Racing to Konoha Mountain
Chapter 26 : Cerita Ino (Part II)
.
.
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Racing to Konoha Mountain by nawanawachan
Main Character : Naruto. U.
Pairings : (Naruto x Hinata), (Sasuke x Sakura), (Sai x Ino)
Rate : M (bahasa, situasi kehidupan jalanan)
.
WARNING !
FIC INI DIPERUNTUKAN UNTUK READERS YANG BERUSIA 18+. Untuk pembaca yang masih di bawah umur, disarankan untuk tidak melanjutkan membaca.
Setting Dunia Malam dan Dunia Balap Jalanan,
Mengandung Unsur Dewasa dan Kekerasan.
.
.
.
(Cerita Ino – Flashback)
"Sa-Saiii...," aku memanggilnya namun Sai tidak menghiraukanku.
Jantungku berdebar keras, kakiku melemas. Ingin rasanya aku berhenti mengikutinya, berbalik dan lari. Tapi melihat ke sekeliling membuat nyaliku ciut. Meski aku tidak tahu rencana Sai, tapi aku memilih untuk tetap di dekat pemuda itu.
Sampai di ujung ruangan tersebut yang dipisahkan dengan sebuah tirai tipis transparan. Bisa ku lihat di baliknya beberapa orang duduk di sofa panjang berbentuk letter U. Satu orang duduk di tengah sementara orang-orang lain duduk di pinggir-pinggirnya.
Nafasku sudah tidak dapat diatur. Telapak tanganku sudah basah oleh keringat. Dengan gemetar aku mencengkeram belakang jas Sai. Berbeda denganku yang ketakutan, Sai menyibak tirai dan masuk dengan santai. Aku mengikuti dengan terus menempel di belakangnya.
Kini manik aquamarrine ku bisa melihat sosok dibalik tirai itu dengan jelas. Orang yang duduk di tengah tampak sudah berumur. Beliau memakai hakama resmi berwarna hitam. Sebelah matanya atau tepatnya hampir separuh wajahnya ditutupi dengan perban. Bisa dipastikan terdapat luka serius di balik perban itu. Hal tersebut membuatku merinding. Sebuah tongkat kayu bertengger di samping ia duduk. Sepertinya dia sudah tak mampu berjalan tanpa sanggahan tongkat. Aku bertanya-tanya, benarkah dia Danzo sang pemimpin Yakuza Konoha. Bagiku dia hanya terlihat seperti orang tua normal. Hanya saja atmosfer di sekeliling dirinya begitu kuat.
Sementara itu, mataku melirik ke kanan-kiri tempat orang-orang lainnya duduk. Mereka semua menatap Sai begitu kami masuk. Dan kusadari mereka mendengus kesal mendapati kehadiran pemuda itu.
"HOI! Kau fikir ini jam berapa, HAH?!" bentak seseorang yang duduk paling pinggir di sebelah kiri.
Orang tersebut bangun dari duduknya dan berjalan mendekat pada Sai. Sementara Sai tidak terlalu memperdulikannya dan tetap berdiri menghadap lurus ke depan dengan ekspresi datar.
"Berani sekali kau datang terlambat dan dengan santainya masuk begitu saja ke sini," ucapnya penuh penekanan tepat di depan wajah Sai.
Sementara Sai tidak sedikit pun melihat padanya.
"Kau sudah membuat Danzo-sama menunggu berjam-jam. Lagipula pertemuan eksekutif berlangsung sejak pukul 10 pagi. Ke mana saja kau? Apa kau fikir ini semua hanya main-main? Kalau begitu sebaiknya kau berhenti saja, brengsek!"
Aku tersentak. Pertemuan pukul 10 pagi. Bila diingat-ingat tadi pagi Sai sudah bersiap-siap dengan pakaian formalnya yang terlihat tidak jauh berbeda dengan pakaian semua orang di tempat itu. Tapi Sai berkata kalau dia akan berpesta dengan para wanita. Jadi apa yang dia katakan tadi pagi hanya bohong belaka. Yang sebenarnya adalah dia ada pertemuan dengan para petinggi Yakuza Konoha.
Ya Tuhan, apa mungkin karena aku sehingga Sai tidak datang ke pertemuan tadi pagi. Karena akulah dia kena masalah sekarang ini akibat datang terlambat. Mungkinkah Sai marah padaku karena aku menyebabkan dia dalam kesulitan sehingga sekarang dia membawaku ke sini untuk mengorbankan aku?
Bagaimana ini, aku mau menangis. Aku takut.
Namun, Sai tidak mengucapkan apapun. Sementara orang tadi kembali berujar dengan kesal.
"Berdiri di sini seperti tidak bersalah, huh? Setidaknya berilah hormat dan minta maaf kepada Danzo-sama serta seniormu di eksekutif. Dan sikap menjijikan seperti itu ingin menyebut dirimu eksekutif ke 10? Huh! Kau mempermalukan Yakuza Konoha!"
Masih ada langit di atas langit. Itu yang pantas menggambarkan keadaan saat ini. Selama aku bersama Sai, ku fikir orang ini memiliki kedudukan yang membuat dia menjadi terlihat berkuasa. Tapi saat ini aku mengerti, meski seorang eksekutif, kedudukannya paling rendah di antara orang-orang yang sekarang duduk di sana. Dan entah karena takut atau apa, Sai tidak berdaya untuk membalas. Dia hanya diam mencoba bersikap tegar.
"Dan apa ini? Kau membawa wanita murahanmu ke sini? Tidak tahu malu!"
Aku mengeratkan peganganku pada belakang jas Sai. Jantungku terus berdebar keras dan semakin keras saat menyadari kini aku yang jadi sorotan.
"Jangan katakan alasan terlambatmu karena sibuk bercinta dengan pelacur ini. Kau benar-benar bocah, hah! Kau tidak pantas menyandang gelar eksekutif!"
Tiba-tiba aku merasa kesal. Seenaknya saja orang ini menyebutku murahan, pelacur. Ingin aku memukulnya dan berteriak di depan wajahnya. Tapi ku urungkan itu karena menyadari posisiku dan berakhir hanya dengan memberikan tatapan marah padanya.
"Bukankah harusnya kau tahu, wanita murahan sepertinya tidak pantas berdiri di sini apalagi di hadapan Danzo-sama. Para wanita yang bisa masuk ke ruangan ini hanyalah wanita terhormat yang terpilih yang suatu hari akan dinobatkan menjadi calon Anee-san. Kau tidak bisa membawa sembarangan wanita kotor mainanmu itu masuk ke sini begitu saja,"
Perasaan kesalku memuncak. Aku hampir maju untuk menggampar mulut brengsek orang itu sebelum Sai merentangkan satu tangannya di depanku untuk mencegahku melakukan hal tersebut. Baru sekarang sejak kami memasuki gedung itu Sai menampilkan kembali senyum remehnya. Dan kali ini dia membalas kata-kata orang tadi.
"Dan kau sangat percaya diri bahwa wanitamu bisa menjadi Anee-san masa depan. Yang artinya kau yakin bahwa dirimulah yang akan menjadi pengganti Danzo-sama di masa depan. Jangan-jangan kau juga sudah menyiapkan rencana untuk menyingkirkan Danzo-sama,"
Orang itu langsung gelagapan. Dia menoleh takut pada Danzo dan dengan kuat menggelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa ucapan Sai hanya mengada-ada.
"Brengsek kau Sai! Aku tidak punya pikiran seperti itu. Aku sudah bersumpah untuk melayani Danzo-sama. Kaulah orang yang tidak tahu terima kasih. Aku hanya berkata bahwa wanitamu itu tidak pantas di sini. Aku tidak mengatakan kalau wanitaku yang pantas menjadi Anee-san, tapi paling tidak apa yang aku punyai lebih baik darimu. Heh! Hanya Yakuza rendahan yang menjadikan pelacur sebagai pendamping –––,"
"KURSI KE-9 CUKUP!" bentak seorang laki-laki tua beruban dan berkaca mata yang duduk di sebelah kanan.
Orang itu tampaknya hampir sama tuanya dengan Danzo. Hanya saja dia masih terlihat segar bugar. Wajahnya begitu tegas dan terlihat berpengalaman. Mata orang tua itu sebentar melirik khawatir kepada Danzo. Mataku ikut melihat pada sang pemimpin Yakuza tersebut. Danzo hanya memejamkan mata terlihat tetap tenang, tapi bisa ku lihat tangan kirinya menggenggam tongkat di sampingnya dengan erat. Aku bertanya-tanya, apakah dia marah.
Orang tua tadi kembali melihat pada Sai, aku dan orang yang dipanggilnya kursi ke-9.
"Apa yang kau katakan itu tidak pantas. Apalagi di depan Danzo-sama," ucapnya.
Sang kursi ke-9 hendak protes sebelum orang itu kembali berucap tegas.
"Kursi ke-9 sebaiknya kau kembali ke tempat dudukmu!" perintahnya dan orang itu meski mendengus kesal tapi dia menurut untuk kembali duduk.
"Dan kau, Sai-kun, sebagai seorang eksekutif ke-10 dan anggota yang paling muda, kau harus tetap bersikap hormat kepada senior yang lebih tua darimu,"
Orang tua itu menasehati namun Sai malah melengos membuang muka.
"Lalu apa yang tadi diucapkan kursi ke-9 juga benar. Tidak sepantasnya wanita yang tidak memiliki status jelas denganmu kau bawa ke hadapan Danzo-sama. Semua wanita yang dibawa ke sini adalah mereka yang sudah memiliki status resmi di mata hukum," jelasnya.
Aku melirik ke belakang di mana ada sekumpulan perempuan yang duduk saling berbincang di sofa yang saling menghadap. Sekarang aku paham siapa semua wanita yang duduk di ruangan ini. Mereka adalah para istri Yakuza. Yah, mereka adalah istri di mata hukum. Meski aku yakin para Yakuza ini pastilah memiliki banyak wanita simpanan lain, tapi para wanita yang ada di sinilah yang berstatus sah yang akan mereka bawa di depan publik.
"Ini bukan seperti tempat lainnya di mana kau bebas membawa teman wanitamu begitu saja," lanjutnya lagi.
Aku menunduk. Malu dengan keadaan diriku. Sebenarnya aku ini apa untuk Sai. Dan aku tidak paham maksud dirinya membawaku ke tempat itu. Kalau dia ingin mempermalukanku karena dia marah padaku, rasanya ini tidak sebanding. Aku menyadari betapa rendahnya kastaku saat itu.
"Sudahlah...!"
Suara berat yang asing di telingaku mengalihkan atensi semua orang dari diriku. Aku pun mencoba berani untuk membawa pandanganku melihat ke asal suara. Danzo menyunggingkan senyum.
"Tidak perlu dipermasalahkan lagi," ucap sang pemimpin Yakuza Konoha itu.
"Tapi Danzo-sama ...,"
"Tidak apa," kata Danzo sambil mengangkat satu tangannya mencegah protes orang tua tadi.
"Lagipula aku juga ingin tahu siapa gadis cantik ini," katanya lagi masih dengan tersenyum lembut ke arah aku dan Sai. "Sai tidak akan berani membawa sembarang teman wanitanya padaku. Baru kali ini dia membawa seseorang yang ingin dia kenalkan padaku. Dia pasti begitu istimewa untukmu, Sai,"
Penasaran dengan tanggapan Sai, aku melihat wahajnya dari samping. Tapi pemuda itu mengalihkan tatapannya dari Danzo seolah enggan menanggapi pernyataan tadi.
Danzo melebarkan senyumannya.
"Jadi, siapa namamu, Nak?"
Aku tersentak. Danzo bertanya langsung padaku. Aku langsung tergugup sekaligus takut. Mataku melirik ke kanan-kiri hanya untuk mendapati semua atensi kini sudah terfokus padaku lagi. Aku semakin gemetar takut.
Sai menoleh padaku dan dengan kasar dia menarik lenganku untuk membuatku berdiri sedikit di depannya. Sekarang seluruh diriku tidak lagi tersembunyi dan ini membuat semua orang di sana semakin jelas melihatku. Nafasku tersengal-sengal. Aku benar-benar takut. Pengalamanku setiap berhadapan dengan para Yakuza selalu meninggalkan memori yang buruk.
"Ya?" Danzo meminta jawaban.
Aku melihat pada Sai dan dia hanya mengedikkan kepalanya memerintahkanku untuk menjawab. Benar-benar tidak membantu.
Aku pun memberanikan diriku mengeluarkan suara.
"Ya-Yamanaka I-Ino,"
Orang-orang yang lain mengangkat alis mereka tampak sedikit terkejut. Sedangkan Danzo tertawa.
"HAHAHA... Kursi ke-9 pasti menyesal mengatakan kau wanita sembarangan. Mereka pasti tahu seorang Yamanaka tidak bisa disebut sembarangan. Hahaha...,"
Entah itu ejekan, sindiran atau apa. Aku tidak peduli. Yang aku ingin saat itu adalah segera pergi dari tempat tersebut. Mereka memang tidak melakukan hal buruk padaku seperti para Yakuza yang sebelumnya pernah ku temui, tapi tatapan itu sangat mengintimidasi dan membuatku tidak nyaman.
"Kemarilah, Nak!"
"Eh?!"
Aku terperanjat kala Danzo memanggilku untuk mendekat.
"Kemarilah! Duduk di sini!" pintanya sambil menepuk tempat kosong di sampingnya.
Semua orang di sana pun tidak kalah terkejutnya denganku ketika Danzo memintaku duduk di sana. Beberapa orang tidak bisa menutupi betapa tidak mengerti dan tidak terimanya mereka.
"Kemarilah! Tidak apa...," bujuknya lagi.
"Ta-tapi... Sai...,"
Aku menoleh padanya berharap dapat bantuan tapi lagi-lagi hanya mendapat endikan kepala yang menyuruhku untuk menurut.
Aku putus asa. Apa Sai sengaja ingin mengumpankan aku pada pemimpin Yakuza. Aku tidak mau.
"Tidak apa. Tidak perlu takut," ucap Danzo mencoba menenangkanku yang berefek sebaliknya, aku semakin takut.
"Tenang saja, selama ada aku di sini tidak akan ada seorang pun yang berani menyakitimu,"
Hoi ada apa dengan orang-orang ini, Danzo tidak bedanya dengan Sai, mereka tidak sadar kalau hal paling ditakutiku adalah diri mereka sendiri.
Akhirnya aku pun memberanikan diri mendekat. Berjalan perlahan sampai akhirnya aku duduk di samping sang pemimpin Yakuza.
Aku menunduk dan mengepalkan kedua tanganku di atas paha, mencoba mengurangi gemetar di tubuhku. Nafasku masih memburu, jantungku berdebar tak menentu. Apa yang akan dilakukan orang berkedudukan paling tinggi di dunia bawah Konoha ini padaku? Aku hampir tak kuasa menahan tangis. Namun, Danzo tetap memandangku dengan senyuman lembutnya.
"Yamanaka Ino," ucapnya.
Jantungku hampir berhenti berdetak.
"Boleh aku memanggilmu, 'Ino'?" tanyanya dengan sopan.
Aku perlahan mengangkat wajahku untuk membalas tatapan hangat mata tua itu. Saat tatapan kami bertemu, semua rasa takut itu hilang. Melihat wajah Danzo yang tersenyum padaku membuat perasaanku menghangat. Perasaan itu tampak tak asing bagiku. Rasanya seperti sedang duduk di samping Ayah.
"I-Iya," jawabku.
Danzo terlihat lega karena aku menjawabnya. Orang itu tidak terlihat seperti Yakuza berbahaya meski beliau adalah pemimpinnya. Aku teringat ucapan Sai dulu; Yakuza berkedudukan tinggi tidak akan menunjukkan sikap superior, sebaliknya mereka tidak akan menunjukkan aura apapun sampai orang menyadarinya sendiri bahwa mereka adalah Yakuza. Dan Danzo memang seperti itu. Dia tampak baik dan lembut, namun dari penampilannya kini bisa menunjukkan betapa banyak pengalamannya selama ini memimpin dunia bawah.
"Jadi, kau seseorang yang selama hampir satu tahun ini tinggal bersama Sai?" tanyanya.
Aku terperangah tidak menyangka Danzo mengetahui fakta itu. Apa Sai bercerita padanya? Aku melihat pada pemuda yang kini sudah duduk di samping orang yang tadi berdebat dengannya, tapi Sai seolah tidak mendengar pertanyaan Danzo tadi. Aku gelagapan tidak tahu harus menjawab atau tidak. Aku takut salah ambil langkah. Tampaknya Danzo menyadari kegelisahanku.
"Para eksekutifku, kalian bisa pindah sementara ke ruangan lain dulu. Aku ingin bicara berdua dengan Ino," perintahnya pada orang-orang yang disebut eksekutif itu.
"Tapi Danzo-sama –––,"
"Rapat kalian tadi pagi tidak lengkap karena Sai tidak hadir, kan. Kalian bisa membicarakan ulang materi rapat tadi dengan Sai. Torune akan ikut dalam rapat kalian sebagai wakilku," Danzo menunjuk seseorang yang mengenakan kacamata hitam yang duduk agak jauh di sampingnya.
Perintah Danzo memotong protes seseorang yang duduk tidak jauh dariku. Orang itu dan kesembilan lainnya tampak tidak puas, tapi mereka semua beranjak berdiri dan pindah ke ruangan sebelah. Sai ikut bersama mereka. Dia sempat melihat padaku sebelum pergi.
Kini hanya kami berdua di sana. Danzo masih memandangku sambil terus tersenyum. Aku kembali menunduk menyembunyikan wajahku. Merasa gugup dan salah tingkah. Tidak tahu apa yang ingin dibicarakannya denganku dan itu membuatku sangat khawatir.
"Luka itu, apa Sai yang melakukannya?" tunjuknya ke wajahku.
Refleks langsung ke pegang pipiku yang memar dan membiru. Meski ingin menjawab 'Ya', tapi aku tidak berani mengatakannya.
Danzo menghela nafas panjang.
"Aku minta maaf," ucapnya yang berhasil membuatku mengangkat wajahku untuk melihat padanya.
"Ti-tidak. A-Anda ti-tidak perlu meminta maaf. A-Anda... Anda kan tidak melakukan apapun pada saya," kataku merasa tidak enak.
Benar, rasanya aneh untuk seorang pemimpin meminta maaf atas perbuatan anak buahnya. Tapi bisa ku rasakan bahwa kata-kata itu tulus.
"Itu tidak benar. Aku memang harus meminta maaf karena akulah yang sudah membuat anak itu jadi seperti ini,"
Mata tua Danzo terlihat menyendu. Aku tidak dapat mengartikannya, tapi tampaknya ada perasaan bersalah di sana.
"Sai itu, sejak kecil dia tidak pernah tahu seperti apa kehidupan orang normal. Dan salahku yang membawanya semakin masuk ke dalam kegelapan. Saat itu aku hanya melihat seorang anak yang penuh dengan potensi. Sehingga aku tidak ingin membiarkannya sia-sia. Oleh karena itu aku membawanya bersamaku dan membesarkannya menjadi seorang Yakuza. Sekarang terbukti, seperti yang kau lihat, meski usianya masih muda, dia sudah duduk di kursi yang sama dengan para eksekutif lainnya. Sejujurnya aku bangga, tapi aku juga sadar kalau dia hanyalah seorang remaja. Beban yang ku berikan padanya sangat berat. Anak seusianya pastilah ingin bebas bermain dengan teman-temannya. Tapi Sai selalu sendiri sejak kecil. Dia tidak pernah bisa mengerti bagaimana berhubungan dengan orang lain. Itulah mengapa cara bicaranya kasar dan sifatnya tidak bersahabat. Tapi aku percaya jauh dalam dirinya pasti dia memiliki rasa kasih sayang. Hanya saja, dia tidak pernah tahu itu karena sejak kecil tidak pernah merasakannya langsung. Andaikan aku bisa menunjukkan padanya seperti apa itu kasih sayang. Sayangnya aku juga bukan orang yang mengerti perasaan itu,"
Tiba-tiba aku tertarik untuk ikut masuk dalam pembicaraan ini begitu Danzo mulai menyinggung masa kecil Sai. Ada banyak pertanyaan yang mulai bermunculan di kepalaku. Dan rasanya sudah tak tahan lagi untuk meledakkannya keluar.
"Ma-ma-maaf Danzo-sama... bo-bolehkah aku bertanya?" tanyaku ragu-ragu.
"Yah, silahkan," ucapnya lembut membuat aku sedikit tenang.
"Se-sebenarnya... di manakah... orang tua Sai?"
Danzo tersentak mendapat pertanyaan itu dariku, namun dia kembali bersikap tenang. Pandangannya menatap ke depan melewati tirai tipis transparan yang menunjukkan jelas ruangan di depan. Bisa ku lihat beberapa orang melihat ke tempat kami dengan tatapan penasaran. Tampaknya banyak dari mereka yang tidak percaya melihat Danzo bercakap-cakap santai dengan seorang gadis remaja yang notabennya adalah wanita bawaan Sai, orang yang mereka tidak sukai. Mungkin setelah ini perasaan benci mereka pada Sai akan semakin bertambah.
Danzo kembali membuka suara.
"Ibu Sai sudah meninggal saat Sai baru berusia 10 tahun,"
Aku tercekat. Jadi sama sepertiku yang ditinggal ibu saat masih kecil. Dadaku sesak, bisa ku bayangkan betapa sedihnya kehilangan seorang ibu di usia itu. Lalu aku terfikirkan, bagaimana dengan ayahnya. Hampir aku bertanya sebelum Danzo melanjutkan bercerita.
"Ibu Sai adalah seorang wanita malam yang bekerja di klub Tsukuyomi,"
Ah! Untunglah aku tidak bertanya. Kalau begitu keadaannya, jangankan Sai, mungkin ibunya pun tidak tahu siapa ayah dari bayinya. Aku merasakan semakin sesak di dadaku. Mataku mulai berkaca-kaca. Merasa bersyukur atas kehidupan yang ku miliki di mana aku masih memiliki seorang ayah.
"Sekarang ku berikan klub itu untuknya karena sejak dulu itu adalah rumahnya,"
Ku kerutkan kening merasa tak paham ucapan Danzo. Orang tua itu kembali melanjutkan ceritnya.
"Sejak kecil, karena pekerjaan ibunya di klub tersebut, Sai dan ibunya tinggal di sana. Di ruangan kecil di lantai dua klub. Kamar yang tidak memiliki jendela,"
Aku mengingatnya, ruangan itu, ruangan di mana aku pernah disekap sebelumnya. Jadi, Sai pernah tinggal di sana. Memoriku pun mengulang ucapan Sai waktu itu; "Kau fikir aku mau kembali tinggal di ruangan busuk itu?"; jadi maksudnya dia tidak ingin kembali ke ruangan yang meninggalkan cerita sedih masa lalunya.
"Dia akan meringkuk di dalam kamar itu menunggu ibunya kembali,"
Aku mengerti perasaan itu. Sendirian dalam ruangan kecil dan berharap seseorang akan segera datang. Rasanya sangat menyesakkan.
"Lalu... apa yang terjadi pada ibunya? Bagaimana... bagaimana hidupnya bisa berakhir?" tanyaku.
Aku merasa aneh karena Danzo tiba-tiba menunduk. Sepertinya dirinya pun berat untuk menceritakan akhir hidup dari ibu Sai.
"Beberapa pelanggannya menyiksanya hingga dia kehilangan nyawa,"
Aku memekik. Langsung ku bekap mulutku dengan kedua tanganku. Sungguh menyesal mendengar cerita ini. Bagaimana akhir kisah seseorang begitu sangat menyedihkan. Kehidupannya sudah sangat berat dan mengapa harus juga berakhir dengan sangat ironis. Dan Sai, bagaimana perasaannya saat itu. Pastilah dia sangat hancur.
"Lalu Sai... apa... apa dia... tahu?" tanyaku.
Danzo mengangguk.
Tubuhku langsung lemas. Hidup ini sangat kejam dan sangat tidak adil. Pasti itulah yang difikirkan Sai.
"Tenang saja,"
Suara Danzo membuatku kembali dari fikiranku. Wajah orang itu tak lagi menyendu seperti tadi, sebaliknya dia tersenyum penuh dengan kebanggaan yang membuat aku penasaran apa maskudnya.
"Tenang saja karena Sai sudah membalaskan dendam ibunya,"
"Eh?! Membalas dendam? Maksudnya?"
Danzo semakin melebarkan senyumnya. Entah mengapa tubuhku sedikit bergidik melihat wajah keriput yang juga penuh goresan luka itu.
"Malam setelah pemakaman ibunya, Sai membunuh ketujuh orang yang sudah menyiksa ibunya itu hanya dengan sebuah pisau dapur,"
Mataku terbelalak ngeri.
"Ya, anak usia 10 tahun dengan tanpa menunjukkan emosi apapun, dia membunuh tujuh orang dewasa dengan tangannya sendiri. Itulah kenapa aku tertarik menjadikannya Yakuza,"
Aku menggelengkan kepalaku. Pemandangan yang untuk membayangkannya saja aku tidak sanggup. "Karena aku sudah pernah melihat hal yang lebih mengerikan dari ini," ; lagi-lagi memori ucapan Sai terngiang dalam kepalaku. Sai sudah mengalami banyak hal sulit bahkan saat usianya masih sangat kecil.
"Saat itu juga aku membawanya bersamaku. Melatihnya dibawah bimbingan para bawahan terbaikku. Dia sangat cemerlang bahkan mampu melampaui mereka. Ku berikan dia tempat di organisasiku. Ku jamin kehidupannya. Ku penuhi kebutuhannya bahkan lebih dari yang dia butuhkan. Tapi lagi-lagi aku keliru. Sai adalah anak yang labil. Yang dia butuhkan bukanlah pelatihan, kekuatan, harta ataupun kemewahan. Yang dia butuhkan adalah kehidupan. Kehidupan yang sesungguhnya yang bisa membuatnya bahagia. Heh! Sayang sekali, aku bahkan tak pernah melihat dia tersenyum tulus,"
Aku mengerti Sai sudah menjalani kehidupan yang keras. Dia juga tidak pernah menunjukkan emosinya dengan benar. Bahkan sering sekali mendapatinya menatap kosong memandang sesuatu yang jauh yang tampaknya tak pernah dapat dijangkau. Terkadang dia bisa menjadi manusia berdarah dingin yang dengan mudahnya melakukan kekejaman. Tapi jauh dalam diri Sai terdapat banyak kelembutan. Terbukti sentuhan kuasnya pada kanvas putih menghasilkan banyak karya yang indah. Pandangan matanya saat menatap pemandangan yang dilukisnya begitu tenang. Dan soal senyuman tulusnya, aku tidak tahu seberapa ketulusan yang dia berikan saat tersenyum memandang hasil lukisannya yang sudah dia selesaikan dengan sempurna dan saat dia memandangnya penuh bangga ketika pada akhirnya dia dapat menggantungnya di dinding.
"Aku masukan dia ke KMS berharap agar dia bisa belajar dan memiliki teman yang sebaya. Tapi bisa ku tebak di KMS pun dia tidak punya teman, kan?"
Danzo menunjukkan betapa sangat menyesal dirinya telah membawa Sai masuk sangat jauh. Aku merasa tidak tega melihat orang yang awalnya terlihat menyeramkan itu kini tampak begitu bersedih.
"Mungkin aku salah bila menganggap di dunia ini ada hal yang bisa membuat Sai bahagia...,"
"Anda tahu Sai suka melukis?"
Danzo menoleh mendengar pertanyaan tersebut dariku. Matanya yang tidak ditutupi perban itu menampilkan ekspresi bertanya.
"Melukis?" tanyanya balik.
"Uhm, Sai sangat suka melukis pemandangan. Beberapa kali kami pergi berkemah untuk menemani Sai mencari pemandangan bagus yang bisa jadi objek lukisannya,"
Wajah Danzo semakin menunjukkan ketidak percayaan atas ceritaku.
"Berkemah?" ucapnya terkejut.
"Ya," jawabku.
"Sai berkemah?" ulangnya.
Aku tersenyum, mengerti bahwa hal tersebut adalah informasi baru untuk Danzo. Dan dapat dilihat bahwa sang pemimpin Yakuza Konoha itu tampak tertarik.
"Ya. Bahkan sekarang dia sudah bisa memasang tenda dan membuat api unggun," ujarku.
Danzo tertawa, tapi dari balik tawa itu bisa ku rasakan perasaan terharu dan bahagia yang luar biasa. Sebenarnya agak ganjil karena Danzo sangat menyayangi Sai. Aku hanya bisa menduga mungkin hal inilah yang menyebabkan Sai begitu dibenci. Namun, aku tak ingin terlalu ikut campur untuk hal itu. Di sini, aku hanya ingin meringankan perasaan orang tua yang sudah berbagi cerita menyedihkannya padaku. Kali ini biar aku membagi cerita menyenangkan padanya.
"Beberapa kali kami juga pergi tamasya ke kota lain. Dan terkadang kami hanya berkendara berkeliling Konoha," lanjutku bercerita.
Danzo mendengarkan dengan seksama. Dia terlihat begitu tertarik mendengar ceritaku.
"Anda tahu," kataku. "Sai itu berkata bahwa dirinya yang menguasai jalanan Konoha, tapi nyatanya dia tidak hafal tempat-tempat di Konoha,"
Danzo kembali tertawa.
"Tapi setelah kami sering berkeliling kota, dia akhirnya hafal setiap jengkal daerah kekuasaannya itu,"
Danzo terus melebarkan senyumannya. Wajah keriput itu kini terlihat lebih segar dan bahagia. Tiba-tiba dia menempatkan tangan kanannya di atas tanganku. Dia menepuknya pelan.
"Ino," ucapnya. "Maukah kau ceritakan lebih banyak lagi hal tentang Sai?"
Permintaan itu membuatku terkesiap. Orang ini ingin tahu lebih banyak tentang Sai. Aku pun membalasnya dengan senyuman.
"Tentu," jawabku.
Malam itu aku menceritakan hal-hal biasa yang dilakukan Sai terutama saat kami pergi berlibur. Banyak hal lucu yang bisa aku ceritakan pada Danzo karena sebenarnya Sai itu terkadang bisa sangat polos.
Hari-hari selanjutnya bila ada pertemuan eksekutif dengan Danzo, beliau selalu meminta Sai untuk tidak lupa membawaku serta. Setelah pertemuan selesai, itulah giliranku duduk di samping Danzo untuk bercerita tentang hari-hariku bersama Sai.
Tentu saja hal itu mengundang banyak rasa iri terhadapku, terutama dari mereka para istri sah Yakuza yang biasa ikut hadir dalam pertemuan itu. Mereka sangat tidak mengerti bagaimana aku bisa duduk dengan santainya di samping seorang pemimpin organisasi terbesar di Konoha itu. Apalagi mengingat aku hanya seorang gadis SMA yang tidak punya status sah dengan Sai, sedang mereka yang bisa bersanding dengan para elit Yakuza adalah para wanita terhormat.
Meski begitu, para wanita itu sangat hebat. Aku bisa mengerti mengapa mereka bisa dipilih untuk menjadi pendamping, karena mereka wanita-wanita elegan yang sangat pintar. Walau perasaan iri tidak bisa dipungkiri, namun cara mereka bersikap begitu tertata rapih. Mereka pandai menyembunyikan emosi dan bisa menjaga sikap agar tidak menjatuhkan reputasi ataupun harga diri mereka. Aku sangat mengagumi orang-orang itu dan sedikit banyak aku belajar dari mereka untuk menjadi wanita yang tidak dipandang remeh oleh laki-laki.
"Kau tahu Ino," Danzo berkata padaku.
Kali itu adalah ketiga kalinya aku duduk di samping Danzo menemaninya berbincang setelah pertemuan eksekutif selesai. Saat itu Sai turut ikut duduk di sampingku dengan santai meminum-minumannya tanpa menunjukkan keseganan ataupun sikap hormat pada sang pemimpin yang duduk di sofa yang sama. Bahkan pemuda itu tidak sekalipun memandang ke arah Danzo, sebaliknya dia melihat ke arah lain.
Danzo melanjutkan penuturannya.
"Apa yang paling dibutuhkan untuk dimiliki seorang Anee-san?"
Pertanyaan itu membuatku kembali mengingat kata-kata sang kursi kesembilan saat pertama kali aku datang ke tempat ini.
"Kehormatan?" jawabku ragu.
Danzo tersenyum.
"Bagaimana seseorang bisa menjadi terhormat?" tanyanya lagi padaku.
Aku mencoba memikirkan jawaban yang benar.
"Dia harus cerdas, kaya raya, elegan, mungkin...," jawabku sambil melihat para wanita Yakuza yang jauh di sana.
Danzo sedikit tertawa.
"Anee-san adalah seorang wanita yang berdiri disamping sang pemimpin Yakuza. Memang benar apa yang pernah kau dengar bahwa wanita yang pantas menjadi seorang Anee-san bukanlah wanita sembarangan. Tapi maksud bukan sembarangan itu tidak merujuk pada kecerdasan, kekayaan, ataupun berasal dari keluarga terhormat. Seorang Anee-san di sini tidak boleh menujukkan kekuasaan ataupun sikap memimpin. Itu adalah tugas sang ketua Yakuza itu sendiri. Tugas seorang Anee-san adalah 'menjaga',"
"Menjaga?" aku mengerutkan kening tak mengerti.
Danzo mengangguk sebelum menjelaskan.
"Dia harus mampu menjaga keutuhan organisasi dengan menjadi tempat mediasi. Menjaga para anggota Yakuza yang lain seperti menjaga anak-anaknya sendiri sehingga mereka bisa berada dalam satu jalur yang sama. Tempat untuk memberikan ketentraman bagi para bawahan dan menyatukan mereka dalam satu lingkaran kekeluargaan. Semua itu hanya bisa dilakukan oleh seorang wanita yang hebat,"
Aku sedikit membayangkan memang pastilah wanita seperti itu sangatlah hebat bisa menyatukan orang-orang berbeda visi untuk mencapai tujuan yang sama.
"Jadi menurut Anda, apakah mereka-mereka itu memiliki semua karakter tersebut?" tunjukku pada para wanita yang jauh di sana.
"Entahlah. Tidak ada dari mereka yang pernah menduduki posisi itu, maka potensinya tidak dapat ku lihat dengan pasti," jawabnya.
Tentu saja, jadi seperti seorang ibu bagi para anggota Yakuza itu bukanlah hal yang bisa begitu saja dilakukan. Wanita sehebat apapun itu rasanya akan sulit bila dasarnya mereka tidak memiliki kharisma itu.
"Jujur saja aku merasakan keretakan dalam kepemimpinanku karena aku tidak memiliki pendamping di sisiku," kata Danzo lagi.
Sesuatu mengusik pikiranku.
"Kenapa Anda tidak menikah?" tanyaku sebelum aku sadar tidak seharusnya bertanya seperti itu.
"Eh, maaf aku lancang," ujarku lagi.
Danzo mengusap kepalaku dan dia tersenyum.
"Karena wanita yang aku cintai sudah tidak ada di dunia ini," jawabnya.
"Eh! Anda pernah jatuh cinta?" tanyaku sangat tidak percaya.
Danzo terkekeh.
"Tentu saja, tapi hanya sekali itu,"
Sekilas aku melihat sebelah mata Danzo yang tidak ditutupi perban mengerling pada Sai yang sama sekali tidak sedikit pun melihat ke arahnya. Tapi kemudian dia kembali tersenyum padaku.
Aku tidak menyangka bahkan seorang Danzo pernah jatuh cinta. Mataku melirik pada pemuda di sampingku yang masih mengedarkan pandangan ke tempat lain asal bukan ke arah Danzo. Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan saat itu hanya saja rasanya ada sesuatu yang mengusikku.
"Ino!" panggil Danzo membawaku kembali melihat padanya.
Danzo memintaku mendekat padanya, aku pun menurut. Kemudian dia berbisik tepat di telingaku.
"Apa kau mencintai Sai?" tanyanya yang sukses membuatku tersentak.
Pertanyaan yang jawabannya sangat mudah ku jawab. Tentu saja 'tidak'. Aku membenci Sai. Aku sangat membenci pemuda itu. Dia yang sudah menghancurkan hidupku. Dia yang merenggut segalanya dariku. Dia yang menjeratku, menjadikanku tawanan dan dia menyiksaku bukan hanya lahir tapi juga batin. Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada orang sebejat itu. Jadi semuanya jelas, aku tidak mencintai Sai. Ya, aku tidak mencintainya.
Tapi aku tidak mengatakannya. Aku hanya memaksakan diri tersenyum untuk merespon pertanyaan Danzo dan kemudian menunuduk.
Kenapa aku tidak bisa mengatakannya? Tidak, bahkan pertanyaan tadi semakin mengusikku. Apa mungkin jawabannya memang seperti itu? Bila aku pikirkan lagi rasanya aku sendiri tidak yakin jawabannya. Apa itu 'cinta'? Definisinya semakin samar bagiku.
Dulu aku menyukai Sasuke karena dia tampan. Tapi saat Sasuke menghilang, aku tidak apa-apa. Aku juga sangat mengagumi Indra senpai dan aku bahkan pernah berkata bahwa aku mencintainya. Aku juga menangisi kematiannya. Dan Sai ...
Aku tertawa dalam hati. Kenapa pula aku harus pusing-pusing memikirkannya. Posisiku sekarang sudah jelas. Aku hanya tawanan, jaminan hutang ayahku. Bila suatu hari hutang ayahku sudah lunas atau Sai sudah bosan denganku, maka semuanya pun berakhir. Sekarang aku hanya perlu menjalani hidup seperti biasa disamping pemuda itu sambil menunggu saatnya tiba di mana kami akan mengambil jalan terpisah. Yah, tidak perlu repot-repot memikirkan cinta bila hubungan yang kami punya ini memiliki batas waktunya.
Danzo menepuk pundakku membuatku kembali melihat padanya.
"Maukah kau berjanji pada orang tua ini, Ino?" pintanya.
Dia memandangku dengan penuh keseriusan sebelum kembali berujar.
"Tetaplah di sisi Sai apapun yang akan terjadi nantinya,"
Permintaan tersebut aku tak mampu mengiyakan karena aku sangat tahu bukan aku yang bisa menentukan, tapi Sai dan waktu itu sendiri.
Benar saja, pada saatnya pasti tiba juga waktunya semua itu akan berakhir. Aku tidak akan bisa terus bersama Sai. Itulah kenyataannya.
Suatu senja di jalan pulangku dari KMS, di halte bus yang tidak jauh dari sekolah, aku mendapati seseorang yang bagiku terkesan janggal karena berada di sana. Sang kursi ke-9 seperti sengaja berada di sana menunggu seseorang. Aku ingin pura-pura tidak melihatnya dan melewatinya begitu saja sebelum kemudian dia menyapaku.
"Hoi Yamanaka!" panggilnya.
Aku tidak menoleh dan terus saja berjalan.
"Kau mau mengabaikanku, hah? Sangat tidak sopan," ucapnya.
Aku pun menghentikan langkahku dan dengan enggan menanggapinya.
"Kalau kau mencari Sai, dia tidak masuk sekolah hari ini," ujarku.
Hari itu adalah hari bebas bagi siswa Excellence yang telah menyelesaikan satu projek. Biasanya mereka mendapat jatah libur untuk istirahat mengingat selama mengejar deadline penyelesaian projek mereka, bahkan banyak yang sampai bergadang dan tidak bisa pulang ke rumah. Meskipun seperti yang diketahui gedung Excellence dilengkapi dengan asrama yang mirip kamar hotel sehingga tidak sulit untuk para siswa menginap di sekolah.
Di hari bebas seperti itu sudah pasti Sai tidak ada di sekolah dan mengingat waktu sudah mendekati petang, pastilah sekarang pemuda itu sedang berada di klub Tsukuyomi. Aku hanya menduga kedatangan kursi ke-9 ke tempat ini pastilah ingin menemui Sai sehingga aku mengatakan hal tersebut. Tapi anehnya dia malah tertawa.
"Aku tidak mencari Sai," ucapnya. "Kaulah yang ingin ku temui,"
Perkataannya berhasil membuatku berbalik menghadapnya dan dia tersenyum puas.
"Maaf?" kataku.
"Ya, aku mencarimu Yamanaka," ujarnya.
"Hah? Aku tidak merasa punya urusan apapun denganmu,"
Aku tidak mengerti alasan dia ingin menemuiku bahkan sampai menungguku di sini. Karena dia datang seorang diri, aku pikir dia tidak terlalu bahaya.
Dia melangkah mendekatiku.
"Memang kita tidak pernah memiliki urusan apapun sebelumnya, lalu... kenapa kita tidak bisa memiliki urusan di masa depan nanti?"
Dia meletakkan satu tangannya di pundakku yang dengan kasar langsung ku tampik.
"Maaf saja aku tidak berniat untuk berurusan denganmu," kataku.
"Hooh... Kenapa? Kau takut pada Sai?"
Dia terkekeh.
"Aku tidak mengerti kenapa kau dan banyak wanita lain begitu menginginkan Sai. Apakah kalian semua hanya tergila-gila ketampanannya saja,"
Aku mengerutkan keningku, tidak mengerti akan dibawa kemana pembicaraan ini.
Tangan nakalnya kembali dia kalungkan di bahuku. Aku berusaha menghempaskannya namun dia mengeratkan rangkulannya padaku. Aku pun hanya bisa melirikkan mata tajam padanya.
"Asal kau tahu saja, Sai itu tidak memiliki apa pun. Di antara para eksekutif, dialah yang paling tidak berharga. Aset yang dimilikinya hanya klub Tsukuyomi dan apartemennya. Itu pun Danzo-sama yang memberikannya padanya. Berlagak sok menjadi penguasa dunia balap jalanan. Hah! Memangnya apa yang dia dapat dari dunia balap jalanan, tidak ada. Pemasukannya hanya berasal dari klub Tsukuyomi dan penjualan obat-obatan. Berbeda dengan kami, para eksekutif yang lain, kami memiliki usaha kami sendiri yang banyak memberikan keuntungan untuk organisasi. Sai, dia menyebut dirinya eksekutif, tapi dia tidak ada bedanya dengan para anggota rendahan. Bahkan bagiku dia lebih rendah lagi. Karena kau tahu, darah yang mengalir di nadinya itu adalah darah dari seorang pelacur,"
Aku membuang wajahku ke samping. Muak rasanya mendengar kata-kata orang ini yang tanpa mengerti apapun dan hanya bisa mencemooh.
"Wah, apa itu? Kau tidak terkejut. Jadi kau sudah tahu latar belakang Sai, hum? Danzo-sama pastilah memberitahumu,"
Kembali ku layangkan lirikan benci padanya.
"Dengar Yamanaka, kenapa kau tidak tinggalkan saja Sai dan menjadi milikku," ucapnya.
Aku terkejut akan kata-katanya selanjutnya. Apa-apaan ini? Pikirku.
Satu tangan orang itu terangkat untuk mengelus pipiku. Aku merasa terhina akan ucapan dan perlakuan darinya.
"Bersamaku kau akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Dan aku akan memberikanmu lebih banyak hal yang Sai tidak bisa berikan padamu. Kehidupanmu akan terjamin bersamaku,"
Ah, sekarang aku paham apa maksud orang ini. Kedekatanku dengan Danzo tampaknya menjadikan diriku sebuah senjata yang ampuh untuk meraih kekuasaan di masa depan nanti. Mungkin bagi mereka memiliki aku di pihak mereka akan memberikan keuntungan. Tanpa mereka tahu yang sebenarnya, alasan aku bisa dekat dengan Danzo adalah karena sang pemimpin Yakuza itu begitu menyayangi Sai. Dan aku adalah orang yang saat ini paling dekat dengan Sai.
"Bagaimana? Menarik kan? Aku memiliki lebih banyak harta ketimbang Sai. Aku juga lebih memiliki pengaruh dibandingkan Sai yang hanya jadi penguasa jalanan. Menjadi wanitaku kau tidak akan kekurangan apapun. Kau bisa menikmati hidup yang lebih mewah," ujarnya lagi.
Kali ini aku tertawa. Benar-benar lucu. Selama ini ku pikir kata-kata Sai sudah sangat merendahkanku. Tapi kata-kata orang ini begitu menjijikan. Dia kira aku ini wanita seperti apa.
"Lalu, mau kau jadikan aku apa? Simpananmu?" ucapku sinis.
Aku tahu orang ini sudah beristri. Kalau dia menginginkanku jadi wanitanya, maka satu-satunya adalah menjadi simpanan.
Dengan kasar aku hempaskan rangkulan tangannya di pundakku. Dengan nyalang ku berkata.
"Maaf saja, aku tidak sudi!"
Aku pun bergegas berbalik dan siap pergi sebelum orang itu kembali membuka suara.
"Memangnya yang sekarang kau lakukan dengan Sai itu apa? Kau juga wanita simpanannya, kan. Dia tidak benar-benar menjadikanmu kekasihnya apalagi berniat menjadikanmu istrinya. Jangan naif!" teriaknya.
Aku berusaha mengabaikannya, namun orang itu tak berhenti di sana.
"Asal kau tahu saja ada hal yang tidak Sai beritahukan padamu. Dan saat kau tahu, kau akan langsung meninggalkannya,"
Langkahku berhenti dan menoleh.
"Apa maksudmu?" tanyaku penasaran.
Dia mengeluarkan amplop cokelat dari balik jasnya. Amplop tersebut sepertinya berisikan beberapa berkas. Dia melambai-lambaikan amplop itu.
"Apa yang ada di dalamnya akan membuatmu berpikir ulang. Dan aku yakin tidak butuh waktu lama untukmu pergi meninggalkan Sai," dia tersenyum licik.
Dengan ragu ku ambil amplop coklat tersebut. Meski ingin tahu, tapi aku khawatir akan isinya.
"Ini ––,"
Aku tercekat setelah membaca isinya.
"Heh! Sekarang sudah tidak ada alasan lagi bagimu untuk tetap bersamanya,"
Kepalaku menggeleng. Bagaimana mungkin Sai tidak memberitahuku hal ini? Bagaimana mungkin dia terus menutupinya dariku?
.
Segera saja aku menghampirinya di klub Tsukuyomi. Tanpa perduli kalau aku masih mengenakan seragam KMS, dengan langkah terburu aku memasuki klub. Para penjaga sudah mengenaliku sehingga meski dengan seragam pun aku diperbolehkan masuk. Langsung ku susuri lantai satu klub untuk menemui keberadaan pemuda itu.
Tidak butuh waktu lama untuk menemukannya. Sai duduk di sofa panjang di ujung ruangan bersama para anak buahnya yang lain. Tampaknya mereka tengah asik bermain poker. Aku mendengus jenuh melihat hal yang seperti biasanya, dua wanita duduk di kanan-kiri dan terus menempel padanya. Satu wanita bergelayut manja sambil menempelkan dada besarnya pada lengan Sai. Pandangannya lurus menatap wajah pemuda itu minta perhatian. Sementara yang satunya lagi menempatkan dagunya di bahu Sai pandangannya ikut melihat pada kartu-kartu di tangan pemuda tersebut. Sementara itu sang pemuda begitu fokus pada permainannya hingga dia mengabaikan semua godaan mereka.
"Hahaha... kena kau, Foo. Jangan fikir kau bisa mengalahkanku," ucap Sai semangat sambil melempar satu kartunya.
"Sai!" panggilku menginterupsi permainannya.
Dia mengangkat wajahnya dan menatap penuh tanya mendapatiku di sana. Begitupun dengan para anak buahnya yang semua ikut menoleh padaku. Bisa ku lihat para wanita di kanan-kiri Sai mulai menjauhkan diri mereka dan menunjukkan ekspresi kesal yang tiada tara begitu tahu yang datang adalah diriku.
"Kenapa kau ke sini?" tanyanya, tapi kemudian dia kembali fokus pada kartu-kartu di tangannya.
"Ada yang ingin ku bicarakan," jawabku.
"Tunggu saja di rumah. Nanti aku pulang," katanya tanpa melihatku.
Tangannya mengambil satu kartu dari tumpukan kartu di meja.
"Aku ingin bicara sekarang," ucapku tenang mencoba menjaga kesabaranku.
"Kau tidak lihat aku sedang apa. Ini sedang sangat tanggung. Kalau mau, tunggu aku selesai," katanya lagi masih saja tidak memperdulikanku dan meneruskan bermain.
"Tidak bisa Sai. Aku Ingin Kita Bicara Sekarang Juga!" ujarku penuh penekanan.
Aku sampai mengepalkan genggaman tanganku mencoba menahan diri agar tidak meledak marah.
"Jangan merusak konsentrasiku, Ino. Aku sudah hampir menang. Jangan ganggu aku hanya karena masalah sepelemu," dia sibuk memilih-milih kartu di tangannya.
"Ini bukan masalah sepele. Ini penting, Sai," tegasku lagi berharap pemuda itu mengerti.
"Taro-san, sekarang giliranmu,"
Dia mengabaikanku dan terus dengan santainya bermain. Sungguh membuatku tak mampu lagi untuk menahan diri agar tidak marah.
"Sai!" panggilku.
"Hahaha... bukan langkah yang bagus Taro-san,"
Lagi, dia mengabaikanku.
"SAI!" ku tinggikan volume suaraku, tapi...
"Lihat ini! Apa kalian bisa mengejarku?"
Cukup. Tak mampu lagi aku menahannya. Habis sudah kesabaranku.
'Sraaak!'
Ku lemparkan begitu saja amplop cokelat yang tadi aku terima dari kursi ke-9 di atas meja yang penuh kartu membuat kartu-kartu itu berantakan.
Sai dan semua orang yang duduk di sana tersentak saat amplop tersebut mendarat di sana.
"Apa maksudnya ini?!" tanyaku dengan nada tinggi.
Manik hitam Sai melihatku sebentar sebelum kemudian kembali melihat pada amplop.
"Apa ini?" katanya bingung sambil mengambil amplop tersebut yang kertas-kertas berkas di dalamnya sudah menyembul keluar.
Mata itu membelalak lebar tat kala mengetahui isinya.
"Ini...,"
Dia melambaikan berkas tersebut sambil matanya beralih melihatku dengan pandangan ingin tahu.
"Dari mana kau dapatkan ini?" tanyanya.
"Jawab dulu pertanyaanku, Sai. Apa maksud semua ini? Kenapa kau menyembunyikannya dariku?"
Sudah tak mampu lagi aku menahan emosiku.
Sai menghela nafas dan mengusap wajahnya kasar. Kemudian dia beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiriku.
"Baiklah. Ayo kita bicara di rumah!"
Dia menarik pergelangan tanganku, tapi dengan kasar ku hempaskan tangannya yang menyentuhku.
"Tidak!" tolakku dan sukses membuatnya membulatkan mata terkejut.
"Katakan sekarang! Di sini! Apa maksudmu menutup-nutupinya dariku? Kenapa kau tidak pernah memberitahukannya padaku? Apa maksudmu menyembunyikan semua fakta ini? Fakta bahwa sebenarnya Ayahku sudah melunasi semua hutangnya padamu?"
Wajah putih pucat Sai memerah. Rahangnya mengeras dan genggaman tangannya pada kertas berkas menguat sehingga membuat kertas-kertas tersebut mengerut.
"Kenapa kau tidak pernah mengatakannya Sai, kalau hutang Ayahku bahkan sudah lunas berbulan-bulan lalu. Dia bahkan juga sudah mengundurkan diri dari kepolisian. Semuanya dibuktikan dalam berkas-berkas itu. Lalu kenapa kau menutupi fakta itu dan malah terus menjeratku?"
Sai tidak membuka suara. Dia tetap diam meski bisa ku lihat dari wajahnya betapa marahnya dia.
"Kau harusnya sudah tak memiliki alasan lagi untuk menjeratku setelah hutang Ayahku lunas. Kau sudah mendapatkan uangmu kembali. Seharusnya kau lepaskan aku," tuturku.
"Kau mainanku dan aku belum bosan," ucapnya yang membuatku menggelengkan kepala.
"Itu tidak adil, Sai," kataku. "Kau tahu itu tidak adil. Perjanjiannya adalah aku bersamamu sebagai jaminan hutang Ayahku. Dan setelah semua itu dilunasi, maka tidak ada lagi alasan untukku terus bersamamu,"
Sai mematung, tapi bisa ku lihat genggaman erat di kertas berkas di tangannya melonggar seperti tiba-tiba dia kehilangan kekuatan genggamnya.
Wajah para anak buah Sai tampak gugup sepertinya mereka takut akan apa yang terjadi setelah ini.
Sedang dua wanita yang tadi duduk bersama Sai terlihat tersenyum puas karena melihat celah kosong yang akan segera aku tinggalkan.
"Katakan di mana Ayahku, Sai?"
Pemuda berambut hitam legam itu melengoskan wajahnya ke samping sambil mendengus.
"Huh, pengecut itu," ucapnya.
"JANGAN BERKATA SEPERTI ITU TENTANG AYAHKU!" bentakku yang berhasil membuatnya kembali menoleh padaku.
Aku menghela nafas panjang mencoba menenangkan diriku.
"Katakan di mana dia berada sekarang! Aku tahu dia tidak ada di Jepang," desakku.
Sai yang tak lagi kuasa menahan desakan itu akhirnya mengungkapkannya.
"Dia tahu aku tidak melepaskanmu bahkan setelah hutangnya dilunasi. Dia ketakutan aku akan menggunakanmu untuk menjeratnya lagi. Akhirnya dia pun melarikan diri. Dia di Jerman,"
Aku tidak menyangka ayahku sampai lari ke tempat sejauh itu. Dia berada di belahan dunia lain. Bagaimana bisa aku sampai ke sana untuk menemuinya.
"Dia membuangmu, Ino. Dia lebih mementingkan keselamatan dirinya dibanding dirimu," kata Sai sinis.
"Dia tidak membuangku," kataku tegas. "Ayahku tidak membuangku. Dia hanya tidak kuasa melawan seseorang yang picik,"
"Heh... picik?" Sai terkekeh. "Lalu siapa yang pertama kali mendatangi orang picik ini?" ujarnya kesal. "Kau yang mendatangiku, Ino. Kau yang mencariku di sini, di tempat ini, ingat?!"
"Ya, itu kesalahanku," ujarku. "Tapi semuanya sudah berakhir, Sai,"
Sai menegakkan dirinya. Dia terdiam.
"Aku sudah tidak bisa bersamamu lagi,"
Ku tepuk pelan dada bidang pemuda itu yang berbalut kaos putih dibalik sweater abu-abunya dan berbalik untuk pergi.
"Apa maksudmu, Ino? Kau mau meninggalkanku? Tidak! KAU TIDAK BISA MELAKUKAN ITU!"
"BISA!"
Aku menoleh dan membentaknya balik.
"Bisa," kataku lagi. "Karena sudah tak ada lagi alasan bagiku untuk bisa terus di sampingmu,"
"Alasan...," dia menggumam lirih sebelum kembali berkata. "Tentu saja ada. Kau mendatangiku karena ingin informasi balapan maut, kan? Kau ingin mengungkap misteri kematian Indra, kan? Sebelum kau tahu alasan dibalik kematian Indra, kau tidak boleh pergi dariku ––,"
"Aku tidak peduli. Itu sudah tidak penting lagi bagiku,"
Sai terkejut, tidak percaya mendengar kata-kata sedingin itu dariku.
Aku sendiri ikut terkejut. Bagaimana aku bisa mengatakan hal tersebut begitu mudahnya. Benar kata Sai, ingin mengungkap misteri kematian Indra senpai adalah alasan mengapa aku mendekati Sai. Tapi apa yang barusan ku katakan pun tidak bohong. Bagi diriku yang sekarang, itu semua sudah tidak penting lagi. Aku pun tak tahu mengapa sesuatu tentang Indra senpai tak lagi menarik bagiku. Rasanya ada yang salah denganku. Dan hati yang tiba-tiba terasa sakit ini membuatku semakin tak mengerti.
"Maaf, Sai. Selamat tinggal,"
Dan aku berbalik melangkah pergi dengan perasaan yang begitu amat berat.
"INO! TIDAK BISA BEGINI!"
Ku dengar teriakan Sai ditengah bisingnya suara musik yang dimainkan DJ.
"KAU TIDAK BISA MELAKUKAN INI...! INO! HOIII!"
Aku terus berjalan dan mengabaikan panggilannya.
"AAAARRRGH! BRENGSEK!" umpat Sai.
Setelahnya terdengar suara nyaring kaca pecah. Tampaknya Sai menendang meja kaca di depannya dan merubahnya menjadi kepingan. Hal itu menuai pekikan histeris orang-orang di sekitar sana. Aku menoleh untuk mendapati Sai yang benar-benar mengamuk. Dia mencengkeram salah satu anak buahnya sambil melemparkan kertas berkas yang tadi dipegangnya hingga berhamburan di atas serpihan pecahan kaca di lantai. Tangan satunya yang bebas menunjuk-nunjuk kertas-kertas itu seolah bertanya-tanya siapa gerangan yang membocorkan rahasianya itu padaku. Seorang anak buah berusaha menenangkannya, tapi malah berakhir menerima pukulan keras darinya.
Sedikit sedih melihat Sai yang tak mampu mengendalikan emosi. Biasanya saat tengah marah, dia akan melampiaskannya padaku. Aku akan berusaha sebisa mungkin menenangkannya dan berakhir dengan dia yang tenang tertidur di pelukanku. Di saat seperti itu dia benar-benar seperti anak kecil. Ada perasaan untuk berlari kembali padanya. Tapi tidak, aku sudah tidak bisa. Seperti kataku tadi, sudah tak ada alasan bagiku untuk terus bersamanya. Lagi pula dia bisa dengan mudah mendapatkan penggantiku. Wanita manapun tak akan jadi masalah baginya asal bisa memuaskan hasratnya. Itulah Sai.
Aku pun meninggalkan klub Tsukuyomi dan berjalan dengan pikiran kosong menyusuri kota Konoha. Berkilo-kilo meter aku berjalan hingga sampai di rumahku di distrik F. Ku lihat rumah Shikamaru di samping rumahku tampak kosong. Baguslah, aku tidak perlu bertemu dengannya dalam keadaan begini. Langsung saja aku membuka pintu menggunakan kunci yang selalu tersimpan di kotak braker listrik rumah.
Rumah yang sudah lama tidak ku kunjungi. Benar-benar gelap dan sunyi. Aku tidak repot-repot menyalakan lampu dan terus berjalan menuju kamarku di lantai dua. Begitu masuk kamar, langsung ku rebahkan diri di atas tempat tidur. Aku bergelung menyamping dan pandanganku ku arahkan ke jendela kaca di samping tempat tidur. Bulan purnama yang bersinar terang dikelilingi bintang-bintang kecil di sekitarnya. Langit hitam pekat tak berawan. Pemandangan indah. Apakah Sai mau melukisnya?
Langsung saja air mataku mengalir. Aku terkejut sendiri. Mengapa aku menangis? Apa yang aku tangisi? Bukankah seharusnya aku senang karena akhirnya bisa lepas dari Sai. Inilah yang selalu ku harapkan sejak awal. Lalu untuk apa air mata ini mengalir. Hatiku terasa gusar. Aku merasa ada yang hilang. Sebagian diriku telah hilang, entah ke mana.
Esok harinya di hari minggu aku sibukkan diriku membersihkan rumah yang sudah lama tak dihuni. Tidak terlalu berantakan hanya banyak debu yang menempel di benda-benda sekitarnya. Saat tengah menyapu halaman depan aku melihat mobil Silvia Shikamaru memasuki garasi rumahnya. Orang itu baru saja pulang entah dari mana semalam. Karena kedua orang tuanya yang tidak ada di rumah, sepertinya membuat dirinya menjadi lebih bebas berkeliaran. Manik cokelatnya terkejut melihat keberadaanku di sana.
"Ino?!" sapanya penuh ketidakpercayaan bahwa memang akulah yang dia lihat sekarang ini.
"Hai Shika! Kau baru pulang?" sapaku balik dengan nada seceria mungkin untuk menutupi perasaanku yang sebenarnya saat itu.
"Kenapa kau di sini?" tanyanya heran mendapatiku ada di rumah karena dia tahu aku seharusnya tinggal di apartemen Sai.
Aku mengangkat sapu lidi yang ku pegang.
"Bersih-bersih rumah. Kau tahu, rumahku sudah sangat kotor dan berdebu," jawabku ringan.
Pemuda Nara itu masih merasa aneh tapi dia mengangguk menerima jawaban tersebut. Sekarang dia menopangkan dagunya di tembok pembatas rumah kami melihatku yang tengah menyapu halaman.
"Kau habis dari mana semalam dan baru pulang pagi hari? Apa setiap hari begini?" tanyaku penasaran.
Shikamaru hanya mengedikkan bahu.
"Biasa...," jawabnya.
Bisa ku cium bau rokok dan alkohol dari dirinya. Sepertinya dia menghabiskan malamnya dengan gila-gilaan.
"Ibumu tidak di rumah?" tanyaku.
Dia mendengus sambil menunjukkan ekspresi sebalnya.
"Dia sedang liburan ke pantai dengan teman-temannya,"
Aku mengangguk mengerti. Sepertinya hari-hari Shikamaru tidak kalah kacaunya denganku. Dan selama ini bahkan aku tidak tahu menahu tentang itu, tentang apa yang terjadi dengan sahabatku. Sebaliknya, malah aku tenggelam dalam urusanku sendiri.
"Ngomong-ngomong, Ayahmu juga sudah lama tidak pulang ke rumah,"
Aku berhenti dari kegiatanku begitu Shikamaru menanyakan hal itu.
"Yah, dia sedang sibuk," jawabku sambil tersenyum padanya berharap dia tidak curiga.
"Oh! Aku baru ingat. Ada sesuatu untukmu," kata Shikamaru begitu dia mengingat sesuatu.
"Sesuatu apa?" tanyaku.
"Sebentar,"
Dia berbalik dan berjalan ke kotak pos rumahnya. Diambilnya sesuatu dari sana.
"Ini!"
Dia monyodorkan sebuah amplop berisi surat. Ku ambil surat itu darinya. Begitu ku lihat nama pengirim dan alamatnya, aku tidak bisa menutupi keterkejutanku dan itu aku yakin tidak luput dari mata Shikamaru.
"Aku tidak mengerti mengapa Ayahmu mengirimimu surat," katanya penuh selidik. "Dan lagi alamat pengirimannya dari luar negeri. Apa dia sedang ada pekerjaan di luar negeri?"
Aku sedikit panik menghadapi pertanyaan tersebut. Namun aku berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikan kepanikanku.
"Yah biasa, pekerjaan intel. Mungkin dia menyelidiki sesuatu sampai ke luar negeri," jawabku bohong karena ayahku sudah tidak lagi bekerja di kepolisian.
"Penyelidikan apa yang sampai membawanya harus ke luar negeri?" tanyanya lagi masih tidak puas.
"Hmmm, entahlah.. kau tahu pekerjaannya sangat rahasia. Aku tidak tahu apa kasusnya," kataku seadanya.
Shikamaru masih melihatku intens seperti tak bisa menerima begitu saja jawaban tersebut dariku.
"Baiklah," kataku memutus pandangan menyelidiknya. "Aku masuk dulu ya...," sambil melambaikan surat yang tadi diberikannya sebagai tanda kalau aku ingin segera membacanya.
Begitu ku geser pintu membuka, Shikamaru kembali memanggilku.
"Ino!" panggilnya.
Aku melihat padanya. Bisa ku rasakan tatapan kekhawatiran dari manik cokelatnya.
"Nanti siang, ayo kita makan bersama di rumah Choji. Sudah lama kita tidak makan bersama," ajaknya.
Aku terdiam sejenak. Benar, sudah lama aku tidak berkumpul bersama sahabat-sahabatku itu. Ini seperti selama ini aku hidup dalam dongeng dan hari ini aku kembali ke kehidupan nyata. Aku pun tersenyum padanya.
"Baiklah, sampai siang nanti," kataku sambil masuk dan menggeser menutup pintu rumahku.
Sebelum pintu tertutup sepenuhnya, aku melihat Shikamaru yang masih terus melihatku penuh kekhawatiran.
Setelahnya segera ku buka surat itu. Ayahku menceritakan semuanya dalam suratnya. Tentang bagaimana atasannya di bagian intel, Mifune-san, mau memberinya uang untuk melunasi hutangnya pada Sai dengan balasan dia harus keluar dari kepolisian. Alasan kenapa dia harus pergi jauh ke Jerman karena dia tahu Sai tidak akan begitu saja melepaskannya. Dia ingin aku ikut dengannya tapi tidak pernah punya kesempatan membawaku pergi dari sisi pemuda pucat itu. Dan sekarang dia tinggal di flat kecil yang dipinjamkan temannya di Jerman.
Ayahku memberikan alamat lengkapnya dengan harapan aku akan menyusulnya. Tapi untuk sampai ke tempat sejauh itu sementara aku tak memiliki cukup uang, bagaimana aku bisa ke sana. Sungguh aku ingin sekali bertemu ayahku. Dan sekarang aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan.
Namun Tuhan amat menyayangiku. Dia menunjukkan jalannya padaku.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, ku dapati Kakashi sensei di depan papan pengumuman di gedung Advanced sambil susah payah memasang sebuah brosur di sana.
"Sensei!" panggilku.
Dia menjatuhkan beberapa brosur yang tadi dibawanya.
"Ino! Kau mengejutkanku," omelnya.
"Hehehe... maaf sensei. Aku hanya ingin tahu apa yang kau lakukan," kataku sambil membantunya memungut kembali brosur yang berserakan.
"Aku sedang mencari seseorang yang mau menjadi model," jawabnya.
"Model?"
"Ya, orang yang bersedia menjadi model pengiring mobil keluaran terbaru di Jerman," jelasnya.
Mendengar kata Jerman membangkitkan keantusiasanku.
"Menjadi model pengiring mobil di Jerman?!" ucapku dengan semangat.
"Kenapa? Kau mau?" tanya Kakashi sensei padaku.
Aku ingin langsung mengangguk sebelum ku ingat sesuatu.
"Tapi aku tidak pernah jadi model. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan," ujarku lesu.
"Tidak masalah," jawabnya yang menarik kembali rasa antusiasku.
"Sebenarnya aku hanya membantu temanku yang ikut dalam projek lomba pengembangan otomotif di Jerman. Ini bukan pameran untuk perusahaan besar. Dia tidak sanggup membayar seorang model asli untuk pamerannya, sehingga dia minta tolong padaku untuk mendatangkan beberapa orang yang bisa membantunya menjadi model pengiring. Tidak banyak orang yang ku kenal sehingga aku punya ide untuk memberikan peran tersebut pada siswi KMS yang mungkin ingin melakukannya. Karena ini juga bisa menjadi semacam latihan bila suatu hari mereka akan menjadi model untuk produk otomotif terkenal. Aku meminta izin Tsunade-sama dan dia mengizinkanku bahkan sampai membuatkan brosur seperti ini," jelasnya.
"Jadi tidak masalah kalau aku mencobanya?" tanyaku.
"Tentu saja," jawab sensei. "Nanti dia akan memberikan arahan untuk apa yang harus kau lakukan. Lagipula kau punya modal untuk menjadi seorang model. Kau cantik dan tubuhmu bagus. Mereka tidak akan protes,"
Aku merasakan secercah cahaya harapan agar aku bisa bertemu ayahku. Ku lihat lagi brosur itu dan benar saja alamat tempat pameran akan diadakan tidak jauh dari alamat ayahku sekarang berada. Benar-benar aku tidak mampu menahan rasa senangku.
"Kalau kau mau, aku tidak jadi memasang brosur ini dan akan langsung menghubungi temanku,"
"Eh? Tapi bagaimana dengan biaya pergi ke sana? Aku tidak punya uang," kataku ragu.
"Tenang saja. Meski dia tidak bisa membayarmu mahal, tapi biaya perjalanan pulang-pergi akan ditanggung serta hotel dan biaya makan selama seminggu akan dibayarnya,"
"Aku tidak masalah dengan bayaran asal aku bisa pergi ke Jerman," kataku semangat sampai tidak sadar kalau Kakashi sensei memandangku aneh.
"Heeeh.. kau ingin sekali ke Jerman ya?"
Aku tersadar bahwa sikapku menarik perhatian sang sensei dan dengan cepat ku tutupi.
"Yah tentu saja, aku kan ingin jalan-jalan ke luar negeri," ujarku.
"Oooh... Jadi bukan karena kau ingin bolos sekolah kan?" sindir Kakashi sensei.
Aku hanya tertawa menanggapi sindirannya. Sebisa mungkin aku harus tenang dan tidak mencolok. Aku tidak ingin ada yang tahu alasan utamaku pergi ke Jerman.
"Lalu, berapa hari pamerannya?" tanyaku.
"Sebenarnya pamerannya berlangsung tiga hari, tapi sebelumnya akan ada latihan dan meeting jadi menghabiskan waktu seminggu,"
Aku mengangguk mengerti. Tampaknya jadwalnya akan padat, tapi ku harap aku bisa mencuri waktu untuk bertemu ayahku di sana.
Mujurlah saat sang penyelenggara membuat kesalahan dalam pemesanan tiket pulangku ke Jepang. Mereka salah memberikan tanggal sehingga waktu yang ku habiskan di Jerman bertambah menjadi dua minggu. Kakashi sensei sempat marah-marah karena dia tidak bisa mengizinkan siswanya cuti sekolah lebih dari satu minggu. Tapi Tsunade-sama memberikan izin untukku berada dua minggu di Jerman dan akan mendapat kelas tambahan setelah pulang nanti.
Pihak penyelenggara pun sempat merasa tidak enak padaku karena bagaimana pun pemesana hotel dan uang makan hanya berlaku sampai seminggu dan mereka tidak bisa memberikan lebih lagi. Namun aku mengatakan bahwa semuanya tidak apa-apa. Itu karena seminggu tambahannya aku habiskan untuk tinggal bersama ayahku. Jadi sebaliknya, aku tidak kecewa dan malah bersyukur atas kesalahan yang mereka buat.
Dua minggu itu pun berjalan seperti yang aku perkirakan. Selama satu minggu penuh jadwalku amat padat dan tak memiliki waktu luang untuk bertemu ayahku. Namun, ayahku yang menyempatkan diri menghampiriku. Dia bahkan menonton pameran mobil yang ku modeli. Satu minggu sisanya aku ikut ayahku tinggal di flat kecil yang dipinjamkan temannya.
Ayahku sangat senang mendengar kabar terbaru dariku tentang aku yang sudah meninggalkan Sai. Meski begitu, dia juga tahu bahwa Sai tidak akan membiarkan semuanya berjalan semulus itu. Menurut ayah, pastilah sekarang Sai tengah memikirkan rencana lain untuk menjerat dirinya dan diriku. Dia menginginkanku untuk tidak kembali ke Konoha dan tetap tinggal di Jerman bersamanya. Menurutnya akan lebih aman bila kami menjauh dari kota itu maka Sai pun tak akan dapat menyentuh kami lagi. Namun, ada sesuatu yang memberatkan hatiku untuk mengikuti keinginan ayahku tersebut. Seperti diri ini telah terikat kuat dengan Konoha. Dan aku yakin, ayahku pun sebenarnya ingin kembali ke tempat itu.
"Sudahlah Ino, lebih baik kau tinggal saja di sini dengan Ayah. Tidak perlu lagi kembali ke Konoha," pintanya padaku saat tinggal satu hari lagi aku berada di Jerman.
Sambil mengepak semua pakaianku ke dalam koper, aku melihat padanya yang menatapku dengan tatapan cemas dan khawatir. Ku berikan senyuman terbaikku untuk meringankan perasaan ayahku.
"Aku tidak bisa, Ayah," kataku.
Ayahku berjalan mendekat dan duduk di hadapanku. Manik aquamarrine serupa milikku itu menatap lurus.
"Apa maksudmu tak bisa?" tanyanya tak mengerti. "Dengar, Sai tidak akan membiarkan kita lepas begitu saja. Bila kau kembali ke Konoha, dia akan melakukan apa saja untuk kembali menjeratmu,"
Tanganku berhenti dari kesibukanku. Aku terdiam. Mendengar nama itu seperti ada sesuatu yang menyentil hatiku. Aku mengerti apa yang dipiikirkan ayahku. Aku juga berfirasat bahwa sekarang ini Sai pastilah tengah menyusun rencana baru. Meski berminggu-minggu setelah kejadian aku meninggalkannya, dia tidak mencoba untuk melakukan kontak denganku. Tapi bisa ku rasakan, di sekolah dia sering sekali memberikan tatapan menusuk seperti ingin membunuhku. Dan untuk menghindarinya, sebisa mungkin ku dekatkan diriku dengan beberapa teman laki-laki yang tertarik pada kecantikanku. Setidaknya mereka juga berguna untuk menghindari kecurigaan Shikamaru yang melihat renggangnya hubunganku dengan Sai. Shikamaru akan berfikir bahwa aku sedang marah dengan Sai karena pemuda itu yang sering bermain dengan perempuan lain dan sekarang aku ingin membalasnya dengan bermain dengan laki-laki lain.
"Ino, jawab Ayah! Apa maksudmu tidak bisa?" tanyanya lagi setelah hanya mendapati keterdiamanku.
Kembali ku berikan senyumanku.
"Aku masih bersekolah di KMS, Ayah... Aku tidak bisa keluar begitu saja," jawabku menjadikan KMS sebagai alasan.
"Ayolah Ino! Kau bisa masuk sekolah yang lebih bagus di sini. Lagipula jangan pikir kalau Ayah tidak tahu, kau itu tidak menyukai mesin dan tidak tahu apa-apa tentang itu. Lalu untuk apa kau tetap di sana,"
Dia bersi keras untuk tidak menyerah. Aku beranikan diri untuk balik memandangnya serius.
"Maaf Ayah, aku tidak bisa meninggalkan Konoha," jawabku tegas.
Dia mematung. Diam seribu bahasa tak mampu membantah kata-kata finalku. Ditundukkannya kepalanya seperti seseorang yang kalah.
"Dan kau juga Ayah," lanjutku dan dia kembali menatapku. "Kau tak bisa selamanya lari. Suatu hari kau juga harus kembali, ke Konoha, ke rumah kita. Apa kau ingin meninggalkan Ibu sendiri?"
Wajahnya terkejut sebelum kemudian matanya mulai berkaca-kaca mengingat akan makam ibuku yang ada jauh di Konoha.
"Ibu akan sedih kalau kita ada di tempat yang jauh darinya," kataku lagi.
Ayahku semakin tak memiliki kata untuk menyanggahku. Dia terus terdiam dan begitu saja berjalan meninggalkanku.
Dengan begitu aku pun kembali ke Konoha. Ayah mengantarkanku ke bandara. Dia hanya berpesan agar aku menjaga diri baik-baik. Ku peluk dirinya dengan erat dan berharap kami akan bisa berkumpul bersama lagi.
Saat pesawat tinggal landas, meski ada perasaan sedih karena harus kembali berpisah dengan ayah, namun rasa sedih itu terkalahkan oleh perasaan rindu yang mendalam pada Konoha. Perasaan rindu yang tak ada hubungannya dengan tanah kelahiran atau karena di sanalah biasa aku tinggal. Ini adalah rindu yang lebih menyesakkan seolah sebagian diriku ada yang tertinggal dan hilang di sana. Membuat hati ini terasa dingin, kosong dan tak lengkap.
Ku alihkan pandanganku ke jendela dan melihat bagaimana awan-awan putih itu melayang sejajar sedikit demi sedikit membentuk bayang sosok wajah seseorang yang harusnya aku lupakan. Ku pejamkan mata mencoba menghapusnya dari pikiran dan hatiku. Menghilangkannya dari hidupku. Berharap bisa melupakan yang telah lalu dan terus melangkah maju. Tanpa ku ketahui sesuatu tengah menungguku di Konoha.
.
"Kau dari mana saja, Ino!"
"SHIKA! BISAKAH KAU KETUK PINTU DULU?! YANG KAU MASUKI ITU KAMAR PEREMPUAN TAHU!"
Shikamaru hanya menggaruk belakang kepalanya sambil menggumam maaf yang tidak jelas.
Sudah menjadi kebiasaan kami sejak kecil dengan mudahnya masuk rumah bahkan kamar satu sama lain. Tapi sekarang berbeda, kami sudah remaja apalagi aku ini perempuan dan hal itu membuatku kesal sekarang.
"Ada apa sih?" tanyaku heran sambil kembali berbalik menghadap cermin untuk melanjutkan memoles bedak di pipiku.
"Kau tak bilang apa-apa padaku. Tiba-tiba aku dengar dari Kakashi sensei kau pergi ke Jerman,"
"Ya, aku ikut jadi model pengiring di pameran mobil di sana," jawabku.
"Benarkah hanya itu?" tanyanya penuh selidik.
Aku menatapnya lurus melalui cermin.
"Aku bertemu Ayahku di sana. Kau tahu kan dia sedang di Jerman," jawabku jujur meski tak ku jelaskan seutuhnya.
Shikamaru hanya mengangguk-anggukan kepala pertanda dia menerima jawabanku.
"Aku pikir kau tidak ada di rumah karena kembali tinggal bersama si Sai itu,"
Aku berhenti sejenak dari memakai eyeshadow dan kembali melihat pantulan Shikamaru di cermin.
"Tidak," kataku. "Yah kau tahu, aku sedang ada sedikit konflik dengannya,"
Shikamaru terlihat sedikit terkejut mendengar penuturanku.
"Apa ada masalah?" tanyanya penuh khawatir.
Langsung ku ubah ekspresiku dan tersenyum santai.
"Bukan masalah besar, hanya kesal dengan kebiasaannya yang selalu main-main dengan banyak perempuan," jawabku bohong.
Shikamaru masih terlihat tidak percaya, tapi akhirnya dia hanya mengangguk mengerti.
"Baiklah terserah," katanya, tidak memaksaku membahas hal tersebut lebih lanjut.
Aku senang karena dia bukan termasuk orang yang suka mengusik atau mencampuri urusan orang lain. Pada dasarnya Shikamaru memang selalu peduli pada teman-temannya, tapi dia orang yang tahu batasan di mana posisi dirinya harus berada.
"Sebenarnya aku butuh bantuanmu, Ino," ucapnya yang membuatku hampir tak percaya.
Aku menoleh padanya.
"Hah? Kau bilang apa? Kau butuh bantuanku? Apa aku tidak salah dengar?"
Shikamaru sedikit memberengut kesal mendapat respon seperti itu dariku.
"Ino, aku serius," ujarnya tegas.
"Tunggu... Tunggu... Apa kau lupa, kau orang yang mengatakan padaku untuk tidak ikut campur urusanmu dan sekarang kau minta bantuanku?" aku tak mampu menutupi kekesalanku.
"Ayolah Ino! Bisakah kau tidak membahasnya lagi,"
Shikamaru terlihat begitu putus asa, tapi aku masih belum bisa menerima.
"Tidak membahasnya bagaimana, dulu saat aku mau mencoba membantumu kau bilang agar aku tak ikut campur dan mengurus urusanku sendiri. Sekarang tiba-tiba seenaknya kau bilang butuh bantuanku. Bukankah kita sudah menjalani jalan sendiri-sendiri?"
Shikamaru memijit keningnya frustasi.
"Dengar! Mungkin kata-kataku waktu itu kasar padamu, tapi aku mengatakan itu agar kau tidak terlibat masalah. Lagipula bantuan yang ku minta bukan membuatmu melakukan hal yang tidak-tidak, aku hanya butuh informasi. Itu saja,"
"Informasi? Informasi apa?" tanyaku curiga.
Shikamaru berhenti sejenak. Dia tampak ragu untuk mengatakannya, tapi sorot matanya seperti sudah terbaca olehku. Aku dapat mengira informasi apa yang dia inginkan dariku.
"Kau pasti bisa menebaknya," ucapnya lirih.
Aku terus menatap lurus padanya dan bisa ku lihat dia salah tingkah. Shikamaru tampak menimbang-nimbang akan pergi atau tetap di sana dan menjelaskan, tapi pada akhirnya dia hanya memerintah seenaknya.
"Aku akan menjelaskan detailnya di sekolah. Sebaiknya kau pastikan segera datang dan ingat, jangan terlambat!"
Dia berjalan ke pintu.
"Ya, aku akan berangkat setelah selesai berdandan," jawabku sekenanya sambil melanjutkan memoles make up di wajahku.
Langkah Shikamar berhenti di pintu kamarku dan berbalik melihat padaku lagi.
"Kalau begitu cepat selesaikan!" perintahnya lagi.
"Ya...ya... sudah sana pergi!" usirku padanya.
Dia menggeleng sebelum kemudian melangkah pergi.
Mendengar pintu depan rumahku yang tertutup, ku letakkan kuas make up di atas meja rias dan menghela nafas panjang. Langsung ku sandarkan punggungku ke sandaran kursi yang ku duduki. Otakku bekerja cepat. Aku tahu apa yang tengah direncanakan Shikamaru. Aku tahu kalau pada akhirnya akan sampai juga hari ini. Tapi yang membuatku tak menyangka adalah bagaimana jantungku berdegup amat kencang. Adrenaline ku terpacu dan melahirkan perasaan penuh gairah yang begitu ku kenali.
Ini gila, harusnya aku khawatir, takut, cemas, tapi apa yang ku rasakan saat ini benar-benar sebaliknya. Bayang-bayang gelap tengah membuntuti Shikamaru, tapi bagiku itu adalah bayangan yang selalu ingin ku raih. Bisa ku rasakan rantai-rantai jeratan perlahan mulai kembali merangkak mendekati tubuhku, tapi bibirku tersenyum seolah memang begitu menginginkan untuk kembali diikat. Mungkin aku sudah gila dan tak lagi mampu berpikir rasional ketika ku rasakan perasaan hangat mulai menjalari hatiku yang terasa dingin dan membeku beberapa waktu ini.
Di sekolah, aku disambut para siswa laki-laki yang sekelas denganku. Mereka berucap kata rindu dan memelukku dengan sangat santai. Tolong harap maklum karena sebenarnya aku ini memang populer serta bersekolah di KMS yang notaben siswanya kebanyakan laki-laki membuatku menjadi primadona yang bagaikan angin segar untuk mereka. Aku yang pada dasarnya memang percaya diri dan humble membuat orang-orang di sekitarku tidak canggung atau sungkan padaku.
Saat euforia di kelas begitu menarik banyak perhatian, ku fokuskan atensiku ke tempat di mana Shikamaru duduk. Sungguh aku dikejutkan dengan kelompok yang tidak biasa. Dua orang murid baru yang sepertinya berasal dari desa, Choji yang tidak pernah absen di manapun Shikamaru berada, Sakura terlihat mencolok di antara para laki-laki di sana dan Sasuke, seseorang yang selalu menjadi perhatian di KMS tapi dia selalu menyendiri, ikut duduk dan bergabung dengan mereka. Sudah jelas terbukti rencana Shikamaru saat ku dapati Sasuke di sana. Tidak bisa ku pungkiri, setiap kali melihat wajahnya membuatku kembali mengingat Indra senpai. Dan semua penjuru KMS tahu siapa Sasuke, dia dijuluki 'artis jalanan'. Balap jalanan Konoha kembali meriah dengan bergabungnya Sasuke sebagai salah satu bintangnya. Aku tersenyum. Jadi ini tim Shikamaru yang baru.
Aku sangat gembira bisa melihat lagi wajah merona Sakura yang bisa kembali duduk di samping Sasuke. Rasanya sangat disayangkan kalau aku biarkan begitu saja. Akhirnya aku pun tak kuasa lagi untuk tidak menggoda teman jidatku itu. Saat aku pura-pura menunjukkan ketertarikan pada Sasuke, dia kembali menjadi Sakura yang ku kenal dengan sifat pemarah dan tomboynya. Yah, aku rindu ribut dengan Sakura. Jadi ku teruskan saja memprovokasi dia.
Di sanalah pertama kali aku bertemu Naruto dan Kiba. Meski keduanya dari desa tapi ku akui mereka punya nyali yang luar biasa. Terbukti baru dua minggu mereka datang ke Konoha dan mereka sudah ingin mengikuti balapan maut. Namun saat ku tahu alasan sebenarnya, aku ikut bersimpati pada Naruto. Meski begitu, seperti yang Shikamaru bilang, itu bukan urusanku. Jadi aku tak bisa terlalu banyak membantu.
Shikamaru menjelaskan kondisi timnya yang ingin ikut serta, namun sudah tertinggal babak penyisihan di distrik F. Dia ingin informasi untuk bisa ikut serta dalam balapan maut meski babak penyisihan sudah hampir berakhir. Aku tahu ini tidak baik karena artinya mereka harus mendaftar untuk jadi tim penantang distrik lain. Yang artinya juga mereka harus langsung menemui sang penyelenggara yang tidak lain adalah Sai. Lalu apa yang akan terjadi setelahnya, semua bisa ku prediksi dengan tepat. Jantungku kembali berdebar keras.
Sore itu, aku masih disibukkan dengan sesi pelajaran tambahanku bersama Kakashi sensei di ruangannya. Sang sensei sedang sibuk mengetik laporan sambil duduk santai di sofa panjang dan dengan baik hati membiarkan aku memakai meja kerjanya untuk mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk. Kepalaku sudah sangat pening melihat banyak tulisan di kertas, namun ku usahakan untuk fokus sebelum getar ponsel di saku bajuku mengangetkanku. Sembunyi-sembunyi ku keluarkan ponsel dan aku mendapatkan sebuah pesan. Manik aquamarrine ku melebar mendapati nama sang pengirim. Tidak ku sangka akan secepat ini. Pesan itu berbunyi:
'Hal yang menyenangkan akan kembali terjadi, Ino. Ku harap teman-temanmu tidak akan mengecewakanku. Begitupun denganmu, jangan sampai kau mengecewakan mereka. Temui aku malam ini di Hotel Hokage kalau kau memang peduli pada teman-temanmu.'
Nafasku tersekat. Entah mengapa tiba-tiba dadaku terasa sesak. Sulit untukku mengatur detak jantungku. Meski sudah mengira hal itu akan terjadi, tapi saat itu menjadi nyata, aku benar-benar tak menyangka rasanya akan seperti ini. Berbeda dari sebelumnya di mana aku merasakan takut, kali ini aku merasa tertantang.
Pesan itu membuyarkan fokusku. Aku minta izin pada Kakashi sensei untuk melanjutkan pelajaran tambahanku esok hari karena aku benar-benar sudah tak bisa lagi konsentrasi. Dengan segera aku berlari pulang ke rumah dan hal pertama yang ku lakukan adalah membuka lemari pakaian. Aku tahu yang aku lakukan ini tidak seperti diriku, tapi saat itu memang itulah yang ku inginkan.
Aku berjalan memasuki arena balap 31 di distrik J. Semua orang tampak bersemangat dan antusias. Arena lebih didominasi kaum hawa yang mana hal itu jarang terjadi. Dan perhatian mereka tidak lain dan tak bukan tertuju pada Sasuke sang artis jalanan yang sejak awal debutnya tidak pernah tergabung dalam tim manapun. Malam ini, dia ikut serta dalam sebuah balapan tim. Ditambah lagi kali ini yang diikuti pemuda itu adalah balapan legendaris yang taruhannya adalah nyawa.
Aku sedikit bersyukur keberadaan para perempuan itu bisa membantu menutupi kehadiranku. Biar bagaimanapun, di tempat itu cukup banyak anak buah Sai yang pasti mengenalku.
Mataku menelisik melewati kerumununan orang-orang untuk bisa melihat jauh ke depan. Dapat ku tangkap sosok si pemuda pucat yang sibuk mengumpulkan uang taruhan. Terkadang pekerjaannya yang satu itu membuatku tertawa geli. Sebenarnya tidak masuk dalam jobdes-nya sebagai seorang penguasa jalanan, hanya saja baginya itu seperti sebuah ritual sebelum diadakan balapan. Dan untung yang dia dapat sebagai bandar taruhan bisa menjadi uang jajan tambahan untuknya membeli roti sandwich special KMS yang hanya dijual tiga kali dalam setahun.
Sai terlihat sangat semangat malam itu. Ku perhatikan bagaimana dia begitu ceria sampai bisa tertawa lepas saat beberapa orang mengajaknya bergurau. Meski aku tahu sifatnya yang selalu bisa menempatkan diri dan berpura-pura menjadi seperti apa saja sesuai keadaan, tapi dari raut wajahnya bisa ku katakan malam itu dia benar-benar sedang senang. Aku tidak tahu alasan yang membuatnya senang, tapi bila boleh menebak pasti itu ada hubungannya dengan bergabungnya tim Naruto dalam balapan maut. Aku tidak tahu apa rencana Sai kedepannya pada mereka dan di sini peranku kembali dibutuhkan.
Matakau beralih dari area lintasan balapan ke tempat di mana para pendukung berkumpul. Akhirnya ku temukan rambut pink mencolok Sakura dari kerumunan orang-orang yang berada di barisan depan. Selain dia, ada juga Shikamaru, Choji dan Kiba. Aku tersenyum dan mulai beranjak melangkah menghampiri mereka sebelum langkahku dicegat oleh beberapa pria hidung belang.
Aku mendesah lelah, selalu saja seperti ini.
"Hallo maniiis... Sendiri saja?" sapa seorang di antara mereka sambil menyeringai mesum.
Ku lipat tangan di depan dada dan memutar mata bosan.
"Daripada sendiri, kenapa tidak bergabung saja dengan kami, huh?" ucap orang yang lain dengan pandangan matanya yang menelusuri tubuhku dari bawah ke atas.
"Sayang sekali kan kalau wanita cantik sepertimu dibiarkan sendiri. Lebih baik kau temani kami dan kita bisa pergi bersenang-senang setelah ini," ucap orang yang satu lagi dengan tersenyum nakal.
"Maaf, aku ke sini untuk menemui temanku," kataku berharap mereka mengerti dan meninggalkanku, tapi itu tak terjadi dan mereka malah semakin gencar menggodaku.
"Teman, huh? Di mana temanmu itu? Mungkin dia sudah pergi. Sudahlah, lupakan temanmu dan ayo kita besenang-senang sayang ~"
Salah satu dari mereka sudah mengulurkan tangan hendak menyentuhku sebelum suara seseorang menginterupsi.
"HOI!"
Mereka melihat ke arah belakangku dan aku pun sedikit menoleh. Kali ini aku kembali mendesah lelah. Susah payah aku untuk tidak mencolok, sekarang karena kejadian ini lagi-lagi aku malah menarik perhatian mereka. Salah seorang anak buah Sai berdiri di sana dan dia sangat mengenalku.
"Sebaiknya lepaskan dia!" perintahnya pada para pria hidung belang yang tadi menggodaku.
"Huh! Memangnya kau siapa berani memerintah kami," ucap salah seorang dari mereka tidak perduli.
"Balapan sudah akan dimulai jangan coba-coba bikin keributan," katanya tegas.
Orang-orang itu tampaknya tidak bisa terima, tapi mereka juga tahu situasi yang akan mereka hadapi bila berani-berani membuat keributan di area yang mereka tahu milik siapa itu. Dengan begitu orang-orang tersebut pun pergi dan melepaskanku begitu saja.
Sementara itu sang bawahan Sai berjalan mendekat. Aku masih membelakanginya.
"Ino-san, kenapa Anda di sini? Bukankah Sai-sama meminta Anda ––,"
Aku mengangkat satu tanganku membuatnya berhenti mengajukan pertanyaan.
"Katakan pada Sai, aku sudah di sini!" perintahku.
Orang itu terdiam sebentar sebelum kemudian dia mengangguk dan berbalik pergi.
Aku pun melanjutkan langkah untuk menghampiri yang lain. Dengan ceria aku menyapa teman-temanku. Namun bisa ku lihat bahwa kehadiranku begitu mengejutkan mereka. Terutama Sakura yang bergelagat aneh. Tiba-tiba dia terlihat gugup dan cemas. Berkali-kali dia melirik ke tempat di mana Sai berada.
Sementara di depan sana bisa ku lihat si bawahan tadi menghampiri Sai dan berbisik padanya. Manik hitam kelam Sai pun bisa dengan cepat menemukan di mana aku berada. Aku pura-pura tidak melihatnya meski bisa ku rasakan dia tengah menyeringai senang ke arahku. Dan hal itu dibuktikan oleh ketakutan Sakura yang langsung menggenggam erat tanganku serta memintaku untuk tidak jauh-jauh darinya. Aku hanya bisa menduga bahwa sahabat pinky ku ini telah mendengar hal yang tidak-tidak dari Sai saat mereka tadi menemuinya di sekolah.
Sejujurnya aku sangat terharu karena Sakura begitu peduli terhadapku. Tapi hatiku pun terasa sakit karena aku harus menghancurkan kepercayaan Sakura padaku. Setelah nanti dia tahu kenyataannya, apakah dia akan tetap mau berteman denganku atau dia malah akan memandang jijik diriku ini. Aku berharap bisa terus bersahabat dengan Sakura, Shikamaru, Choji dan yang lainnya, tapi aku juga tak boleh membawa mereka terlalu hanyut dalam kepalsuanku. Jadi ku putuskan untuk menunjukkannya malam itu, siapa aku dan apa hubunganku dengan Sai.
Balapan berlangsung begitu cepat. Aku tidak menyangka bahwa Naruto adalah pembalap yang hebat. Dia bukan hanya bisa mengimbangi Sasuke tapi dia bisa bersinar bahkan lebih terang dari Sasuke. Keberadaan dirinya mengingatkanku pada Ashura senpai. Sekarang aku bisa mengerti mengapa Shikamaru memilih memasangkan mereka. Karena keduanya begitu mirip Indra dan Ashura. Sasuke yang sehari-hari begitu tenang, namun bisa sangat berapi-api bila di belakang kemudi. Naruto yang terlihat polos dan apa adanya, tapi jadi sangat jenius saat berada di lintasan. Dua pengendara yang selama satu tahun lebih dicari-cari Shikamaru sampai ujung Konoha, akhirnya bisa dia dapatkan dengan kombinasi yang sempurna. Tim mereka pun berhasil menjadi perwakilan distrik F untuk ajang balapan menuju puncak Konoha.
Begitu balapan usai, para pendukung dan penonton balapan pun mulai berpesta. Beberapa mobil yang dilengkapi sound system mulai memainkan musiknya dan menggema sampai ke ujung arena balap 31 tersebut. Semua orang mulai menari gila-gilaan. Tempat itu berubah menjadi semacam tempat hiburan. Tidak heran kalau beberapa orang mulai mabuk dan kehilangan akal sehat mereka.
Shikamaru sudah bergabung dengan Kiba dan Choji yang baru datang dari arena B. Sedang Sasuke dan Naruto masih mengobrol dengan Sai di depan. Sakura masih memegang janjinya dan dia tidak melepaskan tanganku barang sebentar. Saat manik emerlard miliknya menangkap sosok Sai yang meninggalkan Naruto dan Sasuke dan mulai melangkah ke arah kami berada, genggamannya menguat.
"Ino, ayo kita ke tempat Shikamaru dan yang lain!" ajaknya sambil menarikku.
"Eh? Tu-tunggu Sakura ...,"
"Ayolah cepat!"
Dia terus menarikku. Sementara pandanganku melihat Sai yang terburu-buru mengejar kami mencoba lewat di sela-sela kerumunan orang. Sebelum langkahnya terhenti kala beberapa wanita mencegatnya minta perhatian. Bisa ku lihat dia mencoba meminta mereka menyingkir dari menghalangi jalannya. Tapi para wanita itu malah menggodanya. Mereka bergelayut manja dan menempel padanya. Selesai, Sai tidak akan bisa menolak dan malah terlena. Dasar bodoh, makiku dalam hati. Akalnya pasti kalah dari hasratnya. Begitulah Sai.
Aku yang masih diseret Sakura tak begitu memperhatikan jalan di depanku. Hingga tak sengaja menabrak beberapa orang yang tengah asik menari. Saat mereka menoleh, kakiku melemas. Buruk sekali, mereka adalah orang-orang yang tadi menggodaku.
"Heeeeyy! Kita bertemu lagi, gadis cantik. Sepertinya sudah jelas kalau kita ini cocok... hick!"
Tercium bau alkohol yang menyengat dari nafas dan tubuh mereka. Tampaknya mereka sudah mulai mabuk.
Sakura terlihat ketakutan dan tampaknya kali ini giliranku yang harus melindunginya.
"Oh! Apa ini temanmu?!" tanya salah seorang yang lain.
"Wah... dia tidak kalah cantik darimu,"
Aku langsung maju selangkah dan menjaga Sakura berlindung di belakangku.
"Bagus sekali kau membawanya ke sini. Dengan dua gadis cantik seperti kalian, pasti bisa memuaskan kamiii... HAHAHA...!"
Aku sedikit melirik ke belakang ke tempat di mana 'orang itu' berada. Bisa ku rasakan tatapan menusuk dari sana. Aku pun tersenyum lebar pada para laki-laki bodoh di depanku. Dengan berani aku melangkah maju. Sakura menarik tanganku. Aku melihat padanya dan dia terlihat sangat ketakutan. Aku tetap tersenyum meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja.
"Ara...! Tampaknya kalian ini masih belum jera ya menggodaku," ucapku dengan berani sambil mendekat pada mereka.
Mereka tertawa terbahak dan aku terus menunjukkan senyuman penuh godaan.
"HAHAHA... Kau pikir hanya karena seseorang menyelamatkanmu tadi dan kau bisa begitu saja lepas dari kami, hah? HAHAHA..."
Aku angkat satu tanganku yang bebas dari genggaman Sakura untuk mengelus wajah salah seorang dari mereka. Orang itu langsung berhenti tertawa diikuti oleh teman-temannya yang kini terpaku pada apa yang aku lakukan. Ku elus pipinya dengan lembut. Dia menegang dan ekspresi di wajahnya yang bodoh membuatnya semakin bodoh. Dia semakin terbakar oleh nafsu begitu dirasakannya tubuh sintalku yang menempel padanya. Tanganku terus menjalar ke belakang telinganya dan menelisik ke sela-sela rambutnya. Dengan sekali dorongan dari belakang kepalanya membawa wajahnya mendekat di depan wajahku. Bisa ku lihat dia susah payah meneguk ludah begitu menyadari betapa dekatnya wajah kami.
"Aaah...! Dan kau sangat percaya diri, hm? Kau dan teman-temanmu menginginkanku memuaskan kalian," ucapku tepat di depan wajahnya.
Dia hanya menganga sambil matanya seperti terhipnotis memandangi bibirku yang bergerak.
"Tapi aku penasaran...," lanjutku sambil kembali menjalankan tanganku turun ke arah dada pria itu.
"Apa tubuh ini juga bisa... memuaskanku?"
Ku elus dadanya yang terbalut kaos tipis yang pas di tubuhnya. Matanya kini mengikuti tanganku yang sengaja ku biarkan menari lebih lama di sana. Bisa ku lihat sesuatu mulai bangkit. Semakin ku lebarkan senyumku. Sudah ku katakan bukan, akal pria akan kalah pada hasratnya.
Emerlard Sakura melihatku tidak percaya. Pastilah dia terkejut mendapati diriku yang begitu berani menghadapi pria mesum sambil berkata dan berlaku seperti itu. Dia pasti heran bagaimana aku bisa seperti ini. Tapi aku bahkan sudah pernah menghadapi orang yang lebih brengsek dari mereka. Itulah yang membuatku bisa seberani sekarang.
"KYAAAA!"
Betapa terkejutnya aku saat seseorang tiba-tiba menarik tanganku yang tadi masih bertengger di dada pria itu. Orang tersebut langsung mencengkeramnya kuat. Ku tengadahkan kepalaku hanya untuk mendapati wajah Sai yang memberengut kesal. Orang-orang tadi dan juga Sakura ikut terkejut akan kehadiran Sai. Mereka semua membeku di tempat. Begitupun denganku yang langsung terhanyut begitu manik hitamnya menyorot langsung mataku.
"Dan mulut nakal ini perlu mendapatkan hukuman," ucapnya dengan suara yang dalam.
Hanya dalam hitungan detik aku merasakan jiwaku melayang jauh saat bibirnya meraup bibirku membawa kami pada ciuman yang dalam. Saat itulah, saat bibir kami bertemu, aku merasa lengkap. Perasaan kosong yang sebelumnya ku rasakan tiba-tiba terisi. Hati yang sebelumnya ku rasakan seperti terbelah kini utuh kembali.
Sai menyudahi ciuman itu dan dia kembali menatapku.
"Tentu saja mereka tidak bisa memuaskanmu karena hanya aku yang bisa," ucapnya lagi sambil tersenyum menggoda.
Aku sempat terdiam, namun kemudian aku tak bisa untuk tidak ikut tersenyum.
"Tentu saja, Sai-sama," kataku sambil melancarkan senyuman jahilku padanya.
Dia semakin melebarkan senyumannya. Dan aku tak mengerti mengapa aku sangat bahagia.
Matanya kini memicing tajam pada orang-orang tadi yang masih diam di tempat tak bergerak. Terutama saat mereka harus menyaksikan kejadian dramatis barusan, membuat mereka melongo tidak elit. Lalu begitu disadarinya tatapan tajam Sai, mereka tak perlu aba-aba lagi untuk langsung membubarkan diri.
Sai kembali fokus padaku. Dia memelukku dari belakang dan mulai memberikan kecupan-kecupan di pipi dan leherku. Aku hampir terlena dan lupa diri sebelum ku rasakan tangan kananku yang ditarik seseorang. Aku pun kembali sadar akan keberadaan Sakura di sana. Sai ikut menyadari keberadaan gadis itu dan dia terlihat terganggu.
Ku lihat wajah Sakura yang begitu terkejut dan tidak percaya. Aku hanya bisa menggigit bibirku. Bisa ku rasakan kekecewaannya terhadapku. Aku menyesal karena tak bisa menjelaskan apapun padanya. Dan tampaknya Sakura mengharapkan penjelasan saat itu juga. Akhirnya aku hanya bisa tersenyum untuk menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang aku yakin kini sudah mengusik pikirannya.
"Sakura, Shikamaru dan yang lain sudah menunggumu. Sebaiknya kau segera ke sana," kataku sambil menunjuk ke tempat di mana Shikamaru dan timnya berada.
Sakura melihat ke arah yang ku tunjuk. Yang lain tampak tenggelam dalam pesta, tapi manik cokelat Shikamaru melihat tajam ke tempat kami berada tepatnya dia melihat Sai yang balik disambut senyuman mengejek pemuda pucat itu.
Sakura kembali melihatku. Bisa ku rasakan tatapan penuh khawatir dari matanya.
"Tidak apa-apa. Pergilah!" kataku lagi meyakinkan.
Dia melepaskan tanganku yang sedari tadi digenggamnya dengan ragu. Rasanya dia enggan meninggalkanku dan membiarkan begitu saja diriku berada dalam kungkungan seseorang yang menurutnya berbahaya.
Sekali lagi aku tersenyum meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja. Dia pun mengerti dan melangkah pergi menemui teman-teman setimnya.
Sakura berhenti di depan Shikamaru. Dia tahu ke mana arah tatapan pemuda itu. Sekali lagi dia pun ikut menoleh melihat ke tempatku sebelum dia kembali berbalik dan menyapa riang Naruto dan yang lain. Sementara sahabat nanasku itu masih tak melepas tatapan tajamnya pada Sai yang dengan senang hati diladeni si pemuda pucat yang kini semakin gencar memberikan kecupan-kecupan pada pundak terbukaku untuk membuat Shikamaru semakin panas.
"Sai jangan begitu! Kau tidak perlu memprovokasi Shikamaru!" ucapku mencoba menghentikan apa yang diperbuatnya pada tubuhku.
Dia hanya terkekeh dan semakin menggila memberikan sentuhannya.
"Kenapa dia harus terprovokasi hanya karena aku menyentuhmu. Aku jadi tidak mengerti sebenarnya apa hubungan kalian berdua,"
"Sudah ku katakan dia sahabatku dari kecil," kataku jelas dan tegas.
"Benarkah hanya sahabat? Lalu kenapa tadi siang saat aku memintamu menemuiku dia terlihat tidak rela?" Sai seperti tidak percaya.
"Mana ada yang rela saat orang yang mereka kenal jatuh ke tangan orang sepertimu. Bahkan Ayahku pun tak rela," kataku penuh sindiran.
"Oh ya, aku dengar kau pergi ke Jerman. Apa kau bertemu Ayahmu?" tanyanya.
"Ya, aku bertemu Ayah," jawabku.
"Hoo... Apa kabar Ayah mertuaku itu?"
Suaranya terdengar mengejek di telingaku. Aku hanya bisa menghela nafas untuk tetap tenang.
"Dia berkata bahwa kau tidak akan membiarkannya atapun diriku lepas begitu saja. Kau pasti akan kembali menjerat kami. Dan dia memintaku untuk tinggal di Jerman bersamanya,"
Mendengar penuturanku, Sai malah tertawa. Aku sedikit meliriknya.
"Uh! Itu tuduhan jahat sekali," katanya dengan nada kekanakan.
Dia meletakkan dagunya di pundakku dan menempelkan pipinya dengan pipiku. Berpura-pura seperti anak kecil yang sedang bermanja-manja.
"Padahal kenyataannya aku kan tidak melakukan apa-apa," ucapnya lagi seperti bocah yang merajuk.
Tapi sedetik kemudian manik hitamnya melirik licik padaku. Dia bawa bibirnya ke depan telingaku.
"Kau sendirilah yang memutuskan kembali ke Konoha. Bahkan malam ini kau mendatangiku langsung ke sini. Aku sangat senang Ino. Terbukti bahwa kau begitu ingin dijerat olehku," ucapnya langsung di telingaku.
Jantungku hampir berhenti saat dia mengatakan itu. Dia memang asal berucap saja, tapi untukku apa yang dia katakan tadi terdengar tidak salah.
Aku menegakkan diriku dan berbalik menghadapnya. Membuat dia kembali berdiri tegak. Ku lancarkan senyuman yang berhasil membuat dahinya mengernyit bingung.
"Jangan salah paham," kataku yang semakin membuatnya tidak mengerti.
"Asal kau tahu, aku datang malam ini ke arena balapan ini karena teman-temanku ikut serta. Dan lagi Sasuke-kun adalah salah satu pembalapnya. Tentu saja aku ingin melihat aksinya. Dan apa kau lihat tadi betapa kerennya dia. Aaah... aku tidak salah kalau aku jatuh cinta padanya," ujarku sengaja memuji-muji Sasuke dan berhasil membuat Sai kehilangan senyuman di bibirnya.
Dia memutus kontak mata dariku dan membawa pandangannya melihat ke arah lain. Tampaknya dia tidak mampu menutupi ketidaksukaannya saat aku memuji pemuda Uchiha itu. Meski apa yang aku katakan tadi tidak sepenuhnya bohong karena aku memang datang ke arena tersebut untuk memastikan teman-temanku baik-baik saja, tapi pujian berlebihanku terhadap Sasuke hanya agar aku bisa menutupi perasaanku yang sebenarnya.
"Uchiha Sasuke, huh,"
Sai kembali berucap dan matanya kini kembali melihat di mana tim Naruto berada.
"Bukan hanya wajahnya dan cara balapannya, bahkan aura di sekitar dirinya begitu mengingatkan kita pada Indra. Aku bisa mengerti mengapa kau menyukainya,"
"Ya, kau benar. Sasuke-kun sama tampannya dengan Indra senpai. Tapi apa kau tahu, aku sudah menyukai Sasuke-kun bahkan jauh sebelum aku mengenal Indra senpai. Kami pernah satu sekolah saat sekolah dasar. Bahkan saat aku kecil saja aku sudah tergila-gila karena ketampanannya. Haaah... Dia sangat keren dan aku tidak akan menolak kalau dia menginginkanku untuk jadi kekasihnya,"
Aku terus mengoceh panjang lebar tentang bagaimana mengagumkannya Sasuke. Bisa ku rasakan Sai mendengus sebal dan dengan kasar dia menarik lenganku membuat otomatis tubuhku berbalik menghadapnya.
"Ino...!"
Dia menggeretakkan gigi-giginya. Kekesalannya sudah sampai puncak dan bisa kapan saja meledak.
"Kau mengerti kan mengapa aku memintamu menemuiku?"
Mataku menatap lurus padanya. Bibirnya tersenyum miring menyadari aku yang mengerti apa yang diinginkannya. Tangannya terangkat mengelus puncak kepalaku.
"Peranmu sekarang adalah sebagai jaminan agar teman-temanmu bisa terus bertahan di ajang balapan ini serta balapan-balapan lainnya yang ada di Konoha. Pembalap manapun di kota ini akan memberikan respect-nya saat mereka mendapatkan pengakuan dariku,"
Tiba-tiba nafasku memburu cepat. Bayang-bayang ketakutan kembali melintas di pikiranku. Mengingat kejadian yang pernah terjadi sebelumnya.
"Apa... kau juga bisa menjamin keselamatan mereka?" tanyaku penuh harap.
Sai diam sebentar sebelum menjawab.
"Aku, kau dan mereka tahu apa nama balapan ini. Saat mereka memutuskan untuk ikut serta, pastilah mereka sudah siap akan resikonya. Menjamin keselamatan mereka bukanlah kuasaku,"
Dia berkata jujur. Aku sampai tak menyangka bagaimana sorot mata Sai menunjukkan ketidakberdayaan. Tampaknya dia pun berharap bisa menjamin keselamatan para pembalap yang ikut serta dalam balapan maut ini, tapi dia tak mampu. Dan bisa ku lihat bahwa Sai pun sangat kecewa pada dirinya sendiri. Aku tak bisa menyalahkannya. Hanya saja apa artinya semua ini.
"Lalu apa gunanya aku kembali bersamamu kalau aku tidak bisa melakukan apapun untuk mereka?"
Sai menunduk sedikit dan membawa wajahnya begitu dekat dengan wajahku.
"Dengar Ino! Selama kau bersamaku, kau bisa memantau mereka semua dari jarak yang sangat dekat. Kau akan memiliki semua informasi yang mereka butuhkan. Dan akan sangat mudah bila kau dekat dengan informasi itu sendiri,"
Sai adalah orang yang paling tahu tentang balap jalanan Konoha. Dan teman-temanku saat ini tengah menyelam pada sesuatu yang begitu dikuasai orang ini. Artinya apa yang harus ku kerjakan sama seperti saat ayahku bekerja sebagai intel sekaligus anak buah Sai. Aku harus menjadi jembatan yang memiliki dua sisi. Walau sejujurnya aku sangat mengerti, pihak yang sebenarnya paling membutuhkan informasi di sini adalah Sai sendiri. Dia ingin aku berperan ganda. Seolah aku membantu teman-temanku dengan menyusup ke tempatnya, tapi sebenarnya aku adalah miliknya yang sengaja ditempatkan di sana.
Dia mengecup pipiku.
"Kau wanitaku yang pintar, Ino. Kau pasti mengerti apa yang harus dilakukan,"
Aku termenung, menimbang semuanya dalam pikiranku. Sementara Sai merengkuh tubuhku dan terus memberikan sentuhan-sentuhannya di sana. Kedua tanganku terangkat untuk kulingkarkan di sekeliling tubuhnya, memeluknya erat. Ku sadari Sai yang tersenyum menang.
Di tengah kemeriahan musik yang bergema keras hingga membuat orang-orang di sekitar berjoget gila-gilaan, cukup lama kami hanya diam di tempat dengan posisi yang sama, saling memeluk. Meski Sai bukan orang yang hangat, tapi saat tubuh kami bersentuhan aku menyadari bahwa hangat tubuhnya adalah yang paling pas untuk membuat perasaan dingin yang pernah ku rasakan saat dia tidak di dekatku menguap dan lenyap. Sebaliknya, gesekan kulit yang menyentuh satu sama lain menghasilkan percikan api gairah yang membakar kerasionalan dalam otakku menjadi debu. Aku mengangkat wajahku untuk langsung melihatnya. Saat mata kami bertemu, kami sadar apa yang begitu paling kami inginkan saat itu.
"Ayo kita pergi!" ajaknya.
Aku melihat sekeliling di mana semua orang masih tenggelam dalam pesta yang meriah.
"Apa kau yakin ingin meninggalkan pesta?" tanyaku.
"Ini bukan pestaku. Ini pesta mereka yang memenangkan balapan malam ini. Kalau aku ingin berpesta aku bisa melakukannya kapanpun aku mau. Sekarang yang aku ingin hanyalah ––,"
Dia sengaja menggantung ucapannya dan tersenyum menggoda padaku. Tanpa perlu dia melengkapi aku sudah mengerti apa yang dia inginkan. Aku membalas senyumannya dan dia langsung mengerti jawabanku. Dia menarikku menjauhi tempat pesta. Langkahnya sangat cepat seperti dia sudah tidak sabar. Kami pun menaiki mobil Civic-nya yang dia parkir agak jauh dan dijaga beberapa anak buahnya. Mereka sempat heran karena Sai tiba-tiba terburu-buru untuk meninggalkan arena, tapi langsung mengerti saat melihatku bersamanya.
"Kita ke Hotel Hokage," katanya.
"Sai!" panggilku.
Dia menoleh padaku sebelum menyalakan mesin mobilnya.
"Bisakah kita pulang?" pintaku.
Dia sempat memikirkan maksud kata 'pulang'-ku.
"Ke apartemenku?" tanyanya.
"Ya," jawabku.
Dia tersenyum.
"As you wish!" katanya.
Dan mobil pun melaju cepat ke tempat yang kami tuju.
.
Pagi yang menyejukkan. Entah mengapa sinar mentari bisa lebih jelas ku lihat. Meski kini sudah pertengahan musim panas, namun angin segar masih bertiup ringan. Aku duduk di kursi kayu di beranda apartemen sambil asik mengecat kuku. Walau pada akhirnya aku harus kembali ke tempat ini, tapi tak bisa ku pungkiri hatiku terasa lebih ringan dibandingkan beberapa waktu ke belakang.
Malam yang ku habiskan bersama Sai, memberikan definisi baru tentang kebahagiaan. Aku telah memilih bahagia dengan cara yang salah. Tapi adakah orang di dunia ini yang berhak melarang orang lain untuk bahagia.
Saat pagi hari ku bangun dan melihatnya masih tertidur pulas di sampingku, sanggup membuatku tersenyum. Mendengar suara maskulinnya memanggil namaku, begitu saja ku jatuh dalam peluknya. Hanya dengan nafasnya membuat jantungku berdegup kencang. Pikiranku masih melarangku mengatakannya. Namun hatiku telah menyimpulkan perasaan apa ini.
"INO! INO! DI MANA KAU?!"
Dia sudah bangun dari tidurnya dan langsung berteriak-teriak mencari keberadaanku yang tak berada di sampingnya.
"Saiii...! Aku di sini!" panggilku dari beranda.
Tak butuh waktu lama dia sudah muncul di tempatku berada.
"Kau membuatku takut. Aku pikir kau pergi lagi," dia berkata dengan tampang yang sungguh-sungguh khawatir.
Bisa ku lihat betapa terburu-burunya dia mencariku sampai hanya berpakaian asal dengan celana pendeknya dan kemeja yang belum dikancingi.
"Lalu kenapa kalau aku pergi?" ucapku lirih, tapi dia mendengarnya.
"Jangan main-main Ino. Aku tidak akan membiarkanmu lepas lagi," tegasnya yang ku balas dengan kekehan kecil.
"Ku harap begitu," gumamku hampir tak bersuara.
"Hah?! Apa kau bilang?"
Syukurlah kali ini dia tak mendengarnya.
"Tidak," kataku mengelak. "Bisa pakaikan cat kuku di tangan kananku?" sambil mengulurkan tangan kanan yang kukunya belum ku cat.
Dia mengernyit bingung mengalihkan tatapannya berulang kali dari wajah lalu ke tanganku yang terulur. Tampaknya dia sedikit kesal karena aku tiba-tiba merubah topik pembicaraan. Walau begitu, dia tetap mengambil botol cat kuku di meja samping tempat ku duduk dan dia pun mendudukan diri di kursi sampingku.
"Kemarikan tanganmu!" katanya dan mulai mengoleskan cat di atas kuku dengan penuh perhatian.
Bisa ku lihat perbedaan skill kami dalam hal menggunakan kuas. Cat yang dia oleskan begitu rapih dan ketebalan warnanya benar-benar teratur. Aku yang notabennya wanita dan sering mengecat kuku tidak mampu mengecat dengan setelaten itu. Sai memang ahli dalam menggoreskan warna-warna menjadi terlihat indah, pada kanvas, pada kukuku, juga pada hatiku.
Aku mengangkat tangan kiriku berniat mengelus pipinya yang putih pucat, tapi dia langsung menghindar.
"Hey! Cat kukumu masih belum kering. Kau bisa merusaknya," ujarnya.
"Hm! Kau akan mengecatnya lagi untukku," jawabku menggoda.
Sai tidak merespon dan terus fokus mengecat kuku tangan kananku.
"Kapan kita akan pergi melukis lagi?" tanyaku berharap kami bisa menghabiskan waktu berjalan-jalan bersama seperti yang sudah-sudah.
Sai melepaskan tanganku yang kuku-kukunya selesai dicatnya.
"Tidak bisa," jawabnya yang membuatku terperangah. "Mulai sekarang aku akan sangat sibuk,"
"Sibuk? Sibuk apa?" tanyaku.
"Balapan menuju puncak Konoha akan segera dimulai. Banyak hal yang harus aku lakukan," jawabnya.
Aku memang tidak mengerti sebenarnya apa yang perlu diurus atau dipersiapkan untuk balapan sakral itu. Namun tampaknya bagi Sai ini adalah hal yang amat serius. Lagipula, balapan jalanan di Konoha bukan hanya balapan maut, banyak yang lainnya. Dan tidak pernah Sai terlihat sesibuk itu. Entah kenapa tiba-tiba aku mengingat kata-kata sang kursi ke-9 sebelum ini.
"Hmmmm... Sai, sebenarnya sebelum kejadian aku pergi itu... aku sempat bertemu kursi ke-9. Dia mengatakan sesuatu tentang ––,"
"Tentang aku yang tidak memiliki apapun," sambungnya.
Aku terkejut karena ternyata Sai tahu.
"Aku tahu dia pasti mengatakan itu," jelasnya saat mendapati keterkejutanku.
"Tidak seperti eksekutif lainnya yang berguna dan menghasilkan banyak uang. Sang kursi pertama misalnya. Dialah yang paling pandai menumpuk pundi-pundi uang untuk organisasi kami. Kasino yang sering menjadi tempat pertemuan adalah asetnya. Belum lagi banyak hotel dan tempat hiburan lain di Konoha serta jalur perdagangan sampai taraf internasional. Dia melakukan semuanya. Begitupun dengan para eksekutif yang lain yang memiliki banyak bisnis. Mulai dari bisnis real estate, restoran, hingga perdagangan ilegal. Mereka pun bukan orang-orang yang berasal dari keluarga sembarangan. Sudah turun temurun keluarga mereka adalah yang telah melayani sang pemimpin Yakuza Konoha dari generasi ke generasi. Sedang aku hanyalah anak seorang pelacur yang dinaikan derajatnya oleh Danzo-sama. Aset yang ku miliki hanya apartemen ini dan klub Tsukuyomi. Itu pun semuanya diberikan oleh Danzo-sama. Meski begitu, ada hal yang hanya dimiliki olehku sebagai eksekutif ke-10 yaitu, kepercayaan,"
"Kepercayaan? Maksudmu?"
Sai telah berujar panjang lebar, namun kata terakhirnya mengusikku.
"Kepercayaan Danzo-sama untuk mengungkap misteri puncak Konoha,"
Refleks aku berdiri dari dudukku.
"Tunggu!" ucapku. "Kata-katamu tadi... Jadi maksudnya... Yakuza pun tidak tahu apa yang ada di puncak Konoha?"
Sai melirikku yang tak mampu menahan keterkejutanku. Dia pun berdiri dan berjalan ke selusur beranda. Matanya menatap kota Konoha dari ketinggian.
"Konoha adalah rumah kami. Setiap sudut tempat, setiap liku jalan adalah hal berharga yang harus kami lindungi apapun taruhannya. Itulah yang selalu dikatakan Danzo-sama,"
Rasanya ucapan tersebut membuatku paham satu hal.
"Apapun taruhannya, walaupun harus mengorbankan banyak nyawa para pembalap?"
Sai menoleh saat aku mengatakan hal tadi. Dia tersenyum miring. Dibalik tubuhnya menghadapku, membiarkan punggungnya bersandar di selusur beranda.
"Benar Ino. Apapun akan dilakukan untuk mendapatkan kebenaran. Itulah ambisi Danzo-sama. Dan hanya akulah yang bisa mewujudkan ambisinya itu. Bukan esekutif manapun, hanya aku," tegasnya.
Aku sedikit merasa terusik di sini. Mengapa hal tersebut menganggu Danzo dan para Yakuza. Meski gunung Konoha memiliki misteri yang tak terpecahkan, namun Yakuza memiliki kuasa sampai ke sudut kota. Untuk apa mereka menyulitkan diri menggunakan ajang balapan untuk mengeksploitasi gunung tersebut.
"Mengapa kalian tidak menaikinya sendiri, puncak Konoha itu?" tanyaku pada akhirnya.
Sai melirikku tajam dari sudut matanya sebelum kembali dia membelakangiku untuk membawa pandangan melihat sudut kota yang mulai meramai.
"Itu yang selalu aku inginkan, tapi tidak bisa," jawabnya.
"Kenapa?" tanyaku tidak mengerti.
"Selalu ada langit di atas langit, Ino. Kau tidak akan mengerti," ujarnya yang semakin membuat aku bingung.
"Lalu... apa yang kau pikir ada di puncak sana?" tanyaku yang begitu amat penasaran.
Sai menghela nafas kasar.
"Entahlah. Yang pasti sesuatu yang merusak keseimbangan kota ini,"
Aku semakin tak menemukan titik terang dari apa yang dia sampaikan dan hanya membuatku semakin penasaran tapi juga takut. Sebelumnya aku ingin berasumsi bahwa Sai tengah mengarang dan hanya berpura-pura. Namun manik hitam kelam itu memperlihatkan kesungguhan yang bukan sandiwara. Tampaknya dia menceritakan hal yang sebenarnya. Serta apa yang dia pikirkan dan rasakan semuanya bukanlah rekayasa. Aku semakin khawatir akan nasib teman-temanku.
"Ino!" panggilnya merusak lamunanku.
Aku melihat padanya yang sudah menghadapku dan melihatku langsung.
"Mulai sekarang kau akan ikut denganku ke arena balapan bila menurutku kau perlu ikut. Selebihnya bila menurutku kau tidak dibutuhkan di sana, kau harus tetap berdiam di sini. Jangan seenaknya pergi dan muncul ke arena balapan bila tidak denganku. Ikuti apapun perintahku sampai ke detail kecilnya,"
"Kau ingin menjadikanku tahanan lagi seperti dulu?"
Bisa ku ingat saat dia merantaiku dalam ruangan gelap itu dulu. Dan ucapan perintahnya tadi terdengar seperti dia melakukan hal yang sama seperti itu. Sai menatapku tajam.
"Aku tidak menjadikanmu tahanan," jawabnya penuh tekanan. "Aku melindungimu,"
Dahiku mengernyit. Otakku bertanya-tanya.
"Melindungiku? Dari apa?" tanyaku.
Dia tak langsung menjawab. Kakinya melangkah melewatiku berjalan masuk ke dalam.
"Dari sesuatu yang ku takutkan," jawabnya lirih hampir tidak bisa ku dengar.
Diriku merasa heran. Sebenarnya aku ini apa di mata Sai. Dia berkata ingin melindungiku, tapi bukankah berkali-kali dia menegaskan kalau aku ini hanya mainannya, sama seperti wanita yang lain. Apa pedulinya pada keselamatanku. Atau maksud kata melindunginya berbeda dari apa yang aku pikirkan. Melindungiku untuk dapat terus memanfaatkanku, begitukah maksudnya. Seketika hatiku berdenyut sakit. Tidak bisakah aku merasakan bahagia seperti yang selalu aku impikan.
Benar saja, aku memang tidak mengerti pikiran Sai. Berbeda dengan kebersamaan kami sebelumnya, sekarang dia lebih banyak memantauku. Matanya tidak pernah lepas dari setiap hal yang aku lakukan. Bila dia tidak ada di sampingku, maka dia akan mengurungku di apartemen atau menyuruh anak buahnya membuntutiku kemana pun aku pergi. Dia juga mulai menyertakan aku untuk hadir dalam setiap acara balapan jalanan di Konoha salah satunya balapan maut yang baru akan dimulai.
Di pesta pembukaan betapa senangnya aku bisa lepas sejenak darinya dan bergabung dengan teman-temanku. Tampaknya Sakura sangat muak melihat Sai yang terus ada di dekatku. Aku mengerti ketidaksukaannya pada Sai. Ia semakin tidak suka pada pemuda itu saat tak sengaja aku memperlihatkan perasaan tersakitiku saat Sai menggandeng beberapa wanita di depan mataku. Sebenarnya bukan karena hal tersebut yang membuat hatiku sakit, bagiku melihatnya menggandeng wanita lain adalah hal biasa. Hanya saja aku merasa sedih, mengenal Sai lebih jauh membuat aku semakin sadar akan jalan hidup yang dipilih pemuda itu. Dengan banyak hal yang hilang dari kehidupan masa lalunya, dari pandangan rendah orang-orang di sekitarnya, membuat pemuda itu memperjelas misi hidupnya. Dan aku sadar, bukan kebahagiaan yang dia cari. Bagi Sai yang dibutuhkan hanyalah pengakuan.
Cara Sai memperlakukan orang-orang disekelilingnya termasuk diriku seperti layaknya mainan, alat dan benda mati lainnya, semua itu ditirunya dari perlakuan orang lain terhadapnya. Seperti ucapan Danzo sebelumnya, Sai tidak tahu bagaimana manusia normal menjalani hidup. Sejak kecil yang dilihatnya hanyalah kehidupan di seputaran klub mengingat di sanalah dulu ia tinggal. Sai membangun persepsinya sendiri tentang bagaimana cara manusia berhubungan satu sama lain. Dan sangat disayangkan kala dirinya harus kehilangan sosok ibu di saat dia belum sempat mengenal hal yang satu ini, 'cinta'. Sai tidak pernah tahu bahwa 'cinta' bukan sekedar kata, tapi ada perwujudannya. Dan wujud 'cinta' hanya bisa dirasakan bila ada hubungan yang benar antar manusia. Namun Sai terlanjur lebih dulu masuk dalam kehidupan Yakuza yang keras. Dirinya hanya tahu satu hubungan manusia yaitu bahwa manusia hidup hanya sebagai alat. Keberadaan mereka hanya sebatas berguna atau tidaknya untuk mencapai sebuah tujuan. Bila berguna maka mereka akan diakui. Bila tidak berguna maka mereka perlu disingkirkan.
.
Sejak balapan menuju puncak Konoha resmi dibuka, bisa ku lihat betapa sibuk dan stressnya Sai. Sering ku dapati dia tidak beranjak dari depan komputernya hingga larut malam bahkan sampai pagi. Belum lagi ada rapat bersama anggotanya membahas tentang balapan tersebut yang membuatnya hampir tidak pernah pulang. Sai selalu mencoba menutupi kelemahannya. Dia tidak ingin orang lain mengetahui bahwa dia tengah memikirkan banyak hal. Salah satu dalihnya adalah dia berkata alasannya yang tidak pernah pulang karena dia bermalam dengan wanita lain. Dia mengatakan kebohongannya dengan sangat meyakinkan. Meski aku menyadari bahwa dia berbohong, tapi aku perlu meresponnya dengan baik yaitu dengan pura-pura percaya kebohongannya.
Kestressannya bertambah berkat kejadian Sasuke dan Orochimaru yang banyak menarik keingintahuan publik. Meski garis besarnya semua orang sudah tahu akan skandal Orochimaru dan keluarga Uchiha, tapi Sai menginginkan detail. Dia memerintahku untuk mendapatkan cerita lengkapnya. Untunglah Sakura menceritakan semuanya waktu di kantin dulu. Aku pun tidak perlu repot-repot menyelidiki.
Dari sana Sai memperkerjakan Orochimaru untuk mendapatkan lebih banyak informasi tentang Uchiha. Alasan kenapa Orochimaru ikut hadir dalam pesta ulang tahun Sai karena orang itu bekerja untuknya. Info yang diberikan Orochimaru sangat tidak disangka. Dia mengatakan bahwa ayah Sasuke pernah terlibat dunia balap jalanan. Bagaimanapun semua orang tahu bahwa keluarga Uchiha sangat terhormat. Bahkan Sasuke ikut serta balapan jalanan pun dengan sembunyi-sembunyi. Dan ini adalah Fugaku Uchiha, sang ahli waris yang memiliki wajah di Konoha. Sai tidak begitu saja mempercayai Orochimaru karena orang itu tidak memberinya bukti langsung. Dan menurutnya informasi itu tidak terlalu berguna untuk mencapai apa yang ingin ditujunya. Meski begitu baginya, Orochimaru masih berguna untuk memberikan tekanan pada Sasuke. Jadi dia biarkan orang itu untuk menyampaikan informasi tersebut langsung pada Sasuke.
Kemudian datanglah hari itu, saat Naruto meminta bantuanku mencuri data tentang balapan menuju puncak Konoha dari database komputer Sai. Aku melakukannya meski yang ku dapat tidak banyak. Awalnya ku fikir semua berjalan dengan aman tanpa Sai mengetahuinya. Tapi salah, semua itu bukan berjalan sesuai rencanaku, tapi sesuai rencana Sai. Dia menertawaiku atas apa yang kulakukan.
"Kau bodoh, Ino," ucapnya.
Aku menatapnya tidak percaya.
"Jadi kau tahu?" tanyaku.
"Tentu saja. Kau fikir aku bisa semudah itu dibodohi dan membiarkan begitu saja seorang wanita mencuri sesuatu dariku. Kau bisa dengan mudah mendapatkannya karena memang aku membiarkanmu mendapatkannya," jawabnya yang membuatku terkejut.
"Tapi kenapa kau biarkan aku mencuri data itu darimu?" tanyaku masih tidak mengerti.
Sai tersenyum.
"Bukankah sudah pernah ku katakan apa peranmu sekarang? Kau tidak perlu bermain di belakangku. Kalau kau memberiku informasi maka aku juga akan mengatakan apa yang kau butuhkan,"
Aku menatapnya lurus. Jadi dia benar-benar ingin menjadikanku agen ganda.
"Jadi, sebenarnya apa yang diinginkan teman-temanmu itu? Apa yang mereka cari dari balapan maut?"
Dia menelisik pikiranku. Dengan terpaksa aku ceritakan semuanya tentang tujuan Naruto. Sai hanya tersenyum lebar menanggapinya.
"Kalau begitu dengarkan ini," ucapnya tiba-tiba.
Aku sedikit waspada akan apa yang ingin disampaikannya.
"Apa yang mereka cari tidak ada dalam database komputer. Informasi tentang balapan menuju puncak Konoha 17 tahun lalu masih dalam bentuk arsip file yang tersimpan di kantorku,"
Aku membulatkan mataku tidak percaya Sai dengan suka rela membagi informasi tersebut. Tapi dibalik itu semua, aku sadar bahwa Sai tengah memanfaatkan teman-temanku. Dia ingin menjadikan mereka semua kendaraan untuk membantunya mencapai tujuannya, yaitu mengungkap misteri puncak Konoha.
Mengerti bahwa informasi itu sangat berguna, tapi juga berbahaya. Bisa saja teman-temanku akan masuk perangkap Sai. Aku pun tidak menyampaikannya pada mereka. Tidak ada niat sedikit pun untuk memberitahukannya. Bukan karena aku tak ingin membantu, tapi aku takut hanya akan membahayakan mereka. Oleh karena itu aku memilih untuk menyimpannya sendiri.
Sekali lagi kejadian tak mengenakan kembali terjadi. Kecelakaan di jalur rahasia yang berakhir dengan terungkapnya identitas Pangeran Byakugan sebagai Hyuga Hinata benar-benar bukan hanya mengejutkan para pembalap, tapi juga menampar keras wajah Sai. Malam itu Sai benar-benar merasa kecolongan. Dimulai dari dia dan timnya sebagai penyelenggara tak mampu melindungi daerah kekuasaan sendiri sampai terungkap bahwa seseorang yang dulu pernah mengalahkannya dalam balapan adalah seorang perempuan.
Tak beda halnya dengan Sai, aku pun mendapatkan kejutan yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Malam itu saat aku berdiri di lorong rumah sakit dan melihat semua temanku di sana, aku menyadari bahwa ada jurang yang sangat besar yang memisahkan aku dan mereka. Tempat mereka berada bukanlah tempatku dan tempatku berada sangat jauh dari mereka.
Perasaan menyesakkan menyelimuti dadaku. Kecewa dan sakit hati menjadi satu-satunya orang yang terasingkan. Melihat keadaan Shikamaru dan yang lain tampak tidak terganggu akan kebenaran tentang Hinata adalah Pangeran Byakugan, membuat aku mengerti bahwa mereka telah mengetahui fakta itu sebelumnya. Namun tak seorang pun yang memberitahuku informasi tersebut, tidak Shikamaru maupun Sakura dan Hinata yang akhir-akhir ini menjadi teman terdekatku. Bukan, bukan informasi melainkan cerita. Kenapa tak seorang pun dari mereka yang menceritakannya padaku. Memang wajar bagi mereka tak bisa mempercayaiku. Mana ada yang akan percaya pada seseorang yang tidur dengan Yakuza. Hal itu begitu membuat hatiku sesak. Membuatku menyadari bahwa aku hanya bagian kecil dari hidup mereka. Menyadari bahwa aku bukan apa-apa.
Lalu sesuatu yang benar-benar membuatku semakin hancur, sepulangnya dari rumah sakit Sai mulai mengamuk dan hilang kendali. Kejadian seperti ini memang sudah sering terjadi. Namun malam itu Sai benar-benar menyalahkanku dengan semua yang terjadi. Tentu saja dia menyalahkanku karena aku yang seharusnya menjadi informan untuknya malah tidak mengetahui apapun perihal semua fakta ini.
"KENAPA KAU TIDAK MENGATAKAN APAPUN KEPADAKU, HAH?! KAU SENGAJA MENYEMBUNYIKANNYA DARIKU?!"
"Tidak Saiiiiiiii...! Tidak begituuu... Aku juga tidak tahuuu...,"
Air mataku tak mampu lagi terbendung. Rasa sakit ditubuhku dengan semua kekasaran yang dilakukan Sai tidak sebanding dengan rasa sakit di hatiku di mana aku merasa telah mengkhianati kepercayaan Sai.
"ITULAH! ITULAH MASALAHNYA, INO! KENAPA KAU TIDAK TAHU? KAU TEMAN MEREKA TAPI KENAPA KAU TIDAK TAHU?!"
Aku tak mampu menjawabnya. Hatiku semakin sesak. Sai menarik rambutku hingga kepalaku menengadah membawanya tepat ke depan wajahnya. Tatapan mata Sai yang begitu dingin.
"Jadilah berguna, Ino! Atau kau hanya akan menjadi sampah untukku!"
Dia mengucapkannya dengan suara rendah, namun tekanan di setiap katanya membuat tubuhku melemas, jantungku hampir berhenti berdetak, otakku tak sanggup lagi bekerja. Air mataku tiba-tiba saja berhenti mengalir meninggalkan tatapan kosong di mata hijau kebiruan milikku.
'Sampah', benar, sejak awal keberadaan diriku untuknya hanya sebatas apakah aku berguna untuknya atau tidak. Lalu sekarang aku menunjukkan padanya bahwa aku tak berguna. Apa yang akan terjadi selanjutnya, aku tak sanggup membayangkannya.
Malam itu aku biarkan Sai melakukan apa saja padaku. Ragaku bagaikan benda mati tanpa jiwa di dalamnya. Aku biarkan dia melampiaskan semua kemarahannya. Bahkan aku tak peduli bila tubuhku dihancurkannya. Aku 'sampah', aku tak berguna untuk Sai. Lalu apa arti keberadaanku sekarang. Akan lebih baik bila aku hancur dan lenyap. Itulah yang terus berputar dalam pikiranku sepanjang malam.
Namun keesokan paginya, Sai duduk di samping tempat tidur sambil mengusap tubuhku dengan handuk basah. Dia mengusap setiap lukaku dengan amat lembut. Begitu ku membuka mata, dia tersenyum dan kemudian mengecup keningku. Hatiku kembali bergetar, air mataku mengalir. Langsung ku lemparkan diriku ke dalam pelukannya. Dia tidak membalasnya, tapi bisa ku rasakan kehangatan dari panas tubuhnya. Aku merasa bisa kembali hidup. Aku masih punya alasan untuk tetap bernafas. Aku bulatkan tekadku untuk laki-laki itu. Menjadi senjata, menjadi alat, atau menjadi apapun asal aku bisa berguna untuknya. Aku tidak ingin semua ini berakhir. Aku ingin terus bersamanya.
Masih mencoba sabar menunggu penjelasan langsung dari mulut teman-temanku, tapi tak seorang pun mencoba untuk melakukannya. Bahkan sikap mereka terkesan menghindariku. Hal itulah yang semakin membulatkan tekadku untuk berdiri di pihak Sai. Aku menumpahkan semua rasa marah dan kecewa pada teman-temanku hari itu, saat tim Naruto brdiskusi di lorong sekolah. Aku sempat merekam diskusi mereka untuk ku kirimkan sebagai informasi bagi Sai. Namun langkahku terhenti saat Naruto memintaku bertanya lebih jauh dalam hatiku. Aku tak mengerti, tapi mata biru Naruto seolah bisa membaca pikiranku. Aku mengurungkan niat untuk mengirimkan rekaman tersebut. Namun bukan berarti Sai tidak mengetahui rencana Naruto, Shikamaru dan yang lain. Dengan atau tanpa informasi dariku, sebetulnya Sai sudah tahu detail apa yang dicari mereka.
Akhirnya aku gunakan kartu yang belum pernah ku keluarkan sebelumnya. Informasi dari Sai tentang data balapan maut 17 tahun lalu yang tersimpan di kantornya. Sejujurnya aku tahu itu jebakan Sai.
"Ino, hari ini aku akan pergi ke Ame," ujar Sai di pagi harinya sebelum kejadian tersebut.
Dia tengah bersiap-siap memakai setelan resminya tampak rapih dengan kemeja yang dimasukan dan jas formal.
"Oh, apa kau ada urusan di sana?" tanyaku.
"Yah hanya ada sedikit urusan. Aku pergi tidak lama. Mungkin besok pagi sudah kembali," jawabnya.
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala menanggapi sambil menyilangkan kakiku duduk santai di sofa, membalik halaman majalah fashion dan menyeruput teh hangat di pagi hari adalah hal terbaik.
Sai berbalik melihat padaku kemudian dia berjalan mendekat dan duduk di pegangan sofa.
"Dengar! Kenapa tidak kau coba untuk membersihkan kantorku?" ujarnya yang berhasil membuatku mendelik padanya.
Sai menampilkan senyuman penuh makna dibaliknya membuatku bertanya-tanya akan maksud dibalik permintaannya itu.
"Hah?! Kenapa harus aku yang membersihkannya? Kau kan punya banyak anak buah yang bisa kau suruh untuk melakukannya," kataku.
Tiba-tiba Sai terkekeh. Dia pun mengusap puncak kepalaku dan mengecupnya. Kemudian dia pun berkata sambil masih menopangkan dagunya di atas kepalaku.
"Kau tahu, seharian ini ruangan itu akan kosong,"
Aku terkesiap, mengerti ke mana pembicaraan ini akan berlanjut.
"Karena letaknya yang ada di klub Tsukuyomi sangat mudah untuk masuk ke sana, bukan?"
Aku melirik Sai dan sesuai tebakanku bagaimana ekspresinya saat itu. Dia tersenyum penuh arti.
"Yah, tapi tetap saja untuk bisa masuk ke sana kau harus bisa melewati para bawahanku yang sedikit overprotective pada ruangan itu. Tapi sepertinya tak akan jadi masalah kalau yang datang adalah kau dan beberapa petugas kebersihan,"
Aku menatap lurus Sai. Dia masih menunjukkan senyuman licik tersebut. Langsung ku mengerti bahwa itu adalah misi darinya. Aku harus bisa melakukannya atau aku hanya akan menjadi sampah untuknya. Yah, lagi pula bukankah pada akhirnya tetap menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karena itu aku menerima misi tersebut.
"Baiklah, aku mengerti," responku.
Sai semakin melebarkan senyumannya.
"Bagus, wanitaku yang pintar," ujarnya.
Kemudian dia membawaku terhanyut dalam ciumannya yang memabukan.
Akhirnya semua rencana itu pun berjalan amat mulus. Meski aku tahu itu terjadi karena Sai memang mengaturnya sedemikian rupa. Aku berhasil melakukan misiku dan Naruto pun mendapatkan data yang dia cari. Semuanya tidak ada yang merasa dirugikan di sini.
Namun lagi-lagi hatiku terenyuh ketika Naruto berkata bahwa diriku begitu baik karena mau membantunya bahkan sampai mempertaruhkan nyawa lalu hanya ingin dibayar dengan sebuah cerita tentang Hinata yang seorang Pangeran Byakugan. Kembali perasaanku terasa hancur karena aku tidak sebaik yang Naruto pikirkan. Aku hanya seseorang yang egois. Aku tak ingin ditinggalkan oleh teman-temanku. Aku tak ingin kehilangan Shikamaru, Choji, Sakura, juga Hinata. Tapi, satu hal yang mengalahkan semua perasaan itu. Satu hal yang paling aku tidak ingin kehilangan yaitu, Sai.
Sungguh aku tak mengerti kenapa perasaan itu setiap hari malah semakin besar. Perasaan yang tidak pernah ingin aku artikan dengan jelas. Perasaan yang seumur hidup benar-benar tidak ingin aku ucapkan. Seolah bila aku mengucapkannya sama saja dengan mengakuinya. Bila aku mengakuinya artinya aku kalah. Maka hati dan pikiranku berusaha untuk terus menyangkalnya. Hingga tiba hari itu, pertemuanku dengan Yugao-san di kafe Iruka.
"Sudah cukup lama sejak terakhir kali kita bertemu enam bulan lalu di pertemuan para eksekutif dengan Danzo-sama," ucapnya padaku saat kami berbicara berdua di kafe Iruka.
"Eh? I-iya,"
Dia tersenyum melihat ekspresi wajahku yang tidak sanggup menutupi kebingunganku lantaran mendapati keadaan dirinya yang saat itu. Di mana mataku tak henti beralih dari wajah ayu Yugao-san ke perutnya yang saat itu terlihat membesar sebab tengah mengandung darah dagingnya.
"Kau terkejut melihatku yang tengah hamil?" tanyanya santai.
Aku gelagapan, merasa tidak sopan terhadapnya.
"Sebenarnya terakhir kita bertemu itu aku sudah dalam kondisi seperti ini. Sebentar lagi aku akan melahirkan,"
Suaranya begitu tenang dan tak terpungkiri terdengar nada bahagia di sana. Namun sesaat kemudian ekspresi wajahnya menyendu.
"Sayangnya semua tidak bisa berjalan lancar. Bagi orang normal saat-saat seperti ini adalah waktu yang paling membahagiakan. Tapi bagi orang seperti kita, ini adalah saatnya untuk membuat keputusan yang sulit,"
"Hmm? Maaf, maksudmu?" tanyaku tak paham.
Yugao-san tersenyum lagi.
"Aku sangat mencintai Mizuki-kun. Sudah banyak hal yang rela aku korbankan untuknya. Aku meninggalkan Ayahku dan membuatnya kehilangan nyawa. Aku bahkan rela kehilangan kehidupan normalku untuk bisa berada di sampingnya. Tak peduli berapa kalipun dia menyakitiku, memukulku, ataupun menyiksaku, aku bisa terus bertahan di sisinya. Semua orang berkata aku gila, tapi bagiku itulah cinta yang sesungguhnya,"
Entah mengapa kata-kata Yugao-san saat itu menggangguku. Seolah semuanya sangat berhubungan denganku. Sama seperti Yugao-san, aku pun meninggalkan ayahku untuk kembali pada Sai. Aku terus bertahan di sisinya meski sudah berulang kali dia menyiksa dan menyakitiku. Aku pun rela kehilangan hari-hari normalku, bermain dengan teman-temanku seperti layaknya remaja umumnya, dan memilih untuk hidup bersama Sai menjadi alatnya. Namun aku ragu karena tak paham apa arti semua itu. Lalu Yugao-san tiba-tiba mengatakannya dengan gamblang bahwa arti semua itu adalah ...
"Apa kau mencintai Sai?"
Aku terperanjat mendapati pertanyaan tak terduga tersebut.
"Ah...tidak... Aku... Aku...,"
Tak mengerti mengapa aku tidak bisa langsung menjawabnya. Sudah berulang kali aku mencoba menyangkal, tapi kali ini bukan hanya mulutku tapi hati dan pikiranku turut tak mampu menyangkalnya.
"Kau pasti mencintainya, meski kau tak mampu mengatakannya. Sama seperti apa yang pernah terjadi padaku. Tapi, aku berharap kau tidak akan pernah melakukan kesalahan seperti yang diriku lakukan,"
Yugao-san kembali memasang ekspresi sedihnya. Sambil tangan berjari lentik miliknya mengelus-elus perut besar yang tengah membawa buah cintanya bersama Mizuki.
"Aku tak bisa membuat Mizuki-kun mengerti. Salahku tidak bisa membuatnya paham. Kali ini aku harus menyerah. Aku sangat mencintai Mizuki-kun dan ingin terus bersamanya. Tapi bila itu artinya aku harus kehilangan anak dalam kandunganku ini, maka aku tak bisa. Artinya aku harus membuat pilihan yang sulit,"
Aku hanya mampu tertegun mendengar semua kata-katanya. Meski begitu hatiku turut merasakan sakit.
"Aku berharap kau tidak sampai pada titik ini, Ino. Di mana kau harus membuat pilihan yang mana sama artinya kau mendapatkan sesuatu untuk kehilangan yang lain. Dan itu sangat menyakitkan. Kalau kau memang mencintai Sai, buatlah dia mengerti akan perasaanmu,"
Cerita Yugao-san amat menyesakkan hatiku. Ditambah lagi dengan kejadian selanjutnya di mana aku melihat langsung dengan mata kepalaku betapa kejamnya perlakuan Mizuki pada wanitanya. Dia menyiksanya tanpa memperdulikan kondisi Yugao-san. Saat itu seolah aku bisa membayangkannya dengan jelas bahwa suatu hari bisa saja hal tersebut terjadi padaku. Tiba-tiba saja aku merasa gentar. Ketakutan menyelubungiku. Bukan karena aku takut merasakan sakitnya siksaan, itu sudah biasa ku rasakan. Yang ku takutkan justru kenyataan yang baru benar-benar ku sadari. Sesuatu yang berulang kali ku coba hindari untuk mendefinisikannya.
Tiba-tiba saja suara Indra-senpai terngiang di telingaku. Perkataannya saat terakhir kali kami berbincang.
("...Bila aku membuatmu terluka, menyakitimu dan aku membuatmu menangis setiap hari, apakah kau mau tetap mendukungku dan tetap berada di sisiku?"
"Suatu hari bila ada orang seperti itu hadir di hidupmu, dan kau tetap ingin berada di sisinya dan tetap terus mencintainya, mungkin di hari itu kau akan mengerti arti cinta yang sesungguhnya,")
Dulu aku tak mengerti maksudnya, tapi kali ini aku bukan hanya mengerti tapi juga bisa merasakannya.
"Aku dengar keributan yang dibuat Mizuki beberapa hari lalu,"
Bahas Sai tiba-tiba di tengah sarapan kami pagi itu. Tanganku yang semula mengoles roti dengan mentega pun berhenti, mataku melirik ke depan di mana orang itu melayangkan tatapan matanya yang penuh selidik terhadapku.
"Serta kedai yang jadi sasaran keributan itu adalah kedai tempat teman-temanmu bekerja,"
Sambungnya masih dengan penuh selidik. Aku mengabaikannya dan pura-pura kembali sibuk mengoles mentega.
"Dan hari itu kau ada di sana,"
Aku terdiam lagi dan kembali melihat padanya.
"Tapi hebat juga kau bisa sembunyi dari Mizuki," ucapnya sambil menunjukkan senyuman tipisnya.
Ku letakan roti di atas piring dan mulai menanggapi perbincangan yang dimulainya itu.
"Aku fikir kau tidak akan suka kalau Mizuki mengetahui keberadaanku di sana," jawabku.
Sai melayangkan senyuman tipis meremehkan.
"Ya, kerja bagus karena kau bisa menghindari Mizuki. Tapi itulah mengapa aku melarangmu pergi tanpa pengawasanku atau anak buahku dan dengan lancangnya kau menemui teman-temanmu itu,"
Terdengar dari nada bicaranya bahwa Sai amat kesal karena saat itu aku mengabaikan izinnya untuk menemui teman-temanku. Setelah kejadian menyelinap masuk kantor Sai waktu itu, meskipun semuanya berjalan sesuai rencana pria ini, aku mencoba berdamai dengan teman-temanku. Hinata bahkan menyambut permintaan maafku dan bersedia bercerita tentang dirinya. Meski begitu, hatiku yang seutuhnya belumlah bebas, masih tertawan oleh pemuda di hadapanku ini.
"Apa salahnya sih Sai, aku hanya menemui teman-temanku. Aku tidak melakukan hal macam-macam. Kau tidak perlu terus-terusan mengawasiku," ucapku tidak kalah kesal.
"Itulah masalahnya, Ino. Saat aku sebentar saja tidak mengawasimu, kau langsung melakukan hal yang membuatku jengkel,"
Aku mengernyitkan dahi tak paham apa maksud perkataannya.
"Tidak usah pura-pura bodoh. Berbangga diri merasa hebat kau bisa lolos dari Mizuki. Aku tahu semuanya, Ino. Kau bicara denganya kan, dengan wanitanya Mizuki?"
"Yugao-san...,"
"Ya, dia. Kau bahkan tidak mengatakan apapun tentang kejadian itu. Bahkan aku harus mengetahuinya dari orangku. Kau ingin menutupinya dariku, hah?!"
Aku menggeleng, tidak paham akan dibawa ke mana pembicaraan ini.
"Jadi, apa saja yang kau bicarakan dengannya?" tanya Sai.
"Tidak ada yang penting," jawabku jujur. Memang bukan hal penting, setidaknya tidak penting untuk Sai.
"Masih mencoba berlagak bodoh, huh?"
Aku melirik padanya yang duduk di hadapanku. Dari ekspresi wajahnya begitu menuntutku untuk mengatakannya.
"Apa maksudmu sih, Sai? Sudah ku katakan tidak ada yang penting kan," kataku sedikit menyentaknya.
'BRAAAK...!'
Sai tiba-tiba menendang meja dan membuat semua makanan di atasnya berantakan.
"Kau mau bermain di belakangku lagi, Ino? Kau mau mengkhianatiku?"
Aku menggelengkan kepala, tidak habis pikir akan apa yang Sai tuduhkan padaku. Entah apa yang terjadi, tapi hari-hari belakangan Sai selalu mencari-cari kesalahanku dan tak hentinya memancing debat hanya untuk perihal sepele.
"Terserah kau mau berkata apa, tapi aku tidak seperti yang kau tuduhkan. Cukup sudah membahas masalah tidak penting ini, aku mau berangkat sekolah,"
Aku pun beranjak dari meja makan meninggalkan sarapan yang tak jadi ku sentuh. Aku mengambil tas di sofa mengabaikan suara keras Sai yang menyentakkan namaku. Baru beberapa langkah tiba-tiba sebuah tangan dengan kuat mencengkeram leherku dan dengan sekali sentakan tubuhku terbanting menghantam meja makan.
Pandanganku sempat menggelap sebelum kemudian merasakan sakit di punggung dan kepalaku yang dengan keras menghantam meja kayu serta beberapa piring dan gelas beling yang ikut pecah. Saat pandanganku menjadi jelas, yang kudapati di hadapanku adalah Sai di atasku menampilkan wajah dingin yang sudah lama tak pernah ku lihat. Satu tangannya masih mencengkeram kuat leherku. Napasku tersengal-sengal. Aku berusaha mendapatkan seminimal mungkin oksigen untuk bisa terus bernapas.
"Kau tidak mengerti... Kau benar-benar tidak mengerti, Ino," geram Sai dengan suara rendah namun berbahaya.
Aku semakin mengernyitkan dahiku, tidak paham apa yang diracaukan Sai tentang aku yang tidak mengerti. Manik hitam itu tampak lebih kelam dari biasanya. Aku teringat bahwa itu adalah tatapan yang sama persis saat pertama kali bertemu Sai.
Bibir Sai terus melafalkan kalimat yang sama tentang aku yang tidak mengerti sedang cengkeraman di leherku semakin mengetat. Aku pun mulai berontak berusaha untuk lepas.
"Apa maksudmu aku tidak mengerti?"
Aku terus berusaha keras lepas dari cengkeramannya.
"Kau yang tidak mengerti apapun,"
Aku mencakar tangannya agar dia melonggarkan cengkeraman di leherku.
"Kaulah yang tidak pernah mau mengerti!"
Kakiku menendang-nendang untuk bisa lepas. Dia pun melepas leherku namun sebagai gantinya dia menahan kedua bahuku. Aku semakin memberontak tak karuan.
"Lepas! Leeepas! LEPASKAAAN!"
'BUAK!'
Saat sekuat tenaga aku berontak minta dilepaskan, tak ku sadari aku sudah melayangkan tinjuku ke wajah Sai. Tak pernah aku bayangkan sebelumnya bahwa aku bisa memukulnya sekuat itu. Sungguh hal itu tidak ku sengaja. Namun Sai akhirnya melepaskan cengkeramannya padaku. Dia memegangi pipinya yang ku pukul. Rambut hitam lurus miliknya yang akhir-akhir ini mulai sedikit memanjang, menutupi sebagian wajahnya. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya dengan jelas.
Aku kembali teringan saat di klub Tsukuyomi aku juga pernah menamparnya. Namun Sai tidak terpengaruh dan malah tertawa lepas sesudahnya. Kali ini aku pun berharap dia tiba-tiba tertawa seperti saat itu dan melupakan semua yang terjadi. Karena seperti itulah Sai biasanya.
"Sa-Sai... Ka-Kau tidak apa-apa?"
Sambil perlahan mendekatinya. Aku memiringkan kepala mencoba mengintip wajah Sai dari balik rambut yang menutupinya. Aku membeku terkejut. Bisa kulihat ada sedikit goresan di tulang pipinya. Ternyata kuku panjangku sedikit mengenainya. Tapi bukan itu yang membuatku terkejut, melainkan ekspresi wajah Sai yang dingin dan sorot matanya tanpa ekspresi. Kakiku mundur beberapa langkah. Pemuda itu pun mengangkat wajahnya. Dia menyisir rambutnya ke belakang dengan jari jemarinya kemudian berbalik membelakangiku.
Punggungnya yang ku lihat, biasanya tampak tegap dan angkuh, tapi saat itu entah mengapa aku merasakan ketidakberdayaan. Hening beberapa saat dan itu sungguh membuatku sangat cemas. Aku akan memulai langakah mendekat. Aku ingin memeluknya sekarang. Aku ingin memohon maaf dan berbaikan dengannya.
"Sa-Sai... Aku – ,"
"Pergilah Ino!"
Langkahku terhenti. Manik hitam Sai melirik tajam kepadaku.
"Pergilah! Kau sudah tidak kubutuhkan lagi,"
Tubuhku membeku. Kalimat itu diucapkan dengan amat pelan, namun berhasil menyambar keras hatiku. Apa maksudnya dia sudah tidak membutuhkanku? Apa itu artinya dia –
"Sai... apa ... apa maksudmu?"
Sai berbalik.
"Kau mengerti maksudku. Aku sudah tidak butuh dirimu,"
Otakku tidak bisa mencernanya. Apa yang Sai katakan? Aku tidak mengerti. Apa salahku?
"Sai... aku... aku tahu aku ... aku salah. Aku... aku sudah menyakitimu. Aku... aku... aku minta maaf," tanganku terulur untuk mengusap luka di pipinya, namun...
'PLAK!'
Dia menampik tanganku.
Aku pun tersentak. Saat pandanganku menatap wajahnya, tatapan mata itu, bukan, itu bukan tatapan tanpa emosi. Sebaliknya mata itu menunjukkan rasa sakit, penderitaan dan kehancuran.
"Sudah ku katakan kau tidak mengerti, Ino. Sekarang enyahlah dari hadapanku!"
"Apa yang aku tidak mengerti, Sai?! Kalau memang aku tidak mengerti, maka buat aku mengerti! Akan aku lakukan apapun untukmu, Sai. Apa yang kau minta? Apa yang kau inginkan? Akan aku lakukan Sai! Aku masih kau butuhkan. Jangan buang aku!"
"Bukankah selama ini kau berharap bisa lepas dariku?"
Kembali aku tersentak akan ucapannya.
"Bukannya itulah yang selama ini kau inginkan?"
Benar. Selama ini aku ingin lepas dari jeratan Sai. Tapi...
"Kau berada di sampingku berharap hari ini akan datang. Kau terpaksa memainkan peranmu. Menjadi alat untukku. Kau tidak benar-benar ingin berada di sisiku,"
Tidak. Kali ini salah. Aku menggelengkan kepalaku. Menyangkal tuduhannya yang semena-mena tanpa tahu hatiku.
"Kau sama saja seperti wanita lainnya. Berkata ingin dilepaskan, tapi tak ingin dilepaskan. Brsyukurlah, aku melepaskanmu hidup-hidup,"
Dia berpaling dan melangkah beranjak menuju pintu.
"Tu-tunggu Sai!"
Aku tertatih mengejar langkahnya.
"Tunggu! Aku tidak merasa terpaksa berada di sisimu. Aku tidak masalah kau jadikan alat. Aku tidak masalah kau manfaatkan atau kau jadikan aku mainanmu selamanya, aku tidak masalah. Asalkan aku bisa terus bersamamu, Sai!"
Tiba-tiba Sai berbalik dan satu tangannya mencengkeram lengan kananku. Wajahnya begitu keras dan tegas.
"Kau sudah tahu sejak awal terlibat denganku. Kau hanya memiliki dua pilihan, enyah dari hidupku dan menganggap semuanya tidak pernah terjadi atau kau mati di tanganku,"
Tubuhku membeku. Bahkan saat tangan dingin Sai yang mencengkeram lenganku melepaskan sambil mendorong kasar, tubuhku tidak bergerak seinci pun. Otakku mulai berjalan seperti roll film yang memutar gambar-gambar kejadian. Teringat olehku kata-kata wanita yang terbunuh di kamar lantai dua klub Tsukuyomi.
("Tapi, saat waktunya nanti, saat pada akhirnya dia benar-benar membuangmu, di saat itu juga kau akan merasa hidupmu telah berakhir,"
"Kau hanya akan mengerti saat waktunya tiba nanti,"
"Seperti yang tadi ku bilang, kau tidak akan bisa bebas dari Sai. Meski dia sudah melepasmu, membuangmu, tapi hatimu tidak akan pernah bebas darinya. Kau akan memilih mati daripada dicampakannya,")
Lalu roll film itu mulai menggambarkan sosok wanita itu yang menangis memohon-mohon pada Sai. Setelahnya berputar lagi dan menampilkan wanita itu yang terbunuh, Sai menembaknya karena pemuda itu ingin mengabulkan keinginan wanita tersebut yang berkata bahwa dia lebih baik mati daripada kehilangan Sai.
"Kalau dari dua pilihan itu aku memilih untuk mati di tanganmu, apa kau mau mengabulkannya?"
Pertamyaanku berhasil menghentikan langkah Sai. Dia berbalik menatapku dan menunjukkan ekspresi tidak percaya.
"Kalau aku berkata, aku lebih baik mati daripada kehilanganmu, apa kau mau mengabulkan keinginanku seperti kau mengabulkan keinginan wanita itu?"
Tampak dari wajahnya kalau dia juga mengingat kejadian tersebut.
"Kau membawanya kan Sai, pistolmu. Ayo, tembak aku. Ayo, bunuh aku Sai!"
Hatiku sudah siap. Diri ini sudah siap. Kata-kataku bukan bualan. Aku seperti sudah tidak memiliki pegangan. Kalau Sai mau membunuhku, rasanya itu lebih baik.
"Kemasi barang-barangmu, Ino. Pergi dari sini dan jangan pernah kembali lagi!"
Sai melangkah keluar apartemen dan meninggalkanku begitu saja. Dia mengusirku. Begitulah cara dia mengakhirinya.
Tubuhku lemas. Aku langsung jatuh bersimpuh di depan pintu apartemen. Ku tangkupkan telapak tanganku ke wajah untuk meredam suara tangisku yang sudah tak mampu tertampung lagi. Aku menangis sejadi-jadinya.
Di saat itu aku sudah tidak lagi menyangkal hatiku. Aku mencintainya. Dan di saat itu juga sebenarnya aku sudah mengetahui bahwa aku tengah mengandung anak Sai.
Meski sudah diusirnya, aku tidak juga meninggalkan apartemen. Aku ingin menunggunya. Berhari-hari ku tunggu Sai kembali, namun dia tak pernah datang. Hingga gossip tentangnya yang sudah mendapatkan wanita baru untuk menggantikanku menyebar sampai ke telingaku. Aku pun menguatkan hatiku untuk mendatanginya. Mungkin benar yang dikatakan Yugao-san, aku harus bisa membuat Sai mengerti. Ya, akan ku buat Sai mengerti tentang perasaanku dan akan ku beri tahu dia tentang kehamilanku. Mungkin saja hatinya akan luluh dan dia mau menerimaku.
Namun tampaknya Sai tetaplah Sai. Saat ku temui dia di ruangan spesialnya di klub Tsukuyomi, kamar di lantai dua yang tak berjendela. Dia tengah bermesraan dengan Sarah, wanita barunya. Aku hanya bisa merasakan pahit di hatiku. Tapi itu tidak sebanding dengan penolakannya akan janin yang ku kandung. Dia berkata bahwa akan menerimaku lagi bila aku menggugurkannya. Separuh hatiku tahu janjinya itu hanyalah bohong belaka, namun sisi lain hatiku ingin percaya. Maka aku lakukan apa yang dia perintahkan. Aku berani melakukan hal berbahaya itu karena aku sudah tidak peduli pada hidupku. Kalau aku mati saat prosesnya, maka itu akan lebih baik.
Tapi aku selamat. Aku telah membuang calon anakku sendiri. Kembali aku mencari Sai berharap bisa kembali padanya. Namun benar saja, dia tidak menerimaku. Setelah apa yang ku lakukan, dia tetap menolakku. Aku sudah dibuangnya. Hidupku sudah berakhir. Cerita Yamanaka Ino sepenuhnya selesai.
.
.
.
'BRAK!'
Hinata begitu saja bangkit dari duduknya hingga menjatuhkan kursi belajarnya. Ekspresinya di wajah ayunya menunjukkan betapa shock nya dia. Tiba-tiba kakinya beranjak. Dengan cepat dia menyambar mantel dan kunci mobil. Berlari menuruni tangga dan hampir saja menabrak Neji.
"Hinata? Kau mengagetkanku. Ada apa sih? Biasanya kau yang cerewet memperingati orang-orang untuk tidak berlari di dalam rumah,"
Gadis itu tidak menanggapi dan terus berlari menuju pintu depan.
"Hoi, Hinata! Kau mau ke mana?!" teriak Neji.
Tidak menghiraukan dan suara deru mesin mobil menandakan gadis Hyuga itu hendak pergi ke suatu tempat.
Sedang di kediaman Haruno, Sakura yang masih belum beranjak dari tempat tidurnya, dia menangkupkan wajahnya pada kedua lututnya yang terangkat. Gadis itu menangis tersedu setelah membaca email panjang dari Ino. Sakura tidak mampu menahan tangisnya. Dan dia merasa bersalah karena tidak pernah tahu penderitaan yang dialami Ino.
.
.
TO BE CONTINUED...
.
.
Sorry ya, untuk dua chapter ini malah cerita tentang Ino.
Selanjutnya akan kembali ke cerita utama.
Semoga masih ada yang baca. Hehehe...
