Naruto hanya milik Masashi Kishimoto

Saya hanya meminjam karakternya.


Bulan yang sangat indah.

Ino tidak lagi menatap Hokage yang duduk dengan santai di ranjangnya. Jendela yang terbuka lebar menampakkan bulan penuh menyinari gelapnya malam mengalihkan perhatiannya.

"Bulan yang sangat indah bukan?" Kakashi ikut memandang bulan tersebut, "Padahal beberapa waktu lalu, bulan itu nyaris terbelah karena Naruto."

"Kenapa kau kesini?" Ujar Ino merasa gerah melihat orang penting desa berada di kamarnya. Di area privasinya.

Kakashi menepuk ruang kosong tepat berada di sebelahnya. "Duduk."

Melihat tidak ada gunanya melawan, Ino akhirnya mengalah lalu menarik kursi dari meja rias dan menempatkannya di samping kasur tersebut.

"Ino." Desah Kakashi tidak menyetujui sikap yang Ino tampilkan.

"Sensei." Ia menyela dengan cepat keluhan itu dan menatap Kakashi. "Hanya ini yang aku perkenankan."

Ino tidak begitu ingat kapan ia dan Hokage menjadi dekat. Kalau tidak salah, dua tahun yang lalu, sebelum Kakashi resmi mengemban jabatannya sebagai Hokage.

Waktu itu, tepat setahun berakhirnya Perang Dunia Ninja. Godaime Hokage resmi memilih suksesornya. Belum di umukan secara resmi tapi hampir seluruh penduduk Konohagakure tahu bahwa Godaime Hokage akan turun dari jabatannya.

Saat itu, Ino dan Kakashi bertemu di Negara Ombak dengan misinya masing-masing. Ia berceloteh tidak sopan, bertanya kenapa mantan Guru dari Tim Tujuh kembali mengambil misi padahal dia telah menjadi Hokage—hanya belum diumumkan secara resmi saja.

Tanpa sadar Kakashi bercerita kepada Ino tentang keraguannya yang tidak lagi kuat karena Sharingan telah hilang. Tentang keraguannya yang tidak bisa melindungi desa karena poin pertama tadi.

Tidak ada saran, tidak menghakimi, hanya mendengar dan sesekali menimpali kemudian timbul rasa nyaman.

Ino yang pertama kali menyadari perasaan tersebut, dengan akal gilanya ia menyusun rencana yang sudah lama timbul di benaknya.

Ia ingin segera menghilangkan perasaan cintanya kepada Sasuke. Satu-satunya cara agar itu dapat terlaksana dengan mencari cinta yang baru dan juga. Ino tidak pernah menganggap Kakashi adalah gurunya. Panggilan sensei ia sematkan hanyalah sebatas rasa hormat kepada yang lebih tua.

Memang terdengar kasar, apalagi ia tahu Kakashi telah membantu timnya untuk membalas dendam kepada salah satu anggota Akatsuki beberapa tahun yang lalu karena telah membunuh gurunya. Tapi hanya itu. Ino hanya menganggap Kakashi Hatake dulu dan sekarang sebagai orang dewasa yang bisa membantu.

Maka dari itu, Ino berpikir bahwa Kakashi adalah kandidat yang tepat. Dia tampan, berwibawa, dan memiliki kharisma.

Ino melakukan permainan yang membawanya ke titik di mana ia menjadi orang jahat. Namun, saat ia sadar dan ingin melepaskan, Kakashi tidak bisa membiarkannya.

Kakashi mengetahui semuanya.

"Baik, lalu kenapa kau kesini?" Ino mengulangi pertanyaannya lagi. "Kau tidak boleh berada disini."

Kakashi menghela nafas dan memejamkan matanya. "Kau pikir aku tidak tahu itu, Ino? Aku tahu. Aku tidak boleh bertemu denganmu selain karena pemberian misi, rapat, tidak boleh bicara denganmu di luar konteks pekerjaan."

"Kau tidak bisa melakukan ini. Mengendap-endap masuk ke area privasi seperti ini." Suasana menjadi sedikit berat karena kekesalan Ino yang akhirnya tumpah.

"Ino."

"Dua belas orang." Ino menatap Kakashi lurus dengan pandangan yang tidak bisa di artikan.

"Apa?"

"Dua belas orang yang akan mencarimu, apabila kau tidak ada di ruangan, termasuk para Anbu. Pulanglah." Pinta Ino.

"Aku ingin istirahat sebentar." Kini Kakashi sudah sepenuhnya berbaring di kasur Ino. Matanya terpejam sambil memeluk bantal guling miliknya.

Ino diam, tetapi matanya tidak lepas melihat gerak-gerik Kakashi. Ino bersalah. Ia tahu.

Kakashi adalah definisi sempurna. Dia pemberi saran yang baik, perhatian, lucu, bahkan pandai memasak.

Mereka berdua sering melakukannya secara sembunyi-sembunyi, salah satunya memasak kemudian bercerita tentang keseharian mereka, dan tentunya Kakashi yang memasak. Ino merasa dirinya sempurna dalam segala hal kecuali memasak.

Bukankah mereka saling melengkapi satu sama lain? Hanya saja, ia tetap tidak bisa melupakan Sasuke. Manusia itu bersalah karena terus hadir di benaknya.

"Shikamaru mengatakan kau tidak menyukai Namida Kobayashi." Ujar Kakashi memecah keheningan.

"Kalau Shikamaru yang mengatakannya, dia pasti juga memberikan alasannya." Balas Ino malas dengan memainkan tangannya.

Kakashi membuka matanya. "Hanya sedikit aneh. Apa kau tidak lelah, duduk di kursi itu? bergabunglah denganku." ajaknya tersirat. Ranjang Ino memanglah besar, muat untuk ditiduri dua orang, tapi kehadiran Kakashi membuatnya mengeluarkan jarak.

Ino tidak ingin lagi menjadi bahan perbincangan manusia di Konohagakure.

Ino menggeleng kuat, matanya terpejam berusaha mengabaikan bisikan-bisikan masa lalu yang datang. "Berbicara tentang Shikamaru, sepertinya ia tahu tentang hubungan kita dulu." Alihnya cepat.

Kini giliran Kakashi yang tidak menjawab. Dia hanya diam, menarik nafas lalu terkekeh masam. "Memangnya hubungan kita sekarang bagaimana? Kau kabur dan tidak ada kejelasan. Biar itu menjadi urusanku."

Ino ikut tertawa canggung, sedikit tidak menyetujui, tapi ia membiarkan Kakashi melakukannya.

"Tadi, Namida membahas tentang paket yang datang ke kantor. Entah dari mana dia mendapatkan informasi tersebut." Ujar Kakashi memecah keheningan dan mulai bercerita, seperti yang dulu mereka lakukan. Sepertinya juga, Shikamaru bercerita kepada Hokage tentang pertemuannya dengan Ino.

"Media Berita hanya ingin mendapatkan informasi untuk di sampaikan ke publik." Ino mengeluarkan isi pikirannya.

"Aku pikir, dengan meresmikan stasiun televisi Konoha Press, akan membuat masyarakat sedikit memiliki hiburan. Ternyata itu malah menjadi bumerang untuk pemerintahan." Ada rasa getir dan pahit yang terdengar oleh Ino.

"Kau akan melakukan kontak pada desa Imagi?" Ino bertanya dengan hati-hati.

"Kau tahu apa yang aku pikirkan?" Mata Kakashi sudah sepenuhnya terbuka. Tangannya ia lipat menjadi tumpuan kepalanya dan menatap langit-langit kamar Ino. "Beberapa negara yang termasuk Aliansi Shinobi tentu tidak sepenuhnya setuju dengan perjanjian perdamaian ini, termasuk Konoha. Bahkan dari mereka ada yang sudah melakukan suatu kejahatan. Seperti yang kau ketahui kemarin, masalah Sasuke dan Naruto. Kalau kita bertindak pada salah satu sisi, akan banyak orang yang mengkritik sistem pemerintahan Konoha, termasuk Hi no Kuni."

Ino bergeser, mencari posisi yang nyaman, kakinya ia lipat dan badannya disandarkan pada kepala kursi. Ino menatap Kakashi lurus. "Kau harus segera memutuskan, Kakashi-sensei." ujarnya dengan dada yang berdebar.

"Aku tahu."

"Wawancaramu dengan Namida Kobayashi dari Konoha Press akan tersiar."

"Aku tahu."

"Mau tahu apa yang akan aku lakukan?" kini Ino bertopang dagu dengan siku tangannya yang bertumpu pada paha.

Ia menyeringai, berusaha bertindak sopan dengan tidak langsung membicarakannya secara blak-blakkan.

Kakashi mengangkat badannya menyamping agar bisa melihat Ino dengan jelas. "Tidak. Aku tidak membutuhkanmu." Ujar Kakashi tertawa kecil. Matanya menyipit seolah ikut tersenyum. Kakashi menarik nafasnya lega karena Ino mulai sedikit santai.

Tensi yang sudah sedikit turun membuat Ino juga ikut tertawa kecil. "Bepikirlah, dan cari jalan keluar. Jangan biarkan media dan masyarakat sipil menyudutkanmu tentang gencatan senjata. Tekankan bahwa Konoha Press ada dan diresmikan sebagai media penghubung antara masyarakat dan pemerintahan dengan beberapa aturan yang telah ditetapkan. Lalu, putuskan apa yang menjadi tindakanmu. Jangan biarkan siapapun mendesakmu. Hanya ada satu pemimpin desa Konoha dan namanya Kakashi Hatake. Jika kau ingin membatalkan perjanjian gencatan senjata, itu karena kau yang menginginkannya."

"Damn! Aku merindukanmu." Ujar Kakashi di luar konteks pembicaraan.

"Sensei?" Ino yang semula sudah merasa santai dan nyaman mau tidak mau mengubah ekspresinya menjadi kecut.

"Bukan. Bukan seperti itu." Sanggah Kakashi cepat. "Seperti ini. Berbicara denganmu, mendengarkanmu. Apa yang terjadi dua tahun kau berada di luar desa Ino? Kau kembali dengan menakjubkan."

Ino jadi risih! Ia tidak enak, dan tertawa kaku "Maksudmu memberi saran seperti tadi?"

"Itu bukan hanya sekedar saran. Ada sarat politik yang kau ucapkan tadi."

"Berbicara dengan Hokage tentu tidak jauh dari nama politik. Klan Yamanaka juga sering membicarakannya. Itu bukan sesuatu yang asing."

"Kalau begitu, alasanmu yang juga belum memberikan pilihan mengenai pekerjaan, karena kau ingin terjun ke politik?"

Ino mengedikkan bahunya sambil melirik jam yang hampir menunjukkan waktu tengah malam. "Tidak ada yang tahu dengan masa depan."

.

.

.

Sudah hampir dua minggu kepulangannya ke desa, baru hari ini Ino sempat berkeliling, mengamati perubahan yang terjadi pada Desa Konoha.

Lambat tetapi pasti, situasi di desanya semakin membaik. Aktivitas di Konoha kembali ramai, bahkan banyak penduduk dari luar desa Konoha ingin masuk dan menetap di Desa yang menghasilkan Ninja terbaik di dunia. Terdapat gedung-gedung baru yang tidak begitu ia perhatikan saat pergi ke kantor pemerintahan.

"Wow, apa kantor kepolisian ini benar-benar diaktifkan kembali?" Ino melongo saat melihat gedung kepolisian yang terdapat lambang kipas khas milik klan Uchiha terpampang nyata.

Ino tanpa sadar berjalan sampai ke pinggiran desa yang berlawanan dari lingkungan tempat tinggalnya. Dulu, ia memang sempat mendengar kabar bahwa Desa Konoha memiliki lembaga peradilan yang dinamai dengan Konoha Military Police Force yang di naungi klan Uchiha. Gugus tugas mereka kurang lebih menjaga keamanan desa. Namun, kantor tersebut tidak lagi beroperasi semenjak tragedi berdarah itu.

Itachi-niisan.

Maaf...

Kepala Ino seketika berdenyut nyeri. Ia bukanlah karakter NPC. Ino baru menyadari bahwa hidupnya benar-benar luar biasa epic.

Di tengah hiruk-pikuk aktivitas gedung kepolisian, ada suara yang cukup ia kenal. Badannya berbalik untuk melihat orang yang dimaksud.

"Yosh! Mari kita bekerja dengan keras, Akamaru." Seru Kiba dibalas dengan gonggongan anjing putih itu.

Kiba yang baru saja datang melihat Ino, menyapanya dengan cengiran khas Kiba Inuzuka. "Ohayou, Ino! Ada apa pagi-pagi datang kemari?" Seru Kiba yang mengajaknya masuk ke dalam gedung.

Ino tersenyum dan menyetujui ajakan Kiba untuk masuk. "Ohayou, Terima kasih untuk ajakannya. Aku hanya berkeliling, dan tanpa sadar sudah sampai sejauh ini."

"Yeah, kau baru saja tiba di desa dua minggu lalu setelah pergi melakukan misi beserta penyamaran di luar desa. Tentu saja kau pasti ingin tahu berapa banyak hal yang berubah dari desa ini. Salah satunya lembaga ini. Konoha Military Police Force."

Langkah Ino terhenti kala ia lupa menyapa temannya yang lain. "Ohayou, Akamaru!" Sapanya sambil mengelus lembut kepala anjing tersebut.

WOof!

"Oh ya, maksudmu lembaga apa? Bukannya kepolisian ini terpisah dari sistem pemerintahan?" lanjutnya terlihat bingung.

Kiba menyeringai. Ia lupa bahwa Ino sempat bertugas membantu ayahnya di divisi Intelijen. Pasti, seluk beluk tentang keamanan desa beserta tetek-bengek sudah diketahui oleh gadis itu.

"Ketika mengaktifkannya kembali, Rokudaime Hokage menyatakan bahwa lembaga ini tidak di khususkan oleh satu klan. Siapa saja bisa menjadi anggota kepolisian ini. Jadi, ya lembaga ini sudah masuk ke dalam prioritas pemerintahan"

"Termasuk kau?" tembak Ino tepat sasaran.

"Tentu saja! Aku berusaha keras agar lolos tes masuk ke lembaga ini. Ah... Fuma-san." Kiba memanggil seseorang ketika telah berada di dalam gedung tersebut.

"Oh, Kiba! Untunglah kau berada disini. Ada kasus, ayo kita bertemu dengan anggota lainnya." Ajak orang itu. Ino di sini hanya planga-plongo tidak mengetahui situasi yang terjadi.

Orang yang bernama Fuma menatap Ino lalu melihat ke arah Kiba dengan pandangan bertanya.

"Ah... Fuma-san ini Ino Yamanaka, dan Ino, ini kepala departemen tingkat tiga kejahatan desa, Hotaro Fuma." Perkenalan singkat yang Kiba lakukan membuat Ino tersenyum dan membalas jabatan tangan dari Hotaro.

"Ahh... klan Yamanaka. Anak dari mendiang Inoichi-san bukan?" Hotaro berujar sambil mengingat.

Ino mengangguk dan memasang senyum formalnya. "Ya, itu ayah saya."

"Fuma-san, apa Ino bisa ikut melihat kasusnya?" Suara Kiba menyeruak masuk diantara mereka.

Ino tampak terkejut dengan permintaan Kiba, namun sedetik kemudian, ia mengubah ekspresi wajahnya. Dia tidak berniat untuk menerima itu, tapi permohonan Kiba yang terdengar jelas membuatnya merasa tidak enak.

"Ino tidak akan mengganggu dia hanya akan melihat dan sesekali membantu. Teknik klan Yamanaka pasti memudahkan kita nantinya." Lanjutnya lagi.

Dan sepertinya, pada kasus ini Ino bisa melakukan uji coba. Selama hampir satu minggu ia terus belajar dan memahami jurnal ayahnya. Ia ingin menerapkannya secara langsung. Melihat tingkat kesulitannya.

"Ya, Fuma-san. Apakah aku boleh ikut dan melihat? Aku tidak akan mengganggu dan berjanji akan menjadi anak baik."

Hotaro Fuma tertawa mendengar permohonan manja Ino dan mengangguk. "Baiklah, kita berkumpul sekarang, semuanya telah datang."

"Rock Lee? Tenten?" panggil Ino setibanya di sebuah ruangan yang tidak begitu besar, bisa ia simpulkan bahwa ruangan tersebut dibuat untuk tim yang sedang memecahkan suatu kasus kejahatan. "Kalian anggota kepolisian juga?" lanjutnya.

"Ino?" Ujar Lee dengan raut riangnya.

"Ino, apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Sekalinya pulang, kau malah menjadi anak rumahan." Ini Tenten yang bertanya.

Memang, setelah kepulangan Ino ke Konoha, gadis itu banyak menghabiskan waktunya di rumah. Bahkan, Ino belum pernah bertemu lagi dengan Sakura. Maklum, Sahabatnya itu adalah orang yang sibuk karena menjalankan dua pekerjaan sekaligus, walaupun masih di bidang yang sama.

Ino tersenyum lebar dan bersemangat. "Aku sangat merindukan ibuku. Jadi, kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Kalian anggota kepolisian?"

Lee dan Tenten serentak menggeleng. "Kami berdua menerima misi dari Hokage untuk membantu anggota kepolisian." Ucap Lee menjeleskan lebih detail.

"Apa kasusnya sangat buruk?" Ino kembali bertanya kepada Kiba yang berada di sampingnya.

"Sangat buruk." Hotaro Fuma masuk bersama dua orang lain yang menenteng beberapa buah berkas. "Sepasang suami-istri Nakamura dibunuh di rumah mereka yang terletak di pinggiran desa saat sedang tidur. Putri mereka yang bernama Emi Nakamura, berusia sepuluh tahun menghilang." Lanjutnya sambil memberikan beberapa berkas kepada mereka semua.

Ino menerima berkas tersebut dan membukanya. Wajahnya menumpahkan rasa kesedihan yang mendalam. Di dalam file tersebut, tampak beberapa foto di tempat kejadian perkara dengan gambar dua orang korban yang kepalanya hancur beserta lehernya yang robek seperti di gorok benda tajam.

Ino menduga bahwa pelaku bukanlah seorang ninja, ditilik dari begitu kejamnya pelaku membunuh korban.

"Kapan mayatnya ditemukan?" ujar Lee serius sambil membuka kertas demi kertas yang berisikan laporan tersebut.

"Dua jam yang lalu. Karena rumahnya sangat jauh dari kota, membuat informasi datang terlambat." Ujar Kiba yang sepertinya mengetahui informasi lebih awal.

Tenten yang mengernyitkan dahinya antara sedih dan juga mual karena melihat gambar tersebut, ikut bertanya. "Kapan mereka meninggal?"

"Sekitar pukul satu pagi."

"Sudah lebih dari sepuluh jam." Gumam Ino yang dapat didengar oleh orang yang berada di ruangan tersebut.

"Maksudmu?"

Awalnya Ino terlihat ragu untuk memberikan hasil pemikirannya. Ia takut kalau perkataannya hanya dianggap sebagai tebakan semata. Tapi, Ino sudah bertekad, kalau dia memang akan dianggap gila itu tidak apa-apa. Prioritasnya sekarang adalah menemukan Emi Nakamura.

"Sebagian besar anak yang diculik, tidak bisa bertahan lebih dari 24 jam pertama." Ino berkata sambil terus berpikir untuk memulai langkahnya. "Dan lagi, pembunuhan ini terlalu kejam. Mereka begitu sangat percaya diri melakukannya. Seolah, keluarga Nakamura bersalah."

Walaupun ia tidak tergabung dalam tim ini. Percayalah, Ino sangat ingin membantu. Ia tidak ingin melihat kejahatan lagi. Terlebih ketika berada di dalam desanya.

"Dari mana kau mengetahuinya? Masalah penculikan tersebut." tanya Hotaro.

"Aku pernah mendapatkan misi seperti ini. Dan kebanyakan anak yang diculik meninggal dalam waktu satu hari." Jawab Ino miris.

Dia mengingat beberapa misi yang mengharuskannya untuk menyelamatkan seorang anak yang diculik oleh sekelompok penjahat. Rata-ratanya, para sandera tidak pernah selamat. Itu menjadi kegagalan Ino yang sangat menyedihkan. Anak-anak itu mati karena ia tidak cepat mengambil keputusan.

"Kalau begitu, kita harus bergerak dengan cepat." Hotaro mulai memecah timnya lagi dalam beberapa kelompok. "Lee dan Kiba, kalian pergi ke tempat kejadian. Tanyakan kepada semua orang yang berada di dekat rumah itu tentang situasi yang terjadi. Ino, kami membutuhkan bantuanmu di sini. Kaoru Nakamura pernah menikah, lalu berpisah. Aku memanggil suaminya karena data Desa menyebutkan bahwa Emi Nakamura adalah anak kandungnya. Kau bisa menanyakannya sesuatu kalau ia datang, selagi aku dan Tenten pergi ke gedung Intelijen untuk menjelaskan kasus sekarang."

Ino menggaruk dagunya yang tidak gatal. Sekarang, bukan itu yang penting. "Dimana mayat mereka sekarang?" tanya Ino berhati-hati.

Hotaro Fuma hanya memandang diam Ino. Sedikit lama, ia menjawab pertanyaan perempuan tersebut. "Rumah Sakit Konoha, gedung autopsi. Untuk apa kau kesana?"

"Aku ingin melakukan pemeriksaan post-mortem. Mantan suaminya bisa menunggu disini. Aku tidak akan lama."

Sekali lagi, Hotaro tersentak kecil. Ia sungguh lupa bahwa gadis di depannya ini memiliki banyak keahlian. Hotaro mengingat, saat dulu Perang Dunia berlangsung, Ino sering membantunya dari segi medis ataupun komunikasi. Ia yakin sekali, bahwa gadis ini pasti lupa dengannya.

"Ahh, aku hampir lupa kau juga seorang medis yang berguru pada Godaime. Kalau begitu mohon bantuannya." Hotaro membungkuk, kemudia bergegas pergi.

Sedangkan di sisi Ino, ia hanya mengerjapkan matanya, melihat kesopanan yang di keluarkan Hotaro. Apa aku pernah bertemu dengannya?

"Sakura." Ino sedikit berlari kecil dan memeluk sahabatnya ketika tiba di rumah sakit.

"Kau bekerja di kepolisian?" ujar Sakura terlihat kaget melihat kedatangan Ino. Salah satu perawat mengatakan bahwa anggota kepolisian akan datang untuk pemeriksaan post-mortem. Ia hanya tidak menyangka Ino yang datang.

Kejadian orang tua yang dibunuh dengan anak berusia sepuluh tahun menghilang sudah terdengar sampai penjuru desa bahkan Hi no Kuni.

Sudah bisa di duga bahwa para reporter tidak ingin ketinggalan berita.

Ino menggeleng lalu meminta Sakura untuk menunjukkan ruangannya. Mereka berdua menempel satu-sama-lain seperti tidak bisa terpisahkan. "Aku hanya membantu. Sampai sekarang aku belum memutuskan untuk bekerja di mana. Semua pekerjaan terlihat sangat menarik."

Sakura mengangguk dan membuka sebuah kain yang menutupi mayat tersebut sesampainya mereka pada ruangan yang di tuju.

"Ryu Nakamura." Tunjuk Sakura pada salah satu mayat. "Penyebab kematiannya karena irisan yang dalam sehingga melukai arteri karotisnya. Kepalanya yang hancur di pukul dengan benda tumpul yang sangat berat"

"dan Kaoru?"

"Nakamaru Kaoru meninggal karena serangkaian luka dangkal dan bergerigi yang menusuk arteri karotis. Untuk kepalanya juga memiliki luka yang sama dengan Ryu." Sakura menjelaskan sambil membuka dan menunjukkan luka tersebut. "Kau mendapatkan sesuatu?" lanjutnya lagi saat ia melirik Ino yang sedang berpikir keras.

"Perilaku mereka dalam membunuh membuatku tahu sesuatu. Terima kasih, Sakura. Aku pergi sekarang."

Ino berlari dengan cepat menuju gedung kepolisian tanpa berbasa-basi. Dalam hatinya ia berjanji akan meluangkan waktunya untuk Sakura sekaligus teman-temannya yang lain.

Ino baru tersadar kalau selama di desa, ia belum sekalipun bertemu dengan mereka semua, kecuali Shikamaru.

Chouji yang seharusnya berada di list yang sama dengan Shikamaru belum ia temui karena pemuda tambun itu sedang menjalankan misi ke Kumogakure.

"Mereka tidak sendiri." Cecar Ino ketika sampai dan masuk menemui Hotaro dan yang lainnya telah berkumpul.

"Apa?"

"Mereka lebih dari satu pelaku." Ino mengulangi pernyataan tadi.

"Ahh ini terdengar lebih dari buruk. Kau yakin, Ino?" Tenten menatap Ino dengan menyelidik.

Ino mengangguk pasti. "Post-mortem menunjukkan luka di tempat yang sama, hanya berbeda cara perlakuan. Berpikir begini. Saat pelaku membunuh Ryu, otomatis Kaoru akan terbangun dan itu berarti bisa saja ia berteriak, melihat dari mereka yang hanya seorang warga sipil bukan Ninja."

"Itu masuk akal dengan apa yang aku dan Lee lihat. Kalau memang orang tuanya berteriak, Emi pasti bangun. Kamar Emi Nakamura terlihat tidak menunjukkan perlawanan sama sekali. Rumahnya yang begitu jauh dari pemukiman warga juga menjadi permasalahan. Tetangganya tidak tahu apa-apa." Ujar Kiba menambahkan sesuatu yang ia dapat.

Tenten menatap kosong lantai di bawahnya. "Ya.. setidaknya kita mengetahui satu hal." ujarnya pahit. "Kita mencari beberapa pelaku kejahatan."

"Dan kemungkinan Emi juga masih hidup." Ino kembali menambahkan.

Kiba kembali menyela "Bagaimana kau mengetahuinya?" saat ini Kiba tidak ingin mengharapkan sesuatu yang berlebih.

"Dua pelaku mengubah dinamikanya." Ino menyeringai saat Lee memaparkan pikirannya. Sepertinya, pemuda penuh semangat ini mulai mengetahui arahnya. "Yang itu artinya, mereka akan menghabiskan lebih banyak waktu dengan Emi." Lanjutnya.

Suasana berubah menjadi berat, semua informasi yang mereka dapatkan memang membantu, tapi itu belum cukup untuk mengetahui keberadaan lokasi Emi sekarang.

Seandainya saja keluarga mereka Ninja, Ino pasti bisa mengetahui keberadaan Emi sekarang. Sebagian masyarakat non Ninja memang diharuskan untuk mendaftarkan chakra mereka di saat berusia lima belas tahun. Aturan itu ditetapkan karena menilik dari masyarakat sipil yang tidak berpotensi melakukan kejahatan besar. Tapi, sepertinya kondisi ini akan berubah sepenuhnya.

Ino merenungi pikirannya..

Bukankah ada sesuatu yang salah?

Tunggu...

Ada sesuatu yang kosong dan mengganjalnya.

"Fuma-san. Mantan suami Kaoru telah datang." Seseorang memanggil Hotaro.

"Aku akan menemuinya terlebih dahulu." Ujar Hotaro keluar dari ruangan.

Mereka semua duduk di dalam ruangan yang di dominasi oleh suara dari televisi yang menampilkan wawancara Rokudaime Hokage.

"Apa yang harus kita lakukan lagi?" ujar Lee ikut duduk di samping Ino.

"Tidak ada sampai informasi baru datang." Sahut Kiba menjawab.

"Tapi, aku akui, keamanan desa ini sangat rendah mengenai kedatangan penduduk dari desa lain. Lihat saja, semua orang bisa bebas keluar dan masuk ke dalam desa." Ujar Lee mengkritik aturan desanya.

"Tidak bisa menyalahkan keamanan desa. Yang dilakukan Hokage sudah benar. Ini semua untuk meningkatkan perekonomian desa, agar desa lebih maju, dan ketika desa berkembang akan semakin banyak risiko kejahatan yang datang. Positif dan negatif akan selalu beriringan, Rock Lee." Ino memberikan penjelasan seraya menatap ke arahnya. "Dan lagi, Barrier Team sedang kekurangan orang."

"Ternyata begitu... kau mulai terdengar seperti Shikamaru, Ino! Tetapi, apa kita tidak bisa mendapatkan informasi lain dari pihak yang tidak terduga? Berdiam diri seperti ini sangat tidak baik." Lee beralih bertanya kepada Tenten dan Kiba sedangkan Ino sudah kembali fokus menatap televisi.

"Ada." Ino kembali menjawab pertanyaan Lee.

"Bagaimana?" Lee kembali bersemangat.

"Dengan itu." Ino menunjuk sebuah televisi dengan dagunya. "Kalau kita menyiarkan beberapa informasi penting mengenai Emi, kemungkinan Emi akan dikembalikan."

"Atau malah dibunuh dengan cepat. Tidak. Itu terlalu berisiko." Tenten menyerukan ketidaksetujuan.

Ino mengedikkan bahunya, "Tergantung dari informasi yang akan kita sajikan. Media berita pasti akan menayangkannya, lalu itu akan menjadi perbincangan publik. Aku yakin mereka masih berada di Konoha."

Pintu terbuka dengan menampilkan Hotaro dengan wajah yang kalut. Ia pasti mendapatkan informasi yang buruk. "Emi Nakamura memiliki penyakit asma."

"Kita harus segera melakukannya." Kiba berseru menyetujui tindakan Ino.

"Melakukan apa?"

Tenten mewakili kami semua untuk berbicara. "Mengumukan informasi mengenai Emi kepada Media."

"Tidak." Tolak Hotaro mentah-mentah. "Hokage meminta agar media tidak perlu diberitahu."

"Fuma-san, saat ini kita membutuhkan media agar bisa membantu. Mereka sedang berargumen liar tentang para pelaku pembunuhan tersebut. Dan, saya pernah membaca di buku ayah saya bahwa penjahat cenderung labil dan tidak bisa meredam emosi mereka. Kalau salah satu media memberikan informasi yang abu-abu dan menyulut emosi mereka, Emi tidak akan bertahan lama. Jadi, saranku kita sampaikan informasi Emi untuk mengalihkan perhatian." Ino berbicara lembut namun tegas, tampak seperti berpengalaman menghandle sesuatu yany berkaitan dengan media. Ino bahkan tidak menjujukkan emosi yang berarti.

Hotaro kalut, ia terlalu banyak menunjukkan emosinya, membuatnya mudah terbaca. "Tetapi, tidak semua orang memiliki televisi."

"Tapi semua orang berinteraksi. Gelombang panas ini pasti akan menjadi perbincangan masyarakat. Kalau salah satu dari mereka mendengar..." Ino meninggikan sedikit suaranya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya tidak sanggup melanjutkan.

"Bagaimana Fuma-san? Kalau kau setuju, aku akan langsung memanggil media ke kantor ini." Tanya Kiba menyelidik.

Menarik nafas pasrah Hotaro mengangguk. "Aku setuju. Tapi, kalian yang menyampaikannya. Aku tidak percaya diri tampil di depan banyak orang."

Ino meremas tangannya dan beralih kepada Tenten dan Lee. "Diantara kalian, siapa yang paling bisa berbicara?" tanyanya lugas.

"Tentu tidak aku." Ujar Lee cepat, tidak percaya diri. Coret.

Ino beralih kepada Tenten dan tersenyum lembut. "Aku mengandalkanmu, Tenten."

"Tunggu..." selanya.

"Kenapa tidak kau saja, Ino?" lanjutnya panik. "Kau cantik, pintar dan percaya diri di depan banyak orang. Kau juga sepertinya sudah terbiasa dengan semua kemeriahan ini. Demi kami-sama! Aku belum pernah tampil di depan banyak orang. Aku takut salah bicara."

Ino meremas bahu Tenten untuk menyalurkan rasa percaya dirinya. "Aku akan mengajarimu, Tenten. Saat ini, aku tidak bisa tampil di depan televisi. Aku disini hanya membantu, belum secara resmi bekerja untuk desa. Dan, ada sesuatu yang harus aku lakukan."

Ino dan Tenten bergerak untuk duduk pada sebuah kursi yang saling berhadapan.

Ino terus berceloteh panjang lebar, menjelaskan sikap yang harus Tenten tampilkan pada media. Ino bahkan berani membuka dua cepolan rambut Tenten, merapikannya dan membiarkannya tergerai sempurna.

Ino mengatakan bahwa penampilannya harus diubah lebih dewasa agar dapat di percayai semua orang. Tenten yang awalnya sempat emosi jadi menuruti semua kehendak Ino.

"Jangan sekalipun kau terbawa arus oleh media. Santai, teratur dan tekankan semua informasi tentang Emi Nakamura. Jangan lupa tersenyum tipis, tunjukkan citra dirimu yang sebenarnya agar media percaya apa yang kau sampaikan. Pilih beberapa media yang ingin bertanya dan jangan memojokkannya apabila kau merasa tidak bisa menjawabnya. Menjawab semua pertanyaan itu bukan kewajiban kita. Percaya dirilah dan yakinlah bahwa kau bisa menghandle media berita." Ino menjelaskan panjang lebar.

Hal yang ia sampaikan pada Tenten tadi, merupakan pelajaran dasar agar bisa mendapatkan hati dari para reporter media. Bertindak seperti teman.

Seketika Ino teringat dengan kehidupannya di Negara Sunyi.

Sedikit...

Sedikit saja ia merindukan Negara yang telah sangat berubah tersebut.

Dan, bukan hanya Negaranya yang berubah.

Ino pun berubah dengan signifikan.

.

.

.

TBC


Note's:

Beberapa Negara, terutama Negara Sunyi yang menjadi highlight akan berbeda dari yang selama ini ditampilkan di Novel ataupun Anime Boruto.

Alurnya juga akan maju-mundur, karena konflik utama cerita ini, melibatkan kehidupan Ino pada tahun-tahun sebelumya.

Yha,

Semoga saja cerita ini selesai yaa, hehe

Komentar Unlocked:

2Kchi77327: Oh ya? nama akunmu apa? biar aku tahu. Coba deh kamu baca cerita ini. Ada beberapa line aku tambahin.

zielavienaz96: Iya! gaada crossover. pairingnya juga akan berbeda. Mungkin akan sama di beberapa part awal, tapi akan berbeda di akhirnya, kayanya. Terimakasih ya sudah mendukung cerita ini.

PhiruFi: Aww, terima kasih untuk dukungannya. Duhh aku malah jadi khawatir kalau udah bilang gaya penulisan hehe. karena terkadang, kalau aku lagi tidak mood untuk menulis, tulisanku acak-acakkan, begitupun sebaliknya, kalau moodku bagus, menulisnya pasti lebih detail. Di chapter ini pasti bisa melihat perbedaanya dengan chapter yang lalu.

Teruntuk Ino, yang memiliki banyak keahlian. Dia itu aset loh buat Konoha. Intel? bisa, melacak chakra orang? bisa, Medis? bisa juga. All arounder deh!

Nah, aku juga suka setting cannon begini hehe. Walaupun sepertinya untuk waktu mungkin akan berbeda.

Azzura yamanaka: Hehe, aneh ya?