BAB III

Nafas yang tersengal berpadu dengan cepatnya langkah kaki melintasi rerumputan ketika Braan dan kakaknya berlari sambil membawa semua bawaan. Yang kecil membawa kotak kecil berisi macam-macam temuan. Si pemuda membawa perangkap ikan bermuatan serta tangkapan terbesar berupa wanita tarkat penuh luka berpakaian tempur bewarna merah muda dan hitam. Mulutnya yang lebar dan penuh gigi tajam tampak mengancam. Berikan nuansa aneh tidak biasa bagi mereka yang melihatnya meskipun telah disumpal dengan ranting kayu untuk mencegah risiko bagi keselamatan.

Satu jam telah berlalu sejak mereka meninggalkan danau besar. Kini mereka bergerak menuju bagian dalam hutan. Melewati daerah yang terus menanjak kearah tebing di dekat aliran sungai tempat sebuah bekas perkampungan berada. Tempat tanpa kehidupan karena hanya terdapat beberapa bangunan reot terbengkalai yang sudah rusak akibat dimakan usia dan kekerasan entah sejak kapan. Lokasi dimana masih ada satu dua bangunan dengan lampu menyala di tengah hutan lebat yang penuh dengan daun berguguran. Jadikan tempat itu seakan tersembunyi dari peradaban. Laksana sisa-sisa sejarah tanpa tutur dan catatan. Misterius lagi mencurigakan seperti itu kiranya orang akan menduga. Namun, hal itu agaknya tidak berlaku bagi Braan dan kakaknya.

Kedua orang itu tahu benar makna tempat itu bagi mereka.

Braan dan sang pemuda kini telah memasuki sisa perkampungan. Kedua kaki mereka terus melangkah melewati bangunan rusak, berlumut dan tidak terawat. Tampak sang kakak terus membopong perempuan tarkatan dengan aman menuju sebuah rumah tua yang bagian terasnya penuh dengan berbagai tumbuhan, sayur, dan buah-buahan dalam proses pengeringan. Ia lalu memasuki bagian dalam bangunan tanpa basa-basi. Abaikan seorang perempuan muda berambut panjang yang terkejut dengan ulah para tamunya.

"Ying Cheng!?" teriaknya, "apa-apaan ini!?"

Pemuda terus bergegas memasuki kamar untuk meletakkan sosok temuannya di sebuah tempat tidur kayu tanpa mengatakan apapun kepada sang wanita. Ia lalu dengan cepat melepas perangkap ikan dari punggungnya dan memeriksa kembali sosok tarkat tak dikenal dihadapannya ketika Braan tiba-tiba menyodori penghuni rumah dengan kotak bawaannya. Buat perempuan itu alihkan pertanyaan pada sang bocah.

"Braan, ini ada apa?"

"Tadi waktu ke danau kita ada melihat kakak itu mengambang, jadi kita bawa kesini untuk diselamatkan."

"Maya!" teriak sang kakak, Ying Cheng dari dalam ruangan usai menyalakan lilin untuk berikan cahaya tambahan. Alihkan kembali perhatian wanita itu pada sumber suara, tepat ketika seruan itu dilanjutkan dengan kalimat, "Cepat ambilkan pisau kecil di meja, jarum, kain, dan air ! Braan, tolong bantu kakakmu ! Minta tolong juga pada Qali kalau misalnya dia sedang tidak memasak di belakang!"

"Baik kak!" Jawab Braan mantap seraya memandang Maya dan berkata, "Kak Maya ambil pisau dan jarum kak Cheng dan kain di meja saja."

Tanpa bertanya lebih lanjut, wanita berpenampilan sederhana itu kemudian bergegas menuju sebuah sebuah meja makan besar di ruang tengah. Dengan cepat, ia lalu mengambil bungkusan kain putih kecil yang tergeletak di permukaannya. Kedua tangan perempuan itu lalu membuka simpul pengikat untuk memastikan isi muatan. Benar, didalamnya terdapat enam buah pisau kecil dan seperangkat jarum dalam berbagai ukuran. Yakin dengan isinya, Maya kemudian membungkus kembali berbagai benda tersebut lalu mengambil kain putih lain dari sebuah tempat penyimpanan sederhana didekat bungkusan. Sadar semuanya lengkap, wanita berpupil mata hitam itu lalu berjalan menuju si pemberi perintah. Ia lalu menyerahkan barang bawaannya sembari memperhatikan sosok yang dibawa salah satu penghuni rumah.

Seorang tarkatan.

Wanita.

Mengenakan stealth suit yang sedikit menantang.

Penuh luka dan anak panah.

"Terima kasih, Maya," ujar Ying Cheng sambil mengambil kain putih dan bungkusan yang dibawa sang wanita. Dengan cekatan, pria itu lalu mengeluarkan beberapa pisau dan jarum dari bungkusan, meletakkannya didekat lilin sebelum Braan kembali datang dengan sebuah baskom kayu berisi air yang dibutuhkan. Adapun sang pemuda kemudian meminta sang adik untuk meletakkan baskom tersebut di atas kasur dekat kaki sosok tak dikenal yang segera dipatuhi Braan. Selesai melaksanakan, bocah itu kemudian keluar dari ruangan dengan membawa perangkap ikan didekat pintu masuk kamar menuju halaman belakang. Tinggalkan Ying Cheng dan Maya yang tengah sibuk melakukan penyelamatan. Braan pergi ketika sang pemuda mulai membakar ujung pisau dengan api lilin di sudut ruangan. Tepat sebelum kakak laki-lakinya meminta sang kakak perempuan untuk tetap disana guna membantu prosesnya. Bocah tersebut keluar menuju halaman belakang tempat dapur berada.

Semoga kakak itu selamat. Pikir Braan dalam hati sembari memperhatikan halaman belakang rumahnya yang berfungsi sebagai dapur sederhana. Berukuran kecil walaupun terletak di tempat terbuka. Atapnya terbuat dari kayu seadanya ketika dibawahnya terdapat berbagai macam barang-barang yang memastikan pengolahan makanan dapat dilakukan seperti tempat kayu bakar, gerabah dan tempayan, tungku memasak, meja persiapan, serta berbagai jenis alat masak berikut bahan makanan dan obat yang tengah dalam pengolahan. Ditekannya rasa takut bercampur panik dalam dirinya dengan meletakkan perangkap ikan pada sebuah meja di bagian tengah. Lokasinya tidak jauh dengan seorang anak perempuan yang tengah sibuk memotong bahan makanan. Alihkan perhatian sang koki cilik dari kegiatannya.

"Kamu taruh saja disitu, Braan." Ujar bocah perempuan berambut pendek itu sambil meletakkan pisau goloknya diatas sebuah talenan bulat berukuran besar. Ia kemudian mengelap tangannya dengan celemek yang dikenakan seraya menghampiri sang bocah seraya berkata, "Aku nggak mau ikan yang sudah capek-capek ditangkap kak Ying Cheng jadi hancur karena kamu pakai pisau asal-asalan."

"Kata siapa aku motong asal-asalan!?" teriak Braan dengan kesal. Hatinya dongkol bukan kepalang akibat dituduh sang lawan bicara yang kini mulai membuka simpul perangkap dan mengambil beberapa ekor ikan didalamnya.

"O ya? Kalau gitu, dulu gara-gara siapa kita sampai pernah makan pagi, siang, malam pakai bubur tapi lauknya daging ikan giling?" Tanya anak perempuan itu kelas sambil menunjuk bocah dihadapannya. Mendengar hal itu, Braan hanya bisa memasang wajah cemberut sebelum dilanjutkan dengan kata-kata ampuh khas anak kecil seusianya.

"Qali jahat!"

"Kak Ying Cheng apa ada minta kamu mengambil barang lagi?" Tanya bocah bernama Qali itu sebelum kembali melanjutkan aktivitas memotongnya.

"Tidak ada tuh," jawab Braan singkat, "Semuanya udah dibawa sama Kak Maya." Lanjutnya ketika kedua mata anak laki-laki melihat beberapa ekor burung beterbangan dari pohon yang ada disekitarnya rumah.

-o0o-

Suara derasnya aliran sungai seakan menjadi pengiring aktivitas pencarian orang yang dilakukan oleh sekumpulan tentara ketika seekor burung merpati hinggap ditangan Haros. Tanda sebuah pesan telah datang untuk segera dibaca. Ia tahu benar jika isinya terkait dengan perkembangan situasi yang ada pasca kegagalannya menangkap kaisar. Beberapa unit telah dikerahkan untuk menemukan tetapi belum ada satupun tanda-tanda sosok tersebut berada selain sejumlah benda yang ditemukan sejak jatuhnya wanita tarkat itu kedalam air terjun sebelum menghilang. Penutup wajah bewarna merah muda dengan ornamen logam, sepasang sai yang penuh darah, dan ikat rambut besi yang pecah adalah beberapa hasil temuan sementara. Semua benda itu telah dikirimkan bersama dengan laporan yang disampaikan melalui unit pembawa pesan. Namun, tujuan awal masih jauh untuk didapat.

Sepasang mata Haros menatap kearah sungai yang terus mengalir deras kearah hutan. Dipandangnya air terjun besar di kejauhan tempat Mileena terakhir melompat terjun ke jurang beberapa hari lalu sebelum menghilang. Ia berpikir sejenak, membayangkan peluang selamat sang kaisar dengan memperhatikan segala luka dan kondisinya sambil mengambil secarik kertas dari kaki merpati di tangannya.

Jujur, Mileena sebenarnya sangat mungkin tidak selamat.

Akan tetapi, bukti pendukung tetap dibutuhkan.

Utuh tidaknya bukan urusan. Potongan kepala, tangan, atau kaki juga tidak masalah.

Pria berambut pendek bewarna hitam itu lalu melihat isi pesan. Dugaannya benar. Arbal menginginkan pencarian terus dilakukan. Atas perintah itu, ia lalu menginstruksikan pasukannya untuk memperluas area pencarian. Beberapa unit kecil kemudian dibentuk guna mempercepat pelaksanaan.

"Apakah unit shokan dan centaurian perlu dipanggil kembali, komandan?" tanya seorang bawahan kepada sosok pemberi perintah berzirah putih dihadapannya.

"Tidak usah." Jawab Haros singkat, "Pastikan semua unit untuk berhati-hati dalam melakukan pencarian. Kita tidak pernah tahu apa isi Wulin sampai sekarang."

"Siap, komandan!"

Bawahan itu lalu beranjak dan mulai mengatur tentara yang ada. Adanya perintah untuk memasuki Wulin guna mencari keberadaan Mileena agaknya cukup membuat sebagian orang gentar. Ia tahu betapa kemisteriusan dari hutan di depannya. Begitu banyak rumor yang berusaha menjelaskan kenapa Sun Do tidak pernah benar-benar serius dalam memeriksa isinya. Konon, tempat itu dinamakan Forest of Hidden Destiny karena banyaknya hewan buas dan berbisa serta tanaman beracun didalamnya. Ada juga kabar berkata bahwa tempat itu bekas tempat perkumpulan sekte sesat yang menyimpan jebakan dan kutukan diluar nalar. Sebagian lagi mengatakan bahwa tempat itu dihuni oleh sosok iblis, siluman, atau hantu tingkat kengeriannya tidak bisa dibandingkan dengan para penghuni Netherrealm.

Ketiadaan sumber yang seragam membuat keberadaan Wulin senantiasa diliputi misteri. Namun, apapun kebenaran seputar tempat itu tidak bisa menutup fakta bahwa Haros dan pasukannya harus tetap memasuki hutan tersebut guna menemukan keberadaan Mileena. Untuk melaksanakan misi itu, ia tidak bisa membiarkan moral tentara jatuh sehingga komandan bawahan Arbal tersebut perlu menenangkan pasukannya dengan sedikit berkata-kata.

"Tidak ada misteri di Wulin. Jika ada, satu-satunya sumber misteri itu adalah keluarga kekaisaran yang menghendakinya sebagai misteri." Ujarnya, "Mungkin ada aib atau rahasia didalam sehingga kaisar Mileena memutuskan untuk lari kesana. Entah uang, atau mungkin tempat mereka membuat virus tarkat. Siapa tahu masuknya kita kedalam akan menjadi temuan besar yang dapat mendukung pemerintahan baru."

"Tapi, komandan." Salah seorang tentara menjawab. Akan tetapi, belum sempat ia melanjutkan ucapannya, kepala serdadu itu telah terpisah dari badannya karena tebasan cepat liu ye dao sang komandan yang telah keluar dari sarungnya.

"Antara setan yang belum jelas atau kepala hilang karena melawan perintah." Ujar Haros seraya menyabet pedangnya untuk menyingkirkan cipratan darah dari bilah senjata sebelum memasukkannya kembali pada sarungnya. Buat semua bawahannya tunduk dan menjalankan perintah tanpa berkata-kata.

-o0o-

Beberapa saat telah berlalu sejak Ying Cheng dan Maya mulai mengeluarkan anak panah yang tersisa pada tubuh sosok tak dikenal. Entah sudah berapa kali wanita berpenampilan sederhana itu keluar masuk ruangan untuk mengganti air, kain, dan mengambil beberapa jenis obat yang dibutuhkan. Satu hal yang jelas, tidak ada jejak racun pada ujung runcing anak panah. Itu artinya, kehati-hatian saat ini hanya perlu diarahkan untuk mencegah pendarahan yang tidak perlu dan semakin lebarnya luka.

Total ada lima buah anak panah yang berhasil diangkat. Namun, hal itu tidak berarti perempuan itu dapat dipastikan keselamatannya. Masih ada beberapa luka pada tubuh sang wanita. Salah satunya bahkan cukup besar di kakinya. Sungguh, Maya tidak berani membayangkan apa yang terjadi pada sosok yang tengah berusaha diselamatkannya.

Meski demikian, sosok kakak perempuan itu masih memiliki banyak hal yang ingin ditanyakan. Terutama pada pemuda di dekatnya.

"Braan dan Qali apakah sudah makan?" Ying Cheng bertanya kepadanya seraya memasukkan salah satu pisaunya yang telah berlumur darah pada baskom kayu didekatnya. Pertanda tidak lama lagi ia harus kembali ke halaman belakang untuk mengganti air serta meletakkan barang-barang yang perlu dibersihkan.

"Sudah." Jawab perempuan itu singkat yang dibalas oleh senyuman sang pemuda.

"Baiklah, kamu bisa istirahat dan makan sesudah mengganti airnya. Aku akan membereskan sisa luka sementara"

Atas ucapan Ying Cheng, Maya hanya tersenyum dan meninggalkan ruangan untuk melaksanakan permintaan. Ia lalu beristirahat sebentar, menikmati makan siangnya yang agak terlambat sembari memperhatikan Braan dan Qali yang bermain di teras rumah. Adapun sang pemuda tengah menjahit luka sosok tak dikenal seraya memperhatikan beberapa luka-luka lain yang tersisa. Diamatinya wajah wanita tarkatanan di hadapannya untuk sesaat sebelum kemudian menghela nafas panjang dan menggelengkan kepala.

By the Elder Gods. Ia berkata dalam hati dan lanjut bekerja sebelum akhirnya beristirahat. Proses penyelamatan sang wanita berlanjut hingga pembalutan luka secara menyeluruh selesai dikala malam.

-o0o-

6