BAB I

Mentari pagi bersinar terang. Awan bergerak pelan dalam tiupan angin perlahan hiasi langit yang cerah ketika dibawahnya burung-burung terbang untuk berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain untuk mencari makan. Kabut tipis tampak menyelubungi alam sekitar menambah suasana syahdu pegunungan.

Semuanya berjalan normal.

Pagi itu adalah pagi cerah seperti biasa.

Alam semesta tetap indah tanpa berubah.

Seorang anak laki-laki berlari menyusuri riang gembira. Langkah kakinya ringan. Wajahnya riang dan penuh tawa meskipun pakaiannya lusuh dan sederhana. Semangat yang ada pada dirinya seakan menggambarkan betapa hari ini begitu berbeda dengan beberapa hari sebelumnya. Para penghuni hutan mungkin masih mengingat betapa hujan kala itu turun dengan begitu deras. Langit senantiasa gelap seakan meratap, tangisi sebuah tragedi kehidupan yang terjadi entah dimana.

Anak tersebut terus melaju melintasi deretan pepohonan rindang yang tidak beraturan. Kedua matanya melihat kebelakang dan diperoleh kesadaran jika jarak dirinya terlalu jauh dari sosok seorang pria yang terus berjalan dibelakang. Bocah itu lalu menghentikan langkahnya, melambaikan tangan sambil tersenyum lebar ketika diamatinya lelaki itu terus mendekat.

"Ayo kak, sungainya sudah dekat !" Ujar anak itu dengan penuh semangat sementara lelaki itu hanya tersenyum dan tertawa menatap sosok mungil didepannya. Pria tersebut terus berjalan mendekati tempat sang bocah berada seraya membawa dua buah perangkap ikan tradisional berbahan bambu di punggungnya.

"Pelan-pelan," ujar laki-laki bermata hitam itu kepada sang bocah sambal sesekali melihat kedepan, pandangi cahaya matahari yang menembus lebatnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi sesekali berhembus melewati dirinya. Berikan belaian pelan pada kedua pipi sang pria. Ia tahu kenapa anak dihadapannya pagi ini begitu bersemangat. Hari diawali dengan kegiatan menangkap ikan yang menjadi kegemarannya.

"Semangat sekali kamu, Braan," lelaki itu kembali berkata kepada anak laki-laki itu ketika jaraknya sudah terdiri dari beberapa langkah, "bukankah sudah kubilang kalau ikan-ikan disana sudah janji akan menunggu kita datang?"

"Hmph, kapan memangnya kamu bisa bahasa ikan?" tanya sang bocah sambil berkacak pinggang seraya menggembungkan pipinya.

"Tadi subuh," ujar pria berambut panjang tersebut tertawa sambil menepuk pundak Braan guna mengajaknya untuk lanjut berjalan sambil menyerahkan sebuah kotak anyaman kecil yang sejak tadi dibawanya.

"Aku mau pasang perangkap ikannya kali ini !"

"Siapa yang pasang itu urusan nanti," laki-laki itu berkata, "kerjakan dulu urusanmu atau kuberitahu Maya."

"Kakak curang ! Masa sedikit-sedikit Kak Maya !?"

Kedua kakak beradik itu terus bersenda gurau dalam suasana syahdu hutan yang bersahabat. Interaksi antara keduanya berlangsung hangat khas hubungan saudara antara seorang kakak berusia 20-an akhir dengan adiknya yang masih balita hingga keduanya sampai di tepi sebuah danau berpanorama indah. Airnya tenang, jernih dan menyegarkan. Hadikan suasana bagai lukisan bagi siapapun yang melihatnya.

Lelaki itu kemudian meminta Braan untuk mulai mengumpulkan barang-barang sesuai kebutuhan. Lingkup bendanya luas karena mencakup apapun yang dapat digunakan sebagai bahan makanan dan keperluan lainnya. Adiknya tersebut kemudian mulai melakukan bagiannya tanpa banyak bertanya sementara sang kakak memeriksa perangkap ikan dari beberapa hari sebelumnya.

Jujur, hasilnya tidak seburuk dugaan.

Setidaknya masih ada beberapa ekor didalamnya.

Pria berambut panjang tersebut kemudian mengangkat perangkap ikan pertama yang sudah berisi ikan, mengikat ujungnya lalu membawanya menuju perangkap ikan kedua. Namun, kali ini keberuntungan tidak mengulangi kemunculannya karena benda itu ternyata sudah hilang dari tempatnya semula. Pemuda itu pun akhirnya hanya bisa menghela nafas.

"Braan!" Teriaknya memanggil sang adik yang baru saja memasukkan sebuah tanaman kedalam kotak anyaman kecilnya di kejauhan. Alihkan perhatian sang pemilik nama. Pemuda itu lalu mengangkat perangkap ikan yang masih kosong sebagai isyarat kalau ia ingin mengajak Braan untuk terlibat dalam proses pemasangan. Bocah itu lalu dengan semangat berlari kearahnya.

"Taruh dulu keranjangmu di sana," ujar pemuda itu sambil menunjuk tempat ia meletakkan perangkap ikan yang telah ia panen sebelumnya. Pemintaan sang kakak itu kemudian dengan segera diikuti oleh sang adik dengan antusias. Namun, jumlah perangkap yang tidak sesuai itu kemudian membuatnya mulai bertanya.

"Perangkap yang satu lagi kemana kak?"

"Hilang."

"Coba aku yang pasang, pasti nggak hilang."

"Wah, kita punya nelayan hebat rupanya." Lelaki itu kemudian tertawa seraya mengacak-acak rambut Braan karena gemas dengan ulahnya ketika pada saat bersamaan, kedua mata sang pemuda mengamati kondisi lingkungan sekitarnya secara sekilas.

"Ayo kali ini kita coba pasang disana." Sang kakak kemudian mengajak adiknya untuk berjalan sedikit menjauh dari lokasi awalnya. Dengan sabar dan seksama ia lalu mengajari Braan untuk memasang perangkap ikan di beberapa tempat. Proses tersebut sebenarnya memakan waktu yang cukup lama karena Braan sebelumnya belum pernah melakukan hal itu. Akan tetapi, senda gurau, gelak tawa, dan antusiasme Braan membuat segalanya seolah berlangsung singkat. Padahal, waktu terus berjalan, bumi masih berputar seperti biasa, matahari pun semakin tinggi di angkasa. Mereka lalu mulai bersiap-siap untuk pulang. Namun, Braan tiba-tiba berteriak sambil menunjuk ke arah ketika sang pemuda hendak membawa perangkap ikan hasil panennya.

"Kakak ! I-itu….."

Melihat respon tidak biasa dari adiknya, lelaki itu kemudian mengarahkan pupil matanya yang bewarna hitam ke tempat yang ditunjuk Braan. Tampak sesuatu tengah mengambang diatas danau dengan beberapa anak panah menancap diatasnya. Pantas saja Braan kaget dan takut bukan kepalang.

Sang kakak lalu mengalihkan pandangannya pada sang adik yang kini terduduk gemetar. Tanpa berkata apa-apa, ia lalu meletakkan barang bawaannya untuk kemudian menghampiri sumber persoalan. Benar saja, sesuatu tersebut ternyata adalah tubuh seorang wanita yang penuh dengan luka. Namun, melihat situasinya setidaknya terdapat beberapa hal dalam benak si penyelamat.

Pertama, dilihat dari pakaian yang dikenakan, ia sepertinya adalah seorang petarung entah dari mana.

Kedua, dilihat dari bentuk mulutnya, ia adalah seorang pengidap tarkat.

Ketiga, melihat kondisinya entah apa yang telah dilakukan sang wanita.

Keempat, dia masih hidup atau tidak.

Pemuda berpakaian lusuh itu pun terdiam memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan hati-hati ia lalu memeriksa sosok dihadapannya sebelum memutuskan untuk membawa tubuh tersebut ke tepian.

-o0o-