Disclaimer: Bungou Stray Dogs adalah ciptaan Asagiri Kafka dan Harukawa Sango, The Pillow Book adalah karya Sei Shonagon, 'Kiyohara Nagiko' dipercaya sebagai salah satu kemungkinan nama asli dari Sei Shonagon, Author tidak mengambil keuntungan.
Warning: Agak slow burn, Dazai x OC, alur canon (manga, anime, novel), sebisa mungkin tidak mary-sue.
.
.
Osamu Dazai and His Sun
by Fei Mei
.
Chapter 18
.
.
"Nagi, kalau aku bawa kamu ke bar, mau?" tawar Dazai-san ketika mereka sudah di dalam gerbong kereta.
Gadis itu mengerjap. "Boleh saja, sih, tapi aku tidak begitu bisa minum, lho."
Dazai-san tersenyum di sebelahnya. "Aku tahu, kok. Tapi tenang saja, mereka menyediakan minuman non-alkohol juga. Jadi Nagiko bisa ikut minum juga denganku."
Nagiko mengangguk setuju.
Pada stasiun yang diincar, Dazai-san turun dari kereta sambil menggandeng teman kencannya malam itu. Mereka keluar dari stasiun, berjalan melewati keramaian, sampai mereka memasuki sebuah gang kecil. Itu adalah gang yang sama sekali tidak asing bagi Nagiko, karena memang biasanya ia mencari informasi malam-malam ke daerah sana.
Yang lebih mengejutkan adalah, Dazai-san membawanya masuk ke Bar Lupin, bar yang sudah beberapa kali menjadi tempat pertama yang Nagiko masuki jika mencari suatu informasi di malam hari.
"Selamat datang—loh, kalian barengan?" sapa seorang Barista. Kebetulan, dia adalah barista yang paling sering Nagiko temui saat ia datang kesana. Mendengar pertanyaan orang itu, Nagiko langsung berasumsi bahwa tempat ini adalah langganan Dazai-san juga.
"Barengan—Master kenal Nagi?" tanya Dazai-san sambil menunjuk Nagiko.
Barista itu mengangguk. "Dia sudah beberapa kali datang untuk tanya ini-itu, tapi belakangan tidak kelihatan. Dari agensi detektif, kan?"
Nagiko manggut-manggut. "Dazai-san, dulu aku sering cari informasi kesini malam-malam."
Pemuda itu menoleh padanya. "Kok aku gak pernah ketemu kamu? Aku juga sering kesini, lho!"
Si Gadis mengangkat bahu. "Mungkin tidak jodoh."
Sontak Dazai-san cemberut, dan Nagiko langsung terkekeh.
Keduanya duduk di meja bar. Dazai-san memesan scotch, dan Nagiko hanya pesan jus jeruk. Mereka menyesap minuman masing-masing dalam keheningan, sebelum Dazai-san buka suara duluan, bercerita bahwa dulu ia selalu minum di bar ini dengan teman-temannya, sehingga Bar Lupin ini menjadi tempat istimewa baginya.
Nagiko tersenyum. Empat tahun berada di dekat Dazai-san tidak membuat pemuda itu mau buka mulut tentang masa lalunya. Yah, lagipula mereka bisa berada dekat satu sama lain juga karena kemampuan Dazai-san dibutuhkan untuk meredam kemampuan Nagiko. Jika tidak begitu, dari awal mereka tidak akan bersama. Karena itu, walau sedikit-sedikit, Nagiko senang bisa mendengar cerita pemuda itu, bahkan merasa terharu karena Dazai-san mau mengajaknya ke tempat yang spesial baginya.
"Nagiko spesial, sih, makanya kuajak kesini," gumam Dazai-san pelan.
"Terima kasih kalau begitu, Dazai-san," balas Nagiko.
Pemuda itu ber-hmm pelan. "Kalian sama-sama pendiam, sih, tapi kurasa kamu bisa jadi kayak kakak-adik dengan Odasaku, temanku itu."
Nagiko tersenyum tipis, lalu ia teringat sesuatu. "Odasaku itu, Oda Sakunosuke?"
Dazai-san mengerjap. "Iya, kenal?"
"Oh, tidak." Nagiko menggeleng. "Waktu Dazai-san bolos kerja, Kunikida-san minta aku bantu cari. Terus aku ketemu Dazai-san bersandar dengan batu nisan yang ada nama Oda Sakunosuke."
"Aaah, benar juga."
"Jadi … Odasaku meninggal dalam tugas?"
Dazai-san mengangguk sambil tersenyum sedih. "Ceritanya panjang. Gara-gara dia, aku keluar dari Mafia." Lalu Dazai-san menatap lembut gadis di sebelahnya, menyelip rambut gadis itu. "Gara-gara dia juga, aku menemukanmu."
Giliran Nagiko yang mengerjap. "Maksudnya bagaimana—"
"Pulang, yuk? Aku menjanjikan sesuatu kalau urusan dengan The Guild sudah selesai, kan?"
"Janji—ah." Wajah Nagiko menghangat. Padahal sepertinya janji itu dibuat beberapa hari lalu atau bahkan beberapa minggu yang lalu, tapi rasanya sudah amat sangat lama sekali. Dazai-san tidak pernah mengungkitnya, jadi Nagiko juga tidak begitu memikirkannya.
Otak Nagiko tidak karuan sepanjang perjalanan pulang ke apartemennya. Baik ketika Dazai-san bersih-bersih di kamar mandi, atau saat giliran Nagiko pun, gadis itu merasa kikuk, dan pemuda yang bersamanya mungkin merasa wajar makanya tidak menyinggung apa pun.
"Mau duduk di ranjang? Atau di sofa?" tawar Dazai-san. Nagiko agak mengangkat bahu. "Kalau begitu, di ranjang saja kali, ya, biar kamu bisa lebih nyaman." Gadis itu manggut-manggut.
Keduanya bersandaran pada headboard ranjang, dan hal pertama yang Dazai-san lakukan bukanlah mengeluarkan suaranya, melainkan memainkan lembut jemari gadis yang duduk di sebelahnya, dan dengan kikuk Nagiko membiarkannya.
"… Dazai-san, mau menjelaskan apa padaku?" bisik Nagiko. Ia tahu bahwa sebenarnya ia tidak perlu berbisik, karena hanya ada mereka berdua di bilik itu dan tidak akan ada orang lain yang dapat mendengar pembicaraan mereka.
"Banyak, aku merasa perlu menceritakan dari awal," jawab Dazai-san. "Kamu belum capek, kan?"
Nagiko menggeleng. "Akan kudengarkan sampai selesai."
Pemuda itu terkekeh halus. "Baiklah. Dari mana, ya… hmm, Nagi, beberapa minggu lalu, aku pernah beritahu pamanmu bahwa aku menganggapmu sebagai matahariku."
"Matahari?"
Dazai-san mengangguk, sambil menggenggam erat tangan gadis itu. "Hanya ada satu matahari, dan bagiku, kamulah matahari di hidupku. Kamu menerangi diriku yang berada di tempat yang gelap, makanya kamu menjadi sangat istimewa bagiku."
"Tempat yang gelap itu, maksudnya Mafia?"
"Bisa dibilang, tapi bukan itu juga." Lalu Dazai-san tersenyum pahit. "Awalnya ini gara-gara Odasaku."
Nagiko mengernyit. "Temanmu?"
Dazai-san mengangguk, lalu dia menceritakan kisah tentang dirinya sewaktu masih di Port Mafia bersama Odasaku dan seseorang bernama Ango. Nagiko tidak memotong cerita pemuda itu sama sekali, ia mendengarkan secara seksama, karena suara Dazai-san terdengar begitu sedih dan serius secara bersamaan. Nagiko bahkan turut sedih saat pemuda itu sampai pada cerita Odasaku menghembuskan nafas terakhir di dekapan Dazai-san.
"Waktu itu," kata Dazai-san, "kata-kata terakhirnya, dia bilang bahwa aku akan merasa lebih baik jika aku berada di pihak yang menolong orang. Menyelamatkan orang yang lemah, melindungi para yatim piatu… tapi, aku tidak mengerti caranya. Nagi, aku kehilangan banyak, aku sudah melihat gelapnya duniaku sejak dulu. Aku tidak paham, jadi kupikir, langkah yang paling awal muncul di benakku saat itu adalah keluar dari Port Mafia. Tapi, aku tahu itu tidak akan membantu orang lain seperti yang Odasaku mau. Hanya karena aku bukan anggota Mafia, itu tidak akan mengubah fakta bahwa hidupku masih kelam. Itu, sampai akhirnya aku melihatmu yang mau terjun ke sungai."
Gadis itu mengerjap padanya, membuat Dazai-san kembali tersenyum dan menyelipkan helaian rambut Nagiko di belakang telinga.
"Untuk pertama kalinya, kemampuan khusus ini dibutuhkan di luar medan perang. Baru pertama kalinya saat itu, aku tidak menggunakannya demi kepentinganku sendiri."
"Dazai-san, pernah kepikiran, bahwa mungkin selama ini aku hanya membutuhkan kemampuanmu saja?" bisik Nagiko.
Kemudian Dazai-san tersenyum, Nagiko bisa merasakan jemari dingin pemuda itu menyentuh pipinya. "Tentu saja aku kepikiran tentang itu. Tapi, Nagi, respon pertamamu saat pertama kali melihat luka bekas percobaan bunuh diri yang kututupi dengan perban di sekujur tubuhku, adalah memasang wajah cemas. Kamu terdiam, lalu terisak pelan, kemudian memelukku. Kamu membelai kepalaku seakan aku anak kecil, dan aku sadar bahwa kamu mengawatirkanku."
" … memangnya siapa yang bakal tidak khawatir melihat semua bekas itu?"
"Banyak," jawab Dazai-san enteng. "Terus, tentang kamu sebagai matahariku. Kenyataannya, aku memang merasa sedang berjalan dalam terang ketika aku bersamamu. Biar saja aku hanya kaumanfaatkan, karena kupikir, aku sedang berusaha hidup sesuai perkataan Odasaku.
"Tapi, ketika kamu mengawatirkanku, kelamaan aku jadi mengawatirkanmu juga. Perasaanku jadi tidak karuan, dan menurutku itu aneh. Tidur denganmu terasa sangat nyaman, padahal dulu aku tidak begitu mau melewatkan malam dengan tertidur. Dan saat terang, rasanya aku masih ingin mendekapmu, makanya aku tahu ada yang aneh dengan diriku.
"Habis itu, parka krem itu," kata Dazai-san, menunjuk parka yang sehari-hari ia pakai yang sedang tergantung di gantungan baju yang ada di dinding. Nagiko menoleh sebentar ke obyek tersebut sebelum perhatiannya kembali pada pemuda itu. "Sebelumnya, aku mengenakan jas kebesaran warna hitam, kan?" Nagiko mengangguk. "Tradisi di Mafia adalah, bosnya memberikan sesuatu miliknya kepada anggota eksekutif, dan jas hitam itu adalah hadiahnya untukku. Waktu itu, kamu memasukkan jasnya ke mesin cuci, lalu—"
"Aaah, iya, jadi rusak, gara-gara aku tidak mengecek kantung jasnya," ringis Nagiko.
Dazai-san terkekeh. "Aku juga lupa ada cutter di kantongnya. Jas itu jadi rusak. Beberapa hari kemudian, kamu memberiku parka krem itu, sebagai ganti jas yang rusak, dan kamu gak tahu bahwa hari itu aku sebenarnya berulangtahun, makanya kujaga parka itu baik-baik."
Nagiko tersenyum kecil. "Untungnya mesin cuci Paman Yukichi tidak rusak, dan aku juga tidak memasukkan baju yang lain selain jas Dazai-san saat itu."
"Kalau sampai rusak, bayangin saja pamanmu bingung kenapa bisa ada cutter disana," kekeh Dazai-san. "Kemudian, hm—" Dazai-san kembali menyengir kecil. "Di tahun kedua kita tidur bareng, saat aku tidak menghabiskan malam denganmu, selama beberapa kali aku mencoba kencan malam dengan para wanita penghibur."
Nagiko manyun, dan cengiran pemuda itu makin lebar.
"Aku mencoba tidur dengan beberapa di antara mereka," aku Dazai-san, "tapi rasanya begitu berbeda. Tiap aku terbangun, aku membayangkan akan melihat wajahmu, tapi malah menemukan yang lain. Saat mereka melihat luka di tubuhku, mereka hanya mengucap kata-kata manis dan sedih untuk merayuku. Tiap aku memeluk atau menggenggam tangan mereka—" Dazai-san kembali menggenggam tangan Nagiko. "—rasanya berbeda. Aku tidak suka itu, dan aku sadar bahwa aku hanya ingin bersamamu."
Gadis itu menelan ludah, menghela, lalu menggigit bibir. "Apa bukan karena Dazai-san kebiasaan tidur denganku?"
"Iya, kupikir juga begitu," kata Dazai-san. "Makanya, setelahnya aku berniat untuk tidak terlalu memikirkan tentang perasaan ini. Masalahnya, rasa untuk selalu berada di dekatmu semakin besar tiap saat. Aku jadi tidak suka melihatmu berinteraksi dengan cowok lain. Aku mengawatirkanmu yang sering keluar malam-malam untuk mencari informasi mengenai suatu kasus sampai sesekali aku mengekorimu—"
"—itu benaran Dazai-san?" potong Nagiko, spontan teringat bahwa kadang ia merasa ada seseorang yang menguntitnya di malam hari jika sendirian.
Pemuda itu mengerjap. "Iya?"
"Ya ampun," gumam keponakan Bos ADB itu pelan. "Maksudku, aku tahu ada seseorang yang mengikutiku sesekali, tapi karena orang itu tidak melakukan hal aneh, kubiarkan saja dan berpikir itu hanya seseorang yang kebetulan mau lewat di jalan itu juga!"
"Dan selama aku ikutin kamu itu, aku tetap gak pernah ngeliat kamu masuk ke Bar Lupin," ingat Dazai-san.
"Sudah kubilang, berarti tidak jodoh."
"Nagiii!" Kembali Dazai-san merengek, membuat Nagiko terkekeh, dan pemuda itu jadi tersenyum melihatnya. Dazai-san mengelus punggung tangan gadis di sebelahnya dengan ibu jari. "Kupikir, seharusnya dalam hubungan ini, yang paling tidak ingin kehilangan adalah dirimu—kamu tidak mau aku pergi karena kamu butuh kemampuanku. Tapi, aku ketakutan setengah mati saat melihatmu berdarah kena serang Higuchi dan Akutagawa. Padahal, kalau kamu tidak ada, seharusnya aku tidak apa-apa, beda dengan kamu yang kalau aku gak ada. Lalu kupikir, perasaanku padamu selama ini, itu adalah rasa sayang. Tapi aku sadar bahwa perasaanku ini namanya sudah bukan rasa sayang ketika kamu terbangun dari pingsanmu itu. Kutanya kalau kamu jadi takut padaku yang adalah mantan Mafia, tapi responmu—"
"—kubilang, memangnya kenapa, kan?"
Dazai-san tersenyum lembut. "Mungkin selama ini aku salah paham. Tapi, aku merasa bahwa kamu mengawatirkanku dan menerima keberadaanku sebagai diriku sendiri. Kemampuanku membuatmu membutuhkanku, tapi kamu tetap menerimaku saat kamu sedang tidak membutuhkan kemampuanku juga. Saat aku tahu kamu tidak apa-apa dengan aku yang begini, aku menyadari bahwa aku bukan sayang padamu. Nagiko, aku mencintaimu."
Rahang gadis itu mengeras, lidahnya terasa kelu. Ia bisa merasa matanya terbelalak dan tubuhnya mematung di posisi duduknya.
Pemuda itu masih tersenyum sambil mengelus pipi keponakan bosnya lagi. "Aku sangat lemah saat bersamamu, Nagi. Pertahanan diriku tidak sebaik biasanya, padahal aku selalu bisa menebak ada siapa yang bersembunyi dimana jika aku sedang tidak memelukmu. Aku bisa mengatur ritme detak jantungku—" lalu Dazai-san mengambil satu tangan gadis itu untuk ditaruh di dadanya, sehingga Nagiko bisa merasakan detak jantung yang begitu cepat—bahkan mungkin sama cepatnya dengan detak jantungnya sendiri. "—tapi aku tidak bisa mengaturnya ketika aku bersamamu."
Dengan susah payah, akhirnya Nagiko bisa menelan ludahnya. Ia mengerjap, tapi tidak berani menatap langsung pemuda yang ada di sebelahnya. "Dazai-san … mencintaiku?"
"Iya, aku mencintaimu, Kiyohara Nagiko," tegas Dazai-san lembut.
Debaran jantung Nagiko membuatnya jadi agak sulit bernafas. Ia memberanikan diri untuk perlahan melihat kepada lawan bicaranya. Ia baru sadar bahwa Dazai-san berada sangat dekat dengannya—padahal dia memang tahu daritadi pemuda itu duduk di sebelahnya. Ekspresi Dazai-san tampak begitu lembut memandanginya, dan itu membuat Nagiko makin sulit bernafas.
Dari setiap kalimat yang Dazai-san sebutkan, beberapa di antaranya juga Nagiko rasakan selama ini. Ia tahu bahwa dirinya mengawatirkan Dazai-san, tapi dia selalu mempertanyakan dirinya mengenai alasan kenapa bisa sebegitu cemas—kemungkinan karena Nagiko butuh kemampuan Dazai-san, kan? Masalahnya, ketika sedang tidak ingin tidur pun, Nagiko sudah terlanjur terbiasa nyaman di tangan pemuda itu sekarang. Tidak hanya genggaman atau pelukannya, tapi Nagiko juga menikmati interaksi mereka lewat pesan dan telepon. Jadi, mungkin, benar-benar mungkin, Nagiko menyukai—
"—dahimu berkerut banget, lho," gumam Dazai-san sambil tersenyum kecil.
Si Gadis mengerjap. "Dazai-san, aku, eh, kupikir aku juga—"
Pemuda itu berhasil menangkap bibir Nagiko dengan telunjuknya. "Enggak, jangan sebut kalau kamu belum yakin."
"Eh?"
Dengan ibu jarinya, Dazai-san mengusap bibir itu. "Aku tahu apa yang kamu rasakan. Tapi kamu sendiri harus memikirkannya baik-baik, Nagi, karena kamu masih ragu. Kalau sudah yakin—," ia tersenyum, "—kalau kamu yakin bahwa kamu memiliki perasaan itu juga padaku, cium aku, di bibir."
Nagiko tersentak, membuat jari Dazai-san lepas dari bibirnya. "Eh?"
Dazai-san tersenyum lebar, lalu Nagiko bisa merasakan tangan pemuda itu telah melingkar di belakang pinggangnya. "Ciuman di bagian tubuh tertentu punya artinya masing-masing. Seperti kalau aku mencium pipimu waktu itu—" Telinga Nagiko menghangat. "—itu bisa berarti bahwa aku sedang memberitahumu bahwa aku menyukaimu, dan bahwa aku ingin mencium bibirmu tapi aku tidak berani karena mungkin kamu tidak mau."
"Kh—kalau di bibir?" bisik Nagiko.
"Kalau di bibir—" Dazai-san kembali mengusap pelan bibir gadis itu dengan ibu jarinya. "—itu mengindikasikan perasaan cinta."
Pemuda itu menatapnya dengan begitu intens, sampai-sampai Nagiko harus mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap bernafas. Dazai-san tampak begitu indah di hadapannya, Nagiko menjadi lemas sendiri sampai menggapai lengan pemuda itu dan meremas pelan bajunya. Entah bagaimana, Nagiko yang tadinya duduk bersandar di ranjang, malah berbaring disana, dengan Dazai-san berada di atasnya tampak asyik memandang gadis itu dengan sayang.
"—gawat," gumam Dazai-san. "Nagi, halangi mulutmu dengan tangan, deh."
"Eh?"
Mungkin tidak sabar dan tidak mau menjelaskan, pemuda itu mengambil satu tangan Nagiko untuk menutupi mulut gadis itu sendiri, sehingga bibir gadis itu menempel pada telapak tangannya sendiri.
"Nagiko," kata Dazai-san. "Apa pun yang terjadi, selama belum aman, jangan lepas tangan itu dari mulutmu." Nagiko mengerjap bingung, tapi ia mengangguk juga. "Kalau sudah tidak tahan, kamu harus menolakku. Tendang aku, pukul, dorong, terserah. Paham?" Lagi Nagiko mengangguk dalam kebingungan.
Dazai-san menggumam 'bagus' dan mengangguk sekali. Satu tangannya ada di belakang punggung Nagiko, seakan berjaga-jaga agar gadis itu tidak kabur. Tangannya yang satu kembali mengelus pipinya. Kemudian Dazai-san semakin mendekatkan wajahnya pada wajah gadis yang ada di bawahnya. Melihat pemuda itu sangat dekat dengannya, Nagiko jadi malu sendiri, dan ia langsung memejam erat kedua matanya. Dari awal, karena wajah pemuda itu sudah di dekatnya, Nagiko memang bisa merasakan sedikit hawa nafas Dazai-san. Bukan hanya sekadar nafas pemuda itu saja, melainkan sekarang bibir Dazai-san menempel di punggung tangan dan jemari yang Nagiko gunakan untuk menutup mulutnya.
Nagiko terkejut, apalagi karena Dazai-san menggerakkan mulutnya seakan mengemut punggung jari tangan gadis itu, seakan itu adalah bibir Nagiko. Padahal mereka terhalang tangannya, tapi Nagiko seakan bisa merasakan hangatnya bibir pemuda itu padanya. Dazai-san seakan sengaja menciumi tiap jari yang menghalanginya, dan satu tangan Nagiko berhasil menggapai bahu pemuda itu untuk diremas bajunya.
Gadis itu melenguh dan mengerang pelan saat ciuman Dazai-san mulai turun ke dagu dan lehernya. Tentu saja Nagiko berhasil menahan suaranya sendiri karena tangannya masih menutupi mulut. Tapi pemuda itu tampak tahu apa yang sedang Nagiko sembunyikan, makanya gadis itu bisa merasakan senyuman Dazai-san saat menciumi sekeliling lehernya.
Si Gadis mencengkeram baju Dazai-san dan terdengarlah suara erangan yang terhalang tangan ketika pemuda itu menggigit keras leher samping Nagiko. Ia merintihkan nama pemuda itu, sembari Dazai-san menyudahi gigitannya dan mengganti dengan ciuman disana.
Saat Dazai-san mulai menciumi telinganya, Nagiko bisa merasakan tangan pemuda itu yang awalnya ada di sekitar wajahnya, kini sudah menyentuh pinggang juga. Alarm dalam otak gadis itu baru menyala ketika tangan Dazai-san menjamah pantatnya dan meremas pelan disana. Langsung saja dengan satu tangannya yang bebas, Nagiko mendorong cepat bahu pemuda itu.
Dazai-san langsung menghentikan aksinya. Ia menatap gadis yang mengerjapkan mata di bawahnya. Pemuda itu menarik tangannya dari pantat Nagiko, lalu tersenyum kecil. "Maaf, ya, takut?"
Dengan kikuk dan wajah merah padam, Nagiko menggeleng.
Pemuda itu terkekeh pelan, lalu menarik pelan tangan Nagiko yang ia ciumi. "Sudah selesai, tidak perlu ditutup lagi. Untung kamu mendorongku, kalau tidak mungkin tadi tangan ini kupaksa lepas."
Ketika tangan itu sudah tidak menutupi mulut Nagiko, ia yakin wajahnya yang semerah tomat langsung jelas terlihat. Maka dari itu, spontan ia membuang muka dari hadapan pemuda itu dengan membalikkan badan ke samping dan menutup seluruh wajahnya dengan dua tangan.
Kekehan Dazai-san terdengar lagi, lalu Nagiko bisa merasakan ciuman Dazai-san di belakang kepalanya. "Mau tidur sekarang?" tawar pemuda itu lembut.
"Kurasa aku akan kesulitan tidur sekarang…," cicit Nagiko.
Dazai-san memeluknya erat dari belakang. "Itu gunanya aku disini, kan?"
"Dazai-san," cicit Nagiko lagi, ia mendengar 'hm?' pelan di belakangnya. "Jika seandainya, setelah kupikir matang-matang, ternyata dugaan Dazai-san tentang perasaanku salah, bagaimana?"
"Hmmm, ya sudah, tidak apa-apa."
Disitu Nagiko tahu pemuda itu berbohong, karena sambil menjawab pertanyaan itu, Dazai-san mengeratkan pelukannya dan menempelkan kepala di pundaknya.
.
.
Kak Akiko tersedak, dan Nagiko menepuk pelan punggungnya sambil merasa wajar. Dokter wanita itu masih agak terbatuk pelan, tapi ia mengangkat satu tangannya, menandakan agar Nagiko tidak perlu membantunya lagi. Kak Akiko mengusap pelan dadanya dan menghembus nafas perlahan sebelum—
"—Dazai mencium—"
"—ssshh!"
Perempuan yang lebih tua berdeham sebentar sebelum berbisik, "dia menciummu?!"
Wajah Nagiko merona sejadinya. Ia sudah seperti kepiting rebus saat ia melaporkan bahwa Dazai-san bilang 'suka' padanya, sekarang Kak Akiko membuat wajahnya makin merah saat mengonfirmasi apa yang didengarnya mengenai yang dilakukan pemuda itu pada keponakan Pak Bos.
"Tidak menciumku, dia mencium tanganku!" koreksi Nagiko.
"Iya! Dia menahan diri dengan mencium tanganmu—astaga Nagiko!" sahut Kak Akiko.
Tampang dokter perempuan ini membingungkan Nagiko. Pasalnya, jelas bibir kakak angkatnya ini menyunggingkan senyum, matanya agak terbelalak, tapi mimik wajahnya seperti tercengang.
"Astaga," kata Kak Akiko lagi. "Maksudku, aku tahu cepat atau lambat Dazai akan menyatakan cintanya padamu—" Nagiko menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan saat perempuan di hadapannya menyebut kata 'cinta'. "—tapi aku tidak menyangka dia akan seberani itu!"
Nagiko mengerang malu dalam hati. Ia jadi agak menyesali perbuatannya yang satu ini, yakni menceritakan kejadian semalam pada Kak Akiko. Nagiko yakin ia tidak bisa menyimpan semuanya seorang diri dalam otak dan hatinya, ia perlu seseorang untuk dilimpahi cerita soal kemarin malam, dan jelas nama Paman Yukichi langsung dicoret pertama kali—kecuali kalau Nagiko mau Dazai-san langsung terbunuh. Selain orang-orang di agensi, Nagiko tidak begitu dekat dengan siapa-siapa. Pun, di kantor juga mereka hanya berinteraksi jika itu sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan. Perempuan yang dekat dengan Nagiko juga hanya Naomi dan Kak Akiko. Gadis itu tahu ia tidak akan membicarakan ini dengan Naomi sendiri, karena tahu akan dicengin. Maka dari itu, satu-satunya pilihan yang aman adalah Sang Dokter yang sudah Nagiko anggap sebagai kakak sendiri.
"Lalu? Lalu?" tanya Kak Akiko semangat.
"Apanya?"
"Tadi pagi, saat kalian bangun, bagaimana?"
Lagi wajah Nagiko merona. Ia ingat Dazai-san sempat mencium telinganya sebelum beranjak bangun dari ranjang.
"Nagi, kamu harus ngaca, manis banget wajahmu saat ini," goda Kak Akiko.
Keponakan Bos ADB itu memukul pelan tangan lawan bicaranya karena malu. Kemudian ia teringat pembicaraannya dengan Dazai-san saat mereka sarapan di apartemen Nagiko, dan gadis itu jadi agak muram. Kak Akiko tampak menyadari perubahan ekspresi itu dan menjadi bingung.
"Saat sarapan tadi, Dazai-san bilang bahwa ia ingin kami tidak berdekatan kecuali saat aku butuh ditemani tidur atau yang berhubungan dengan pekerjaan," tutur Nagiko.
Kak Akiko mengerjap. "Hah, kenapa?"
Nagiko tersenyum kecut. "Dia bilang biar aku bisa memikirkan dengan benar perasaanku padanya. Kalau dia terus menempel padaku, takutnya perasaanku hanya sekedar terbawa suasana saja. Jadi, sampai aku yakin, komunikasi kami akan terbatas."
Lagi dokter wanita itu mengerjap, sebelum akhirnya mengangguk. "Yaaah, aku paham, sih tujuannya."
Nagiko mengangguk juga. "Akupun begitu. Aku hanya agak kecewa saja. Malamnya dia bilang suka, paginya dia bilang ingin jaga jarak."
Kak Akiko terkekeh. "Tapi yang dikatakan Dazai itu benar, aku setuju dengannya, karena aku pernah mengalami fase itu."
"Eh?" Nagiko memiringkan kepalanya dengan bingung.
Dengan lembut Kak Akiko menggenggam tangan adik angkatnya. "Pertama kali kamu tinggal di rumah Pak Fukuzawa, aku tidak menyukaimu sama sekali."
Keponakan Pak Fukuzawa itu mengerjap. "Eh?" Nagiko memang ingat bahwa dulu perempuan yang bersamanya ini memang agak berlaku dingin pada minggu-minggu pertama ia tinggal dengan Paman Yukichi—tapi dipikirnya itu hanya karena mereka baru kenal.
Sang Dokter tersenyum kecil. "Nagi, aku suka Ranpo-san."
"Eh—HAAAHH?!"
"—ssshh!" gantian Kak Akiko yang menyuruh Nagiko mengecilkan suara.
"Aki-nee suka—eh?"
Kak Akiko tersenyum kecut sambil mengangguk. "Kamu lebih cepat akrab dengannya dibanding waktu aku pertama kali kenal dengannya. Dia selalu menawarimu permen yang dibelinya, tapi tidak padaku."
"Aki-nee kan, kurang suka permen?"
Lagi kakaknya mengangguk. "Benar, makanya dulu aku bodoh banget, bisa cemburu begitu. Setelahnya aku sadar bahwa Ranpo-san memang tidak menawari sesuatu yang dia tahu aku tidak suka, walau hanya sekadar basa-basi. Kemudian, aku baru mau dekat denganmu. Terus, sehari sebelum Ranpo-san pindah ke apartemen sendiri, aku nekad menyatakan perasaanku padanya."
Nagiko terbelalak kaget.
"Kubilang padanya bahwa aku menyukainya, dan saat itu aku sebal sekali dengan responnya," aku Kak Akiko. "Tapi, makin tahun, aku memahami perkataannya, karena memang masuk akal. Menurutmu, apa yang dia katakan waktu itu?"
Gadis yang lebih muda itu memiringkan kepalanya, tapi tidak kepikiran apa-apa untuk menebak.
"Waktu itu Ranpo-san dengan enteng bilang bahwa mungkin perasaanku ini bukan benar rasa suka padanya," cerita Kak Akiko. "Katanya, aku tidak begitu bergaul dengan laki-laki lain saat tinggal dengan Pak Fukuzawa, dan kebetulan Ranpo-san-lah yang paling dekat denganku, makanya aku bisa berpikir bahwa aku suka padanya. Lalu dia juga bilang bahwa, seiring berjalannya waktu, jika aku sudah berinteraksi normal dengan banyak laki-laki, aku akan tahu bahwa perasaan ini bukan rasa suka.
"Aku benci sekali dengan kata-katanya, dan bersyukur bahwa keesokkan harinya dia benar pindah dari rumah Pak Fukuzawa, sehingga aku hanya perlu melihat wajahnya di kantor saja. Rasa sebalku perlahan hilang, sih, dan Ranpo-san selalu bersikap seperti biasa saja.
"Tapi, Ranpo salah akan suatu hal. Dia bilang bahwa aku akan sadar bahwa perasaanku ini bukan rasa suka saat aku berinteraksi normal dengan banyak laki-laki lain. Selama bertahun-tahun kami bersikap biasa saja, dan aku bergaul dengan banyak orang, tapi perasaan ini menjadi semakin jelas. Nagiko, rasa sukaku pada Ranpo-san ternyata bukan karena terbawa suasana—aku memang menyukainya."
Nagiko balas menggenggam erat tangan kakak angkatnya, dan Kak Akiko tersenyum sedih.
"Walau begitu," lanjut Kak Akiko, "aku tidak berniat mengaku suka padanya lagi, karena kutahu dia tidak akan mau repot menganggap serius masalah hati. Dan kupikir, berada dekatnya saja sudah cukup."
Keponakan Presdir ADB itu mengangguk. Pantas saja Kak Akiko sering mengawatirkan Si Detektif Terhebat seperti Nagiko mencemaskan Dazai-san. Ia memang kaget saat figur kakaknya ini bilang suka pada Ranpo-san, karena bagaimanapun, itu benar tidak ada tandanya sama sekali—ternyata memang karena Kak Akiko berusaha menyembunyikannya setiap hari.
"Makanya aku setuju kalau kamu dan Dazai-san jaga jarak untuk sementara waktu," kata Kak Akiko lagi. "Dia ingin memberimu kesempatan untuk yakin pada perasaanmu sendiri. Masalah ternyata kamu membalas perasaannya atau tidak, itu belakangan. Yang penting, kamu punya waktu untuk menata perasaanmu."
Nagiko mengangguk pelan. Selama beberapa waktu, kedua gadis itu terdiam dalam senyum. Nagiko berpikir mungkin curhat pada Kak Akiko memang pilihan yang tepat.
Lalu suara ketukan pintu terdengar. Si Dokter Wanita menghela sebelum menyahut 'masuk'. Pintu ruang kesehatan terbuka, dan muncullah sosok Kunikida-san disana.
"Apa?" tanya Kak Akiko garang.
"Ah, permisi," ujar Kunikida-san. "Nagiko, bisa ikut sebentar? Ada sesuatu yang perlu diperiksa."
Perlahan Nagiko mengangguk. Ia tersenyum sebentar pada Kak Akiko sebagai tanda pamit, lalu keluar dari ruang kesehatan dengan Kunikida-san.
Di meja kerjanya, Nagiko langsung disuguhi beberapa artikel mengenai nama-nama orang asing yang tak dikenalnya. Dalam artikel itu, mereka tewas dengan cara yang berbeda-beda, di negara yang berlainan pula.
"Divisi Spesial meminta kita mengecek kasus-kasus aneh ini," ujar Kunikida-san. "Ada yang dari Taiwan, Singapura, Amerika…."
"Kunikida-san ingin aku cross-check?"
Si Kacamata menggeleng. "Itu juga, tapi aku lebih ingin kamu mencari tahu tentang kasus serupa dengan bahasa negara-negara itu."
Nagiko mengangguk.
"Lagipula," deham Kunikida-san. "Sesuai dengan perkataanmu, 'dengan menggunakan bahasa utama mereka sendiri, mereka jadi lebih bisa mengekspresikan maksud dan tujuan dari apa yang ingin mereka sampaikan'."
Gadis itu menyengir.
.
.
Bersambung
.
.
"With the passing years
My years grow old upon me
yet when I see
this lovely flower of spring
I forget age and time.
– but I changed 'flower of spring' to 'your face, my lady'."
– The Pillow Book, Sei Shonagon.
.
