tragedy, drama, AU (Alternate Universe).
3rd person POV.
typo(s) here and there, messy plot, rush making.
Please, enjoy.
1964
by Rachel Cherry Giusette
Naruto © Masashi Kishimoto
Aku mengetahui kisah ini dari ayahku, yang kala itu masih jadi bocah ingusan di tahun 1964. Desa tempat kelahiran ayahku memang jauh di daerah pedesaan yang agak terpencil. Lebih tepatnya masuk ke dalam wilayah Fujiyama, dekat ngarai subur yang dikepung oleh vegetasi pinus yang lebat. Hampir sepanjang tahun kabut turun mengaburkan rupa-rupa yang ada di desa. Sekumpulan rumah hanya terlihat bayangnya di siang-siang sepanjang musim gugur. September dan songsongan Oktober yang membawa dingin menggigit menjadi salah satu pemantik memori akan kisah ini muncul.
Di desa tempat ayah menghabiskan masa kecilnya itu, ada sebuah keluarga yang disegani, Uchiha namanya. Bukan hanya disegani karena menjadi yang paling berpunya di wilayah kecil berngarai itu, melainkan juga misteri gelap akan latar belakang klan tersebut yang menjadi penjelasan samar atas perangai mereka yang sadis dan tidak kenal ampun. Disegani—karena ditakuti. Terlepas dari klan Uchiha yang pemukimannya agak terletak di ujung desa—berbatasan langsung dengan rerimbunan pinus dan sungai, penduduk lainnya hidup dengan harmonis dan damai. Sibuk membuat tembikar, porselen, pergi ke ladang, dan beternak. Hubungan sesama warganya hampir tak pernah bermasalah, tiada drama.
'Mungkin,' aku teringat ayah pernah memenggal penuturan kisahnya. 'Mungkin juga damai karena Uchiha selama berpuluh-puluh tahun agak menutup diri dari sekitarnya. Mengilung kediaman mereka dengan rangkaian kayu pinus yang tinggi-tinggi.'
Oleh karena itu aku sendiri mendapatkan kesan bahwa Uchiha yang sadis dan tidak kenal ampun itu mungkin hanya sekadar rumor dari para warga-warganya sendiri. Atau, klan itu sendiri yang sengaja menciptakan reputasi tak ramah itu semata untuk menghindarkan mereka dari klan-klan lainnya yang suka berhutang. Ayah pernah menyebutkan soal hal itu di lain hari.
Uchiha ini memang satu jenis misteri, karena tidak banyak orang yang mengetahui pasti bagaimana runutan silsilah keluarga. Mungkin hanya sebatas Fugaku Uchiha yang mereka kenal luas sebagai kepala keluarga di tahun-tahun 60-an itu. Namun siapa kakak, adik, istri, dan anak-anaknya, tak ada yang bisa memastikan. Mereka unik dengan perawakan yang serupa; rambut lurus gelap, mata lebar beriris hitam yang teramat legam untuk ukuran ketururan Nihon, kulit cenderung terang, dan entah bagaimana ada semacam garis kerutan dari sudut mata yang memanjang melintasi pipi pada para lelakinya.
Sampai suatu ketika, diketahui bahwa Fugaku Uchiha memiliki seorang anak laki-laki ketika klan itu membuka gerbang kompleks pemukimannya yang selama ini sering tertutup rapat itu kepada siapapun yang dapat menyembuhkan sang putra kepala klan. Ya, anak Fugaku itu sedang sakit keras. Sakit yang kata orang-orang lebih mirip seperti manusia yang bisa sewaktu-waktu berubah menjadi binatang buas—siluman. Kasak-kusuk itu mencuat saat tabib-tabib dan para penyembuh dari berbagai aliran kepercayaan lainnya melihat langsung bagaimana rupa putra Fugaku.
Sasuke Uchiha, namanya.
Tak sekalipun sosok Sasuke ini berbicara selayaknya manusia. Hanya menggeram, berteriak, badannya berontak tar karuan. Sepasang matanya nyalang seolah benci kepada semua orang yang hendak mendekatinya. Sepertinya Sasuke berupaya melepaskan diri dari rantai yang mengekang kedua kakinya.
Kebuasaannya muncul sejak ia berusia 10 tahun. Para Uchiha tidak terlalu memusingkan kegilaannya karena Sasuke hanya tampak seperti bocah ingusan biasa yang bersumbu pendek, sensitif, sedikitpun ketidaknyamanan ia rasakan maka bocah itu akan langsung menyerang anggota keluarganya yang lain. Tahun berganti tahun sampai diusianya yang ke lima belas, Sasuke mulai menunjukkan keparahannya. Entah apa yang membuatnya marah kala itu, karena ia lari ke kandang dan membunuh dua ekor kuda. Membanting makhluk tak bersalah itu dengan tangan kosong sampai lehernya patah dan mati babak belur. Siapapun akan ternganga antara heran bercampur ngeri menatap Sasuke Uchiha di tempat kejadian.
Untuk itulah kemudian Sasuke dipasung di sebuah kubikel kayu dekat kediaman utama keluarga intinya sampai usianya saat itu yang sudah dua puluh delapan. Tentu akan ada alasan mengapa sampai-sampai Fugaku Uchiha membuka gerbang kediaman klannya dan mempersilakan orang-orang asing masuk. Akhir-akhir itu, katanya, Sasuke mengamuk lagi. Lebih intens dan semakin membahayakan orang yang hendak mengurusnya. Sudah lima hari tidak ada makanan yang masuk ke tubuhnya, karena apapun yang disodorkan dihadapannya akan langsung ditinju, ditendang sampai berhamburan tak berbentuk.
Tabib demi tabib maju satu persatu, berupaya mengatasi getaran tubuh mereka sendiri menghadapi manusia gila yang terpasung di depannya, juga merapalkan mantra-mantra penyembuhan, mengerahkan semua energi dan kemampuan yang mereka miliki. Sasuke makin memberontak, masih menggeram seperti binatang, hingga akhirnya satu tiupan jarum penenang menancap ke pahanya, membuatnya tak sadarkan diri untuk sementara. Tensi di dalam kubikel kayu itu langsung menurun, diikuti hela napas lega manusia di sekitarnya.
Salah satu penyembuh mengatakan kepada Fugaku Uchiha bahwa putranya ini telah mendapat kutukan. Bukan karena punya sakit mental.
"Kutukan apa maksudmu?"
"Dia…—saya tidak begitu mengerti, Tuan. Hanya saja ini terasa seperti kutukan yang hampir menguasai tubuhnya. Mungkin awalnya seperempat, kemudian separuh, dan ini sudah mencapai tiga perempatnya." Terang sang tabib yang diangguki beberapa penyembuh di belakangnya yang sedang menunggu giliran.
"Jika tidak menyinggung, Tuan," lanjutnya lagi, menatap sang kepala klan Uchiha yang masih setia menunggu penuturannya. Memandang Fugaku dengan takut-takut, gelisah. Seolah apa yang hendak ia tanyakan itu akan seharga dengan nyawanya, mengingat yang ia hadapi sekarang adalah Uchiha yang katanya tak kenal ampun. Satu tegukan air liur, "Apa ada dari klan Uchiha yang menjadikan putramu sebagai tumbal ilmu hitam?"
Ramai berbisik-bisik semua tabib dan beberapa kepala keluarga klan Uchiha yang duduk di belakang Fugaku.
Air muka Fugaku tidak terlalu menampilkan urat kemarahan, justru ada sekilas pias. Dalam benaknya seketika muncul satu nama.
Anak sulungnya, yang masih terbayang lekat di ingatannya, minggat tanpa jejak sepuluh tahun lalu. Itachi Uchiha. Tak ada yang begitu mengerti alasan Itachi pergi meninggalkan klannya begitu saja. Namun para Uchiha dan dirinya sendiripun memiliki kepercayaan bahwa putra sulungnya itu pergi berburu kesaktian. Itachi pernah sekali menyinggung soal perkamen kuno klan yang berisi rahasia besar Uchiha. Namun Fugaku selalu berusaha mengabaikan putra sulungnya dari topik yang berkenaan dengan histrori klan—seperti pesan turun temurun Uchiha yang berniat mengubur dalam-dalam persoalan kelam yang pernah terjadi di zaman pendiri klan, ketika sosok Madara Uchiha hidup.
Konon Madara adalah Uchiha yang terkenal sakti dan ia hidup sebagai 'Si Uchiha yang Kekal dan Tak Bisa Mati'. Ya, Madara tak pernah benar-benar mati, hanya menghilang begitu saja tanpa jejak. Sepertinya ingin menurunkan ilmu-ilmu hitamnya kepada garis keturunan Uchiha. Untuk itulah Madara disebut sebagai "Sang Penjaga Klan" atau "Malaikat Klan Uchiha", atau diantara kalangan Uchiha ketika itu seperti Fugaku, mereka cukup menyebutnya "Kuro". Hitam. Merujuk pada sebutan "Sang Malaikat Hitam".
Itachi Uchiha rupanya adalah seseorang yang mengerti lebih banyak atas apa yang terjadi kepada adiknya. Hubungan antara kutukan, ilmu hitam yang ingin Madara Uchiha wariskan, dan kekayaan klan yang seolah tak pernah habis.
Dan… tumbal.
Fugaku Uchiha termenung atas satu kata kunci itu. Tumbal.
Itachi pergi pada malam berpurnama satu dekade sebelumnya setelah sempat melontarkan sekalimat, "Sasuke tidak gila, Ayah. Dia benar-benar jauh dari kata gila. Dia hanya dikutuk. Madara Uchiha adalah dalang dibalik semua ini."
.
.
.
.
.
Dibukanya gerbang kompleks kediaman klan Uchiha kala itu menjadi saat terakhir para penduduk desa dapat mengintip apa saja yang terjadi di dalamnya. Tak benar-benar ada tabib yang dapat menyembuhkan Sasuke. Namun sedikit banyak, melalui tabib-tabib itu, mereka tahu bahwa Sasuke Uchiha sang anak kepala klan adalah tumbal kutukan. Spekulasi menyebar dengan rumor-rumor tambahan yang mengarahkan mereka kepada kesimpulan bahwa Uchiha, sedari awal merupakan klan terkutuk.
.
.
.
.
.
Hutan kala itu masih dipenuhi kabut—seperti yang sudah-sudah, seperti biasanya. Namun ada yang berbeda. Oktober di tahun 1964 menjadi waktu terngeri yang melenyapkan mereka semua. Kabut itu tak hanya turun dari gunung. Sekumpulan besar asap yang lebih pekat keabuan menjadi pengisi udara yang menyesakkan, mengaburkan latar-latar bangunan rumah yang sudah tak berbentuk. Habis terbakar.
Sasuke Uchiha mengamuk lagi, tak lama setelah dia berupaya disembuhkan. Kulitnya memerah, seperti dialiri lava panas. Panasnya sampai meluruhkan rantai gerendel yang memasung sepasang kakinya dengan mudah. Dari mulutnya keluar semburan api. Secara ajaib dan tak terduga, api itu melalap apa saja yang ada di hadapannya. Semua anggota klannya mati. Fugaku, ibunya, semuanya.
Bagai tak puas mengganyang seluruh anggota keluarganya tak bersisa, Sasuke turun ke pemukiman di bawahnya. Ingatan terakhir warga desa adalah sosok Sasuke Uchiha yang nyaris sudah serupa monster bermata merah bercahaya menyemburkan bola-bola api ke semua penjuru arah. Semua orang mengutuk Uchiha dan seluruh keturunannya. Menangis, lari ketakutan, melarikan diri. Banyak yang tak selamat, hanya beberapa keluarga saja yang cukup beruntung menyelamatkan diri menyebrangi ngarai sempit nan dalam di batas desa.
Ayahku, adalah salah satu yang berhasil selamat. Bersama ayahnya—kakekku—dan sepupunya. Mereka yang berhasil selamat adalah mereka yang sanggup mendaki tebing di sisi lain ngarai yang begitu terjal. Tak ada yang tahu pasti bagaimana Sasuke Uchiha melanjutkan perusakan. Tapi mereka cukup percaya, bahwa sebenarnya pemuda itu adalah wadah ilmu hitam Kuro, jiwa Madara Uchiha yang telah berhasil bangkit. Itachi Uchiha adalah sang putra sulung kepala klan yang berupaya mencari jiwa Kuro untuk melakukan ritual pemanggilan, berniat membinasakan jiwa Madara yang jahat. Baginya, kekayaan yang tak pernah habis di klannya itu tak sebanding dengan kutukan yang menjadi mula berdirinya klan. Konsekuensinya adalah Madara berhasil Itachi kalahkan, atau dia yang mati—dan Sasuke sukses menjadi wadah kesaktian kotor sang Kuro, menghancurkan semua yang ia temui. Menjadikannya monster pelepas kekuatan yang tidak dapat mengendalikan diri.
Tentu Itachi sedang bunuh diri. Karena ia pasti menyadari apa yang akan terjadi jika dirinya yang meskipun Uchiha, terlahir sebagai manusia biasa. Madara berhasil ia panggil dengan mantra-mantra yang telah ia salin dari perkamen kuno Uchiha. Mungkin si sulung akan bernegosiasi dengan jiwa kakek moyangnya itu dengan menawarkan raganya sebagai ganti raga adiknya yang sedikit lagi berhasil dibangkitkan. Namun sepertinya Madara tak mengubah rencananya, karena Itachi tak pernah kembali, dan Sasuke menghancurkan segala yang ada di hadapannya.
Ayahku kemudian menambahkan, setelah berpuluh tahun tragedi itu terjadi, Sasuke Uchiha menghilang. Mungkin menjadikan rerimbunan pinus di kaki gunung itu sebagai rumah. Dipercaya sampai saat ini, Uchiha terkutuk itu acap kali akan turun gunung, membuat teror sesukanya. Memang bukan lagi benar-benar api yang dia semburkan. Ketika ilmu Kuro itu berhasil ia kendalikan, Sasuke dapat menjelma menjadi manusia biasa, membaur ke pemukiman, menjadipenghasut bagi orang-orang yang ingin menukar jiwa mereka dengan kekayaan, hingga jiwa mereka itu kekal, abadi, sebagai pion-pion Sasuke Uchiha.
.
.
.
.
.
/Owari/
