BAB II
"Kak, kakak itu masih hidup kan?" Tanya Braan cemas sambil terisak ketika pemuda dihadapannya sibuk memastikan kondisi wanita tarkatan yang baru dibawanya ke darat. Namun, sang kakak tidak menjawab kecuali terus memeriksa. Masih hidup tidaknya perempuan tersebut menjadi alasan utama.
Jujur, pemuda itu sebenarnya lebih suka wanita itu sudah tidak bernyawa. Semuanya akan jadi lebih mudah karena yang perlu ia lakukan hanya memberinya penguburan yang layak. Terkait Braan, ia hanya perlu sedikit menghiburnya dan kehidupan akan berlangsung seperti biasa tanpa ada perubahan. Meski demikian, melihat ketakutan dan empati yang ditunjukkan adiknya pada sosok tak dikenal, pria itu lebih memilih untuk diam dan hanya menyimpan isi pikirannya. Lagipula, kondisi perempuan itu juga bertolak belakang dengan keinginan sang pria.
Kehidupan masih berpihak pada sosok tarkatan. Namun, kondisinya sangat lemah.
"Kakak !"
"Braan, tolong cari tiga buah ranting panjang yang ukurannya sebesar ini," ujar sang pemuda sambil menunjukkan dua ruas jarinya kepada bocah didekatnya. Buat anak lelaki itu segera bergegas mencari barang yang dibutuhkan ketika pria tersebut memeriksa tangan penderita penyakit tarkat. Pastikan tidak ada cakar, tulang, atau pisau tarkata didalamnya.
Kosong.
Normal.
Aman.
Demikian pola pikiran pria itu bekerja ketika adiknya yang berpenampilan lusuh tersebut kembali datang dengan membawa barang yang dibutuhkan.
"Apa ini cukup kak?"
"Pegang sebentar," ujar kakak pada adiknya sembari membuka kain yang mengikat kepalanya. Ia lalu mengambil ranting pohon dari tangan adiknya, meletakkannya pada mulut perempuan itu secara melintang. Dengan cepat lelaki itu mengikat kedua ujungnya dengan kain bekas ikat kepala. Seluruh hal tersebut bertujuan untuk mencegah sosok misterius tersebut bangun dan mulai menggigit orang. Mereka lalu bergegas meninggalkan tempat itu dengan membawa barang-barang dan sang wanita. Sisakan suasana tepi danau yang indah nan tenang seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
-o0o-
Tiga hari berlalu sejak Sun Do diguncang kudeta. Berbagai perubahan terjadi dalam kurun waktu yang singkat. Di istana, tampak beberapa orang tentara tengah menurunkan lukisan Jerrod dan Sindel dan menggantinya dengan simbol angkatan bersenjata. Tidak ada lukisan bergambar kaisar Mileena dapat ditemukan karena Arbal telah mengumumkannya sebagai pengkhianat. Para Umgadi dan pasukan tarkatan absen dari pandangan karena satuannya telah dibubarkan. Bekas anggotanya kini tengah diburu atas tuduhan makar. Hal serupa juga terjadi terhadap Sun Do Constabulary hanya saja satu-satunya buronan dari satuan tersebut adalah Li Mei, ketuanya yang selama ini dikenal loyal terhadap keluarga kekaisaran. Adapun putri Kitana telah dicopot dari statusnya sebagai komandan tertinggi angkatan bersenjata dan saat ini tengah berada di paviliun barat istana tanpa akses ke dunia luar. Wanita berpakaian serba biru dengan ornamen emas tersebut kini menjadi tahanan rumah.
Tanpa senjata.
Tertegun menatap pelindung wajah bewarna merah muda berlumur darah yang ditunjukkan oleh seorang pria dalam balutan zirah militer bewarna hitam. Rambutnya panjang dengan gaya menyerupai gabungan antara stitch braid serta nuqula. Aura wibawa terpancar jelas dari tempatnya berada. Ekspresi wajah pria itu tampak ramah tapi terkesan dingin dan menekan. Namun, memang itu yang hendak ia lakukan. Kitana saat ini memang sedang dalam tekanan.
"Saya harap ini bisa membantu anda berpikir jernih, Yang Mulia." Ujar lelaki tersebut pada Kitana, "Sebagai bagian dari keluarga kekaisaran, anda seharusnya tahu apa yang sebaiknya dilakukan."
Atas ucapan yang diutarakan, Kitana hanya terdiam. Dengan gemetar, diambilnya pelindung wajah berlumur darah dari meja putih dihadapannya. Sepasang mata perempuan itu memandang benda itu secara seksama. Wajahnya jelas menunjukkan ketidakpercayaan.
"Permintaan kami sejak awal tidak pernah dan tidak bermaksud mempersulit Yang Mulia," lanjut sosok dihadapan Kitana dengan tenang, "Sejak awal saya hanya meminta Yang Mulia untuk mendukung gerakan kami dengan kesediaan Anda untuk menjadi kaisar menggantikan kakak Anda, mengutuk rezim pemerintahan lama, dan menyatakan junta militer sebagai pemimpin pemerintahan sementara."
Kitana bungkam. Digenggamnya pelindung wajah yang ia ketahui betul siapa pemiliknya. Tampak wanita itu menangis dan mulai tenggelam dalam kesedihan. Jujur, sebenarnya adik sang kaisar sudah tidak tahan. Sejak status tahanan rumah dikenakan, Arbal yang kini ada dihadapannya hampir selalu melakukan hal-hal diluar batas dan nalar.
Pada hari kudeta meletus, Arbal beserta kedua ajudannya datang dan mulai memberikan tawaran yang kini kembali diulanginya. Saat itu Kitana menolak. Namun, penolakan tersebut dilanjutkan dengan dikeluarkannya kepala Khameleon beserta tubuhnya yang telah dipotong kecil-kecil dari sebuah kotak penyimpanan mahal berukuran besar. Sang jenderal kemudian berlalu setelah sebelumnya meminta Kitana untuk bersikap rasional. Tidak egois dan memikirkan nasib semua orang.
Arbal kembali datang pada hari kedua ketika waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Ia kembali menanyakan hal yang sama dan memperoleh jawaban yang serupa. Atas reaksi itu, sang jenderal meminta Kitana untuk melihat kearah jendela dan wanita tersebut mendapati para Umgadi yang tertangkap tengah diperkosa sebelum akhirnya dibunuh dengan cara disula. Kedua mata sang putri kekaisaran juga melihat betapa anak-anak calon Umgadi yang tersisa mengalami nasib tidak jauh berbeda. Mantan komandan tertinggi kekaisaran itu pun muntah-muntah melihat pemandangan biadab dihadapannya. Namun, Arbal hanya menghela nafas dan undur diri sembari berkata, "Saya harap Yang Mulia dapat bersikap bijaksana." Adapun kunjungan Arbal berikutnya adalah sore hari ketika waktu sudah menunjukkan jam makan malam dan lagi-lagi mengajukan pertanyaan serupa.
Tetapi lagi-lagi Kitana kembali melakukan penolakan.
Hasilnya? Pemandangan jendela ruangan menunjukkan pembantaian ribuan orang loyalis kekaisaran, tentara yang menolak tunduk pada kelompok kudeta, para pengidap penyakit tarkat beserta keluarganya. Kegiatan itu berlangsung dari waktu Kitana menyatakan penolakan dan baru berhenti pada jam enam pagi keesokan harinya. Ubah halaman istana menjadi rumah jagal raksasa. Namun, pemandangan neraka tersebut dengan segera dikembalikan seperti semula ketika siang hari menjelang. Hadirkan sensasi seolah-olah orang yang melihatnya sedang mengalami gangguan kejiwaan.
Sungguh, seumur hidup Kitana, baru kali ini ia merasa ditekan sedemikian rupa sampai-sampai ia merasa kekejaman Shao hanya terasa seperti kenakalan remaja biasa. Ingin rasa dirinya bangkit dan melawan. Akan tetapi, disadarinya juga hal itu sangat sulit dilakukan. Wanita itu kalah jumlah. Sang jenderal juga menerapkan sistem pengikut menanggung kesalahan ketuanya seperti tampak dari Countess Jade yang kini terkulai lemas di sudut ruangan. Tangan kanan sang bangsawan hilang akibat ditebas salah satu ajudan Arbal setelah gagalnya percobaan melarikan diri pada dini hari pasca kunjungan pertama jenderal pemimpin kudeta. Disamping itu, kemampuan para pengikut Arbal ternyata lebih baik dari dugaannya semula.
Keheningan tengah melanda seisi ruangan paviliun barat. Tidak ada kata-kata terucap dari kedua orang yang saat ini tengah duduk berhadapan.
Arbal tampak diam menatap Kitana sambil bersandar pada kursi tempatnya berada. Sikapnya seakan berikan waktu bagi putri didepannya untuk meratap. Tangisi kepergian sang kakak yang agaknya menjadi pembuka segel yang menahan luapan emosinya sejak hari pertama.
"Sepertinya Yang Mulia membutuhkan sedikit minuman hangat untuk menenangkan diri." Ucap jenderal berpenampilan serba hitam itu seraya menjentikkan jari kepada seorang ajudan dibelakangnya. Berikan tanda agar sang bawahan menyiapkan secangkir teh hangat untuk diberikan kepada pihak tawanan. Arahan tersebut segera dilaksanakan sesuai perintah dengan diawali dengan kata "Siap !"
Lalu ruangan kembali sunyi dengan hanya menyisakan isak tangis sang tahanan ketika fokus pandangan mata Arbal perlahan beralih dari Kitana menuju sudut ruangan. Ditatapnya sosok Jade yang kini sedang berjuang untuk bertahan hidup dengan sebuah perban besar menutup bahu tempat tangan kanan seharusnya berpangkal. Tampak darah masih terus keluar dan mengotori perban dan lantai marmer putih tempatnya berada.
"Yang Mulia," Arbal kembali berkata, "Saya harap, Anda masih mengingat ucapan dan janji saya. Begitu anda menyatakan kesediaan Yang Mulia atas segala permohonan kami, semua akan kembali seperti biasa. Anda akan segera kami bebaskan dengan dibawah pengawasan. Countess Jade akan segera mendapatkan pengobatan. Semua pengikut dan loyalis Yang Mulia akan kami lepaskan."
Kitana tidak menjawab.
"Saya menjamin semua janji itu atas nama saya sendiri, Yang Mulia." Kembali sang jenderal berkata, "Adalah hak Yang Mulia untuk melihat apakah saya masih dipandang sebagai guru Anda atau tidak. Namun, saya harus mengingatkan bahwa sebagai putri kekaisaran dan mantan supreme commander, Anda semestinya tidak bersikap egois dengan hanya memikirkan diri sendiri dan keluarga kaisar. Menjadi anak kaisar berarti hidup Yang Mulia tidak lagi menjadi milik Yang Mulia sendiri semata-mata. Begitu pula dengan perasaan sekaligus pikiran Yang Mulia, semuanya betapapun harus selalu diarahkan untuk memperhatikan nasib rakyat dan kekaisaran."
Keheningan kembali melanda ketika sang jenderal menghentikan ucapannya. Tampak Jade hanya menggelengkan kepalanya ditengah nafasnya yang tidak menentu. Sadar bahwa rangkaian ucapan Arbal setengah mengandung kebenaran tetapi sebagiannya lagi mengandung omong kosong dan kemunafikan. Adapun sang ajudan yang disuruh membawakan teh hangat telah kembali dan meletakkan minuman itu di sebelah Kitana.
"Atau mungkin penilaian saya selama ini salah? Seorang putri istana mungkin tidak pernah bisa mengetahui bagaimana seharusnya bersikap?"
"cukup…." ujar Kitana pelan.
"Apakah saya mengucapkan sesuatu yang salah Yang Mulia?"
"KUBILANG CUKUP!"
Dengan penuh amarah, Kitana lalu bangkit dari tempat duduknya. Ia lalu mengambil secangkir teh panas didekatnya lalu melempar isinya kearah Arbal. Buat jenderal tersebut basah namun sang korban tidak merespon aksi perlawanan yang dilakukan. Pria itu tahu benar upaya tersebut sama sekali jauh dari kata bahaya karena para ajudan dan serdadu dibelakangnya dengan sigap mencabut pedang untuk kemudian ditodongkan ke leher sang wanita.
"Mungkin saya sudah bersikap tidak adil dengan merampas kipas perang Yang Mulia," Arbal kembali berkata sambil meminta sesuatu dari seorang ajudan. Atas permintaan tersebut, bawahan jenderal tersebut kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya lalu memberikannya pada sang atasan untuk dibuka dan dilemparkan keatas meja.
Sesuatu itu ternyata adalah sebuah sai yang telah patah dan berlumur darah.
Tak perlu sedetik bagi Kitana untuk tahu darimana dan milik siapa benda di depan mata. Dengan segera terbayang sosok kakak yang selama ini sering memakai make up miliknya tanpa izin dan pemberitahuan.
Sungguh Kitana sudah tidak kuat.
"Sepertinya sudah cukup pembicaraan hari ini,"
Dengan acuh tak acuh, Arbal kemudian bangkit dari tempat duduknya dan mulai berjalan meninggalkan ruangan sambil berkata, "Kalau saya tidak salah, jenazah Yang Mulia Sindel tidak pernah dikubur dan disimpan dalam peti kaca di ruang bawah tanah, bukan?"
Mendengar ucapan itu, seketika hati Kitana menjadi sangat tidak enak.
"Arbal… a-apa maksudmu?"
Jenderal itu tidak menjawab ucapan Kitana. Ia hanya menoleh kearah salah satu ajudannya yang bernama Marat seraya bertanya, "Dia masih tampak cantik seperti dulu bukan?"
"Arbal!"
"Siap, benar Jenderal, saya lihat ia masih tidak ada bedanya dengan waktu masih hidup," jawab sang ajudan yang dibalas dengan tepukan pundak sang atasan yang tengah tertawa. Abaikan suara Kitana yang ada dibelakangnya.
"ARBALLLLL!"
Pimpinan kudeta itu kembali diam. Namun, kali ini ia menoleh kebelakang seraya tersenyum jahat. Buat Kitana semakin marah dan melemparkan pisau sai ditangannya yang dengan segera ditangkis oleh pedang milik salah seorang bawahan Arbal.
"AKU BERSUMPAH! DEMI KELUARGAKU, PARA DEWA, DAN SEMUANYA! JANGAN HARAP KAU AKAN MATI NORMAL!"
Atas teriakan itu, pria berpakaian serba hitam tersebut hanya tertawa kecil sembari mengangkat bahunya dan berjalan meninggalkan sang putri kekaisaran. Tidak pernah sekalipun ia kembali melihat kebelakang. Sisakan Kitana seorang diri bersama Countess Jade yang kini sedang jauh dari kata sehat. Tampak jendela ruangan menampilkan seorang penyihir tengah menyiarkan aksi massa diluar istana yang menghendaki Kaisar Mileena dan keluarganya untuk segera dibinasakan, mendukung Arbal dan kelompoknya mengembalikan keamanan negara, serta meminta agar para loyalis istana untuk segera diberantas.
Semua ini terlalu berat.
Apakah ini semua sepadan?
Kitana pun jatuh terduduk diatas lantai mewah ruangan.
Tatapannya kosong seperti halnya isi pikiran.
Ia bingung.
Hatinya pun mulai bertanya.
Dimana Liu Kang? Kenapa Ia bisa membiarkan ini terjadi pada dirinya, keluarganya, dan seluruh kekaisaran. Bukankah Ia adalah Titan?
Air mata kembali keluar dari sudut matanya.
Tetapi suara lemah Jade kembali menyentuh kesadaran.
"Yang…Mulia," ujar wanita berpakaian hijau itu pada Kitana, "saya…. mohon…. jangan putus harapan…. kematian Yang Mulia Kaisar…. sepertinya belum tentu benar"
"Jade, kumohon…. jangan bicara dulu…. kamu harus beristirahat," ujar Kitana yang dengan tergesa menghampiri teman seruangannya. "Kumohon…."
"Kalau benar….Yang Mulia Kaisar….tewas….Arbal….pasti akan membawa….kepalanya pada kita," Jade kembali melanjutkan perkataannya, "Mereka…. hanya… menunjukkan… benda-benda…. miliknya saja…itu… artinya… mereka… belum menemukan…. dimana Yang Mulia sekarang."
Atas ucapan tersebut, Kitana kemudian terdiam. Dirinya berusaha mencerna ucapan yang disampaikan dengan perlahan sembari memeriksa dan memastikan keadaan wanita berambut panjang dihadapannya. Dengan sisa-sisa kewarasannya, ia mulai merenungi semua tindakan Arbal dan anak buahnya beberapa saat lalu dan benar saja itu sangat tidak sesuai dengan perilakunya. Namun, terkait jasad ibunya….
Kitana saat ini hanya bisa menelan ludah ketika pada saat bersamaan di lorong penghubung paviliun barat dan gedung utama, Arbal berjalan sambil bertanya pada Marat mengenai perkembangan proses pencarian terhadap tubuh Mileena. Akan tetapi, atas pertanyaan yang diajukan, sang ajudan hanya bisa menjawab bahwa saat ini Haros dan bawahannya terus melakukan pencarian. Berdasarkan laporan terakhir mereka tengah memasuki Forest of the Hidden Destiny yang serba misterius karena belum pernah dijelajahi oleh pihak kekaisaran secara tuntas. Adapun daerah itu sering disebut dengan nama Wulin karena ketidakjelasan isinya.
"Teruskan saja proses pencariannya." Ujar Arbal kepada Marat, "Kita butuh bukti yang lebih kuat"
"Siap! Akan saya sampaikan," jawab Marat yang kemudian undur diri untuk mengirimkan pesan. Namun, belum lama berselang, seorang tentara lain telah datang dan menghampirinya untuk melaporkan bahwa pasukan pemberontak milik Shao kembali melakukan penyerangan. Agaknya mereka ingin memanfaatkan kekacauan yang tengah terjadi di Sun Do untuk merebut kembali sebagian wilayah.
"Berapa pasukan dari pihak mereka?"
"Siap! Kira-kira sekitar 10.000 orang."
"Sampaikan pada atasanmu untuk mulai merekrut para narapidana dari penjara," ujar Arbal memberikan arahan, "Utamakan mereka yang pernah menjadi pembunuh, perampok, pencuri, dan pemerkosa. Kita belum bisa mengendurkan penjagaan Sun Do hingga semuanya tuntas."
"Siap!"
Betapapun Arbal sadar masih banyak targetnya yang belum jelas keberadaannya.
-o0o-
