"Bagaimana menurutmu, kalau aku melakukan perjalanan jauh?"
Aruji bertanya hal asing hari itu, saat Izuminokami menghampiri dia yang tengah duduk di teras.
Alis touken danshi itu mengernyit. "Memangnya Aruji mau kemana?"
Kanzu— itu namanya, tertawa kecil. "Kemanapun boleh." Sebagai ganti dari jawaban asal-asalan itu, Izuminokami menghadiahi dia sebuah tendangan ringan di punggung. "ADUH! JANGAN ASAL TENDANG, DONG! KAU TAHU AKU SEJOMPO APA, KAN?!" Uwah, suaranya melengking tinggi sekali dengan kesal.
Izuminokami menanggapi itu dengan santai. "Tuh, sudah mengaku jompo sekarang. Buat apa perjalanan jauh, coba? Kecuali Aruji mengajakku, baru aku akan mempertimbangkan pertanyaanmu." Ia mengambil tempat duduk di sebelah kanan Kanzu. "Tapi kita berdua saja enggak bakal cukup. Harus ada orang yang kompeten seperti Kunihiro atau Nosada." Dia sudah sibuk dengan pikirannya sendiri.
Kanzu menendang kaki kiri Izuminokami. Tapi tentu saja tidak sakit sama sekali.
"Aruji, menendang tanpa tenaga gitu buang-buang waktu doang, tahu." Suara itu menasihati dengan menyebalkan.
Kanzu mengangkat jari tengah. "Pakyumen!"
Pedang Hijikata cuma tersenyum, "Pakyutu~"
Gondok sendiri, Kanzu memilih buat menyeruput gelas cokelat yang ada di tangannya tanpa peduli Izuminokami. "Aku serius, tahu." Gumamnya.
"Aku juga serius, Aruji."
Knzu menghela napas setengah sebal. Tapi lalu menarik senyum. Terserahlah, dasar keras kepala. Memang Izuminokami pikir cuma dia yang bisa jadi batu? Tentu saja Kanzu lebih keras kepala lagi. "Maksudku perjalanan jauh enggak mesti aku berpergian sendirian dengan kaki. Bisa saja aku melewati waktu, atau bahkan dimensi."
Terdengar aneh. Tapi identitas Kanzu sebagai saniwa dari Citadel ini saja sudah cukup tidak masuk akal. Sehingga idenya tentang hal-hal aneh tadi dapat Izuminokami terima.
Manik biru terhenyak sesaat. Menoleh. "Aruji mau ke mana?"
Kanzu menarik sebuah senyum misterius. "Entahlah?"
"Serius, deh, Aruji." Sekarang, dahi Kanzu ditoyor dengan telunjuk. "Aku enggak akan berhenti khawatir!"
"Jangan khawatirkan aku. Aku sendiri lebih mengasihani Kasen dan Horikawa yang mengurusmu nanti."
"Sumpah, Aruji mengesalkan banget."
"Jangan bicara begitu, nanti kau kangen padaku." Dengan kalem, Kanzu menghabiskan cokelat panasnya.
Angin sore memainkan anak-anak rambut Izuminokami.
"Aruji." Suara Izuminokami rendah. "Mau kemana?" Ini kali ketiga dia bertanya, tetapi keseriusannya berkali-kali lipat dari yang tadi.
Kanzu tidak menjawab. Hanya tersenyum tipis. "Enggak kemana-mana, kok."
Kali itu, perkataan Kanzu amat meragukan.
"Itu tempat yang agak sulit, tapi aku yakin bisa selamat dan pulang ke sini." Saniwa itu meletakkan gelas di sebelah kiri. "Aku akan segera pulang juga. Soalnya aku akan merindukan kalian, hehe~"
"Kenapa harus?"
"Karena harus."
"Tinggal enggak perlu pergi. Tetap di sini saja, kalau Aruji cuma akan kesulitan di sana."
"Sayang sekali, tapi harus."
"Kenapa?"
Kanzu tidak menjawab apa-apa. Tapi lalu kakinya diluruskan dan berdiri. "Ayo makan malam dulu, Izuminokami!"
Izuminokami bertanya.
Tapi jawabannya tidak ada.
Esoknya, Kanzu tidak ada di bilik tidur. Kasurnya masih berantakan seolah baru ditinggalkan. Catatan-catatan penting juga berserakan. Seakan seperti biasa, Kanzu berjalan ke dapur dengan wajah bau iler mencari sarapan. Lalu akan diomeli Hasebe tentang kebersihan, sedang yang bersangkutan bersembunyi di balik punggung Kasen dan Shokudaikiri.
Tapi pagi itu, Kanzu tidak ke dapur.
Tidak juga ke kebun atau ruang tengah tempat Mikazuki biasa minum teh pagi. Atau ke ruang kesehatan Yagen buat meminta koyo cabe sebab pegal menyerang kaki. Atau—
Kanzu tidak ada dimana-mana.
Dia pergi.
Tanpa pamit.
Tanpa mengatakan apa-apa pada Izuminokami.
