Disclaimer : Gege Akutami
A Fanfiction by Noisseggra
Pair : Gojo Satoru X Fushiguro Megumi
Genre : Drama, Supernatural, Romance
Warning : OOC (Out of Character), iya di fanfic ini sengaja OOC, nggak terlalu mirip sama Manga/Anime, demi plot.
YAOI, BL, RATED M, Semi Canon, maybe typo (s)
You have been warned !
This fic inspired from manhwa The Ordinary Lifestyle Of A Universal Guide by Kang Yoonwoo
A/N : Fanfic ini ditulis untuk kepuasan pribadi, jadi serah aing mau nulis apa :"V
.
.
Kiseki no Hiiraa
.
.
"Megumi-Sensei, kau sibuk?" seorang wanita berpakaian perawat melongok ke dalam ruangan dengan pintu terbuka yang di daun pintunya tertulis nama Fushiguro Megumi.
"Suzuna-san," Megumi mendongak dari data pasien di tangannya. "Tidak juga, sisa dua orang lagi. Ada tambahan pasien dari divisi lain kah?"
Suzuna masuk membawa dua buah file berisi data pasien. "Iya, ada dua dari kelas A. Tadi kudapat dari Ado-Sensei."
"Hah? Tapi kan kelas A untuk pasien jujutsushi kelas semi-grade 1 ke atas? Aku hanya healer kelas 2," protes Megumi.
"Iya, tadi saya juga mengatakan hal demikian. Tapi Ado-Sensei bilang, dua orang ini hanya butuh cepat, karena di kelas A sedang banyak sekali pasien, jadi antriannya lama. Beliau bilang, Anda tidak perlu melakukan lebih, cukup lakukan seperti biasa saja, karena Ado-Sensei juga sudah memperingatkan dua Jujutsushi ini."
Meski masih sedikit keberatan, akhirnya Megumi mengangguk mengiyakan. Ia pun menerima dua file itu. "Baiklah, akan ku selesaikan dua pasienku dulu. Tolong panggil pasien selanjutnya."
Suzuna pun mengangguk lalu meninggalkan ruangan Megumi untuk memanggil pasien selanjutnya. Sepeninggal Suzuna, Megumi menghela nafas lelah menatap dua file di tangannya. Apa ia bisa ya?
Lagi, menghela nafas lelah, ia meletakkan file itu di meja di bawah tumpukan dua file pasien miliknya yang belum mendapatkan penanganan. Sudahlah, Ado-Sensei bilang aku cukup melakukan seperti biasa, pikir Megumi. Lagipula apa yang mereka harapkan untuk melakukan heal pada Jujutsushi kelas semi-grade ke atas dari healer kelas 2 sepertinya.
.
Manusia hidup berdampingan dengan apa yang mereka sebut kutukan, sebuah eksistensi yang terbentuk dari energy negatif. Karena mereka merupakan kumpulan energy negatif itulah, mereka selalu menimbulkan kerugian di sisi manusia, hal sepele seperti menyesatkan manusia, sampai separah bisa membunuh dan menguasai suatu tempat.
Untuk melawan para kutukan inilah para Jujutsushi ada. Mereka adalah orang-orang dengan kemampuan istimewa yang bisa membasmi para kutukan ini. Sebenarnya keberadaan para jujutsushi ini bukan dari awal sudah diketahui, karena dulu mereka bekerja dalam bayang-bayang.
Tidak semua orang bisa melihat kutukan, dulu kutukan hanyalah dianggap mitos, atau cerita hantu. Karena itulah jujutsushi hanya bekerja di balik layar, membasmi kutukan tanpa banyak orang ketahui. Tapi semakin bertambahnya waktu, gangguan dari para kutukan semakin menjadi, sehingga manusia normal semakin banyak yang mendapat gangguan langsung dari para kutukan. Karena itulah cerita mengenai kutukan semakin muncul ke permukaan, begitu juga keberadaan jujutsushi yang mulai diketahui.
Tapi ada bagusnya keberadaan kutukan dan para jujutsushi mulai diketahui. Sejak itulah dunia jujutsu semakin berkembang. Mulai muncul alat-alat kutukan yang bisa digunakan untuk melawan kutukan oleh orang biasa, ada juga alat kutukan yang membuat orang awam yang awalnya tak bisa melihat kutukan, menjadi bisa melihatnya. Dengan begitu para jujutsushi tidak terlalu kewalahan lagi, mengingat jumlah mereka yang sedikit.
Dan karena perkembangan itu juga, para jujutsushi lama kelamaan menjadi seperti public figure. Kamera saat ini sudah memiliki lensa yang dapat menangkap sosok kutukan. Jadi jika ada tempat dengan kutukan kuat, dan ada Jujutsushi yang melawan kutukan itu, hal tersebut bahkan bisa disiarkan secara live di TV. Membuat pamor jujutsushi semakin naik, dan ketenaran mereka melebihi celebrity dunia hiburan. Tentunya karena para jujutsushi memiliki kekuatan ajaib yang membuat orang terkesima.
Karena jujutsushi memiliki kemampuan khusus, maka medis untuk mereka juga khusus. Mungkin untuk luka fisik, mereka bisa ke medis biasa. Tp untuk energy kutukan mereka, mereka memerlukan medis khusus untuk itu. Para medis untuk jujutsushi disebut healer. Sama seperti jujutsushi, healer juga memiliki kemampuan khusus yang kebanyakan merupakan bakat alami, meski tidak diharuskan memiliki energy sebesar para jujutsushi.
Para healer lah yang menstabilkan dan menenangkan aliran energy jujutsushi. Jika jujutsushi tidak mendapatkan heal dalam waktu yang lama, mereka bisa berakhir berserk, atau yang lebih parah, bisa juga berubah menjadi kutukan karena dikuasai oleh energy kutukan dalam diri mereka. Karena itulah keberadaan healer sangat penting.
Semenjak jujutsushi semakin banyak diketahui dan bermunculan, kini setiap rumah sakit memiliki unit khusus yang diisi para healer. Sehingga para jujutsushi yang bekerja di area tersebut dapat mendapatkan perawatan lebih cepat jika terjadi sesuatu. Pasalnya Headquarters (HQ) jujutsushi di jepang hanya ada dua, yaitu di Kyoto dan Tokyo, meskipun ada unit yang lebih kecil dan tersebar di seluruh Jepang, mereka tetap berada dalam naungan dua HQ ini. Jadi akan kesulitan jika mereka bekerja di daerah lain tapi harus kembali ke Tokyo atau Kyoto untuk mendapat perawatan.
Karena itulah unit healer ditugaskan di rumah sakit rumah sakit umum, membentuk divisi baru. Dan salah satu rumah sakit tempat divisi healer itu bertugas adalah tempat dimana Megumi bekerja saat ini, dan ia merupakan salah satu healer nya.
"Permisi, Fushiguro-Sensei," pintu ruangan yang terbuka diketuk, pasien yang tadi dipanggil Suzuna sudah muncul.
"Iya, silahkan masuk," Megumi mempersilahkan, lalu mengambil file data pasien tersebut yang tertumpuk di meja nya. "Kenji-san, ini sesi keempat Anda di sini ya," ucap Megumi sambil membaca isi file di tangannya.
"Iya, soalnya saya sudah cocok dengan heal dari Fushiguro-Sensei. Jadi sebisa mungkin saya mendapatkan heal dari rumah sakit ini meski sedang ditugaskan di daerah lain."
Megumi tersenyum tipis. "Jangan begitu Kenji-san, kondisi Anda yang terpenting. Kalau memang butuh penanganan segera sebaiknya Anda menuju rumah sakit terdekat. Saya yakin healer di sana juga melakukan yang terbaik."
"Tapi tidak sebaik Fushiguro-san," ngeyel Kenji. "Saat heal dengan Fushiguro-san, aku merasa sejuk dan nyaman sekali. Aliran curse energy saya berubah stabil dengan segera. Tidak seperti dengan–..."
"Baiklah, mari kita mulai sesi nya," potong Megumi supaya pasien tidak lebih banyak mengoceh. Ia lalu mengulurkan tangannya untuk memegang pergelangan tangan pasien, mencari bagian di mana ia bisa merasakan denyut nadi. Setelah itu, ia mulai memejamkan mata dan berkonsentrasi, memulai sesi heal nya.
Perlahan, Megumi juga merasakan sensasi yang sama. Perasaan sejuk serta nyaman mulai merambat melalui energy mereka yang mulai terhubung. Dengan itulah Megumi mengetahui bahwa heal dari nya bekerja dengan baik, dan cocok dengan pasien tersebut. Ya, cocok. Karena heal merupakan interaksi antar energy, kecocokan antar keduanya menjadi faktor utama.
Megumi sudah banyak mendengar dari pasien bahwa heal darinya sangat menenangkan dan menyejukkan, Megumi rasa Megumi mengerti, karena ia juga merasakan sensasi yang sama saat heal dilakukan. Ia menyimpulkan bahwa proses heal dirasakan dua arah, olehnya dan oleh pasiennya. Tapi karena itulah, karena perasaan nyaman itulah…
"Fushiguro-Sensei…hosh…hosh…"
…Megumi sering mendapatkan pelecehan seksual.
"Fushiguro-Sensei, apa kau bisa melakukannya di dadaku?" dengan nafas memburu dan wajah memerah Kenji menatap Megumi penuh nafsu.
Krik…
Kedutan kesal muncul di pelipis Megumi. Kalau saja yang di hadapannya bukan seorang pasien yang berharga, mungkin Megumi sudah menendang bidji orang itu.
"Melakukan kontak fisik saat heal pada dasarnya menyentuh kulit dengan kulit untuk merasakan denyut aliran darah pasien, dimana para healer yakin aliran curse energy mengalir dengan cara yang sama," jelas Megumi sambil melepaskan pergelangan tangan pasien. "Jadi menurut saya, lewat nadi di pergelangan tangan Anda sudah cukup, Kenji-san," Megumi masih mencoba tersenyum, ia menekan tombol stop pada timer di meja sebelahnya, lalu meraih file data pasien di meja dan menulis sesuatu di sana. "Kenji Sawade, sesi heal tanggal xx bulan xx, 15 menit 20 detik, terimakasih banyak," Megumi meraih selembar file yang biasa diberikan pada pasien setelah sesi heal.
Dengan kikuk Kenji menerima kertas itu, tapi ia belum beranjak. "Iya, tapi saya dengar akan lebih cepat kalau menyentuh di leher, atau dada di mana jantung berada," balas Kenji dengan senyum mesum. "Bahkan setahu saya, waktu untuk heal bisa menjadi 0 jika dilakukan kontak fisik lebih mendalam. Seperti ciuman atau berhubungan se–..." tangannya meraih paha Megumi dan sedikit meremasnya.
Teeeetttt…
Dengan senyum datar, tangan Megumi sudah menekan tombol security. Kenji hanya bisa sweatdrop. Dua detik selanjutnya dua orang security muncul di pintu ruangan Megumi dan segera menyeret Kenji pergi. Karena mencegah hal demikianlah, para healer selalu bekerja dengan pintu ruangan terbuka. Namun karena sesi heal membutuhkan ketenangan, ruangan di luar ruangan praktek, tetap dalam kondisi kosong. Ruang tunggu pasien ada di sebelah ruang kosong tersebut, bersebelahan dengan resepsionis dan juga pos security yang selalu siap siaga seperti tadi. Sekali ada bel berbunyi, mereka harus sigap untuk datang.
Megumi menghela nafas lelah. Setidaknya setelah ini mungkin ia tidak akan bertemu Kenji untuk beberapa lama. Biasanya pasien gila seperti tadi akan dilaporkan ke atasan, dan akan mendapatkan surat peringatan atau semacam itu. Intinya kalau mereka mengulangi hal tersebut, akan ada konsekuensi kedepannya.
Setelah beberapa saat menenangkan diri, barulah Megumi memanggil satu pasien terakhirnya. Untung saja yang kali ini biasa saja, bukan pasien mesum seperti tadi. Atau mungkin tadi si pasien sudah sempat melihat keganasan security yang berjaga, jadi dia lebih waspada untuk tidak bersikap kurang ajar.
"Dan…tinggal yang ini," setelah pasien terakhir tadi selesai, Megumi meraih dua file yang tadi diberikan Suzuna. Ia membaca nama yang tertera di sana, dan terbelalak saat membaca nama yang berada di file kedua.
Gojo Satoru.
"HAH?!" Megumi terbelalak tak percaya membaca nama itu. Dengan gugup dia membuka data pasien, lalu mencari di bagian level nya. Ya, benar. Tidak salah lagi. Gojo Satoru, Jujutsushi level special grade. Megumi sempat lupa bernafas saat membaca level yang tertera.
Dalam dunia Jujutsushi, hanya ada 4 Jujutsushi yang dikategorikan dalam kelas special grade. Dan Satoru Gojo adalah salah satunya. Dia sangat terkenal baik di kalangan jujutsushi maupun di kalangan orang awam. Tapi selain terkenal karena kekuatannya, ia juga terkenal menyeramkan. Ia tak pernah tersenyum, selalu dingin, dan benci setiap ada kamera yang terarah padanya.
Jika ia sedang melawan kutukan dan diliput media, ia tak keberatan selama kamera tidak ada di dekatnya. Tapi kalau sampai ada, baik sengaja maupun tidak, dia akan langsung menghancurkan benda itu hanya dengan genggaman tangannya saja, tak peduli meski itu siaran Live atau apapun.
Gulp…
Dan sekarang Megumi sedang bertanya-tanya, kenapa Jujutsushi selevel itu ada di rumah sakit kecil ini, dan meminta heal kepada healer kelas dua seperti dirinya.
Ah, tadi Ado-Sensei bilang karena butuh cepat saja kan, akibat kelas A terlalu ramai. Mungkin dia hanya butuh heal sebentar karena sudah harus bertugas lagi. Sudahlah Megumi, lakukan seperti biasa saja. Pikir Megumi.
Meski begitu, karena sedikit nervous pada akhirnya ia memanggil pasien yang bukan Gojo karena merasa belum siap bertemu dengan jujutsushi special grade itu.
Meski tak sekelas Gojo, jujutsushi yang akan ditangani Megumi ini adalah Jujutsushi kelas 1, berada 2 level di atas Megumi. Jadi tetap saja dia sedikit nervous. Ah, tidak seperti Jujutsushi, kelas healer hanya terbagi menjadi 4. Kelas 4 yang terendah, lalu kelas 3, 2 dan 1. Sementara untuk Jujutsushi terbagi menjadi 8 kelas. Dimulai dari kelas 4, 3, semi-grade 2, 2, semi-grade 1, 1, special grade 1, dan yang tertinggi adalah special grade.
"Permisi," seorang pria bersurai pirang rapi mengetuk pintu Megumi yang terbuka.
"Iya, silahkan masuk," Megumi berdiri menyambut dan mempersilahkan pasien itu masuk. Ia tampak berwibawa dan pembawaannya tenang sekali. Setelah mempersilahkan duduk, Megumi meraih file pasien tersebut. "Nanami Kento-san, ini pertama kali Anda melakukan sesi heal di rumah sakit ini ya," ucap Megumi basa-basi untuk mencairkan suasana.
"Ya. Karena ini kali pertama kami bertugas di daerah sekitar sini," balas Nanami.
Setelah membaca sekilas data medis Nanami, Megumi meletakkan file tersebut kembali ke meja. "Tolong tangan Anda," ucap Megumi.
Nanami melepas kancing lengan bajunya lalu menarik naik lengan itu. Ia mengulurkan tangannya pada Megumi, dan Megumi meraih pergelangan tangan Nanami. Megumi menarik nafas dalam, menenangkan diri. Lalu mulai memejamkan mata dan memulai sesi heal nya.
Meskipun sedikit nervous, Megumi mulai tenang saat merasakan sensasi sejuk dan menenangkan yang menjalar. Dengan itu ia tahu bahwa heal nya bekerja dengan baik, meski ia melakukannya pada jujutsushi yang berada dua level di atasnya.
Setelah merasa heal nya cukup, Megumi menekan timer seperti biasa, lalu meraih file Nanami untuk mendata hasil heal barusan. Ia belum berani mengangkat wajah, pura-pura terlalu sibuk dengan file di tangannya saat Nanami merapikan kembali lengan bajunya, lalu menggerak-gerakkan tangannya seolah menjajal gerak.
"Fushiguro Megumi-Sensei, kan?" ujar Nanami yang membuat Megumi sempat berjengit sesaat.
"Y-ya," pada akhirnya kegugupan Megumi lolos juga meski sudah berusaha ia redam. Meski ia tahu ia hanya healer kelas 2, dan harus heal jujutsushi kelas 1, ia tahu perbedaan skill itu, tp tetap saja ia merasa was was kalau mendapat review buruk, apapun alasannya. Termasuk perbedaan level sekalipun.
"Heal darimu ringan sekali," komentar Nanami.
Deg…
Megumi tidak tahu harus bereaksi apa. Ringan? Apa maksudnya? Apa heal nya berefek sedikit sekali sehingga disebut ringan?
"Aku merasa tubuhku rileks dan nyaman, seperti ringan sekali," tambah Nanami. Ia bahkan kini menggerak-gerakkan lehernya seperti menghilangkan pegal. "Aku baru tahu healer level 2 di rumah sakit ini sebaik ini."
Megumi sempat terbelalak, tapi terutama ia merasa sangat lega. Ia pikir ia melakukan hal buruk, rupanya justru sebaliknya.
"Saya senang Anda cocok dengan heal saya," balas Megumi mencoba sopan, meski dalam hati ia berjingkrak kegirangan. Mendapat pujian dari jujutsushi 2 level di atasnya tentu saja membanggakan.
"Nanami Kento-san, sesi heal pada tanggal xx bulan xx, sesi heal 29 menit 15 detik…" Megumi meringkas sesi heal itu. Nyaris 30 menit…
Megumi sempat menghentikan pena nya saat menulis itu. Sesi heal yang ia lakukan biasanya sekitar 15 sampai 20 menit per pasien. Jarang sekali sampai ada yang sampai 30 menit. Ia rasa…mungkin inilah perbedaan kemampuan yang akhirnya terlihat.
"Terima kasih banyak," Megumi menyerahkan selembar data rangkuman sesi itu pada Nanami.
Nanami menerimanya, lalu memakai jaz nya yang sempat ia lepas tadi.
"Ah, soal pasien selanjutnya," ucap Nanami sambil berpakaian. "Tolong jangan terlalu dipikirkan apapun yang terjadi nanti. Dia memang sudah dari sananya begitu. Kalau sesi heal darimu tidak berjalan lancar, ketahuilah Sensei, ini bukan salahmu," Nanami segera bangkit, melirik tombol bertuliskan security di meja Megumi. "Dan jangan lupa segera tekan tombol itu jika dia bertingkah tidak berkenan untukmu, Sensei."
Setelah berkata demikian, Nanami pamit dan meninggalkan ruangan Megumi. Megumi meneguk ludah berat. Ah, sepertinya Nanami adalah rekan kerja Gojo. Soalnya tadi dia juga menyebut 'kami' kan saat bilang sedang ditugaskan di daerah tersebut. Megumi dibuat semakin deg deg an karenanya. Apakah rumor buruk tentang Gojo memang benar adanya. Bahwa dia dingin dan galak, mungkin akan mengatakan hal-hal yang menyakitkan.
"Sheehh, sudahlah. Sudahlah," Megumi menggeleng keras lalu menarik nafas panjang untuk menenangkan diri. Setelah itu barulah ia menekan bel untuk memanggil pasien selanjutnya, yaitu Gojo.
Jantung Megumi berdebar saat suara langkah kaki perlahan terdengar mendekat dari kejauhan. Terdengar menggema di ruangan kosong itu. Tak berapa lama, Gojo pun muncul. Ia adalah seorang pria jangkung bersurai putih. Ia bahkan harus menunduk saat memasuki ruangan Megumi.
"Selamat datang," Megumi berdiri menyambut pasiennya seperti biasa. Dengan lekat, ia memperhatikan Gojo. Ia masih sedikit tak percaya bahwa salah satu jujutsushi terkuat ada di hadapannya saat ini.
Megumi menatap mata Gojo yang tak terarah ke arahnya. Iris cemerlang berwarna langit itu tampak berkilau, sangat kontras sekali dengan wajahnya yang tampak lesu, atau marah, Megumi tak yakin. Yang jelas wajahnya seperti tak senang. Rambut putihnya yang berkilau tampak berantakan, seperti malas sekali ia menyisirnya. Ia juga memakai hoodie yang kebesaran, bahkan ia hanya memakai sandal saat ini. Ia seperti orang yang baru bangun tidur lalu dipaksa ke dokter.
Gojo diam saja saat Megumi mempersilahkan duduk, ia hanya menurut saja tanpa kata. Megumi meraih data Gojo, membacanya seperti biasa untuk memastikan data.
"Gojo Satoru-san, ini pertama kalinya Anda melakukan heal di rumah sakit ini," ucap Megumi. Gojo sama sekali tak merespon. Megumi hanya sweatdrop, ia sendiri bingung harus bagaimana. Ia kembali melihat data Gojo, dan terkejut saat melihat data heal nya dari waktu-waktu lampau. Semuanya memiliki waktu yang sangat singkat.
5 menit, 2 menit, 3 menit…semua sesi heal nya berkisar tak lebih dari 10 menit. Bahkan langka sekali yang di atas 5 menit.
Krrtt…
Mungkin…itu yang dimaksud Nanami barusan. Kalau sesi heal dengannya tak berjalan lancar…maka itu bukan salah Megumi. Seperti yang pernah disebutkan, heal merupakan kontak energy. Jadi kecocokan energy dengan healer merupakan kunci utama sesi heal. Bila antar kedua energy tidak sinkron, heal tidak akan berjalan dengan baik.
Dari sisi jujutsushi, ia tidak akan mendapatkan kestabilan pada energy kutukannya, sementara bagi healer, tubrukan energy yang tak sesuai bisa berimbas pada tubuh mereka. Jujutsushi memiliki energy kutukan lebih besar, jadi kalau sampai bentrok dengan energy healer yang lembut…
Kasus terburuk yang pernah Megumi dengar adalah healer tersebut bisa koma, dan kehilangan kemampuan heal nya setelah bangun. Tapi itu hal langka. Kebanyakan hanya akan menjadi sakit untuk beberapa lama. Tapi yah…itu hal buruk juga kan.
Gulp…
Meski begitu…Megumi harus mencoba.
"Tolong tangan Anda," ucap Megumi setelah melihat data Gojo dan meletakkan kembali file nya di meja.
Gojo menggulung lengan jaketnya ke atas, tapi karena itu oversize hoodie, lengannya terus turun lagi dan lagi.
"Tch!" Gojo mendecih kesal, membuat mukanya yang seram semakin bertambah mengerikan. Megumi jadi ketar-ketir dibuatnya, tapi tentu saja ia tak bisa apa-apa selain bungkam dan menahan diri untuk tidak lari.
Gojo pada akhirnya membuka hoodie itu yang ternyata dia topless, tak memakai baju apapun di baliknya. Megumi semakin ciut saat melihat itu, karena ternyata meski terlihat ramping, tubuh Gojo sangat berotot. Megumi tak ingin membayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai ia membuat Gojo marah.
Gojo mengulurkan tangannya dengan hentakan kesal, dengan sedikit gemetar Megumi meraih tangan itu. Dengan kedua tangannya. Karena ia takut ia akan gemetaran kalau hanya satu tangan.
Tenang Megumi…tenang, Megumi menasehati diri sendiri. Ia lalu menarik nafas, membuangnya, menarik nafas lagi, dan membuangnya. Setelah mulai tenang, perlahan ia memejamkan mata, berkonsentrasi, memulai sesi heal nya.
Saat melakukan heal, biasanya Megumi merasakan aliran energy pasiennya, lalu mencari titik aliran itu, dari sanalah ia bisa menyentuh energy mereka, mulai menghubungkan dengan energy heal miliknya.
Hanya saja kali ini…ia tak bisa melihat apapun. Hanya gelap di sana. Ia seolah mencari sesuatu di dalam hitam yang benar-benat pekat. Tak ada cahaya apapun, tanpa petunjuk satupun.
Gasp…!
Nafas Megumi tersentak dan ia membuka mata. Di hadapannya ada Gojo, masih dengan ekspresi yang sama, tak ada reaksi. Megumi menatap timer di meja samping. 3 menit 46 detik dan terus maju.
"Sudah?" tanya Gojo. Ia meraih hoodie nya yang tergeletak di lantai.
Mata Megumi memicing. Mungkinkah ini yang terjadi di setiap sesi heal Gojo? Karena itulah waktu heal nya selalu saja singkat. Padahal sama sekali tak ada yang terjadi, tak ada proses heal yang terjadi.
"Kalau sudah cepat tulis summary nya, aku ingin segera pergi," ucap Gojo sambil memakai hoodie nya kembali.
"..." Megumi meraih bolpoint dan data pasien milik Gojo. Tapi…ia tak menulis apapun. Ia masih kepikiran soal tadi.
Krrtt…
Pegangannya di bolpoint itu mengerat. Ia membulatkan tekad. Ia kembali mengangkat wajahnya dan menatap Gojo.
"Biarkan saya mencoba sekali lagi," ucap Megumi.
"Huh?" Gojo tampak berekspresi kesal, tapi Megumi tak peduli. "Sudahlah, sesi heal nya sudah selesai kan. Tulis saja summary nya. Aku hanya butuh itu di laporanku," kesal Gojo.
Bukannya menurut, Megumi malah meletakkan kembali file Gojo beserta bolpoint nya. Ia juga mereset timer nya kembali ke 0.
"Tidak. Biarkan saya mencoba satu kali lagi," Megumi bersikeras.
"Tch, dakara ! Untuk apa? Heal kan memang seperti itu? Untuk apa melakukannya dua kali?" omel Gojo.
"Tapi Anda tahu kan kalau yang tadi itu tidak berhasil?" Megumi tak mau kalah.
"Ya mana aku tahu. Yang healer kan kau! Biasanya aku melakukan sesi heal juga hanya seperti ini. Memangnya mau seperti apa lagi?"
Mata Megumi terbelalak mendengar itu. "Biasanya…juga seperti ini…?"
Gojo mengangguk. "Iya. Heal memang begini kan? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Tidak bekerja lah, atau apa lah. Yang kutahu heal yang seperti ini. Sudah, cepat tulis summary nya. Aku ingin segera pergi."
"..." Megumi masih terbelalak tak percaya mendengar itu. Jadi…selama ini…Gojo sama sekali tak pernah mendapat heal secara benar? Dia sama sekali…tak pernah disembuhkan?
Ggrrtt…
Genggaman tangan Megumi mengerat. Pantas saja aura energy Gojo begitu gelap, begitu pekat. Sampai rasanya Megumi tak bisa bernafas di dalam sana. Itu semua karena…energy kutukan Gojo tak pernah sekalipun tersentuh oleh energy healer. Megumi menatap mata Gojo yang berkilau. Mungkinkah itu efek sampingnya?
Megumi rasa sudah suatu keajaiban Gojo tidak termakan energy kutukannya sendiri dengan aura sepekat itu. Mungkin itu juga yang selalu membuat Gojo tampak seperti marah, seperti hal kecil saja membuatnya kesal. Bagaimana tidak, semua energy gelap itu ia tanggung sendiri, tak pernah mendapat bantuan dari pihak luar.
"Saya mohon, biarkan saya mencoba sekali lagi," Megumi bahkan membungkukkan badan untuk memohon. Entah kenapa…pikiran akan Gojo yang tak pernah mendapatkan pertolongan healer satu kalipun…benar-benar mengganggu Megumi.
"Ugh…heeeh, baiklah baiklah," akhirnya Gojo mengalah. "Tapi ini yang terakhir. Aku tidak mau berlama-lama di sini," kesal Gojo dan kembali membuka hoodie nya, mengulurkan tangannya kembali pada Megumi.
"Terimakasih banyak atas kesempatannya," ucap Megumi. Ia kembali duduk, meraih tangan Gojo. Tapi…jika ia menggunakan cara yang sama…apakah akan berhasil? Ia hanya punya satu kesempatan terakhir, ia tak boleh mengacaukan ini.
"Maaf, apa boleh mencoba dengan cara lain?" tanya Megumi.
"Tch, terserah kau saja," balas Gojo ketus.
"Aku akan mencoba dengan menyentuh dada Anda, di bagian jantung."
Tanpa kata, Gojo mendorong kursi nya maju supaya Megumi bisa menjangkaunya.
"Permisi," Megumi mengulurkan tangannya untuk menyentuh dada Gojo.
Deg…deg…deg…
Megumi bisa merasakan dengan jelas detak jantung Gojo. Megumi meyakinkan diri. Ya, ia pasti bisa. Saat ia mulai stabil merasakan debar jantung Gojo dengan jelas, perlahan Megumi mulai memejamkan mata untuk berkonsentrasi. Ia kembali memasuki kegelapan total di dalam energy Gojo. Ia harus mencarinya, titik energy itu. Dan ia tak boleh berhenti kali ini.
Dalam kegelapan total itu Megumi terus menyelam semakin dalam, ia fokuskan seluruh inderanya untuk mencari setitik petunjuk, apapun itu. Hingga, sekilas, tipis sekali, ia melihat sesuatu. Seperti kilatan jaring laba-laba, sangat tipis, dan hanya terlihat jika terkena cahaya di angle yang tepat.
Megumi berusaha meraih benang tipis itu yang timbul tenggelam dalam kegelapan total yang ada. Tapi ia tak menyerah. Ia tajamkan mata, ia percepat langkah, ia terus mengikuti kilatan benang tipis itu yang perlahan kian melebar, namun tetap sangat kecil. Hanya setebal benang wol saja. Tak apa, pikir Megumi. Setidaknya kini ia bisa melihat dengan jelas, benang itu, aliran energy itu. Dan…
Grep…!
Megumi meraih aliran energy itu, menggenggamnya dengan erat, ia tak mau melepaskannya lagi. Setelah itu ia mulai fokus, mengalirkan energy heal nya lewat benang tipis di genggamannya. Tak apa. Sedikit saja. Perlahan. Sedikit demi sedikit.
Sensasi sejuk mengalir lewat ujung jari Megumi, merambat dan menjalar ke tangannya, mengikuti aliran darahnya. Untuk pertama kali sejak memasuki ruangan gelap itu, Megumi bisa bernafas dengan lega. Seolah ia sejak tadi menahan nafas, dan baru sekarang mulai menghirup udara kembali.
"Fuuu…" Megumi menarik nafas panjang, lalu membuangnya perlahan. Ia melakukannya beberapa kali, sampai merasa cukup. Ia menyudahi sesi heal nya. Ia tahu mungkin tak banyak, tapi setidaknya ia berhasil melakukan heal itu. Walau kecil saja, walau sedikit saja.
Dengan perlahan Megumi membuka mata, dan tangannya perlahan turun dari dada Gojo. Ia berniat memundurkan kursi untuk menyudahi sesi heal nya, saat itulah ia baru menyadari kalau tubuhnya tak memiliki energy lagi. Ia merasa sangat lemas, seolah mau menggerakkan jari saja tak bisa.
Megumi terbelalak. Bagaimana ini…ia sedikit panik dalam hati. Dengan tenaga ekstra, ia memaksa tubuhnya yang lelah itu untuk memundurkan kursi. Kursinya memiliki roda, jadi seharusnya mudah saja ia melakukan itu. Tapi pada kenyataannya ia sekuat tenaga melakukan itu.
Dengan tenaga yang dipaksakan, Megumi meraih file Gojo dan bolpoin, ia harus menulis summary sesi heal barusan. Ah, ia lupa seharusnya ia mematikan timer dulu. Dengan segera tangannya terulur untuk mematikan benda itu, dan jarinya nyaris saja tak ada tenaga untuk sekedar menekan tombol off. Lalu…matanya terbelalak saat melihat waktu yang tertera di sana.
2 jam 38 menit 09 detik.
Ia benar-benar tak menyangka heal nya berlangsung selama itu. Heal terlama yang ia lakukan hanya sekitar 30 menit. Gila. Ini gila.
Tak ingin memikirkan itu, Megumi segera meraih bolpoint dan menulis data mengenai sesi barusan. Setelah itu ia mengisi juga data di kertas yang harus ia berikan kepada Gojo.
"Gojo Satoru-san, sesi heal Anda pada tanggal xx bulan xx, durasi 2 jam 38 menit 09 detik," ia menyodorkan kertas itu pada Gojo. "Terimakasih banyak."
"..." Gojo tak bereaksi entah mengapa. Megumi juga hanya bisa heran, apa itu tidak cukup? Tapi mau bagaimana lagi. Kemampuannya hanya sebatas itu. Dia hanya healer kelas dua, sementara Gojo special grade. Bukankah itu wajar jika Megumi hanya bisa melakukan sejauh ini? Ia sudah berusaha sebaik yang ia bisa dalam heal ini.
Pandangan Megumi agak buram, tapi ia masih bisa melihat jelas saat kertas di tangannya diterima oleh Gojo. Pria itu lalu bangkit dan meraih hoodie nya yang tergeletak di lantai. "Arigatou," ucap Gojo dan meninggalkan ruangan Megumi bahkan tanpa mengenakan hoodie nya.
Megumi tak bisa berpikir jernih lagi. Dengan tertatih ia menghampiri intercom untuk menghubungi resepsionis.
"Suzuna-san," ucap Megumi lemas. "Tolong alihkan semua pasien untukku ke healer lain setelah ini. Aku mau istirahat. Aku rasa aku kelelahan."
"Baik, Fushiguro-Sensei. Kebetulan untuk pasien kelas B sudah kosong. Namun jika nanti ada pasien tambahan, akan saya alihkan ke healer lain. Istirahatlah," ucap Suzuna.
Megumi berjalan tertatih menuju ranjang yang ada di ruangan itu. Ranjang tersebut memang disediakan khusus untuknya istirahat, hanya diberi sekat menggunakan tirai kain untuk menutup ranjangnya menjadi seperti ruangan. Megumi naik ke ranjang itu setelah menutup tirai kainnya, ia tengkurap di sana bahkan masih dengan sepatu dan jas healer lengkap.
Pandangannya semakin buram, dan hanya dalam beberapa detik saja ia sudah tak ingat apa-apa lagi.
.
.
.
Klak…klak…klak…
"...hngh…?" saat Megumi membuka mata, suara pelan itulah yang mengisi pendengarannya. Ia merasa tubuhnya berguncang pelan, dan dadanya terasa hangat. Megumi berkedip beberapa kali, mencoba mengumpulkan seluruh kesadarannya. Hal pertama yang ia lihat dengan sadar adalah belakang kepala seseorang. Dan alasan mengapa dadanya terasa hangat adalah karena dadanya bersandar di punggung orang tersebut. Ya, saat ini ia tengah digendong belakang oleh seseorang yang ia yakin adalah ayahnya.
"Tou-san!" ucap Megumi kaget seraya menjauhkan diri dengan tangannya.
"Hey, jangan bergerak. Nanti kau jatuh," omel Toji, ayah Megumi. Dia adalah seorang pria bertubuh kekar dengan rambut sepekat malam seperti Megumi. Hanya saja tidak seperti rambut landak Megumi, rambut Toji lebih bisa terlihat rapi.
"Apa yang–..." Megumi melihat sekeliling, jalanan masih lumayan ramai meski hari sudah berubah malam. Wajah Megumi seketika memanas. "Turunkan aku–..." omelnya.
"Geez, kau tidak bisa tenang atau apa. Sudah diamlah," ucap Toji. "Memangnya kau sudan bisa jalan?"
"Ha–...ahh…?" barulah Megumi menatap kakinya. Entahlah, ia merasa ia belum merasakan ada energi di kedua kakinya itu. Jadi dengan terpaksa, ia pun hanya bisa memeluk leher Toji supaya bisa menyembunyikan wajah di balik punggung ayahnya itu.
Toji tertawa karena itu. "Nah, begitu kan bagus, anak manis," tawa Toji.
"Uruse," balas Megumi masih dengan wajah yang memerah.
"Lagipula apa salahnya seorang anak digendong oleh ayahnya," Toji tak berhenti mengoceh.
"Tapi mana ada cowok umur 20 tahun yang masih digendong oleh ayahnya," balas Megumi kesal.
"Pffttt…" Toji hanya tertawa kecil mendengar itu.
Setelah itu keduanya diam, Megumi tetap menyembunyikan wajah di punggung Toji, menghindari tatapan orang-orang yang mungkin terarah kepada mereka. Barulah saat keluar dari jalan utama dan mulai memasuki jalanan perumahan, Megumi berani menegakkan kepalanya. Soalnya jalanan di sana memang selalu sepi. Kalaupun ada orang paling hanya satu dua saja, tak ramai seperti jalanan utama.
"Jadi…besok mau kantor polisi?" tanya Toji setelah diam yang cukup lama.
"Hah? Untuk apa?" tanya Megumi.
"Menuntut rumah sakit tempatmu bekerja lah. Apalagi? Rumah sakit gila mana yang menugaskan healer kelas 2 untuk menangani special grade!"
"Ack…itu, aku tidak apa-apa kok. Hanya kelelahan saja."
"Ya, tapi itu di luar ekspertise mu. Ini eksploitasi karyawan!"
"Sshh, sudahlah Tou-san, aku baik saja. Lagipula…" Megumi terdiam, pikirannya kembali tertuju pada Gojo. Entah mengapa, meski sedikit…ia merasa beruntung sudah berhasil melakukan heal pada Gojo. Ia tahu heal nya tidak menolong banyak. Tapi ia lebih merasa menyesal saat memikirkan seandainya ia tak pernah bertemu Gojo, dan tak bisa menunjukkan seperti apa biasanya heal dilakukan.
Mungkin dengan sedikit heal darinya ini, untuk kedepannya Gojo akan bisa mendapatkan heal yang lebih baik, dari healer yang selevel dengannya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana seorang jujutsushi tak pernah mendapatkan heal seumur hidupnya. Pasti menyakitkan sekali.
Krrtt…
Tanpa sengaja pelukan tangan Megumi di leher Toji mengerat. Menyadari itu, Megumi segera melonggarkannya, dan kembali menyandarkan kepala ke punggung Toji.
"Betulan Tou-san, aku tidak apa-apa. Aku justru bersyukur dengan kejadian hari ini."
"..." Toji hanya melirik dengan ekor matanya, lalu kembali menatap jalanan. "Ano sa Megumi, aku hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."
Megumi tersenyum. "Aku tahu, Tou-san. Aku akan lebih berhati-hati."
Megumi kembali menjauhkan tubuhnya dari Toji. "Ah, kau baru pulang dari misi? Apa kau terluka?" Megumi mengamati tubuh ayahnya. Ada beberapa luka yang masih basah, tapi hanya luka kecil saja, dan sudah mendapat penanganan medis kalau ia lihat.
"Tidak. Hanya lecet saja. Tapi aku sempatkan mampir ke medis tadi untuk laporan rutin, lalu ke divisimu juga untuk perawatan lain, sekalian menjemputmu."
"Hee, menjemput. Kau dihubungi orang rumah sakit?"
"Ya, mereka bilang kau tertidur sejak shift siang karena kelelahan. Kau tidak sadar? Mereka bilang mereka sempat memeriksa kesehatanmu secara menyeluruh, tapi kau bahkan tak bangun sama sekali. Mereka lalu menelfon, menjelaskan apa yang terjadi. Tapi mereka juga meyakinkan kalau kondisimu stabil, tidak koma atau apapun, kau hanya tidur karena kelelahan saja. Makanya aman aku membawamu pulang."
Megumi tersenyum tipis. Ia bisa membayangkan ayahnya yang sedang menjalankan misi, cepat-cepat menyelesaikan misi tersebut supaya bisa bergegas menuju rumah sakit untuk menjemput anaknya yang sedang tidur.
"Arigatou, Tou-san," lirih Megumi.
Mata Toji sempat terbelalak, ia melirik dengan ekor mata tapi lalu kembali membuang pandangan ke arah jalanan. Meski begitu Megumi sempat menangkap ekspresi Toji dengan semburat merah tipis di telinga belakangnya.
Megumi tersenyum, ia kembali memeluk ayahnya, menyamankan kepalanya di punggung Toji. Ia melirik lengan Toji yang tertempel kapas kecil penutup luka. Ada baret lecet di sekitar kapas yang sepertinya sudah diolesi antiseptik. Megumi menyentuh pelan luka itu. Ia bersyukur Toji hanya pulang dengan luka kecil sekarang. Dulu…Toji seringkali pulang dengan luka parah di tubuhnya.
Ah, sama seperti pasien-pasien yang dirawat Megumi, Toji, ayahnya, juga seorang jujutsushi. Hanya saja Toji merupakan jujutsushi tanpa kemampuan khusus. Sejak peralatan Jujutsushi mulai berkembang, ada banyak alat terkutuk diciptakan khusus untuk membasmi para kutukan. Bisa dibilang, orang biasa juga bisa menjadi jujutsushi kalau mau. Mengandalkan kemampuan fisik dan skill menggunakan senjata.
Tapi tentu saja tidak semua orang mampu melakukannya. Orang-orang yang merasa kuat banyak sekali yang mendaftar, tapi sebanyak itu juga yang keluar di hari pertama mereka turun untuk misi. Hal itu disebabkan, sebagian besar mendaftar karena tergiur gaji nya yang besar, sebagian lagi ingin ketenaran disorot media. Orang-orang dengan tekat sedangkal itu, biasanya ciut setelah berhadapan langsung dengan kutukan. Mau bagaimanapun, manusia akan takut berhadapan dengan sesuatu yang di luar nalar, apalagi dengan segala penampilan menyeramkan serta kemampuan mengerikan yang dimiliki para kutukan. Sebagai manusia biasa yang hanya memegang senjata yang luar biasa…mereka tetap saja tak berdaya.
Tapi Toji bisa bertahan. Meski dia jadi sering terluka. Megumi ingat dulu Toji pernah terluka begitu parah di bagian tangan dan kaki, meski begitu ia menolak rawat inap karena saat itu Megumi masih SD, tak ada yang menjaganya di rumah. Alhasil Toji tetap pulang, dokter bilang akan mengecek ke rumahnya di pagi dan sore hari.
Namun saat dokter tidak ada, ada waktu di mana Toji tiba-tiba merasa panas di sekujur tubuhnya. Ia hanya bisa menjerit kesakitan, meski sudah menahan diri karena takut Megumi menjadi panik. Tapi tak bisa karena rasa sakit itu begitu hebat.
Megumi kecil langsung menekan nomor darurat untuk menelfon pihak rumah sakit, dan selama menunggu medis datang, Megumi tetap berada di samping Toji. Saat itulah Megumi merasa melihat asap tipis berwarna hitam seolah menyelimuti tubuh Toji. Megumi tak tahu apa itu. Tapi seolah insting, Megumi meletakkan tangannya di dada Toji, lalu memejamkan mata.
"Arggh…" Megumi mengerang. Ia merasa tubuhnya juga ikut terbakar. Tapi ia tak berhenti. Ia memusatkan pikiran. Dan entah apa yang terjadi, ia merasa di dalam kegelapan ia melihat sesuatu, seperti embrio telur yang berdenyut dan berwarna kemerahan di setiap kali denyutan. Mungkin itu yang membuat Toji sakit.
Dengan sekuat tenaga Megumi berlari menuju benda itu. Tapi semakin dekat, Megumi baru menyadari jika embrio itu sangatlah besar. Titik kecil yang tadi Megumi lihat di kejauhan, semakin besar saat ia mendekat, dan ukurannya lebih besar dari tubuh Megumi.
Megumi kecil hanya bisa gemetar di hadapan embrio itu, dan menangis ketakutan saat melihat mata embrio itu bergerak, menatap seram ke arahnya. Tubuh Megumi semakin panas, tapi ia tahu ayahnya juga merasakan hal yang sama. Demi ayahnya itu, Megumi mencabik embrio itu dengan tangan-tangan kecilnya.
"Dasar, kutukan sialan. Hwwaaaa jangan ganggu Tou-san ku, pergiii…" tangis Megumi sambil terus berusaha mencabik embrio itu. Tangannya terluka bakar, kulitnya mengelupas, tapi ia tak peduli. Ia terus melakukan itu sampai seseorang tiba-tiba menariknya paksa.
Megumi membuka mata, seseorang berpakaian medis menarik tubuh Megumi menjauh. Dengan tatapan buram karena air mata, Megumi melihat tangannya yang betulan seperti kena luka bakar. Tapi ia sedikit tenang karena ayahnya sedang mendapatkan pertolongan.
Megumi dibawa ke sisi ruangan untuk didudukkan dan diselimuti, satu petugas medis mengobati tangan Megumi. Megumi terbelalak saat melihat luka di tangannya perlahan menutup. Ia menatap takjub pada medis di sampingnya. Medis itu tersenyum.
"Onii-chan bukan dokter biasa, tapi dokter ajaib. Lihat? Tanganmu bisa langsung sembuh. Seperti sulap."
Megumi tahu petugas itu hanya mencoba menghibur Megumi karena menganggapnya sebagai anak kecil. Tapi Megumi tahu, kalau medis di hadapannya adalah medis untuk jujutsushi, dan tadi beliau menggunakan reversal technique.
"Apa Tou-san akan sembuh juga?" tanya Megumi sambil menatap Toji yang masih ditangani medis.
"Ya, pasti. Tou-san mu akan baik-baik saja," medis itu menepuk kepala Megumi dengan lembut, dan tetap berada di samping Megumi untuk menemani.
Setelah beberapa waktu terlewat, Toji mulai sadarkan diri, medis masih terus mengobatinya. Toji duduk, melihat kaki dan tangannya. Ia terbelalak saat kaki dan tangannya yang awalnya terluka fisik, kini mulai tertutup lukanya.
"Apa yang terjadi?" tanya Toji.
"Saat kau pulang misi, sepertinya kau hanya pergi ke medis biasa karena kau hanya mengurus luka fisikmu. Tapi berkat puteramu yang menelfon kami mendeskripsikan kondisimu, kami yakin ada sesuatu di tubuhmu. Sepertinya ada kutukan yang bersembunyi di tubuhmu dan baru berulah sekarang."
"..." Toji sedikit terbelalak, ia lalu menatap Megumi dengan sayang. Tanpa diminta, seperti magnet saja, Megumi bangkit dari duduknya dan berlari ke arah Toji, menghambur ke pelukannya. Toji menyambut Megumi, memeluknya, lalu mengusap kepalanya dengan sayang. Megumi terisak kecil di pelukan Toji.
"Tapi yah, ada untungnya juga ada kutukan di dalam tubuhmu. Kami jadi bisa menggunakan reversal technique untuk menyembuhkanmu karena ada energy kutukan di dalam tubuhmu. Biasanya kau hanya mendapatkan perawatan medis biasa karena kau jujutsushi tanpa aliran energy kutukan di tubuhmu kan," petugas medis itu mengusap kepala Megumi dengan lembut.
"Dan juga terimakasih pada puteramu, dia yang membuat kau bertahan selama kami belum sampai di sini. Sepertinya tanpa sengaja, dia berusaha melakukan heal padamu, dan itu bekerja. Kalau saja dia tidak melakukan itu, mungkin sebelum kami tiba, tubuhmu akan meledak karena suhu tubuhmu terus memanas tanpa berhenti."
Toji kembali terbelalak, ia menatap petugas medis itu. "Apa maksudnya…?"
Petugas medis itu tersenyum, lalu menatap Megumi. "Sepertinya puteramu ada bakat untuk menjadi healer. Coba kau jelaskan pelan-pelan padanya, siapa tahu dia ingin memilih karir tersebut untuk masa depannya nanti."
Semenjak kejadian itu, Megumi jadi tahu bahwa kemungkinan ia memiliki kemampuan sebagai healer. Dan hal itu membuatnya jadi membuka sesuatu yang ia rahasiakan dari ayah nya semenjak dulu. Bahwa sebenarnya ia bisa melihat kutukan tanpa menggunakan alat bantu khusus, tidak seperti ayahnya.
Ya, sejak kecil Megumi sudah bisa melihat mereka. Tapi karena Toji tak bisa melihatnya, Megumi pura-pura tak melihat. Mungkin hanya kebohongan putih anak kecil yang khawatir pada ayahnya tanpa sebab pasti. Lagipula, sejauh yang Megumi ingat, selama ia ada di gendongan ayahnya dan melihat ada kutukan yang akan menyerang mereka, Toji dengan sigap membasmi mereka. Toji yang sudah terbiasa dengan kutukan, sampai seluruh inderanya lebih tajam dalam mendeteksi keberadaan kutukan meski tanpa melihatnya.
Karena itulah bagi Megumi sudah cukup. Ia pikir ayahnya keren, jadi ia ingin jadi seperti ayahnya. Ia berpura-pura seolah tak melihat kutukan itu, dan cukup tertawa senang di gendongan Toji, maka ayahnya itu akan membalas dengan senyum yang sama sambil mengelus kepala Megumi.
Tapi beranjak dewasa, setelah Toji mengetahui hal tersebut, bahkan menyadari bahwa dirinya mungkin memiliki kemampuan sebagai healer, Megumi mulai mengasah bakat itu.
Memasuki SMP, pergaulan Megumi semakin luas. Di sekolahnya, ia memiliki beberapa teman yang memiliki kemampuan khusus seperti jujutsushi. Setiap kali mereka terluka, meski itu hanya dari bermain bola, atau tertusuk jarum di kelas seni, Megumi meminta izin pada mereka untuk ia mencoba menyembuhkan mereka, melakukan heal. Meski tak berhasil.
"Yappari mungkin aku butuh bimbingan khusus," ucap Megumi saat tak berhasil mengobati temannya.
"Atau mungkin kau tipe healer untuk energy kutukan," balas temannya.
"Hah, maksudnya?"
"Oh, kau tidak tahu? Jadi, healer untuk jujutsushi itu ada dua macam. Yaitu healer fisik, seperti yang sedang kau usahakan ini, mereka biasanya menggunakan reversal technique untuk menyembuhkan jujutsushi yang memiliki luka fisik akibat pertempuran. Lalu ada healer tipe energy, mereka melakukan heal untuk energy kutukan yang berada di dalam tubuh jujutsushi. Seperti menstabilkan energy mereka, begitu."
"Apa aku boleh mencobanya padamu? Healer energy."
"Hmm, sayangnya itu hanya bisa dilakukan pada jujutsushi setelah ia menggunakan kemampuan khusus mereka untuk melawan kutukan. Orang seperti kami yang masih di bawah umur bahkan belum boleh menggunakan kemampuan kami kan, jadi saat ini energy kami baik-baik saja, tidak akan bisa menjadi praktik untukmu."
"...begitu ya…" balas Megumi.
"Ah, aku baru ingat," sahut teman yang lainnya. "Kakakku jujutsushi kelas 4, sepertinya hari ini dia ada misi di sekitar sini. Mau coba kuhubungi, sekedar untuk memuaskan penasaranmu saja."
"...a-apa boleh?" Megumi sedikit ragu.
"Tak apa lah, lagipula dia masih kelas 4. Misi nya juga paling tak terlalu berat kan, mendapat sedikit heal dari luar rumah sakit pasti tak masalah juga."
Megumi pun mengangguk setuju.
.
Sepulang sekolah mereka menuju sebuah taman terbengkalai, kakak teman Megumi melakukan misi di gedung sebelah taman itu.
"Woah, itu kah?" ucap teman-teman Megumi saat melihat sebuah kutukan terlihat keluar dari jendela, tapi lalu berhasil dibasmi oleh seseorang. Kutukan itu ukurannya tak begitu besar, mungkin hanya sebesar boneka beruang. Tak berapa lama seseorang muncul dari gedung itu dan menghampiri mereka.
"Selesai kah?" tanya teman Megumi.
"Iya, sudah kubersihkan seluruh gedungnya," balas jujutsushi itu. Ia menatap Megumi. "Jadi ini kah? Temanmu yang mau mencoba heal itu?"
"Ah, salam kenal," Megumi bangkit dari duduknya di ayunan dan membungkuk hormat.
"Tidak apa kan? Cuma mencoba saja, soalnya dia penasaran," ucap teman Megumi.
"Iya tak apa. Lagian misi seperti tadi aku bahkan tak perlu pergi ke rumah sakit untuk melakukan heal, cukup laporan saja. Jadi tak masalah dengan ini," jujutsushi itu duduk di ayunan sebelah Megumi. "Jadi, ayo coba saja, healer masa depan," cengirnya ramah.
Megumi tersenyum. "Yoroshiku onegaishimasu," balas Megumi dan duduk di ayunan samping jujutsushi tersebut.
Jujutsushi itu membuka jaket nya lalu menyodorkan tangannya pada Megumi.
"Hng?" Megumi bingung.
"Oh, kau belum tahu? Jadi begini," jujutsushi itu meraih tangan Megumi, menuntun untuk menggenggam pergelangan tangannya. "Coba kau cari nadiku, rasakan denyutnya."
Megumi menurut.
"Ini dari pengalamanku saat ditangani healer. Katanya mereka melakukan kontak fisik untuk merasakan denyut nadi kami, mereka merasakan aliran energy kami seperti aliran darah dalam tubuh kami. Cobalah. Pejamkan matamu, lalu konsentrasi."
Megumi menurut. Ia memejamkan mata, berkonsentrasi pada denyut nadi yang ia rasakan di tangannya. Lalu perlahan melepaskan energy yang ia miliki. Perlahan, ia merasakan aura sejuk menjalar lewat ujung jarinya, terus merambat ke lengan.
"Woah, meski samar aku yakin merasakan sesuatu," ucap jujutsushi itu.
Megumi membuka mata, melepas kontak mereka.
"Ya, aku yakin kau healer type energy. Ganbatte yo," ucapnya.
.
Sejak memastikan kemampuannya itu, Megumi bertekad ia akan menjadi healer nantinya. Setelah memasuki SMU dan usianya legal untuk mencari kerja sambilan, ia mencoba masuk ke rumah sakit divisi healer. Meski tugasnya tentu saja bukan untuk heal, tapi untuk di bagian office nya.
Tapi dari itu, dia jadi lebih paham bagaimana sistem bekerja dalam divisi itu. Dan sesekali ia juga diperbolehkan mengikuti kelas untuk lebih mendalami tentang healer, bahkan kadang ada beberapa jujutsushi yang mengizinkan Megumi untuk melakukan heal jika kondisi mereka tidak terlalu buruk. Sekedar untuk Megumi latihan kata mereka. Dan Megumi tentu saja menerima itu dengan senang hati.
Hari itu suasana hati Megumi sedang senang, karena seorang jujutsushi mengizinkannya melakukan heal untuk latihan. Tapi karena heal dari Megumi berjalan baik, jujutsushi itu bahkan tidak perlu menemui healer resmi dari rumah sakit. Yeah, tapi jujutsushi itu jadi harus memalsukan laporan dengan izin dari dokter resmi nya sih.
Ia ingin menceritakan hal menggembirakan itu pada Toji, jadi ia dengan tak sabar menunggu ayahnya pulang. Ia tengah menyiapkan makan malam saat pintu depan dibuka. Megumi mematikan kompor dan segera ke depan sekedar untuk menyambut Toji.
"Okaeri," sapa Megumi.
"Tadaima," balas Toji.
Megumi sedikit terbelalak saat melihat jahitan di sudut kanan bibir ayahnya. Beberapa luka juga terlihat di bagian lain tubuhnya.
"Hanya luka kecil, tak usah khawatir," Toji menjelaskan tanpa perlu ditanya. Ia menepuk kepala Megumi sambil berlalu melewati tubuhnya. "Aku mau mandi dulu."
Megumi hanya terdiam di tempatnya. Tangannya mengepal erat. Dalam hati ia membulatkan tekad untuk secara resmi bergabung dengan divisi healer. Setelah lulus SMU nanti ia akan langsung mendaftar. Jika diterima, maka ia bisa segera bekerja dan mendapatkan gaji. Dengan begitu…ia bisa membantu perekonomian keluarganya, dan kalau bisa…ia saja yang tanggung. Supaya Toji tak usah bekerja lagi, tak usah bertarung lagi sebagai jujutsushi. Supaya…ia tak perlu terluka lagi.
.
"Tou-san, jujutsushi itu ada levelnya?" obrol Megumi saat mereka sudah duduk di meja makan untuk makan malam.
"Iya, tentu saja ada. Tapi tingkatannya sedikit berbeda dengan healer," balas Toji.
"Kau di level berapa?" Megumi masih bingung bagaimana cara mengarahkan obrolan untuk bilang soal keinginannya menjadi healer.
"Saat ini di level semi-grade 2. Ah, tapi Megumi, Tou-san akan berusaha lebih keras supaya segera dipromosikan ke level yang lebih tinggi. Kuharap sih tahun ini sudah bisa mencapai level 2."
"..." Megumi terdiam mendengar itu. "Kenapa…?" tanyanya kemudian.
"Karena tahun ini kau lulus SMU kan. Akan butuh biaya tambahan kalau kau mau masuk universitas. Kudengar kalau level 2 gajinya lebih besar lagi. Jadi tenang saja, aku pasti bisa melakukannya, Megumi. Kau cukup menikmati masa belajarmu saja," cengir Toji.
"..." mata Megumi sempat terbelalak mendengar itu, tapi lalu menyipit kembali. Ternyata…sama seperti dirinya yang memikirkan Toji. Toji juga sangat memikirkannya.
"Tou-san…" panggil Megumi.
"Ya?"
"Aku berniat langsung masuk divisi healer setelah lulus nanti," akhirnya Megumi berani mengatakan itu. Kini giliran Toji yang terkejut.
"Haaah? Bagaimana dengan kuliahmu?" omel Toji.
"Aku tidak berniat untuk kuliah. Lagipula menjadi healer yang dibutuhkan adalah kemampuan spiritual, tidak perlu berkuliah untuk melakukannya."
"Tapi kan–...bagaimana dengan…opsi lain. Untuk masa depanmu."
"Opsi lain apa. Kan sudah sejak lama kubilang aku ingin menjadi healer. Sejak SD loh."
"Ya…tapi mungkin kau butuh waktu atau pelajaran untuk mengasah kemampuanmu?"
"Iya, tapi tempat terbaik untuk melakukannya tentu saja di rumah sakit, bukan di bangku perkuliahan. Tidak ada universitas khusus untuk healer kan," bela Megumi. "Lagipula kau tahu sendiri selama ini aku kerja sambilan di divisi healer. Sesekali aku juga bisa melakukan heal, aku sudah punya koneksi di sana. Jadi setelah lulus nanti, aku yakin akan lebih mudah diterima kerja resmi."
"..." Toji memain-mainkan makanannya sambil mendengarkan penjelasan Megumi. "Kau yakin…dengan pilihanmu?"
Megumi mengangguk. Toji menghela nafas panjang, lalu mengangguk mengiyakan. "Baiklah. Ganbare yo," ucapnya kemudian.
"Hai," balas Megumi dan mereka pun melanjutkan makan.
.
Sesuai rencana, setelah lulus SMU Megumi langsung mendaftar ke rumah sakit tersebut sebagai healer. Dan ia diterima dengan mudah. Meski begitu seperti new recruit pada umumnya, ia masih harus menjalani training dan kelas pelatihan lainnya meski ia sudah lebih menguasai bidang tersebut selama pengalaman ia bekerja sambilan.
Ia mulai bekerja resmi di sana sebagai healer level 4, lalu hanya dalam beberapa tahun saja ia sudah bisa mencapai level 2. Banyak orang menganggapnya jenius karena bisa mencapai level itu dalam waktu singkat, karena biasanya butuh bertahun-tahun untuk naik 1 level saja.
Saat ia dipromosikan ke level 2, Toji adalah orang pertama yang ia beritahu mengenai berita membanggakan itu.
"Souka souka, omedetou," Toji tertawa senang sambil mengacak rambut Megumi.
"Arigatou…" balas Megumi sedikit tersipu. Ia tertunduk dan sedikit agak ragu mau mengatakannya, sementara Toji masih menatap surat promosi jabatan Megumi dengan mata berbinar. "Ano sa, Tou-san," akhirnya Megumi memberanikan diri.
"Mm hm?" Toji mengalihkan pandangan dari surat di tangannya demi menatap Megumi.
"Tidak bisakah…kau berhenti menjadi jujutsushi…?"
"..." Toji sedikit terbelalak mendengar itu. Suasana hening untuk beberapa lama.
"Aku sudah naik ke level 2. Kurasa…gajiku akan cukup untuk kehidupan kita berdua," ucap Megumi. "Tak bisakah kau retire dari pekerjaanmu sebagai jujutsushi? Hora, kau bilang kau suka tanaman hias. Bagaimana kalau kau membuka toko tanaman atau semacamnya. Melakukan pekerjaan yang tidak berbaha–..." Megumi menghentikan ucapannya saat ia menyadari nada suaranya sedikit meninggi.
Toji tersenyum mendengar itu. Ia lalu bangkit dari kursinya untuk berpindah duduk di samping Megumi. Ia mengacak rambut Megumi.
"Kau menghawatirkanku?" ucap Toji.
"Tentu saja," balas Megumi. "Dan kau juga tidak akan bertambah muda kan," ia memperhatikan wajah Toji yang mulai nampak gurat tipis di sana, juga bekas jahitan di bibir yang kini meninggalkan baret luka permanen.
Toji tertawa mendengar itu. "Iya iya, jadi maksudmu aku sudah tua dan harus pensiun begitu?" tawa Toji.
"Aku hanya mengkhawatirkan tulang punggungmu yang mungkin kesleo" balas Megumi sedikit kesal akan respon ayahnya.
Toji menghela nafas panjang lalu membuangnya, ia bersandar ke sandaran sofa menatap langit-langit. "Tapi bagaimana ya. Aku sudah terbiasa dengan kehidupanku yang ini. Aku pernah dua minggu tidak mendapatkan misi karena harus mengurus anak baru, yang ada tubuhku kaku semua. Aku merasa harus menghajar sesuatu."
"Ya…mungkin karena belum terbiasa juga kan," balas Megumi.
"Pffttt…" Toji menopang dagunya menatap Megumi. "Megumi," panggilnya. "Aku melakukan pekerjaan ini karena aku memang mau. Bukan karena terdesak ekonomi saja. Jadi gomen, sepertinya untuk saat ini aku belum bisa memenuhi permintaanmu."
"..." Megumi tak bisa menjawab lagi.
"Ah, atau begini saja. Kau mengkhawatirkan kan. Bagaimana kalau sejak saat ini, aku berjanji tidak akan terluka lagi selama menjalankan misi. Aku hanya akan ambil misi yang levelnya tidak terlalu berat, supaya aku tidak terluka parah tapi aku masih bisa memenuhi keinginanku untuk menghajar sesuatu."
"Hee, memangnya bisa. Mana mungkin tidak terluka selama melakukan misi," balas Megumi.
"Bisa, pasti bisa deh. Janji," Toji mengulurkan jari kelingkingnya.
"Huuuh," Megumi cengok.
"Aku janji tidak akan terluka lagi selama misi. Apa dengan begini kau mengizinkanku untuk tetap menjadi jujutsushi?"
"Tch, heeeh," dengan wajah sedikit memerah Megumi menaut jari kelingking Toji. "Seperti anak kecil saja janji jari kelingking."
"Hahaha kau akan selamanya menjadi bocah bagiku," tawa Toji. "Ah, tapi luka lecet dan luka kecil lainnya tidak dihitung oke. Kalau yang seperti itu sih mustahil untuk dihindari," tambahnya.
"Geez, iya iya," balas Megumi.
.
Megumi tersenyum mengingat masa lalunya itu seraya mengusap lembut luka lecet di lengan ayahnya yang kini tengah menggendong Megumi.
"Ah, sampai juga," ucap Toji saat mereka tiba di kediaman mereka yang masih gelap karena lampu belum dinyalakan. Toji menurunkan Megumi, meski masih harus dipapah saat memasuki rumah.
Mereka memasuki rumah sambil menyalakan lampu-lampu.
"Tadaima," ucap Toji pada foto mendiang istrinya, ibu Megumi. Wanita itu meninggal tak lama setelah Megumi dilahirkan. Semenjak itu mereka hanya tinggal berdua. "Kau mau mandi dulu?" tanya Toji pada Megumi.
"Yeah, aku gerah sekali," balas Megumi.
Toji memapah Megumi ke kamar mandi, menyiapkan bathtub untuknya.
"Tempura tak apa?" tanya Toji yang mengisyaratkan bahwa ia akan memasak makan malam.
"Iya, balas Megumi sambil mulai menanggalkan pakaiannya.
"Oke," balas Toji dan melangkah menuju pintu keluar kamar mandi.
"Ah, soup. Sama soup. Aku sedang ingin yang berkuah dan hangat," tambah Megumi.
"Ryoukai," balas Toji seraya menutup pintu kamar mandi.
Megumi memasuki bathtub setelah menanggalkan seluruh pakaiannya. "Aahh…" ia merilekskan diri berendam di air hangat itu, bersandar ke tepian tub nya. Dalam posisi rileks itu pikirannya kembali terarah pada kejadian hari ini. Pada Gojo.
Apa…dia baik-baik saja ya…?
Kalau Megumi sih, letih setelah sesi heal adalah hal wajar yang biasa terjadi jika healer kelelahan. Tapi dengan istirahat dan tidur, energy nya akan segera pulih, dan ia akan bisa beraktivitas lagi keesokan hari.
Tapi bagaimana dengan Gojo? Megumi hanya berhasil sedikit sekali melakukan heal pada jujutsushi itu. Ia khawatir itu hanya akan meninggalkan efek buruk pada tubuh Gojo.
"Sudahlah. Semoga saja dia segera mendapatkan penanganan dari healer level 1," ucap Megumi pada akhirnya. Ia pun membasuh wajahnya dengan air hangat lalu melanjutkan mandi.
.
~OoooOoooO~
.
Matahari pagi sudah bersinar memasuki ruangan sebuah hotel. Nanami keluar dari kamar sudah berpakaian rapi, menuju ruang tengah di mana kopernya sudah berada. Ia berniat menuju kamar sebelah untuk membangunkan Gojo, tapi sepertinya tidak perlu, karena ia sudah melihat pria itu duduk di sofa depan dinding kaca besar yang menghadap pemandangan kota.
"Kenapa belum bersiap-siap. Kereta kita jam 9 pagi," Nanami menghampiri sambil mengancingkan lengan bajunya.
"Nanami, kurasa aku belum akan kembali ke HQ bersamamu," ucap Gojo tanpa menatap Nanami. Tatapannya terarah ke pemandangan kota di luar.
"Huh! Apa yang kau bicarakan. Misi kita sudah selesai, mau apa lagi di sini? Bolos dari misi selanjutnya kah?" omel Nanami.
Gojo tak menjawab, tetap menatap keluar. Nanami mengikuti arah tatapan Gojo, dan baru menyadari kemana titik fokus Gojo tertuju. Sebuah bangunan rumah sakit.
"Kurasa…aku akan kembali ke rumah sakit itu," ucap Gojo kemudian.
Nanami tak menjawab, alisnya sedikit berkerut. Ia menatap wajah Gojo yang masih memandang keluar jendela. Ia…tak akan pernah lupa ekspresi Gojo yang kemarin.
Kemarin setelah ia mendapatkan penanganan dari healer, Nanami kembali ke ruang tunggu untuk menunggu Gojo. Ia meraih sebuah buku dari rak, berniat menghabiskan waktu untuk membaca. Paling juga hanya dapat beberapa halaman. Biasanya sesi heal Gojo sangatlah singkat.
Tapi ia tunggu 5 menit, 10 menit, sampai ia membaca 3 chapter buku, Gojo belum keluar dari ruangan heal.
Klep…!
Nanami menutup bukunya, ia tak bisa konsentrasi karena gelisah. Ia bangkit menuju resepsionis.
"Apa ada masalah dengan proses heal nya?" tanya Nanami.
"Ettoo…sejauh ini tidak ada. Fushiguro-Sensei tidak menelfon atau menekan bel apapun. Mungkin proses heal nya masih berlangsung," balas resepsionis ber name tag Suzuna itu.
Nanami tampak tak puas dengan jawaban itu.
"Ho-hora, mungkin karena Fushiguro-Sensei healer kelas 2, dan Gojo-sama adalah special grade…proses heal nya berjalan lebih lama. Mungkin seperti itu," Suzuna mencoba memberi alasan logis.
Tapi Nanami tahu pasti ada sesuatu yang terjadi. Nanami kembali ke tempat duduk, kembali menekuni bukunya meski hanya ia baca tanpa ia serapi. Ia masih memikirkan apa yang sedang terjadi di dalam sana.
Ia mengenal Gojo sejak lama. Ia tahu bahwa Gojo adalah special case, termasuk dalam kecocokannya dengan healer. Selama ini Gojo belum pernah menemukan healer yang cocok, kebanyakan kasus para healer tak berhasil melakukan heal, tapi tak mau mengaku karena takut dipandang rendah, dicap tak mampu menangani Jujutsushi sekelas Gojo. Sebagian lagi mengaku menyerah, sebagian lagi…mengalami penolakan dari curse energy Gojo dan berakhir koma.
Klep…!
Lagi-lagi Nanami menutup bukunya karena tak konsentrasi. Ia menatap pintu ruangan yang terbuka, berharap Gojo muncul dari sana. Tapi nihil.
"Apa aku boleh melihat situasinya?" tanya Nanami.
"Mohon maaf, selama proses heal tidak boleh ada yang mendekat, karena takut akan mengganggu konsentrasi Sensei yang sedang bertugas," jawab Suzuna.
Nanami pun hanya bisa pasrah. Ia melanjutkan menunggu. Satu jam lewat, belum ada tanda-tanda kemunculan Gojo. Nanami sudah menghabiskan beberapa buku, meski tentunya tak ia baca keseluruhan. Ia pun memilih buku lain, menghabiskan waktu selanjutnya.
Hingga akhirnya, setelah penantian lebih dari dua setengah jam, ia mendengar langkah kaki dari ruangan sebelah. Nanami segera menutup buku dan bangkit dari duduknya. Ia ingin mengetahui apa yang terjadi. Dan ia pun terbelalak saat Gojo muncul tanpa mengenakan baju, hoodie yang ia pakai tadi hanya ia tenteng di tangannya.
Apa yang terjadi? Apa Gojo baru melakukan sesuatu yang tidak pantas?
Nanami melirik security yang tampak siaga. Suzuna juga tampak waspada, tangannya sudah berada di gagang telefon. Nanami beralih menatap ke arah Gojo, ia ingin menanyakan apa yang terjadi. Saat itulah mata Nanami kembali terbelalak.
Untuk pertama kalinya, Nanami melihat cahaya kehidupan di mata Gojo, ekspresi wajahnya seperti hidup, bukan wajah mayat seperti yang biasa. Dan…meski samar…meski begitu tipis, Nanami melihat senyum terlukis di bibir Gojo.
.
Nanami mengusap tengkuknya saat pemandangan itu kembali terpampang jelas di ingatannya. Ia sempat merinding melihat itu.
"Baiklah," jawab Nanami. Ia menghampiri koper nya dan menenteng benda itu. "Kalau begitu aku kembali duluan ke HQ. Jangan lupa memberikan laporanmu," Nanami meninggalkan kamar hotel itu dan menutup pintunya.
.
.
.
~ To be Continue ~
.
Support me on Trakteer : Noisseggra
