, dan laptop itulah yang masih ia pakai sampai sekarang.
Itu sebabnya Paman Yukichi melarang Nagiko meretas lewat ponsel, karena dikhawatirkan pihak kementrian dan kepolisian tidak mau tahu-menahu bahwa ini demi menyelesaikan suatu kasus. Kalau meretas dengan komputer kantor atau dengan gawai yang dipakai Junichiro, sih, lain cerita.
"Jadi … bagaimana dengan Dazai?" tanya Paman Yukichi setelah makanan di mejanya habis.
"Bagaimana apanya?"
"Kusuruh kamu pergi padanya saat itu, kan? Sudah bilang suka?"
Kaget, spontan Nagiko merasa telinga dan pipinya menghangat. Untungnya ia sudah menelan air mineral sebelum pamannya menanyakan itu—kalau tidak, ia pasti sudah tersedak.
Paman Yukichi memicingkan kedua matanya. " … sesuatu terjadi di antara kalian, ya?"
Gadis itu memainkan jarinya dengan gugup. "Tidak juga, sih … m-maksudku, Mii-chan datang membawa chip data, jadi kami harus melakukan sesuatu dengan itu."
"Pantas saja," gumam Sang Paman. Ia menatap Nagiko sejenak, lalu menghela berat, membuat gadis itu bingung. "Baiklah," kata Paman Yukichi dengan nada menyerah dan mengangguk, mengangkat satu tangannya seakan menggestur mempersilakan melakukan sesuatu, membuat Nagiko semakin bingung melihatnya.
"Paman, ada apa—"
"—Nagiko."
Gadis itu mengerjap. Itu suara Dazai-san yang memanggil dari arah belakangnya. Nagiko memutar tubuh, berekspetasi untuk melihat pemuda itu berdiri di belakang kursinya, tapi tebakannya salah. Bukan berdiri, Dazai-san malah berlutut dengan satu kaki sambil tersenyum lembut padanya. Nagiko termegap terutama saat melihat Mantan Eksekutif Mafia itu membuka kotak kecil di tangannya untuk memamerkan cincin disana.
"Eh—" Nagiko menjadi sesak. Ia kembali menoleh pada pamannya yang menatapnya balik lalu mengangguk, membuat Nagiko memutar kepalanya lagi pada Dazai-san. "Dazai-san—" Nagiko bangkit dari kursinya, ia ingin meminta pemuda itu berdiri.
"—Nagiko," potong Dazai-san tepat saat gadis itu bangkit. "Aku tidak sempurna, kau juga tahu aku sama sekali tidak ideal. Dengan segala kekuranganku, dengan aku yang seperti ini, selama empat tahun, kamu membiarkan aku untuk tetap di sisimu walau tahu apa yang telah kulakukan di masa laluku. Kamu punya jalan lain untuk mengatasi The Pillow Book, tapi kamu tetap memilihku sebagai jalan utamamu. Seharusnya, kamulah yang merasa kehilangan kalau kita tidak bersama, tapi ternyata malah akulah yang cemas kalau tidak ada kamu di sisiku.
"Sayangku, saat kubilang bahwa kau adalah matahariku, kau memang benar menyinari hidupku. Masa laluku gelap dan aku tidak punya apa-apa untuk membuatku tertarik untuk melanjutkan hidupku. Tapi kamu muncul dan membuatku penasaran. Kamu membuatku merasa ingin hidup and jalanku menjadi lebih terang. Kamu tahu alasan kenapa aku pertama kali membantumu dulu, tapi sekarang, alasan itu sudah tidak ada hubungannya lagi.
"Aku ingin membuatmu bahagia, setiap hari akan kubuat agar kamu merasa bahwa kamu begitu disayangi dan dicintai lebih dari yang sudah-sudah." Lalu Dazai-san tersenyum. "Kiyohara Nagiko, aku mencintaimu, kumohon, menikahlah denganku."
Tangan gadis itu mencengkeram kursi, memastikan dirinya punya pegangan agar tidak langsung terjatuh mendengar semua yang dikatakan pemuda itu. Rahangnya mengeras, wajahnya hangat, matanya berkaca-kaca. Ia tahu harus segera mengatakan sesuatu, setidaknya membujuk agar Dazai-san berdiri karena pasti sakit kalau harus berlutut seperti itu terus.
Tapi ada satu hal yang membuat Nagiko agak bingung. Dazai-san mengatakan banyak hal sekaligus, tapi Paman Yukichi tetap duduk di tempatnya dan tidak menginterupsi—seperti menegur, misalnya. Jadi Nagiko menoleh sejenak pada Sang Paman. Pria paruh baya itu menatap lurus ke arah Dazai-san tanpa hawa ingin membunuh sama sekali. Sadar Sang Keponakan meliriknya, Paman Yukichi hanya tersenyum hangat.
"Nagi, kamu pikir kenapa Pak Presdir tidak menikamku sama sekali saat ini?" tanya Dazai-san sambil tersenyum jahil.
"E-eh?"
"Sebelum naik kapal ini, aku telah lebih dulu meminta restu darinya," aku Dazai-san, cengiran lebar tercetak di mulutnya. "Ah, dan, aku tahu kamu malu aku melamarmu di depan orang banyak, tapi kurasa aku harus melakukan ini agar kamu yakin—dengan saksi mata sebanyak ini, aku tidak mungkin main-main tentang ini, kan?
Nagiko mengerjap, ia menoleh cepat pada pamannya lagi yang memberinya anggukan sebagai konfirmasi.
"—Nagi," sahut Ranpo-san. "Kalau kelamaan jawabnya, kasian kaki Dazai kesemutan!"
Penonton terkekeh halus mendengar Sang Detektif Terhebat, membuat Nagiko tersipu lagi. Jadi gadis itu menghampiri pemuda yang masih berlutut dan menyodorkan satu tangannya sambil tersenyum malu.
"Dazai-san, aku mau menikah denganmu."
Pemuda itu mematung sesaat sebelum akhirnya tersenyum lebar sambil memasangkan cincin di jari Nagiko, yang entah kenapa bisa begitu pas disana. Dazai-san berdiri dan dengan segera mendekap tubuh gadis itu erat. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu bertepuk tangan dan menyerukan 'selamat', tapi dibalik semua riuh itu, dengan samar Nagiko bisa mendengar isakan Dazai-san yang masih memeluknya.
.
.
Dazai-san tanpa henti menghujani gadisnya dengan ciuman begitu Nagiko menutup pintu apartemen. Puncak kepala, dahi, kelopak mata, pipi, telinga, rahang, dagu, dan leher, tak ada yang terlewat. Seakan sudah kebelet, pemuda itu menggendong Nagiko yang memekik kaget ke ranjang. Belum sempat gadis itu protes, Dazai-san telah lebih dulu mengunci bibirnya dengan ciuman. Erangan protes Nagiko perlahan berubah menjadi lenguhan pendek karena ia berusaha menghirup oksigen sesekali di sela ciuman mereka.
"Sayang—" Dazai-san terkekeh. "Astaga, kamu telah mengenakan cincin dariku dan kamu masih merona begitu saat kupanggil dengan sebutan 'sayang'?"
Spontan Nagiko memukul pundak pemuda itu dengan agak manyun. Tunangannya mengambil tangan yang memukulnya tadi, tersenyum melihat cincin yang melingkar di jarinya, lalu mencium lembut disana.
"Dazai-san," gumam Nagiko. "Kok bisa tahu ukuran jariku?"
"Hmm? Ah, aku kan, sering mainin jarimu, tentu tahu sebesar apa jemarimu," jawab Dazai pemuda itu. "Aku hanya bersyukur jari-jarimu tidak berubah ukuran sejak aku membeli cincinnya."
"Memangnya kapan Dazai-san beli?"
"Eehhh, sekitar akhir tahun lalu."
Mata gadis itu terbelalak. "Selama itu?!"
Dengan usil Dazai-san tersenyum dan mengusap bibir gadis yang ada di bawahnya. "Habisnya, Nagi lama juga sih, menyatakan cinta padaku."
Pipinya menghangat lagi. "Dazai-san."
"Hmmm?"
"Tadi Dazai-san bilang bahwa alasan awal Dazai-san menolongku tidur itu sudah tidak ada hubungannya lagi, kan?" Pemuda itu mengangguk. "Kurasa, sampai kapanpun, akan tetap ada hubungannya."
Dazai-san mengerjap. "Tahun pertama memang karena perkataan Odasaku, tapi setelahnya tidak—"
"—aku paham, dan aku percaya bahwa setelahnya Dazai-san menolongku karena memang sayang padaku," potong Nagiko, lalu tersenyum. "Tapi, faktanya, jika Dazai-san tidak kehilangan Odasaku-san, jika aku tidak kehilangan orangtuaku, maka mungkin kita tidak akan bertemu saat itu. Dazai-san tidak bakal duduk disana malam itu, dan aku masih tetap tinggal di Sapporo dengan orangtuaku. Jadi, sampai kapan pun, itu akan ada hubungannya.
"Kita kehilangan orang yang berarti untuk kita, lalu kita bisa bertemu. Bukan berarti aku senang mereka tidak ada sekarang, tapi aku bersyukur bahwa Dazai-san-lah yang mengisi kekosongan itu."
Pemuda itu perlahan tersenyum. "Nagi, kalau sedang berdua, panggil aku 'Osamu', ya?"
Nagiko agak terkejut dan merona lagi.
Dazai-san terkekeh lalu mengelus pipi gadisnya. "Di masa depan, setelah menikah, kamu juga akan jadi seorang Dazai, lho, ngapain kamu manggil suamimu dengan nama marga sendiri?"
Rona merah di wajah Nagiko pasti menjadi lebih jelas, terutama saat ia mendengar Dazai-san menyebut kata 'suamimu'. Jadi gadis itu menelan ludah susah payah. "O-Osamu-san," bisiknya kecil.
"Heee, gak kedengeran, tuh," goda pemuda itu.
Agak sebal, Nagiko memukul pundak kekasihnya lagi. Dazai-san terkekeh dan menempelkan dahi mereka. Gadis itu mencoba memanggilnya lagi. " … Osamu-san…."
"Nagiko," balas Dazai-san lembut.
"Osamu-san…."
"Nagiko."
"Osamu-san—"
—tidak lagi membalas dengan memanggil nama, pemuda itu mencium bibir Si Gadis.
.
.
Bersambung
.
' … – you've been waking up each morning and waiting, yearning to hear this song, and now here they are, calling to and fro all aroung as if they're everywhere.' – The Pillow Book, Sei Shonagon
.
.
A/N: Adegan lamarannya Dazai itu udah Fei rencanain lama, wkwkwk, pokoknya Fei udah rencanain bahwa ciuman pertama Dazai dan Nagi itu adalah ketika di rumah sakit saat Cannibalism, terus Dazai lamar di kapal. Makanya ketika dua adegan itu selesai diketik, rasanya lega banget, hahahah.
Review?
