Chapter 1: Dua Sahabat
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Racing to Konoha Mountain by nawanawachan
Main Character : Naruto. U.
Rate : T
Warning : AU, Typo (s), EYD kurang tepat, dll
Suara deru mobil yang melaju kencang menghilangkan semua ketenangan di jalan raya sebuah desa pinggiran kota. Tengah malam yang seharusnya sunyi senyap dan menjadi waktu kondusif bagi para penduduk untuk beristirahat, kini malah berubah menjadi waktu-waktu yang penuh dengan kebisingan. Beberapa mobil melaju cepat saling mendahului berusaha untuk jadi yang terdepan. Bahkan tak terpungkiri beberapa pengendara sengaja membenturkan mobil mereka dengan mobil lawan demi mencegah lawan mereka untuk mendahului. Sementara itu sebuah mobil Mazda Rx-8 berwarna hitam dengan garis orange di sepanjang bodi mobil yang membentuk api yang menyala, melaju dengan kecepatan penuh di barisan terdepan. Mobil itu terus melaju meninggalkan jauh mobil lainnya di belakang. Hingga ketika garis finish sudah dapat terlihat, sang pengendara langsung menekan tombol nitro dan terjadilah perfect nitro di mana mobil tersebut melesat cepat menuju garis finish dengan mulus tanpa hambatan.
Mobil tersebut mengerem dengan sempurna saat para supporter balapan jalanan itu berlari sambil bersorak untuk kemenangan sang pengendara. Beberapa dari mereka yang memasang taruhan untuk kemenangan pengendara mobil tersebut, merasa puas dan ikut berlari menyambut sang juara dengan uang taruhan di tangannya. Sementara bagi mereka yang kalah taruhan karena jagoan mereka yang kalah, hanya dapat mengumpat dan mengutuk kepada siapa saja yang membuat mereka kehilangan uang malam itu. Tak lama setelahnya mobil juara itu tak lagi terlihat karena lautan manusia yang mulai mengerubunginya. Merasa bahwa dirinya harus menerima hadiah serta ucapan selamat dari para supporter itu, dia pun segera keluar dari mobil. Dan tampaklah seorang pemuda berusia 17 tahun dengan rambut blondenya dan mata biru shappire yang mempesona. Tidak lupa senyum secerah mentarinya dia tampakkan di wajahnya. Kemudian suara sorak sorai semakin membahana dari para supporter, sesekali ada yang menepuk bahunya dan mengangkat tangannya ke udara layaknya sang juara tinju internasional.
"Nah, yang seperti itulah sahabatku," kata seorang pemuda berambut coklat dengan tato segitiga merah terbalik di masing-masing pipinya sambil menepuk bahu pemuda blonde tersebut.
"Hei, hei, hei.. mana sini uang taruhanku dan Naruto. Kan sudah aku bilang, aku pasti menang," kata pemuda berambut coklat itu lagi pada seorang pria yang tampaknya seorang bandar.
"Urusai Kiba, kau sebenarnya sudah tahu kan kemampuan mobil itu karena kau yang merancang. Mangkanya kau yakin sekali kalau Naruto pasti menang," kata pria itu.
"Ha-ha-ha.. seperti itulah. Lagi pula aku percaya pada sahabatku ini," jawab pemuda beranam Kiba sambil tangannya menerima segepok uang.
"Ini uang taruhanmu Naruto, dan ini kunci dan surat-surat mobil milik Yagura karena kau bertaruh mobil dengannya," kata sang bandar itu lagi.
"Hehehe... sangkyu," jawab sang pemuda blonde yang bernama Naruto itu.
"Ayo Naruto, kita rayakan kemenangan kita dengan pesta ramen di Ichiraku. Biar mobil Yagura aku yang bawa," ajak Kiba.
"Ayo! Malam ini kita makan ramen sampai puassss.." sahut Naruto bersemangat sambil melayangkan tinjunya ke udara.
Setelahnya Naruto dan Kiba, dua sekawan itu, melajukan mobilnya dengan cepat menuju tempat mereka berpesta yaitu kedai ramen favorit mereka berdua yang buka 24 jam.
"Waaahhh, ramen Ichiraku memang tiada duanya. Rasanya selalu membuat aku lapar dan lapar lagi," kata Naruto setelah menyeruput kuah ramen yang lezat.
Kini Kiba dan Naruto sedang duduk di kedai ramen milik paman Teuchi. Inilah yang selalu dilakukan dua sekawan itu setiap kali mereka memenangkan taruhan dari balapan liar. Sebenarnya sih mereka memang selalu menang taruhan. Bagaimana tidak, kalau taruhannya Naruto akan menang dalam balapan, pastilah mereka menang. Kenapa? Karena semua orang tahu, Naruto adalah pengendara yang andal. Dia sudah sering mengikuti balapan jalanan bahkan sejak dia berusia 14 tahun. Meskipun saat itu fisiknya masih termasuk kecil, tapi dalam mengatur kcepatan dan kestabilan dalam mengendarai mobil, dia sangat ahli. Dan setelah tiga tahun di dunia balap jalanan, dengan pengalamannya dia jadi semakin andal dalam balapan. Di samping itu sahabatnya, Kiba, adalah yang membantunya merancang mesin dan mobilnya. Kiba sangat memahami tentang mesin dan sangat ahli dalam merakit mobil. Hal tersebut didapatnya dari almarhum ayahnya yang seorang mekanik. Sejak kecil Kiba senang membantu ayahnya dalam mengerjakan pekerjaannya di bengkel. Dan saat beranjak remaja, dia mulai senang merakit mesin dan merancang kendaraannya sendiri. Seorang pengendara yang andal dan seorang mekanik yang ahli, saat mereka bergabung mereka jadi tak terkalahkan.
"Hari ini kau menang besar ya, Naruto?" tanya sang pemilik kedai, Paman Teuchi.
"Yah, begitulah Paman. Kali ini aku dapat uang lebih banyak dari biasanya. Ditambah dengan satu mobil itu," jawab Naruto bangga sambil menunjuk mobil berwarna hijau muda yang dia menangkan dari Yagura.
"Tapi itu semua tidak akan terjadi kalau tidak ada aku, Paman," tambah Kiba ikut berbangga diri sambil menunjuk dirinya dengan ibu jarinya.
"Ha-ha-ha... kalian ini memang anak-anak yang bersemangat," kata Paman Teuchi senang melihat semangat keduanya.
"Ha-ha-ha... tentu saja tebayoo, kami adalah pemuda yang paling semangat di desa ini. Tidak ada yang mengalahkan semangat kami," kata Naruto lagi sambil tertawa girang.
"Tapi, bukankah balapan jalanan seperti itu berbahaya untukmu? Aku yakin ibumu pasti tidak tahu. Kalau dia sampai tahu kau ikut dalam dunia malam seperti itu, aku yakin dia akan sangat cemas," tambah Paman Teuchi menasehati.
Naruto yang mendengar penuturan Paman Teuchi langsung terdiam. Dia ingat betapa tidak suka ibunya bahkan hanya karena Naruto menonton acara balapan di televisi. Ibunya langsung mematikan televisi dan menceramahinya panjang lebar agar Naruto jangan sekali-kali menyentuh yang namanya mobil. Maklum saja, itu karena ibunya merasa trauma, dulu dia harus kehilangan suami dan adiknya karena sebuah balapan. Dia juga tidak ingin kehilangan anaknya dengan cara yang sama.
Tidak bisa dipungkiri memang bahwa bakat balapan Naruto adalah turunan dari ayahnya. Dulu saat muda ayahnya juga sering ikut dalam balapan jalanan seperti dirinya. Sama seperti Naruto, ayahnya juga tidak pernah terkalahkan. Namun, saat ibu Naruto sedang mengandung Naruto, ayahnya meninggalkan desa untuk mengikuti sebuah ajang balapan jalanan di suatu tempat. Tetapi setelahnya tidak ada kabar apa pun lagi dari ayahnya. Dan setelah Naruto lahir, akhirnya ibunya menerima kabar bahwa sang suami telah tewas dalam ajang balapan tersebut.
Naruto terus menunduk dan menyantap ramennya dalam diam. Kiba tak hentinya melirik ke arah sang sahabat karena merasakan aura yang tidak mengenakkan di sana. Sedangkan Paman Teuchi jadi mersa bersalah karena merasa telah mengingatkan Naruto dengan mendiang ayahnya. Dia juga merasa bersalah karena kata-katanya telah membuat semangat Naruto menghilang. Dia sempat akan membuka mulut untuk menghiburnya sebelum dia melihat kembali wajah cerah Naruto.
"Hehehe... tenang saja, ibu tidak akan tahu. Aku bilang padanya kalau aku sedang mengerjakan tugas sekolah di rumah Kiba dan akan pulang tengah malam, Hehehe..." kata Naruto sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
Kiba dan Paman Teuchi pun menatap Naruto dengan tidak percaya karena ternyata mood pemuda itu dapat berubah dengan cepat.
"Lagipula..." tambah Naruto dengan menjeda kalimatnya. "Aku mengikuti balapan itu bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi karena aku harus mencari uang untuk biaya pengobatan ibuku,"
Ya, kenyataannya memang saat dia mengikuti balap liar saat 14 tahun, dia hanya ingin bersenang-senang. Namun, saat dia berusia 15 tahun dan ibunya mulai sakit-sakitan, sementara ibunya hanya bekerja sebagai buruh jahit di desanya dan gajinya tidak seberapa hanya cukup untuk biaya sehari-hari dan biaya sekolah Naruto, mulai hari itulah bagi Naruto tidak ada lagi kata bersenang-senang. Dia memiliki tujuan lain mengikuti balapan tersebut. Dia harus bisa terus menang dan mendapatkan banyak uang untuk biaya pemeriksaan rutin ibunya ke rumah sakit. Saat itulah dia dan Kiba mulai merancang mobil dengan mesin-mesin canggih yang dapat melesat cepat di arena balap agar Naruto terus memenangkan balapan dan mendapatkan uang untuk biaya pengobatan ibunya. Sementara saat ibunya bertanya dari mana uang sebanyak itu dia dapatkan, dia hanya bilang kalau dia membantu Kiba bekerja di bengkel dan sisanya Kiba meminjamkannya.
"Ini," Dua mangkuk ramen porsi besar disodorkan Paman Teuchi untuk keduanya.
"Eh, apa ini Paman? Kami kan tidak pesan yang ukuran besar. Kalau kami pesan ini, uang kami akan langsung habis," tanya Kiba bingung sambil menatap bergantian antara mangkuk ramen dan Paman Teuchi. Begitupula dengan Naruto yang juga menatap bingung.
"Itu gratis ku berikan pada kalian," jawab Paman Teuchi.
"Ehhh, benarkah?" sahut Naruto dan Kiba bersamaan dengan mata yang berbinar-binar.
"Wahhh terima kasih Paman. Kau baik sekali," tambah Naruto.
"Tapi benar ini gratis?" tanya Kiba masih tidak percaya.
"Iya, itu hadiah dariku untuk kalian, dua pemuda yang begitu menyayangi orang tuanya," jawab Paman Teuchi dengan senyum yang tulus.
Kaduanya pun saling berpandangan bingung, namun kemudian mereka menatap Paman Teuchi yang tersenyum dan mereka pun ikut tersenyum. Setelah itu keduanya langsung menyantap ramen porsi jumbo itu dengan lahap. Paman Teuchi hanya dapat geleng-geleng kepala melihat dua sahabat itu.
"Terima kasih Paman atas ramennya. Kami pulang dulu," teriak Naruto sambil melangkah keluar kedai.
"Yah, hati-hati di jalan ya," sahut Paman Teuchi dari dalam kedai.
"Haaah, perutku kenyang sekali," kata Kiba sambil mengelus-elusnya perutnya yang terlihat semakin padat.
"Yosh, ayo kita pulang. Pertama-tama kita bawa Kyubi dan mobil Yagura, si Isobu ini ke garasimu Kiba. Setelahnya aku bisa pulang dengan tenang," kata Naruto.
"Wakatta ne," balas Kiba.
Mereka sudah akan memasuki mobil masing-masing ketika ada suara seorang anak memanggil nama Naruto.
"Naruto-niichan!"
Naruto pun langsung menoleh dan mendapati seorang anak kecil tetangganya tengah berlari menghampirinya.
"Inari, kenapa kau malam-malam begini ada di sini? Kau tahu kan anak kecil tidak boleh berkeliaran di tengah malam, bahaya," kata Naruto.
"I-iya, ta-tapi kakekku yang menyuruhku mencarimu. Aku sudah mencarimu ke mana-mana dan tidak ketemu. Sampai aku ingat kedai ramen favoritmu, aku pun langsung ke sini," jawab Inari panjang lebar.
"Ehhh? Kenapa Kakek Tazuna mencariku?" tanya Naruto bingung.
"Ah, e-eto... Di rumah Naruto-niichan sudah banyak orang berkumpul," jawabnya yang semakin membuat Naruto semakin bingung.
"Kenapa banyak orang berkumpul di rumahku?" tanyanya lagi sambil berpandangan dengan Kiba. Sementara Kiba hanya mengedikkan bahu.
"Hmmm, bagaimana aku mengatakannya? Sebenarnya, e-eto..."
"Apa sih Inari, kau membuat aku semakin bingung,"
"E-eto, Kushina-bachan,"
"Eh?"
"Kushina-bachan sudah... meninggal,"
Seakan telinganya tak lagi mampu mendengar. Seakan lidahnya menjadi kaku dan tak mampu lagi berucap. Seakan kakinya tak lagi memiliki tulang dan tak mampu berdiri. Dunianya runtuh bersamaan dengan dirinya yang jatuh terduduk di depan kedai ramen Ichiraku. Baru beberapa saat lalu dia merasakan kebahagiaan saat memenangkan balapan. Baru beberapa saat lalu dia merasa istimewa karena mendapatkan ramen porsi besar secara gratis. Baru beberapa saat lalu dia semangat pulang ke rumah untuk melihat wajah damai ibunya yang terlelap tidur. Tapi sekarang semuanya seakan dibanting hancur ke tanah, semua perasaan itu berubah menjadi kepingan saat mendengar kabar bahwa ibunya, keluarga satu-satunya, orang yang paling dikasihinya, alasannya terus menjadi yang pertama, kini dia terlelap untuk selamanya.
"Hoi Naruto, kau belum pulang? Eh? Ada apa?" tanya Paman Teuchi bingung saat dia keluar kedai karena ingin melihat apa yang terjadi di luar, kini yang dilihatnya adalah pemuda yang penuh dengan senyum mentarinya itu sedang berlutut sambil menunduk. Tak lupa air matanya menetes tanpa henti.
Di hari pemakaman, seakan Naruto dan cuaca hari itu adalah satu kesatuan. Mata biru langit Naruto kini terlihat suram dengan air mata yang terus menetes. Begitu pula dengan langit yang tertutupi awan hitam dengan hujan yang terus mengguyur bumi dengan amat deras. Wajah Naruto yang selalu memancarkan cahaya seperti matahari, hari ini tak tampaklah cahaya itu di sana. Pun begitu dengan sang surya, dia enggan muncul seakan menggambarkan kesedihan pemuda itu.
Semua kenalan Kushina dan Naruto hadir di sana. Mereka berdo'a untuk kedamaian bagi Kushina di alam sana dan memberikan semangat untuk Naruto agar tetap dapat melangkah maju. Sedang Kiba terus saja berdiri di belakang Naruto yang kini hanya memandang kosong pada foto Kushina yang selalu tampak cantik dengan rambut merah panjangnya. Naruto terus memandangnya karena merasa tidak akan dapat melihat senyum yang ditampakkan ibunya dalam foto itu. Dia sudah lupa kapan terkahir kali dia melihat ibunya seceria di foto itu. Sejak penyakit leukimia yang diderita ibunya mulai mengambil nyawanya sedikit demi sedikit, sang ibu tak lagi tersenyum cerah. Dia merasa akan merindukannya, merindukan omelan sang ibu, merindukan kekonyolan sang ibu, merindukan kasih sayang sang ibu.
Seperti dia sudah kehilangan tempat untuknya berpegangan. Kakinya akan kembali membawanya terjatuh di tanah makam yang lembab karena hujan sebelum sepasang tangan merangkulnya dan memeganginya. Naruto pun menoleh menatap sang empunya tangan, itu adalah Kiba, sahabatnya. Kiba tersenyum dan mengangguk padanya seakan dia dapat membaca fikiran Naruto. Kenudian dia menolehkan kepalanya ke belakang, semuanya berdiri di sana, ibu Kiba, kakak Kiba, kakek Tazuna, Inari, Paman Teuchi, Ayame-neechan, dan semua tersenyum padanya. Ya benar, dia memang sudah kehilangan satu sanggahan, tapi dia masih mempunyai sanggahan lainnya. Dia masih memiliki sahabat dan orang-orang yang peduli akan dirinya. Dia tidak boleh lemah. Dia tidak boleh menyerah akan hidup. Ibunya tidak akan senang melihatnya menangis dan menyerah. Ibunya selalu ingin melihatnya tersenyum dan terus maju. Dan dia tidak akan melenyapkan harapan ibunya. Biarlah ibunya tetap hidup bersama semua harapan dan kenangannya.
Usai upacara pemakaman, semua orang telah meninggalkan area pemakaman. Tinggalah Naruto dan Kiba yang msih khusyuk berdo'a. Setelah selesai, Kiba pun berdiri dan menepuk bahu Naruto seraya berkata,
"Ayo Naruto, kita pulang,"
"Hn,"
Naruto pun bangkit berdiri dan untuk terakhir kalinya di hari itu dia kembali mengusap nisan ibunya berharap perasaannya tersampaikan ke alam sana. Di saat kakinya mulai mengambil langkah pertamanya, pandangan Naruto beralih ke sebuah pohon rindang yang berdiri tegak agak jauh dari makam ibunya. Matanya melihat seorang pria paruh baya yang tinggi besar dengan rambut putih panjangnya sedang berdiri bersandar di bawah pohon. Tangannya ia lipat di dada dan pandangannya tertuju ke area pemakaman. Naruto merasa arah pandang pria itu adalah tertuju padanya. Berbagai spekulasi tersusun di otaknya. Siapakah pria paruh baya itu? Apakah dia kenalannya? Ataukah hanya orang yang kebetulan lewat? Atau mungkin saja dia adalah pencuri makam yang dulu sempat banyak diberitakan? Tetapi Naruto tidak ingin berpikiran negatif. Dia pun mulai kembali melangkahkan kakinya dan beranjak meninggalkan makam. Tanpa dia sadari pria paruh baya tadi menyeringai ke arahnya.
3 bulan kemudian
"Hoi Naruto, di mana kau?" teriak Kiba saat memasuki garasi miliknya selepas pulang dari sekolah.
"Aku di sini Kiba," sahut Naruto dengan hanya melambaikan tangannya dari bawah mobil.
Kiba yang melihat itu langsung berjalan menghampirinya sambil memperhatikan mobil yang sedang diperbaiki oleh Naruto.
"Mobil siapa yang sedang kau perbaiki ini?" tanya Kiba sambil matanya terus menelusuri setiap inci mobil tua itu.
"Ini mobil milik Ohnoki-jiisan," jawab Naruto sambil terus sibuk memperbaiki mobil tersebut.
"Ah mobil ini setua pemiliknya," komentar Kiba sambil berjalan menuju sofa yang berada di pojok ruangan dan kemudian duduk di sana.
"Jangan begitu, bagaimana pun juga dia itu kepala desa di sini," tambah Naruto ikut berkomentar.
"Ya, kau benar. Kenapa juga tidak ada yang mau melengserkan orang tua itu dari jabatannya. Bukankah dia sudah terlalu tua untuk memimpin. Lihat kan, desa kita jadi tidak maju-maju karena yang memimpin orang kolot seperti itu," lanjut Kiba terus mengkritik.
"Ha-ha-ha... kau itu Kiba, gayamu seperti politikus saja mengkritik kerja orang lain. Sudahlah, kenapa kau tidak pulang ke rumah, ganti pakaianmu, dan kembali ke sini untuk membantuku," kata Naruto sambil tertawa mendengar ocehan Kiba.
Kiba yang mendengar tawa sahabatnya itu pun ikut tersenyum. Pasalnya selama tiga bulan ini Naruto tampak murung. Dia yang biasanya selalu ceria dan bersemangat, kini seakan kehilangan semua semangat dan keceriaan itu. Semenjak kematian ibunya, Naruto menjadi lebih pendiam. Dan untuk Kiba, itu sangatlah bukan Naruto sekali. Bagaimana pun dia, sebagai sahabatnya, ingin sekali mengembalikan semua keceriaan Naruto bagaimanapun caranya. Oleh karena itu akhir-akhir ini Kiba jadi ekstra cerewet dengan berkomentar dan membicarakan apapun asalkan Naruto bisa kembali tertawa.
"Bukankah sebaiknya kau juga istirahat dan ikut aku pulang ke rumah? Sebentar lagi malam dan kita juga harus makan malam kan? Kaa-chan akan marah kalau aku pulang dan tidak membawamu," kata Kiba pada Naruto agar pemuda itu mau istirahat dari pekerjaannya.
"Iya, nanti aku menyusul setelah mandi dan mengganti pakaian," jawab Naruto.
"Baiklah, lakukan saja. Kalau kau ingin melihat sahabatmu ini hancur babak beluk dihajar ibunya sendiri,"
Naruto yang mendengar kata-kata Kiba pun akhirnya mau menghentikan pekerjaannya. Dia pun beranjak keluar dari kolong mobil dan mulai mengelap tangannya yang kotor karena oli. Dia melirik ke arah Kiba yang kini sedang memicingkan mata ke arahnya dengan geram. Melihat itu Naruto hanya tersenyum. Dia tahu kata-kata itu hanya gertakan. Kiba hanya ingin Naruto menghentikan pekerjaannya dan ikut makan bersamanya. Naruto juga sadar kalau akhir-akhir ini pola makannya sangat buruk. Kadang seharian ia tidak makan dan memang ia tidak merasa lapar. Entahlah, mungkin karena fikirannya yang selalu kacau sehingga perutnya jadi tidak lapar. Padahal dulu dia bisa makan sehari lima kali apalagi kalau menunya ramen.
"Baiklah, aku ikut. Jangan menatapku seperti itu," kata Naruto seraya berdiri dan mulai berjalan ke lantai dua garasi yang dijadikannya tempat tinggal. Dia pun beranjak ke kamar mandi untuk setidaknya membasuh tangan dan muka.
Sementara Kiba, dia tersenyum menang melihat sahabatnya sudah meninggalkan pekerjaan tak bermutunya itu. Kenapa tidak bermutu? Karena Kiba tahu, mobil tua seperti itu memang sudah tidak dapat diselamatkan lagi kecuali orang tua pikun yang pelit itu mau membayar mahal untuk mengganti semua mesinnya dengan yang baru. Jadi percuma saja Naruto mengotak-atiknya berapa lama pun mobil tersebut tetap hanya bisa berjalan seperti keong. Membuang-buang waktu saja kan?
Tidak lama keudian Naruto sudah keluar dari kamar mandi. Dia sudah mengganti baju bengkelnya dengan celana jeans yang bersih, sebuah kaos masih digenggamannya. Dia berjalan menuruni tangga menuju lantai satu sambil mulai memakai kaosnya.
"Oya, tadi Shiho sensei menanyakanmu lagi. Dia masih berharap kau mau kembali ke sekolah," kata Kiba menyampaikan kata-kata gurunya di sekolah.
Naruto yang sedang bercermin sambil menyisir rambutnya langsung menoleh ke arah Kiba.
"Tentu saja aku tidak akan kembali," jawab Naruto sambil kemudian melanjutkan menyisir rambutnya.
"Kenapa sih kau harus berhenti sekolah segala?" tanya Kiba dengan sambil mengerucutkan bibirnya karena merasa kesal atas keputusan Naruto.
Memang sejak tiga bulan lalu Naruto memutuskan berhenti sekolah dan bekerja di bengkel Kiba. Meskipun sebenarnya bengkel itu sudah lama tidak beroperasi sejak ayah Kiba meninggal dan dijadikan oleh Kiba sebagai garasi mobil-mobil rakitannya. Tapi Naruto malah kembali membuka bengkel itu dan bekerja sebagai montir. Meski awalnya tidak banyak yang datang, tapi lama-kelamaan banyak teman-teman yang biasa ikut balapan jalanan dengannya datang untuk sekedar memeriksa mesin atau juga minta untuk memodifikasi mobil mereka.
"Haaaahh, kau tahu kan Kiba, semuanya sudah tidak seperti dulu lagi. Aku sekarang harus bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan harianku. Masih untung aku masih bisa makan setiap hari dan membayar uang sewa bengkel padamu. Bagaimana mungkin aku bisa membiayai sekolah sekalian," jelas Naruto sambil kini berdiri di hadapan Kiba dengan wajah seriusnya.
Kiba tidak suka ini. Dia paling tidak suka melihat wajah serius Naruto yang seperti itu. Lagipula apa itu, membayar sewa? Kiba bahkan tidak pernah meminta uang sewa. Dia suka rela membiarkan Naruto tinggal di garasinya. Bahkan dia lebih senang lagi kalau Naruto mau tinggal di rumahnya. Jadi dia tidak pernah meminta apapun dari sahabatnya itu.
"Kan aku sudah bilang, Kaa-chan juga bisa membiayai sekolahmu dan hidupmu. Jadi kau tidak perlu bekerja," jawab Kiba kesal.
"Aku tidak ingin merepotkan ibumu. Dia sudah baik padaku saja aku sudah senang..."
"Dia menganggapmu anaknya sendiri, kalau kau tidak tahu," sela Kiba keras memotong ucapan Naruto.
Naruto yang mendengar ucapan Kiba langsung terdiam dan tertunduk. Dia merasa tidak enak selalu merepotkan keluarga Kiba.
"Aku ucapkan banyak terima kasih pada keluargamu, Kiba. Untuk ibumu, kakakmu, dan kau juga. Tapi kali ini aku ingin mandiri," jawab Naruto sambil tersenyum sedih.
Kiba merasa suasana itu jadi terasa aneh dengan Naruto yang terlihat sendu dan dirinya yang sok dewasa. Akhirnya muncul di fikirannya ide yang mungkin bisa membuat mereka seperti dulu.
"Hei, bagaimana kalau kau balapan lagi dan kita buat kau selalu menang seperti sebelumnya. Dan uangnya, ayo kita gunakan uangnya untuk biaya sekolahmu," ajak Kiba semangat dengan wajah yang penuh binar.
Naruto yang mendengar usul Kiba sempat terkejut sebelum akhirnya kembali menunduk dan tersenyum sedih.
"Aku tidak bisa," jawabnya.
"Ehhh? Kenapa?" tanya Kiba bingung.
"Kau ingat, seminggu setelah kematian ibuku, saat aku balapan dan berakhir dengan mobilku yang tergelincir? Saat itu aku hampir kecelakaan dan kau juga kehilangan banyak uang taruhan karena aku kalah balapan. Kau tahu apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Naruto balik pada Kiba. Kiba hanya menggeleng karena Naruto tidak pernah membahasnya sebelumnya.
"Hari itu, terbayang wajah ibuku yang menangis," lanjutnya.
Kiba pun terkesiap. Akhirnya dia tahu alasan Naruto berhenti ikut balapan jalanan selama tiga bulan ini. Ternyata Naruto merasa trauma seakan dihantui wajah ibunya yang menangis. Kiba memang tahu bahwa Kushina tidak pernah mengizinkan Naruto balapan. Jangankan balapan, Kushina bahkan tidak ingin melihat Naruto dekat-dekat dengan mobil. Hal itu dikarenakan dia takut Naruto mengalami hal buruk seperti yang terjadi pada ayahnya yang meninggal bahkan tanpa sempat dibuatkan sebuah makam karena jasadnya yang tidak diketahui di mana.
"Baiklah, aku mengerti. Kau mungkin butuh waktu untuk terbiasa dengan keadaan ini," kata Kiba mencoba bijak.
"Ya, mungkin kau benar," jawab Naruto.
"Ya sudah, ayo kita makan malam. Kaa-chan akan mengamuk bila kita terlambat," seru Kiba riang, mencoba menghapus semua keadaan yang tidak menyenangkan itu.
"Oke," sahut Naruto dengan senyuman lebar yang dipaksakannya.
Keesokan malamnya Naruto mengajak Kiba ke arena balap jalanan. Kiba merasa heran kenapa Naruto mengajaknya ke sana padahal sebelumnya dia hanya mengajaknya jalan-jalan. Lagipula Naruto tidak terlihat punya persiapan untuk balapan.
"Hoi Naruto, kau bilang kau tidak mau balapan dulu. Lalu kenapa kau malah mengajakku ke sini?" tanya Kiba heran.
"Aku memang tidak mau balapan. Aku hanya ingin melihat, bila aku tidak ikut serta, siapa yang akan jadi juaranya," jawabnya enteng.
"Huh, sombong sekali kau," respon Kiba saat mendengar jawaban Naruto sambil tangannya menjitak kepala Naruto.
"Ha-ha-ha-ha... aku hanya bercanda. Aku hanya butuh hiburan untuk menghilangkan penat karena dua hari ini sibuk membetulkan mobil milik Ohnoki-jiisan," jawab Naruto lagi.
"Kan sudah ku bilang, mobil itu kena kutuk. Dia tidak akan mungkin berjalan lagi. Bukankah sebaiknya kau menyerah dan kembalikan rongsokan itu pada kakek tua, pikun, pelit itu?" protes Kiba.
"Ya, ya, ya, kau benar. Mungkin aku akan melakukannya kelak," kata Naruto santai sambil kemudian mendudukan dirinya di kap 'Kyubi', mobilnya.
"Kelak? Lakukan itu besok. Aku sudah muak melihat mobil butut itu ada di garasiku," oceh Kiba sambil ikut bersandar pada Kyubi.
"Ha-ha-ha..." Naruto tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Kiba.
Kiba yang melihat Naruto tertawa pun merasa bahwa datang ke tempat itu ternyata memang ada baiknya.
"Hoi Kiba, Naruto," sapa seorang pria yang ternyata Genma-san, sang bandar taruhan.
"Hoi..." sahut Kiba sambil melambai.
Genma pun berjalan menghampiri mereka. Terlihat di tangannya sebuah buku catatan dan sebuah pulpen. Kiba yakin dia sedang mencatat taruhan orang-orang.
"Naruto, kau tidak ikut balapan? Pantas saja tidak ada satu orang pun yang bertaruh untukmu," kata Genma pada Naruto.
"Bukankah sebaiknya kau mengecek siapa-siapa saja yang ikut dalam balapan? Kalau ada yang salah memasang taruhan, bagaimana?" tanya Kiba menyindir.
"Ha-ha-ha... benar juga ya," jawab Genma.
Kiba hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Genma yang enteng itu. 'Dasar bandar', pikirnya. Kiba yakin, kalaupun ada yang salah memasang taruhan, pasti ujung-ujungnya tetap dia yang untung.
"Kenapa kau tidak ikut serta Naruto? Sudah tiga bulan ini sedikit yang pasang taruhan karena kau tidak ikutan. Banyak dari mereka yang tidak yakin untuk pasang taruhan. Selama tiga bulan ini juga pemenangnya berganti-ganti. Memang sih bervariasi, tapi jadi tidak ada jagoannya. Baru beberapa minggu ini si Utakata itu yang mulai selalu jadi juara," cerita Genma panjang.
"Utakata? Oh, laki-laki perlente itu ya. Wah, dia hebat juga," respon Kiba.
"Dia hebat karena tidak ada saingan yang jauh lebih hebat," jawab Genma. "Jadi kenapa kau tidak ikut serta?" lanjutnya dengan mengulang pertanyaan yang belum dijawab Naruto.
"Tidak apa-apa, aku hanya sedang tidak ingin," jawab Naruto dengan malas.
"Oh begitu. Ya sudah tidak apa-apa. Jadi apakah kalian ingin ikut taruhan?" tawar Genma.
"Tidak, terima kasih. Aku sedang tidak ada uang," kata Naruto. Dia memang sedang berhemat karena akhir-akhir ini bengkelnya sepi.
"Baiklah, aku saja yang bertaruh. Tapi aku tidak pasang banyak ya," ujar Kiba sambil menyerahkan beberapa lembar uang dan mulai membisikan taruhannya. Sedangkan Genma mulai menulis di catatannya.
"Baik, sudah aku catat. Sangkyu Kiba," Genma pun beranjak meninggalkan Naruto dan Kiba.
Naruto menatap Kiba penasaran, apa sebenarnya yang dia pertaruhkan?
"Jadi, apa taruhanmu?" tanya Naruto.
"Ha-ha-ha... hanya iseng-iseng saja. Aku bertaruh malam ini akan ada pembalap super yang akan mengalahkan si Utakata, pria perlente itu," jawab Kiba sambil menyengir lebar.
"Pembalap super? Siapa yang kau maksud?" tanya Naruto lagi dengan nada heran.
"Entahlah, aku seperti punya firasat seperti itu," jawab Kiba santai sambil mulai tiduran di atas kap mobil.
"Hei apa kau gila? Kau membuang uangmu hanya untuk sebuah firasat? Kalau firasatmu salah, uangmu akan hilang," protes Naruto yang mendengar jawaban santai Kiba.
"Ha-ha-ha... tenang saja, aku tidak bertaruh banyak kok," jawab Kiba lagi dan dia mulai berbaring di atas kap mobil sambil menunggu waktu balapan di mulai.
Sementara itu suara Genma yang berteriak-teriak menawarkan siapa saja yang ingin memasang taruhan masih terus terdengar. Sementara arena balapan sudah semakin dipadati supporter dan para peserta.
"Ayooo... siapa lagi yang ingin pasang taruhan? 10 menit lagi perlombaan akan dimulai. Ayo, ayo, masih ada waktu," teriaknya.
"Hoi anak muda, aku ingin bertaruh," suara berat seorang pria paruh baya menginterupsi teriakan Genma.
"Eh?" Genma dan beberapa orang lainnya ikut menoleh. Begitu pula Naruto dan Kiba yang penasaran dengan suara asing itu.
"Wow, Pak tua. Berapa uang yang kau punya untuk kau pasang taruhan hah?" tanya Genma meremehkan.
"Ha-ha-ha..." setelahnya tawa semua orang pun meledak.
'Bruk!'
Pria paruh baya tinggi besar dan berambut putih panjang itu meletakkan sebuah koper di atas sebuah kap mobil yang berada di dekatnya. Kemudian dia buka koper tersebut dan tampaklah bahwa koper tersebut penuh dengan uang. Semua orang yang melihatnya pun langsung memekik kagum melihat isi koper itu.
"Waaaahhh..."
Gumaman kagum semua orang yang berkumpul di sana menarik Naruto dan Kiba untuk melihat lebih dekat apa sebenarnya yang sedang terjadi. Mereka pun menyeruak di antara kerumunan agar dapat melihat jelas.
"Jadi, kau ingin mempertaruhkan semuanya?" tanya Genma senang.
"Ya, aku akan mempertaruhkan semuanya, ASALKAN, pemuda itu..." tunjuknya ke arah Naruto yang membuat Naruto tersentak kaget dan semua fokus tertuju padanya. "ikut serta dalam balapan ini," lanjutnya. "dan aku bertaruh dia menang," tambahnya kemudian menyelesaikan kalimatnya.
"Waaaahhh..." semua orang kembali bersorak puas mendengar taruhan pria paruh baya tersebut. Sementara Naruto sedang berfikir keras. Dia seperti pernah melihat orang itu.
"Oi Naruto, apa kau mengenalnya?" tanya Kiba penasaran.
"Entahlah, aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi, di mana?" jawab Naruto masih terus berusaha mengingat tempat dia pernah melihat pria paruh baya itu. Kutuklah otaknya yang tidak seberapa pintar itu sehingga tidak sanggup berfikir terlalu keras.
"Bagaimana, nak? Kau akan ikut? Kalau kau ikut, aku akan segera melepas koper ini beserta isinya," tanya pria paruh baya itu lagi.
"Ikut...ikut...ikut...ikut...ikut..." sorak sorai para supporter yang memintanya ikut semakin bergema. Namun Naruto merasa tidak terpengaruh dengan semua itu. Dia benar-benar tidak ingin ikut balapan.
"Ayo Naruto, ikut sertalah dalam balapan. Orang ini benar-benar bertaruh besar untuk kemenanganmu," rayu Genma agar Naruto mau ikut dalam balapan.
"Tidak, terima kasih. Aku tetap tidak akan ikut," jawabnya sambil berbalik dan mulai berajalan menuju mobilnya.
"Apa kau sebegitu pengecutnya, Uzumaki Naruto? Oh, atau kau juga bisa disebut... Namikaze Naruto?" kata pria itu lantang sehingga Naruto yang sudah berjalan menjauh pun dapat mendengarnya.
Naruto yang sudah lama tidak mendengar namanya disandangkan dengan marga itu pun langsung terkejut. Dia langsung menoleh menatap orang tersebut dengan pandangan tidak percaya. Dia tidak menyangka ada seseorang yang mengetahui marga tersebut selain ibunya. Terlebih lagi dia merasa tidak pernah mengenal orang itu.
"Namikaze? Apa maksudnya?" gumam Kiba bingung.
Kiba langsung mengalihkan atensinya menatap Naruto berharap pemuda blonde itu mau menjelaskan. Tapi melihat ekspresi Naruto yang shock, sepertinya dia tidak akan mendapat penjelasan apapun. Akhirnya dia pun dengan berani mengungkapkan apa yang ada di fikirannya.
"Maaf Tuan, nama keluarganya itu Uzumaki, bukan Namikaze," teriak Kiba.
"Heh, coba kau lihat ekspresinya itu. Bukankah dia terlihat terkejut? Artinya aku benar kan?" jawab orang tersebut.
Kiba yang mendengar jawaban itu, kembali menatap Naruto. Dan benar saja Naruto memang tampak terkejut. 'Jadi ada apa sebenarnya ini?' gumamnya dalam hati.
"Siapa kau sebenarnya?" akhirnya Naruto angkat suara meski terkesan dingin. Dia ingin tahu siapa sebenarnya pria paruh baya itu.
"Ha-ha-ha-ha..." bukannya menjawab, orang itu malah tertawa lepas.
"AKU BILANG SIAPA KAU?!" bentak Naruto emosi.
Pria paruh baya itu pun kembali menatap Naruto sambil menampakkan seringaiannya. Dia mulai melangkah mendekati Naruto. Dan kini orang tersebut sudah ada di hadapan Naruto.
"Kalau kau ingin tahu siapa aku, kau harus ikut dalam balapan ini," bisiknya di telinga Naruto.
Dan Naruto pun kembali menatap tak percaya pada orang tersebut. Mau tidak mau dia harus ikut dalam balapan bila ingin mengungkap siapa pria itu. Tanpa dia tahu bahwa pria paruh baya itu akan membawanya pada kehidupan yang penuh tantangan. Kehidupan yang akan mengembalikan semua semangatnya seperti dulu. Kehidupan yang akan mempertemukannya dengan banyak orang yang mengagumkan. Kehidupan yang akan mengantarkannya pada orang-orang yang dicintainya.
Tbc.
Haaaaiiiiii... nawa hadir lagi nih... pada kangen ya? Hahaha... (ke-Pd an) :-P
Hehehe...
Nawa bikin fic baru nih, judulnya "Racing to Konoha Mountain". Fic ini sendiri terinspirasi dari beberapa film yang nawa tonton. (Maklum aja nawa suka banget nonton film balapan, apalagi liat mobil2nya yang super keren, hmmmmm...) jadi kalo kesannya mainstream maaf aja ya... hehehe...Tapi karena cuma terinspirasi, jadi ga akan sama ko ceritanya kaya film2 itu... (semoga aja) Hahaha...
Oya, untuk fic ini nawa masih bingung mau nentuin genre nya. ini mau nawa bikin Advanture-Friendship atau Advanture-Romance ya? Boleh dong nawa minta saran readers dan juga para senpai sekalian. Tolong berikan alasannya juga. Tolong banget ya... (Ojigi)
Dan buat readers yang mengharapkan squel ataupun side story nya fic "Mak Comblang Amatir", harap sabar ya... nawa nanti buat ko...
Oke deh, tolong di R&R ya... :-)
