warnings: Alternate Universe, guaranteed OOC, erased all characters last name, chance of genre development along the story, typo(s) probably, rush making (again). Chance of edited anytime.
Enjoy!
Morte Negra
Story by Rachel Cherry Giusette
Characters credit from Naruto by Masashi Kishimoto-sensei
.
.
.
Sakura sudah kehilangan kedua orang tuanya ketika usianya menginjak 11 tahun. Dimana kejadian kelam itu tak seberapa bisa dia ingat. Dalam ingatan Sakura, dulunya dia hidup serba mewah, kaya raya. Orang tuanya memiliki bisnis oleh-oleh makanan khas yang terkenal di Konoha, sebuah daerah yang tidak terlalu padat di pinggiran teluk. Usaha itu sebenarnya merupakan warisan dari kakek-neneknya dari pihak ibu, Mebuki—semacam bisnis yang dikelola oleh keluarga besar. Dari usaha rintisan kakek-neneknya itu, tiap anak mendapatkan masing-masing satu toko oleh-oleh yang sebelumnya sudah berjalan.
Mebuki adalah anak tengah dari tiga bersaudara. Kakaknya adalah Kaguya yang memegang toko rintisan pertama orang tuanya, sementara adiknya, Kakashi, mewarisi cabang toko ketiga yang letaknya agak di pusat kota. Yang jelas, sepanjang ingatan Sakura, dirinya tidak pernah hidup susah. Kemanapun ia pergi, akan selalu ada supir yang mengantarkannya. Mebuki dan Hizashi—ayahnya—selalu sibuk mengurusi bisnis hingga tidak ada cukup waktu luang untuk putri semata wayang mereka. Namun Sakura tidak pernah merasa keberatan. Orang tuanya selalu mengabulkan apapun yang ia inginkan. Pernah Sakura pergi ke kota Suna yang jaraknya empat jam perjalanan hanya untuk membeli paket crayon edisi terbatas yang sedang menjadi wish-list anak-anak di kelasnya. Harus pergi jauh ke Suna—kota seberang yang lebih metropolitan daripada daerah asalnya—lantaran item itu sudah lenyap dari etalase-etalase toko alat tulis di seluruh Konoha.
Sakura cilik nyaris tak pernah merasa kekurangan baik batin maupun materiil.
Hari-harinya tak pernah cacat, sampai suatu waktu ketika ia tengah berada di sekolah menyimak pelajaran seperti biasanya, sang supir datang ke depan muka pintu kelasnya. Kelas mendadak hening. Supirnya berbicara dengan nada rendah kepada ibu guru yang terinterupsi eksplanasi pembelajarannya. Sementara raut ibu guru berubah menjadi aneh dan tak terbaca, selanjutnya adalah hal yang membuat si gadis cilik itu menegang. Namanya disebut.
"Sakura, kemari, Nak."
Belum sempat memberikan respon, ibu guru melanjutkan, "Bawa sekalian ranselmu, ya. Kamu harus pulang sekarang."
Sakura menurut. Pergi meninggalkan kelas diikuti tatapan bingung teman-temannya yang nyaris tak bersuara.
Sakura rupanya tak cukup mengerti mengapa ia harus pulang lebih awal hari itu, bahkan jam belum sampai 10 pagi. Supirnya tak memberikannya penjelasan apapun, hanya membisu sepanjang jalan. Mobilnya tidak menuju kediamannya, justru berbelok ke sebuah bangunan persemayaman orang mati. Beberapa wajah yang dikenalnya seperti Paman Kakashi dengan istrinya dan Bibi Kaguya dengan suami dan dua anaknya, ia temukan disana. Tak Sakura temukan ayah dan ibunya. Hanya potret tersenyum mereka berdua di altar persemayaman yang diapit bunga-bunga berwarna beige dan kuning.
Momen yang tak pernah bisa Sakura lupakan. Orang tuanya direnggut begitu saja secara bersamaan. Si gadis cilik mendadak jadi yatim piatu. Ayah dan ibu telah pergi selama-lamanya. Meninggalkannya sendiri. Kecelakaan, kata mereka. Kecelakaan fatal yang merenggut Mebuki dan Hizashi yang Sakura lihat terakhir kali dalam keadaan tak kurang suatu apapun.
Saat itu, entah mengapa, Sakura tidak mampu menangis.
Perdebatan hak asuh atas dirinya tak begitu dia sendiri ingat. Yang dia tahu, Bibi Kaguya kemudian menampung Sakura di kediamannya yang juga sebesar dan semewah rumahnya dahulu. Sakura seolah begitu samar mengingat rangkaian peristiwa yang begitu cepat melewatinya. Orang tuanya tiada, aset yang tersisa untuk bakal warisan kepada dirinya sementara dikelola oleh walinya, Bibi Kaguya. Rupanya rumah kedua orang tuanya langsung dijual, Bibi Kaguya beralasan untuk keperluan biaya pendidikan sampai keponakannya itu berusia enam belas—umur dimana Sakura dapat mengambil hak warisnya.
Sakura seolah tak diberi kesempatan demi mencerna semuanya pelan-pelan. Tiba-tiba saja dia tidak tinggal lagi di rumahnya, tidak melihat ayah ibu, dan berpindah ke kamar yang sejajar dengan pembantu rumah tangga di kediaman besar Bibi Kaguya. Kamar yang terpisah jauh dengan ruangan utama keluarga dan jauh dari kedua kamar sepupunya, Indra dan Ashura. Mereka berdua memang tak pernah begitu dekat dengan Sakura. Jarak umur mereka berdua dengan Sakura memang cukup jauh. Indra dan Ashura masing-masing sudah berada di bangku kuliah.
Sakura memang diperlakukan berbeda dengan kakak-kakak sepupunya. Memang bukan separah menjadi babu baru di rumah bongsor itu, hanya saja sejak diadopsi oleh Bibi Kaguya, Sakura harus melakukan apa saja dengan mandiri. Mulai dari mencuci pakaian, mencuci peralatan bekas makannya sendiri, dan bergaul dengan empat asisten rumah tangga Bibi Kaguya. Menonton tv di ruang tengah paviliun belakang, sejajar dengan pak satpam, supir dan tukang kebun. Apapun dari hidupnya dulu nyaris tak ia bawa—kecuali supirnya yang dulu berpindah juga melayani keluarga Bibi Kaguya.
Sakura tidak pernah mendapatkan penyiksaan, menjadi pesuruh atau apa, hanya saja Bibi Kaguya, Paman Tenji—suami Bibi Kaguya—dan Indra maupun Ashura nyaris tak pernah mengobrol dengannya. Sakura seolah hanya sebatas diberi tempat untuk bernaung, diberi makan, dan dibelikan kebutuhan sekolahnya. Tak ada welas asih selebihnya. Bahkan sekadar kasih sayang bibi-paman-sepupu pada umumnya.
Sakura tidak merasa benci kepada keluarga kakak ibunya ini, karena bagi dirinya, mungkin saat itulah ia harus belajar menerima keadaan. Dan diabaikan tidak menjadi suatu ketidaknyamanan berarti yang mempengaruhi kebutuhan dasar hidupnya. Sepanjang sisa hidupnya di kelas 6 sekolah dasar, sekolah menengah pertama hingga menginjak sekolah menengah atas, Sakura tinggal bersama keluarga Bibi Kaguya.
Beberapa bulan berlalu begitu saja, dengan damai tanpa drama apapun. Sampai suatu hari Paman Kakashi menggebrak rumah Bibi Kaguya dan bertengkar hebat dengan kakaknya itu. Sakura tentu tak cukup berani mengintip ketika itu terjadi. Namun sepertinya pertengkaran itu cukup hebat dan menyangkut suatu hal yang fatal karena perangai sang paman yang Sakura tahu cenderung tenang dan lembut itu sampai bisa memecahkan meja tamu kaca ruang tamu. Derak bising kaca yang bertebaran ke segala arah tentu menggemparkan seisi rumah.
Sakura begitu ingat kejadian mencekam sore itu. Beberapa kali Sakura mendengar nama ibunya dibawa-bawa. "Mebuki, Mebuki…" Paman Kakashi begitu marah namun juga terdengar selisip cekat dalam getar suaranya.
.
.
.
.
/next chap/
Morte Negra [Morte berarti Kematian, Negra berarti Gelap/Hitam]—both words in Portuguese. Secara harfiah berarti Kematian Hitam. Aku disini (ingin) mengarahkannya ke drama keluarga yang nyenggol ke section supernatural, atau mystery (?) haha. Untuk sementara T rated, dan Drama/Family. Moga bisa cepet edit chap 2 deh. Of course, maafkan jika memang poor diction dan agak kurang dinamis transisi emosinya. Beginilah kalau lagi sakit gigi tapi maksain pengen nulis seharian hahaha. And I do hope you guys enjoy the fiction. Thanks for reading!
