Chapter 3
Terima Kasih
Alarm Hanna berbunyi dengan nyaring. Ia mencari ponselnya di segala penjuru kasur dengan mata tertutup dan akhirnya menemukannya di bawah bantal. Secepatnya jempol itu menekan tombol 'matikan' pada layar sentuh ponsel tersebut dan membuat suara bising itu berhenti.
Gadis itu mengeliat dan dengan malas mengucek matanya. Namun saat ia mencoba untuk bangkit, dia merasakan ada tangan kecil yang menghalanginya.
Hanna pun membuka matanya, dan mengintip ke dalam selimutnya.
Terlihat di sana seorang anak laki-laki, seumur remaja SMP dengan kulit putih dan wajah elok; tengah memeluknya dengan erat seolah sedang mencari kehangatan. Anak itu mendengkur pelan dan terlihat sangat nyaman.
Di saat yang sama tangan yang lain menghantam Hanna. Kali ini ada anak laki-laki lain yang juga tidur di ranjang yang sama. Namun dengan posisi telentang lebar, sambil mengorok dengan cukup keras bahkan sesekali ia berguling-guling secara acak.
Benar juga, Hanna hampir saja lupa. Sudah 2 minggu berlalu semenjak kucing-kucingnya secara misterius berubah menjadi manusia.
Jika menurut penjelasan Kakak angkatnya yang pertama, para kucingnya berubah karena roh ajaib yang hidup di dalam lonceng yang ia temukan dalam gudang. Jika benar, satu-satunya mengembalikan wujud mereka seperti semula adalah dengan mengabulkan keinginan mereka.
Tapi hingga saat ini pun Hanna belum menemukan petunjuk mengenai keinginan sebenarnya para kucing-kucingnya itu. Dia sempat menanyakan mereka, namun semua jawaban mereka ngawur. Yang ada malah seperti sesi request makanan. Ada yang minta ikan pindang lah, ada yang minta daging lah. Sempat juga Hanna mengabulkan bahan makanan yang mereka minta, tapi tidak ada perubahan.
Kalau dipikir-pikir benar juga. Masa iya, mereka berubah jadi manusia cuman karena ingin minta dibuatkan makanan tertentu. Pasti ada yang lain, dan mungkin selama ini sudah menganjal di hati mereka.
Kalau dia tidak segera menemukan cara mengabulkan permintaan mereka, kemungkinan selamanya para kucingnya itu akan tetap berada di wujud manusia. Tapi yang membuat penasaran, seandainya para kucingnya itu menua, apakah mereka akan mengikuti perkembangan umur kucing atau manusia?
Semakin dipikirkan semakin membuat pusing. Akhirnya Hanna mencoba untuk berhenti dan mengabaikan hal-hal ini dulu. Terlebih lagi karena dia tidak mau terlambat bekerja di hari senin yang tidak disukai orang banyak. Jadi Hanna pun bergerak perlahan keluar dari selimut agar tidak membangunkan anak laki-laki yang sejak tadi tidur sambil memeluknya itu. Dan turun dari kasur dengan langkah yang hati-hati agar tidak menginjak anak-anak lain yang sedang tidur di matras bawah.
Dengan ogah-ogahan Hanna pun melangkah ke dapur untuk bersiap. Memasak sarapan dan mandi sebelum berangkat untuk menjalani aktivitas rutinnya, pergi ke kantor dan bekerja.
"Oh?" Namun sesaat kemudian di terhenti karena terkejut melihat sosok lain di sana. Pemuda dengan penampilan orang dewasa tengah berdiri di depan wastafel dan mencuci piring serta perkakas dapur yang dipakai tadi malam.
Pemuda itu menoleh ke arahnya, dengan senyuman manis. Masih sibuk bergelut dengan kegiatannya di sana. "Selamat pagi, Mama" Secara warna rambut dan matanya tidak jauh berbeda dengan anak-anaknya yang lain, tapi melihat sikap dan cara bicaranya, Hanna tahu pasti itu Tanah.
Seminggu berlalu, untuk berjaga-jaga Hanna mengajari anak-anaknya itu cara bersikap seperti manusia. Menunjukkan nama, fungsi dan cara menggunakan barang-barang. Apa yang harus dan tidak boleh dilakukan.
Hasilnya tidak terlalu buruk, mereka cukup membantu kegiatannya sehari-hari di rumah. Terutama Tanah, dia jadi hobi bersih-bersih. Atau mungkin itu sudah menjadi kebiasaannya saat masih menjadi kucing, melihat dia suka menjilati bulunya serta yang lain.
Karena bagi kucing, menjilati tubuh itu berfungsi untuk membersihkan diri. Kurang lebih sama seperti mandi untuk manusia.
"Pagi..." Hanna mendekat pada Tanah dan berdiri di sampingnya. "Kau repot-repot bangun dan langsung bersih-bersih? Padahal tidak usah" ucap Hanna mengawali pembicaraan sambil membantu Tanah membilas cucian dan menyusunnya ke rak penadah air.
"Tidak. Setiap hari Mama pergi bekerja dan kembali saat makan siang. Mama juga harus menyiapkan kami makanan, setidaknya aku mau mengurangi beban Mama yang merawat kami" sahut Gempa.
Memang benar, karena sekarang kucing-kucingnya berubah menjadi manusia dan tentu tidak bisa menyantap makanan kucing, Hanna jadi harus memasak setiap pagi dan sore, tentu saja semua piring dan perlengkapan harus sudah siap. Kalau tidak mau taruh di mana?
Padahal sebelum ini Hanna hanya akan membiarkan cucian menumpuk di wastafel sampai pulang kerja. Sekali masak bisa cukup untuk porsi tiga hari. Sebenarnya tidak terlalu buruk, dia tidak perlu harus bolak-balik dari kantor ke rumah hanya untuk menyiapkan makanan para kucingnya, dia juga bisa sekalian membuat bekal.
Jika misalkan kucingnya sudah kembali seperti semula, apa sebaiknya ia mempertimbangkan untuk membeli dispenser makanan kucing otomatis? Mengingat sebentar lagi tahun baru dan dia sudah lama tidak pulang kampung karena tidak tega meninggalkan para kucingnya.
"Terima kasih ya, Tanah" Hanna menyipitkan matanya dan tersenyum saat mendengar ucapan Tanah.
"Apa itu?" namun Tanah terlihat bingung dengan kalimat yang barusan dilontarkan Hanna.
"Eh?" Hanna pun sontak menoleh padanya.
"'Terima kasih'. Mama selalu mengatakan itu setelah kami melakukan sesuatu yang Mama suka. Aku bisa tahu karena Mama selalu tersenyum setiap mengatakannya. Dan juga entah kenapa... Setiap kali mendengarnya kayak ada yang terasa hangat di sini" jelas Tanah sambil menyentuh dada, tepat di area sekitar jantungnya "Itu artinya apa sih?" Ia pun lanjut melontarkan pertanyaan beradasarkan penjelasannya sebelumnya,.
Hanna tidak terlalu memikirkannya selama ini. Sejak kecil dia hanya diajari oleh orang tua dan gurunya di sekolah, jika berbuat salah bilang 'Maaf', jika butuh bantuan bilang 'Tolong', jika ada orang yang berbuat baik, ucapkan 'Terima kasih'. Tiga kata ini sudah menjadi dasar etika di mana pun kau berada.
"Terima kasih itu... uh... ucapan yang kau katakan jika ada yang sudah berbuat baik pada kita." Jelas Hanna.
"Berbuat baik?" tanya Tanah, masih penasaran.
"Itu... Lebih tepatnya saat ada yang memberikanmu hadiah seperti barang atau pertolongan, lalu kita ingin memberikan balasan tapi tidak ada yang bisa diberikan, maka sebagai gantinya kita mengucapkan syukur dan mendoakan hal baik pada orang itu. Itu akan membuat orang itu merasa lega dan senang" Hanna coba menjelaskan lebih rinci lagi dengan pemilihan kalimat yang lebih mudah dimengerti bagi seekor kucing yang baru berubah menjadi manusia dan kosakatanya masih sedikit.
"Begitu ya..." Tanah tersenyum dan memegangi dadanya. "Jadi yang terasa hangat disini itu karena aku senang" ucapnya. Tak lama ia kembali menoleh pada Hanna. "Kalau Mama... Apa Mama akan senang jika ada yang mengucapkan itu?" lanjutnya bertanya.
"Tentu saja. Siapa yang tidak senang saat merasa dihargai?" jawab Hanna lugas.
Tanah terdiam sejenak dengan mulut setengah terkatup. Ia sepertinya ingin mengungkapkan sesuatu "Mama... Itu–"
"Mama! Selamat pagi!" sayangnya ucapannya harus terjeda ketika Angin datang dengan riang dan langsung mendekap Hanna dari belakang. Dan disaat yang sama dia juga menggesekkan wajahnya di kepala perempuan itu. Kelihatannya ini adalah bentuk lain dari kebiasaan Angin yang suka mendusel-duselkan wajahnya ke kaki Hanna saat masih dalam bentuk kucing.
Perilaku ini biasanya dilakukan saat kucing ingin mencari perhatian atau menandai sesuatu sebagai miliknya, karena pada dasarnya kucing memiliki sebuah kelenjar yang mengeluarkan aroma khas di area wajahnya, aroma khas yang dikeluarkan ini digunakan sebagai penanda serta peringatan pada kucing asing untuk tidak mendekat. Siapa sangka kebiasaannya ini masih terbawa sampai ia berubah menjadi manusia.
Mau tidak mau, Hanna hanya bisa menanggapinya dengan mengelus balik kepala pemuda itu.
"Ehehehe..." Angin pun tertawa senang dengan elusan tersebut. "Hari ini Mama masak apa? Aku lapar banget!" ucapnya manja pada Hanna.
"Hmmm... apa ya...?" Hanna bergumam sambil menyingkirkan tangan Angin dari punggungnya dan bergerak menuju kulkas untuk mengecek bahan masakan yang ada. "Kamu ingin makan apa?" tanya Hanna balik pada Angin.
"Ikan bakar!" seru Angin nyaring.
"Tidak bisa." sahut Hanna tegas.
"Kenapa!?"
"Ini masih kepagian" kata Hanna ketus.
Tentu saja jawaban Hanna membuat pemuda itu terlihat menunduk karena kecewa.
Sementara itu Tanah yang ucapannya diserobot oleh Angin hanya bisa terdiam memandangi mereka dari jauh. Ia mengulum bibirnya dan menundukkan kepala sambil mengelap kering piring-piring dan gelas yang akan digunakan pagi ini untuk mereka semua sarapan.
.
.
.
Beberapa jam berlalu, terlihat Hanna sudah rapi dan siap berangkat ke kantor. Wanita itu merapikan kembali kerah mantel berwarna cokelat mudanya dan memasang tas selempangnya. Dia berjalan menuju beranda depan dan memasang sepatu.
Tidak lupa seperti biasa Tanah mengekornya dari belakang untuk mengantarkan wanita itu.
Sambil merapikan lengan mantelnya Hanna berpesan pada Tanah, Daun dan Api yang juga ikut mengantarkan perempuan itu ke ujung lorong keluar apartemen mereka. "Ingat ya, jangan membuat keributan yang bisa mengganggu tetangga. 'Jangan Keluar Seenaknya Seperti Waktu Itu'. Api~" Hanna menegaskan kalimatnya sembari menyebut nama anaknya yang berbuat onar.
"Baik, Ma..." Api menjawab dengan menunduk dan membuang wajahnya sambil melipat kedua tangannya ke belakang karena merasa bersalah.
"Aku sudah masak banyak, kalau lapar tinggal panaskan saja seperti biasa. Kau masih ingat cara menggunakan microwave kan, Tanah?" ucap Hanna lagi berpesan pada pemuda di depannya.
"Serahkan padaku, Ma" Tanah menyahut sembari tersenyum.
"Kalau haus ambil air di keran dengan gelas. Daun~" Hanna tersenyum menatap anak yang disebut namanya, tapi entah kenapa nadanya terdengar geram.
"Ehehehe..." Daun hanya terkekeh kecil sambil memainkan kedua jari telunjuknya dan membuang muka.
"Kalau begitu aku berangkat dulu ya?" ucap Hanna sambil membuka pintu depan, namun belum mengalihkan pandangan dari anak-anaknya itu.
"Dadah Mama~! Hati-hati!" sontak Api dan Daun pun melambaikan tangan mereka tinggi.
"Anu! Mama!" Tanah memanggil wanita itu seolah ingin menanyakan sesuatu.
Sontak Hanna pun berhenti sejenak. Dia sebenarnya sadar jika sejak tadi anaknya yang satu ini, sejak ucapannya dipotong oleh Angin, ia terus-menerus memasang wajah tidak nyaman. Seolah ada sesuatu yang benar-benar dia ingin tanyakan. "Ada apa?" Hanna pun coba memancingnya dengan melontarkan pertanyaan.
Tanah tampak tersentak, namun sesaat kemudian dia menggeleng pelan "Bukan apa-apa. Selamat jalan..." ucapnya sambil tersenyum. Tapi entah kenapa, senyumannya itu seperti dipaksakan.
Sebenarnya Hanna penasaran tapi dia lebih tidak mau terlambat bekerja. Jadi dia memutuskan menanyakannya nanti saat pulang bekerja saja. Wanita itu segera keluar rumah dan menutup pintu rapat-rapat hingga terkunci secara otomatis.
Seusai Hanna keluar Api pun segera menghambur lari menuju ruang tengah. "Oke, ayo kita main" ajaknya.
Daun pun segera ikut menyusulnya dengan riang. "Kita mau main apa hari ini?" katanya dengan nada ceria.
"Hei, ingat pesan Mama tadi!" Tanah pun segera menegur mereka agar tidak membuat kekacauan atau suara berisik yang bisa mengganggu penghuni apartemen yang lain.
"Tau kok, tau. Kami bakalan main dengan tenang!" Api menyahut perkataan Tanah.
Tanah mendengus pelan sambil berkacak pinggang, dan segera menyusul ke ruangan tengah di mana kucing-kucing Hanna yang lain tengah berkumpul
~MC~
Manusia adalah makhluk visual...
Itulah yang kuperhatikan selama beberapa hari ini.
Mereka tertarik pada sesuatu yang bersih, cantik dan terawat. Dan menghindari sesuatu yang kotor dan menjijikan.
Lantas... Apakah makhluk yang nasibnya kurang beruntung hingga penampilannya tidak layak dilihat tidak pantas untuk dicintai?
.
.
.
Di sebuah pasar loak di pinggiran kota, di mana semua barang diperjual belikan. Terdapat toko kecil yang menjual beragam perlengkapan hewan peliharaan. Mulai dari pakan, mainan, pasir hingga kandang beragam ukuran.
Di antara semua kandang-kandang yang dijual itu, ada satu kandang yang diletakkan di sisi luar toko, jauh dari barang-barang. Di dalamnya ada satu makhluk kecil yang duduk manis sambil meringkukkan tubuhnya hingga menyerupai bola. Badannya kecil dan kurus hingga nyaris tinggal tulang, bulunya putih kusam karena lama tidak dibersihkan, dan seluruh kulitnya dipenuhi kurap mulai ujung telinga hingga ujung kaki.
Sesekali ketika rasa gatal menyerang dia akan berdiri dan mulai menggaruk hingga bulu-bulu halus lepas bersamaan dengan koreng di tubuhnya, tentu saja akibatnya bagian yang digaruk jadi berdarah. Dan bagian berdarah itu pun dijilat olehnya untuk mengurangi rasa sakit dan infeksi. Tak ayal bau anyir dan kotoran yang tidak sedap memenuhi kandang kecil itu.
Tak lama makhluk besar tak berbulu yang lain mendekat ke kandang itu dan mengejutkan si anak kucing kecil. Tubuhnya tinggi kurus, rambutnya gondrong panjang tidak diikat.
Pria itu membuka pintu kandang dan memasukkan beberapa butir bola-bola kecil berbau seperti pakan hewan ke dalam wadah makanan kecil di ujung kandang itu.
Si kucing kecil segera mendekat ke wadah dan mengendus isinya, namun segera mundur dan duduk kembali ke tempatnya semula.
Si pria langsung menutup pintu kandang sebelum akhirnya kembali duduk ke belakang meja kasir toko tersebut sambil bertumpu tangan.
Selain dirinya ada satu pria lagi yang juga berjaga di sana, merapikan susunan barang-barang, serta menghitung stok. Berkebalikan dari temannya, tubuhnya besar dan gempal. Kepalanya botak plontos dan dagunya ditumbuhi jenggot tipis.
"Cih... Sombong sekali. Sudah dikasih cuman diendus. Masih untung dikasih makan, daripada dibiarkan kelaparan" celetuk pria bertubuh kurus itu.
Yang disahut oleh temannya yang berbadan gempal. "Dia masih tidak mau makan?"
"Begitulah..." jawab pria jangkung itu sarkas. "Lagipula kenapa sih kita masih menampungnya di sini? Bukannya laku dijual yang ada cuma membebani biaya, pelanggan juga jadi kabur gara-gara itu ada di sini."
"Yah... Ini karena bos percaya takhayul. Dia takut kena karma kalau berani membuang kucing itu ke jalan. Tapi memang benar sih, bahkan kalau ada yang membeli untuk dimasak dan dikuliti juga tidak ada yang mau karena kudisnya itu" jawab si pria berbadan besar.
"Akhir-akhir ini pendapatan juga berkurang sejak ada klinik hewan di depan sana. Dibandingkan di sini, orang-orang lebih memilih ke sana karena lebih nyaman dan lengkap. Kalau begini terus lama-lama usaha ini bisa bangkrut"
"Hush... jangan ngomong gitu lah. Takutnya malah jadi beneran"
"Apa? Aku hanya mengatakan fakta. Bos bahkan tidak kepikiran untuk merenovasi toko ini, siapa yang akan tertarik jika tempatnya seperti ini?"
Sementara dua pegawai itu asik bercengkrama, anak kucing yang berada di kandang luar itu kembali menggaruk tubuh dan menjilati lukanya.
.
.
.
Sejauh yang aku ingat... sejak lahir aku terus menerus di dalam kotak besar berjeruji. Kotak besar itu menahanku agar tidak kabur kemana-mana.
Dulunya aku tidak tinggal sendirian di dalam sana. Ada Ibu dan satu saudara perempuanku.
Namun suatu hari adikku dibawa pergi oleh makhluk besar tidak berbulu.
Bunda selalu bilang padaku. Alasan kenapa kami diletakkan dalam kotak itu adalah agar para makhluk besar tak berbulu bisa membawa kami ke sarang-sarang mereka yang hangat.
Di sana mereka akan memperlakukan kita dengan istimewa. Kita boleh melakukan apa oun yang kita suka, makan dan tidur kapan pun dan di mana pun yang kita mau. Bahkan para makhluk besar itu tidak akan bisa melarang kita.
Karena itu lah, demi agar bisa keluar dari kotak itu, kami harus senantiasa bersikap manis, agar para makhluk besar itu terhibur, tapi jangan lupa untuk jual mahal agar menarik.
Karena tarik ulur itu penting.
Aku pun percaya dengan apa yang dikatakan bunda. Hingga tak lama setelahnya, bunda mengalami panas tinggi dan bersin terus menerus. Hidungnya mengeluarkan cairan berbau busuk. Kondisinya terus menerus memburuk.
Di saat itu juga aku menurunkan harga diriku dan berteriak sekeras-kerasnya, meminta bantuan pada makhluk besar tak berbulu. Namun mereka mengabaikanku.
Kenapa?
Apa karena aku kurang lucu?
Lantas apa yang harus aku lakukan?
Sekeras apapun aku berteriak meminta tolong, tidak ada yang peduli. Mereka lewat begitu saja, menatap kami dengan pandangan aneh.
Tak lama setelah itu, bunda menghembuskan nafas terakhirnya, dengan keadaan yang sangat buruk. Tubuhnya kurus dan bulunya rontok, tidak cantik seperti sebelumnya. Meski begitu Bunda terus mempercayai bahwa akan ada makhluk besar yang membawa kami pulang bahkan hingga akhir hayatnya.
Aku pun mempercayai apa yang bunda percayai dan terus menunggu
Hari demi hari.
Menunggu akan adanya mahkluk besar yang membawaku ke sarangnya.
Tak lama setelahnya aku mulai merasakan ada yang aneh dengan tubuhku. Rasanya seperti ada yang menggigitiku kulitku, rasanya gatal sekali. Awal mulanya hanya kepala dan leher, tapi semakin lama terasa di seluruh tubuh. Lama-lama seluruh kulitku terasa sakit dan gatal.
Saat gatal aku akan mulai menggaruk menggunakan kaki belakang, menjilatinya dengan lidahku yang kasar, atau menggigitnya hingga berdarah.
Buluku yang dulu tebal semakin lama terasa semakin tipis sehingga membuatku mudah kedinginan.
Walau begitu, dengan keadaanku yang buruk, masih ada makhluk besar baik yang memberikanku makanan. Walaupun aku kurang suka dengan apa yang mereka berikan. Baunya aneh dan keras sekali untuk digigit. Tapi setidaknya aku bisa mengisi perutku dengan itu.
Dengan keyakinan yang diberikan bunda, aku masih berusaha bertahan dengan keadaan tubuh seperti sekarang.
.
.
Orang tua zaman dulu selalu bilang 'ucapan itu adalah do'a', karena itulah kita harus berhati-hati saat bertutur kata.
Benar saja, seperti yang dikatakan pegawai itu. Tak sampai seminggu usaha di toko itu terpaksa harus gulung tikar. Pelayanan dan manajemen buruk, serta kalah persaingan dengan yang lain, membuat mereka terpaksa menutup toko.
Dan nasib kucing kecil itu...
Dia ditinggalkan sendirian di luar pelataran toko itu. Diletakkan dalam kardus bekas kecil dan diberikan sedikit makanan serta minum. Berharap ada orang baik yang lewat dan membawanya pulang.
.
.
.
Hari ini, makhluk besar yang selama ini memberikanku makan, tiba-tiba saja mengeluarkanku dari kotak itu, dan memindahkanku ke kotak lain yang lebih kecil.
Dibandingkan kotak yang sebelumnya jujur aku lebih suka yang ini. Tidak ada jeruji yang menghalangiku dan membuat kakiku sakit, tempatnya pun tertutup sehingga aku tidak kedinginan. Dia juga meninggalkanku makanan.
Tapi kemana dia pergi?
Oh mungkin dia sedang mencarikanku makanan yang lain. Atau mungkin mencari makhluk besar lain yang mau membawaku.
Kalau begitu berarti aku harus menunggu di sini?
Serahkan padaku, aku paling jago kalau urusan menunggu. Meskipun tanah keras yang kududuki ini terasa dingin akan tetap kutunggu.
Namun sekian lama menunggu tak ada yang datang menemui kucing kecil itu. Karena lelah dan mengantuk akhirnya kucing kecil itu pun tertidur di pelataran yang dingin itu.
.
.
.
Oh tidak!
Aku ketiduran!
Langitnya sudah mulai gelap. Bagaimana ini? Jangan-jangan makhluk besar sudah kembali ke sini saat aku tidur? Terus karena aku tidur dia tidak jadi membawaku.
Kruccuk
Ugh... perutku lapar. Mungkin mereka akan kembali lagi besok. Isi tenaga dulu, aku harus kuat kalau ingin ikut dengan makhluk besar.
Sepertinya tadi di kotak ada makanan.
Si kucing kecil pun memanjat kotak kardus itu dengan susah payah. Tubuhnya yang kurus dan kecil ditambah tak bertenaga karena belum makan dan minum apa pun sejak pagi membuatnya kesulitan mendaki dinding kardus yang hanya tingginya hanya setengah separuh betis orang dewasa itu, bahkan kurang.
Saat berhasil masuk ke kotak, kucing kecil itu segera mendekati wadah makanan dan memasukkan butiran-butiran pakan itu ke mulutnya dengan lahap, hingga tanpa sadar satu mangkok ludes tak bersisa.
Benar kata orang, obat terbaik itu adalah rasa lapar. Mau setidak-suka apa pun kau dengan makanan tersebut, selama itu tidak beracun dan bisa mengenyangkan, semua akan masuk ke dalam perutmu.
Merasa perutnya sudah kenyang, kucing kecil itu pun tertidur kembali.
.
.
.
Pagi esoknya pun datang.
Karena merasa lapar kucing itu pun mendatangi kembali mangkok makanannya. Namun, kali ini tidak apa-apa di sana. Isinya kosong
Wajar, tadi malam sudah dia makan sampai habis.
Kucing kecil itu kembali duduk diam di depan toko seperti hari sebelumnya, menunggu manusia besar yang biasanya merawatnya kembali dan membawakannya makanan.
Namun hingga siang tak ada yang mendatanginya.
Menahan lapar, kucing kecil itu kembali tidur di pelataran teras itu.
"Wah! Mama lihat! Lihat! Ada anak kucing!" Seorang anak laki-laki dengan riang berlari mendekat kepada makhluk kecil di hadapannya dan ingin menyentuhnya.
Mendengar suara makhluk besar, si kucing kecil pun lantas terbangun dari tidurnya dan melihat manusia kecil, digandeng oleh manusia yang lebih besar. Manusia kecil itu menunjuk-nunjuknya dengan girang.
"Apa kau ingin membawaku?" ia mengeong dengan nyaring.
Aku senang sekali. Penantianku tidak sia-sia. Ada makhluk besar yang akhirnya akan membawaku pulang ke sarangnya.
Namun perempuan yang lebih tua dan sepertinya adalah orang tuanya segera menghentikannya. "Hush! Itu kotor! Jangan dipegang! Liat badannya... hii~ Sudah ya, nanti kalau Mama dapat banyak uang kita beli saja yang lebih cantik dan bersih"
Setelah mengatakan itu pada anak laki-lakinya, lantas wanita itu pun menarik bocah kecil itu dan melenggang menyusuri jalanan yang ramai oleh banyak orang yang lalu lalang di sana. Sementara si bocah kecil hanya bisa menurut dan mengikuti langkah kaki ibunya, wajahnya tertunduk dan sesekali akan menoleh pada makhluk kecil yang tak bersalah dan tak berdaya itu.
Kepala kecil itu mengikuti arah ke mana ibu dan anak itu pergi.
"Tunggu! Kalian mau ke mana?" kucing kecil itu kembali mengeong.
Oh begitu. Benar juga, kalau mau tinggal dengan makhluk besar tidak boleh manja. Baiklah, aku akan jalan sendiri
Ia pun turun dari teras itu dan mulai mengekor dua makhluk besar tadi.
Sayangnya perbedaan ukuran tubuh membuat langkahnya tertinggal jauh dengan ibu dan anak manusia tersebut. Secepat apa pun kucing kecil itu coba melangkah semakin tertinggal jauh dia di belakang.
Dan tak lama kedua makhluk besar itu pun mulai menghilang dari pandangan matanya.
Lantas kucing kecil itu pun berhenti dan sejenak mengambil nafas. Wajar, jangankan berjalan jauh, keluar dari kandang yang mengurungnya saja belum pernah.
Ketika dirasanya cukup ia pun celingukan mencari jejak kedua manusia yang diikutinya sejak tadi. Sesekali ia akan mengeong, berharap makhluk besar tadi akan menyadari keberadaannya.
Makhluk besar... kalian di mana? Aku ada di sini... Apa kalian tidak jadi membawaku? Makhluk besar!
Sayang, suara panggilan itu tak dihiraukan bahkan oleh orang-orang yang lewat. Yang ada kucing kecil yang malang itu justru hampir terinjak kaki-kaki manusia yang ukurannya berkali-kali lipat tubuhnya.
Panik dan ketakutan. Kucing kecil itu menyingkir dari tengah jalan dan bersembunyi ke bawah meja dagangan.
Belum pernah dia melihat makhluk besar sebanyak ini sebelumnya. Ternyata kalau dia pergi jauh dia bisa menemui mereka di mana-mana.
"Hai kau!"
Terlalu sibuk dia memperhatikan orang berlalu lalang, kucing kecil itu tidak menyadari jika ada makhluk lain selain makhluk besar yang juga berada di pasar ini.
Saat kucing kecil itu menoleh, ada kucing lain tengah berdiri di belakangnya memasang tampang tak suka. Seekor kucing jantan belang berwarna oren, tubuhnya besar dan penuh dengan luka-luka yang berasal dari pertarungan dengan kucing lain.
Melihat ada kucing lain yang lebih besar darinya, terlebih lagi dengan aura mengintimidasi ditambahkan suara geraman, membuat si kucing kecil menciut .
"Dari mana kau datang? Ini wilayah kekuasaanku! Semua makanan yang ada di sini adalah milikku! CARI MAKAN DI TEMPAT LAIN SANA!"
"Maaf!" tak ayal ia pun lari tunggang lantang, kabur sejauh-jauhnya dari sana.
.
.
.
Hampir 2 hari berjalan, menyusuri jalanan pasar, beberapa kali tersesat dan diusir oleh kucing lain di wilayah itu. Sesekali saat dia lelah dia akan tidur di pojokan kios entah di mana. Saat dipergoki oleh kucing lain dia akan segera bangun lalu pergi ke tempat lain.
Akhirnya kucing kecil itu bisa kembali ke pelataran teras tempat awal dia berada.
Tubuhnya lelah dan perutnya lapar.
Beruntung dia masih punya air, walaupun tidak memberikannya nutrisi apa pun, setidaknya bisa mengganjal perutnya yang lapar karena tidak kunjung menemukan makanan.
Setelah merasa perutnya cukup terisi, demi melupakan rasa laparnya. Kucing kecil itu kembali tidur di dalam kardus tersebut.
Dan malam yang dingin kembali dilalui oleh si kucing kecil dengan keadaan tanpa makanan dan seorang diri.
.
.
.
"Uh... Dingin..."
Namun, menjelang pagi; di saat matahari belum terbit seutuhnya. Entah kenapa, kaki-kakinya terasa dingin. Si kucing kecil coba menggerakkannya, namun dia tidak merasakan tubuh bagian bawahnya. Ia pun bangun untuk memastikan semua kakinya masih lengkap; sekarang ditambah rasa gatal di sekujur tubuhnya yang semakin menjadi-jadi, sontak membuatnya terjaga.
Dia coba mengangkat tubuhnya tapi gagal. Kaki belakangnya benar-benar tidak bisa digerakkan.
"Halo! Apa ada orang!? Tolong! Tolong!" Dilanda kepanikan, lantas si kucing kecil mengeong keras meminta pertolongan.
Sebenarnya di luar kotak itu dia bisa mendengar beberapa makhluk besar membawa benda besar yang di dorong, juga makhluk besi yang biasa di naiki oleh makhluk besar lalu lalang.
Mungkin pedagang yang datang ke pasar di subuh hari untuk menyiapkan kiosnya. Tapi tentu saja, daripada memperhatikan teriakkan seekor anak kucing, mereka lebih peduli dengan barang dagangannya.
Hingga berjam-jam berlalu masih tidak ada yang menggubris teriakan kucing kecil itu. Sampai akhirnya dia tidak punya tenaga lagi untuk berteriak. Kepalanya dan kelopak matanya terasa berat, pandangannya semakin buram, dia merasa sangat mengantuk.
"Tolong... Tolong aku. Tuhan... aku memohon padamu, jika semisal umurku masih panjang, tolong kirimkan malaikat pelindung untukku. Aku janji tidak akan nakal. Aku bersumpah tidak akan menyusahkan dirinya. Aku tidak akan pilih-pilih makanan. Aku akan jadi anak baik dan penurut. Aku akan menjaganya dan selalu membuatnya bahagia"
Tak lama setelahnya kucing kecil itu melihat cahaya terang dari atas.
"Kamu... baik saj... bertahan!"
Dia sempat mendengar ada yang bicara padanya, sebelum akhirnya dia kehilangan kesadarannya sepenuhnya.
~MC~
Hari minggu pagi yang cerah, bagi sebagian orang mungkin dihabiskan untuk menikmati waktu berbaring di kasur atau malas-malasan seharian di rumah. Tapi tidak bagi gadis berambut coklat yang satu ini.
Dia mengawali hari minggunya dengan berolahraga pagi sekalian pergi ke pasar loak terletak tak jauh dari belakang gedung apartemennya, niatnya membeli bahan makanan karena biasanya pasar di pagi hari itu menjual barang dengan harga lebih miring dari jam-jam lain.
Rencananya begitu, sayangnya niatnya buyar ketika mendengar suara meongan yang mengiris hati, tepat ketika dia baru menginjakkan kakinya ke pasar.
Beberapa menit gadis itu berputar-putar mencari sumber suara tersebut. Sayangnya di tengah-tengah pencarian, suara anak kucing itu hilang.
Karena lelah si gadis pun memutuskan duduk di teras sebuah ruko yang sudah tidak terpakai. Sesekali ia mengipaskan tangannya untuk mendinginkan leher dan wajahnya yang penuh peluh.
Namun tak lama ia duduk, gadis itu kembali mendengar suara anak kucing kembali. Tapi kali ini suaranya lebih kecil dan lemah dari yang sebelumnya. Dan kenapa sepertinya asal suaranya dari...
Belakangnya?
Lantas si gadis itu pun berdiri dan naik ke teras toko tersebut. Dia melihat sebuah kardus terletak di pojok teras tersebut; Tempat yang cukup buruk untuk meletakkan barang karena beresiko terkena rembesan air hujan.
Saat ia membukanya, dia menemukan seekor kucing kecil di dalamnya. Tubuhnya kurus kering dan wajahnya sudah tidak terlihat lagi bentuknya karena terkena penyakit kulit.
"Hei! Kucing kecil! Apa dia baik-baik saja? Bertahanlah!" jerit gadis itu.
Kucing itu sudah terbaring lemas dengan leher menjulur keluar seperti kesulitan bernafas. Melihat kondisinya yang sudah cukup parah, gadis itu segera mengambil ponselnya dan mengecek peta untuk mencari dokter hewan terdekat.
Terlihat peta digital itu menunjuk ke area pertokoan depan tak jauh dari wilayah pasar tempatnya berada sekarang. Gadis itu pun berdiri sambil mengangkat kotak lusuh berisi anak kucing tersebut dan bergegas membawanya untuk diperiksa ke dokter.
.
.
.
Gadis itu pun tergopoh-gopoh memasuki ruko besar yang terdiri dari dua lantai tersebut. Sepertinya lantai bawah khusus untuk menjual perlengkapan hewan peliharaan sedangkan praktik untuk praktik dokter ada di lantai atas.
Seorang karyawan yang menjaga lantai bawah pun menghampiri gadis itu.
"Selamat datang nona. Ada yang bisa dibantu?" tanya perempuan tersebut pada si gadis.
"Anu... Saya mau menemui dokter hewan!" jawab gadis tersebut.
"Eh? Maaf kak, untuk jam praktik dokter dimulai pukul sembilan pagi! Masih satu jam lagi, nona mau menunggu dulu?" sahut penjaga toko itu lagi.
Sayangnya, ternyata praktik dokter hewan belum buka, hanya petshopnya saja; Akibat panik si gadis tidak memperhatikan tulisan jam buka yang ditandai di peta.
"Aduh... Gimana ini? Ini sudah darurat banget" si gadis pun coba mengecek kalau ada dokter hewan lain yang sudah buka dalam cakupan wilayah tersebut.
Terlihat gadis penjaga toko dengan rambut biru itu kebingungan. Dia mau bantu, tapi Cuma sebatas pramuniaga dan kasir yang menjaga toko, bukan perawat apalagi dokter hewan.
"Permisi, Zhiniang!" tak lama ditengah-tengah kebingungan seorang pria masuk ke dalam ruko tersebut.
"Loh. Yuejin! Pagi banget datangnya!" si gadis penjaga toko itu pun menyahut pria tersebut.
"Hape ku ketinggalan kemarin, aku datang pagi-pagi buat ambil sekalian menyiapkan ruangan atas" jawab pria berambut pirang tersebut. "Ada apa?" usai menjelaskan dia terlihat kebingungan dengan situasi di hadapannya dan bertanya.
"Oh iya... Kak! Dia perawat hewan!" ucap gadis bernama itu menunjuk temannya "Yuejin, kamu bisa bantu dulu kakak ini?" lanjutnya lagi bertanya.
"Kenapa?" pria itu mendekat pada kedua orang gadis di depannya.
Gadis berambut coklat itu menunjukkan kotak yang di kedua tangannya kepada si pemuda itu. Si pemuda pun membuka lebar-lebar tutup kardus tersebut.
Betapa terkejutnya dia melihat seekor anak kucing dengan keadaan tubuh kurus, penuh penyakit kulit, terbujur lemas bahkan kelihatan sulit bernafas. Dan sudah pasti butuh pertolongan darurat.
"Kita naik dulu ke atas ya mbak!" tawar pemuda tersebut tampak tergesa-gesa, menaiki samping ke lantai dua yang menunjukkan arah praktik dokter hewan.
Gadis itu pun; masih menenteng kotak kardus berisi si kucing kecil; mengikuti pria itu naik ke area atas.
Saat sampai di ruangan lantai atas mereka langsung di sambut oleh ruangan cantik dengan kesan warna biru, meja konsultasi yang di atasnya lengkap dengan perlengkapan pemeriksaan tempat di mana dokter hewan melakukan praktik.
"Duduk dulu mbak" si pemuda pun lantas mempersilahkan tamunya untuk istirahat dulu.
Gadis berambut coklat itu pun mengikuti instruksi, selagi si pemuda mulai sibuk menyiapkan ruangan pemeriksaan, mengambil ponselnya yang tertinggal dan mulai mengetik pesan pada alat komunikasi tersebut, kelihatannya dia menghubungi dokter hewannya. Dia juga segera mengeluarkan si kucing kecil dari dalam kotak dan menaruhnya ke atas meja pemeriksaan.
Pemuda itu secara telaten mulai memeriksa keadaan si kucing kecil, mulai dari pergerakan pupilnya, nafasnya, rongga mulutnya, juga kaki-kakinya. Dia juga meletakkan kucing itu ke timbangan dan menghitung bobot tubuhnya.
Pemuda itu melihat ke arah gadis itu. "Sudah dari kapan begini?" dan menanyainya.
"Saya kurang tahu. Saya menemukannya pagi ini di pasar" jawab gadis itu, tampak raut wajahnya sangat cemas.
Mendengar jawaban gadis itu, si pemuda pun langsung beralih lagi pada ponselnya. Menghubungi dokter pemilik klinik hewan tersebut, via pesan singkat
Tak lama ia pun mendapat balasan balik.
"Dokter masih dalam perjalanan kemari. Untuk sementara, saya akan memasangkan infus dan melihat perkembangannya." saran pemuda bernama Yuejin tersebut.
"Baik. Saya serahkan semuanya pada Anda" ucap si gadis.
Pemuda itu pun segera bertindak cepat, ia segera mengambil infus dari rak penyimpanan obat berserta infusion set dan juga perban. Dia mulai mencari lokasi nadi si kucing kecil, mencukur bulunya sedikit dan memasukkan jarum infus tersebut. Memasangkan infusion set, tak lupa dia juga melilitkan perban agar jarumnya tidak bergeserdan menyambungkannya selangnya pada botol infus. Tak lupa ia menggantungkan botol tersebut pada tiang infus yang terpasang pada meja pemeriksaan tersebut.
Usai menyelesaikan satu bagian itu, dia terlihat memasukkan obat melalu set infusan tersebut, kelihatannya vitamin tambahan, lalu dia kembali mengecek nafas dan denyut nadi si kucing kecil, kira-kira sampai nafasnya mulai stabil.
Lalu kemudian berpindah ke meja resepsionis dan mengeluarkan kertas formulir. "Sambil menunggu dokter datang, kita isi berkas dulu ya? Karena baru ketemu pas di pasar, berarti belum ada namanya ya?" ucap pemuda itu mengajukan pertanyaan pada gadis di depannya.
"Iya..."
"Nama mbak siapa?"
"Hanna. Hanna Ling..." jawab gadis tersebut.
"Oke mbak Hanna. Ada alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi?"
"Komplek Apartemen Peach, Blok A. Nomor telepon..." gadis bernama Hanna itu mulai menyebutkan beberapa angka acak yang merupakan nomor ponselnya. Pria itu pun dengan telaten dan hati-hati menuliskan apa yang dia dengar.
Di rasa menurutnya sudah hampir lengkap semua dia pun memasukkan lembaran itu map berwarna biru. Karena si kucing kecil belum bernama dia hanya menandai map itu dengan tanggal dan waktu sekarang.
"Anu... Apa dia akan baik-baik saja?" Hanna bertanya dengan cemas.
"Kondisinya masih rawan, tapi nafasnya mulai stabil. Kita tunggu perkembangannya setelah setengah jam lagi. Saya tidak punya izin mendiagnosa, jadi untuk pengobatan lanjutan akan diserahkan saat dokter datang"
"Baik..." Hanna membuang nafas, antara lega dan lemah.
.
.
.
Setelah menunggu beberapa lama di klinik, tiba-tiba seorang wanita dengan penampilan serba putih dari mulai ujung kepala sampai pakaian membuka pintu ruangan klinik dari luar. Iya, kalian tidak salah dengar. Wanita itu punya rambut berwarna putih panjang walaupun wajahnya masih sangat muda. Melihat jas yang dipakainya sepertinya dia adalah dokter hewan yang praktik di klinik hewan ini. "Maaf! Saya baru datang!" ucap wanita itu tergopoh-gopoh. Dia segera masuk ke ruangan dan meletakkan bawaannya. "Jin, laporan tentang pasien" katanya sembari mencuci tangannya.
"Ah baik, dok!" pria itu berdiri dan menghampiri wanita itu, setelah itu mereka mulai bicara dengan bahasa medis yang jujur saja Hanna tidak mengerti.
Dokter hewan ini pun bergerak memeriksa kucing kecil yang tengah berbaring di meja pemeriksaan dengan infus terpasang di kaki belakangnya. Layaknya perawat sebelumnya beliau menempelkan stetoskop ke dada si kucing, memeriksa bola matanya dan kaki-kakinya, dia juga memeriksa kondisi kulit si kecil juga telinganya sampai ke bagian dalam menggunakan senter.
Di tengah-tengah pemeriksaan tiba-tiba si kucing kecil bangun dan sedikit mengangkat tubuhnya dengan gemetar, tentu saja membuat seisi ruangan itu sedikit terkejut juga lega.
"Nona bisa ke sini sebentar" pinta si dokter kepada Hanna yang tengah duduk di kursi tunggu.
Hanna pun dengan cepat berdiri dan mendekat ke meja pemeriksaan.
"Nona, tadi Anda bilang menemukannya di pasar baru pagi ini kan?" tanya dokter ini.
"Iya..." Hanna menjawab.
"Apa saat menemukannya dia sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri?"
"Iya..."
Dokter itu menarik nafas panjang dan mulai menjelaskan panjang lebar apa yang dia temukan kepada pengunjungnya tersebut "Dari susunan giginya, perkiraan umurnya 4 bulan. Tapi tubuhnya terlalu kecil, bobotnya juga ringan. Melihat kaki belakangnya saya menduga dia ini jenis Norwegian Forest, harusnya ukurannya lebih besar dari sekarang, jadi ada indikasi dia kurang gizi, mungkin karena diliarkan dan dipaksa mencari makan sendiri. Lalu kulitnya jadi begini karena infeksi tungau. Sepertinya sudah cukup lama, darah si kecil dihisap oleh tungau yang bersarang di bawah kulitnya, menyebabkan kekurangan darah, makanya dia jadi lemas."
Dokter itu mengelus si kucing dengan perlahan.
Kucing itu pun membalas dengan sebuah meongan yang terdengar miris seperti meminta tolong.
"Iya. Sakit ya sayang..." ucap dokter itu menenangkan si kucing.
"Apa dia bisa dia akan baik-baik saja dokter?" tanya Hanna agak khawatir.
"Nona jangan khawatir. Setelah ini kondisinya stabil kita akan langsung menyuntikan obat" jawab dokter itu.
Sontak Hanna yang mendengarnya langsung membuang nafas lega. "Terima kasih dokter."
"Saya yang harusnya berterima kasih. Kalau nona tidak membawanya ke sini segera, entah apa yang akan terjadi padanya" sahut wanita berambut putih itu lagi. "Oh iya. Saya lupa memperkenalkan diri, nama saya Baixue" lanjut wanita itu memperkenalkan diri.
"Saya Hanna. Hanna Ling" gadis di hadapannya pun membalas dengan memperkenalkan dirinya.
~MC~
Seminggu berlalu, sepulang dari kantor Hanna kembali mengunjungi praktik dokter hewan tersebut.
Dokter Baixue menyambutnya yang berniat mengunjungi kucing kecil yang ditemukannya di pasar. Saat ini si kecil sedang berada di dalam kandang-kandang di ruang perawatan.
Tidak seperti saat dia datang kemari. Tubuhnya sudah sedikit bersih dari sakit kulit yang dideritanya sebelumnya, dia sudah bisa membuka lebar matanya, tubuhnya juga lebih berisi. Dari yang sebelumnya kondisinya sangat menyedihkan berangsur-angsur membaik, dia juga tampak menggemaskan, walaupun masih ada sedikit sisa scabies dan bulunya pitak tapi setidaknya dia tidak menderita dan terus menggaruk tubuhnya lagi.
Hanna mendekat ke kandang si kecil dan mengulurkan jari telunjuknya. "Halo~ Ini beneran kamu, kecil? Kok cantik sekali~" sapa gadis itu lembut.
Si kucing tampak senang, ia mendekat ke arah jeruji dan membalas sapaan Hanna dengan menggesek-gesekan pipinya ke jari gadis itu.
Dokter Baixue mendekat dan menunduk hingga telapak tangannya menyentuh lutut. "Aku cowok kakak~" wanita itu tersenyum dan menambahkan monolog untuk si kucing kecil seolah-olah sedang menerjemahkan ucapannya.
"Oh cowok~ Berarti anak ganteng dong~" Hanna terkekeh.
Tak lama mereka berdua berdiri dan meninggalkan area penampungan sementara. Tentu saja hal ini membuat si kucing kecil kebingungan dan mencoba menerobos kandangnya agar bisa mengejar orang yang sedari tadi bermain dengannya.
.
.
.
Di sisi lain tampak sang dokter hewan dan gadis itu berdiskusi di depan meja praktik dokter untuk membahas langkah selanjutnya yang akan diberikan pada si kucing kecil.
"Nona yakin ingin mengadopsinya?" tanya dokter itu.
"Iya. Saat menemukannya minggu lalu dan memikirkannya matang-matang, saya merasa sepertinya sudah takdir jika saya yang menemukan dan membawanya ke klinik. Dia membutuhkan saya, dan saya juga menginginkan dia" Hanna tampak menggaruk pelipisnya, karena sedikit kebingungan menjelaskan.
"Baiklah. Kalau begitu kita siapkan dulu semuanya ya?" ucap si dokter hewan. "Mohon maaf sebelumnya. Apa nona Hanna punya hewan peliharaan lain di rumah?" lanjutnya bertanya.
"Ada. Dua ekor kucing"
"Umurnya?"
"Sepertinya kurang lebih sama dengan si kecil. Memangnya ada apa?"
"Tidak apa-apa. Hanya saja, kitten itu rentan terserang penyakit. Tungau itu bisa berpindah dan menghinggapi makhluk lain, menyebabkan kucing yang lain bisa ikut terinfeksi. Karena si kecil belum pulih sepenuhnya, ada baiknya dipisahkan dulu dari kitten yang lain, tempat penampungan atau kandangnya juga harus rajin dibersihkan. Sesekali bisa disemprotkan obat anti hama. Satu minggu lagi si kecil harus diantar kesini lagi untuk suntikan dosis kedua." Dokter itu menjelaskan panjang lebar.
"anu... karena sudah nyaman di sini, apa saya bisa sekalian minta aturkan jadwal vaksinasi?" ucap Hanna.
"Oh tentu saja boleh"
.
.
.
Singkat cerita, keesokan harinya Hanna pun membawa pet cargo untuk mengangkut si kecil ke unit apartemennya. Lantas saja, begitu dia pulang dua anak kucing Hanna kalang kabut saat melihat gadis itu membawa tas berukuran besar. Mungkin mereka mengira Hanna habis berburu dari luar dan pulang membawa makanan untuk mereka, layaknya induk kucing mencarikan makanan untuk anak-anaknya,
Secepatnya Hanna membawa pet cargo itu ke teras luar di mana ia sudah menyiapkan kandang. Intinya area pribadi yang terpisah dari kucingnya yang lain. Hanna memang membiarkan kucingnya berkeliaran bebas di area apartemen, mereka jarang dimasukkan ke kandang kecuali sakit atau memang diperlukan.
Secepat kilat gadis itu menutup pintu kaca menuju area teras. Tentu saja apa yang dilakukan Hanna membuat kedua kucingnya penasaran, sedari tadi mereka duduk menunggui di belakang pintu kaca itu, ada yang sesekali menggaruk pintu, ada juga yang diam dan menatap sinis pada orang tua angkat mereka.
Dan Hanna dengan masa bodohnya segera memasukkan si kecil ke dalam kandang yang sudah dimasukkan kasur empuk, alas yang bisa menyerap basah, wadah makanan serta minuman yang penuh. Intinya meskipun dimasukkan ke dalam kandang dia sebisa mungkin membuat si anak kucing bisa nyaman selagi proses pemulihannya.
"Maaf ya... Kamu terpaksa di taruh di sini dulu. Aku yakin kamu sudah muak di dalam kandang, tapi aku tidak punya pilihan lain. Cuma sampai kamu sembuh saja" ucap gadis itu lembut seraya mengelus kepala si kucing kecil.
Seolah mengerti maksud Hanna si kucing kecil duduk dengan tenang di dalam kandang. Ia tidak terlalu pusing memikirkan di mana dia berada, lantas dia pun mendekat ke mangkok makanan dan mulai melahap isinya.
Hanna menungguinya sampai beberapa saat, kemudian berdiri dan meninggalkan area teras.
Tak ayal dua kucing yang sedari tadi menungguinya sampai lelah dan nyaris tertidur, seketika langsung bangun dan menggiring Hanna dengan keempat kaki kecilnya hingga ke kamar tidur.
Gadis itu berniat mengganti baju karena terlalu lama kontak dengan kucing yang masih dalam masa pemulihan. Dia tidak ingin kedua kucingnya yang lain tertular, jadi setelah berganti pakaian ia langsung melempar baju yang ia pakai sebelumnya ke mesin cuci.
Setelah itu barulah dia mengurus kucingnya yang lain.
Selalu seperti itu selama hampir seminggu.
~MC~
"Halo... Kalian masih ingat aku? Aku si kecil yang dulu ditinggalkan oleh makhluk besar sendirian. Baru-baru ini aku dibawa pulang oleh makhluk besar lain. Aku pikir aku akan mati waktu itu. Saat aku bangun, aku ada di tempat asing dan dikelilingi makhluk besar. Jadi kukira Tuhan mengirim malaikat maut padaku. Kegiatanku sekarang: Makan, tidur, berak, makan lagi. Bunda ternyata benar, tinggal di tempat makhluk besar itu benar-benar nyaman."
Selagi si kucing kecil berguling-guling dengan nyaman, dia tidak menyadari jika ada yang memandanginya dari luar kandangnya. Tidak hanya seekor tapi dua ekor makhluk yang mirip dengannya, ukurannya sedikit lebih besar, hanya sedikit.
"Siapa kalian...?" ucap si kucing kecil terkejut.
"Oh kamu rupanya, yang mencuri perhatian mama dari kami" ucap salah satu kucing itu. Bulunya coklat keriting seperti bulu domba dan wajahnya agak galak. "Harusnya kami yang bertanya 'kamu siapa?'"
Berbeda dengan si bulu domba yang mengomel padanya, kucing kecil dengan bulu abu-abu dan telinga melengkung yang satu lagi justru memasukkan hidungnya ke dalam kandang dan mengendus si kucing kecil untuk mengenali baunya.
"Baumu seperti mama. Tapi kami tidak pernah melihatmu. Kamu dari mana?" ucap si abu-abu.
"Mama? Mama itu apa?" tanya si kucing kecil.
"Mama itu orang yang merawat kami, mencarikan makanan, mengajak bermain dan membersihkan kami" jelas si abu-abu.
"Berarti mirip dengan bunda?" celetuk si kucing kecil lagi.
Kedua kucing di hadapannya bertatapan satu sama lain selama beberapa saat.
"Bunda itu apa?" sebelum akhirnya si abu-abu melontarkan pertanyaan pada si kucing kecil.
"Bunda itu yang merawatku sebelum datang ke sini" jawab si kucing kecil.
"Kalau begitu, bunda kamu dan mama kami sama dong" seru si abu-abu dengan nada ceria.
"Tapi... bundaku itu makhluk yang sama denganku, dan mama makhluk besar. Apa kalian menganggap makhluk besar orang tua kalian?" ucap si kucing kecil bertanya dengan agak ragu.
"Mama ya mama, jangan banyak tanya! Kalau mau tinggal di sini kamu harus menganggapnya orang tuamu mulai sekarang!" bentak si bulu domba yang tiba-tiba angkat bicara dan menghardik si kucing kecil.
"HEH! KALIAN! KOK BISA PADA NGUMPUL DI SINI!" di tengah pembicaraan sengit, kedua kucing kecil itu kepergok menyelinap ke teras oleh si makhluk besar yang sedang mereka bicarakan.
"Sialan. Kita ketahuan. Kabur!
Si abu-abu mengambil ancang-ancang dan berlari lebih dulu untuk pergi dari area teras tersebut dan meninggalkan si bulu domba di belakang yang juga tengah mengambil langkah seribu untuk masuk ke rumah.
"Bocah nakal, Bisa-bisanya kalian menggeser pintunya, awas saja nanti!" gerutu Hanna pada kedua kucingnya tersebut.
Tak lama gadis itu turun berjongkok dan mulai mengecek keadaan si kucing kecil. "Mereka mengganggumu... sepertinya tidak" gumam gadis itu, bertanya sekaligus menjawab pertanyaannya sendiri. "Kita mandi yuk. Besok kita langsung ke dokter hewan lagi." Ucapnya seraya membuka pintu kandang itu lebar-lebar.
Lantas si kucing kecil pun melangkah keluar dari kandang dan menghampiri Hanna sambil menyodorkan pipinya ke lengan gadis itu "Meow!" si kucing mengeong manja padanya dan dibalas Hanna dengan elusan lembut di sekujur tubuhnya.
"Oh iya, kalau dipikir-pikir kamu belum punya nama ya? Agak aneh memanggilmu si kecil terus, kan nggak mungkin kamu bakalan kecil selamanya" Hanna mulai mengajaknya bicara.
"Meow..."
"Apa nama yang bagus untukmu ya?" gadis itu mulai memperhatikan si kucing kecil. Bulunya masih agak kuning karena lama tidak dibersihkan. Intinya dia masih sedikit kotor seperti habis berguling-guling di...
"Tanah?"
Gadis itu berceletuk secara tiba-tiba, menyebut sebuah nama yang sangat jarang bahkan aneh.
"'Tanah' bagaimana?" ia bernegosiasi menawarkan nama yang tiba-tiba muncul di pikirannya tersebut pada si kucing kecil. Tentu saja, mana mungkin seekor kucing bisa memahami bahasa manusia. Wong manusia yang masih sejenis saja kadang tidak memahami sesamanya karena perbedaan bahasa di tiap daerah dan negara, apalagi yang beda server begini.
"Meong~!" kucing itu hanya mengeong yang dianggap Hanna sebagai ungkapan setuju.
.
.
.
Satu bulan kemudian.
Si anak kucing kecil, maksudnya Tanah. Sekarang dia sudah sehat karena dirawat dengan baik dan diberi kasih sayang yang cukup. Yang tadinya kurus kering, bulunya rusak dan penyakitan sudah berubah menjadi kucing yang menggemaskan.
"Adik~" Seekor kucing berwarna abu-abu mendekat dan menggesek pipinya dengan manja pada kucing lain dengan bulu putih coklat. "Mandikan aku dong!" ucapnya sambil menjatuhkan tubuhnya pada kucing itu.
"Kak Angin, memangnya kau tidak bisa mandi sendiri?" kucing berbulu putih itu menyahut dengan agak malas.
"Tadi sudah~ Tapi kepala sama belakang leher susah dijangkau~ Nanti kita gantian. Boleh ya~" jawabnya lagi masih dengan nada manja.
"Ya sudah... sini!"
Si kucing abu-abu pun bergerak lebih merapat pada saudaranya tersebut dan menyodorkan kepalanya pada adiknya. Si adik pun mulai menjilati kepala si kucing abu-abu untuk memandikannya.
Yup, beginilah cara kucing mandi. Air liurnya mengandung zat anti bakteri yang punya fungsi seperti sabun, enggak mungkin desinfektan, lalu permukaan lidah yang kasar memiliki fungsi mirip dengan sisir untuk merapikan dan menyingkirkan bulu yang kasar dan rontok.
"Hari ini mama juga pulang telat ya...? Aku sudah lapar banget padahal." selagi Tanah membersihkannya, Angin coba basa-basi sambil menatap lurus ke arah lorong masuk, sudah seharian orang tua asuh mereka belum pulang sejak pagi.
Menyadari hal ini, Tanah menghentikan kegiatannya dan melipat masuk lidahnya kembali ke dalam mulut dan menatap lekat-lekat ke arah lorong, berharap tidak ada hal buruk yang menimpa orang tua asuh mereka di luar sana.
Dan tak lama kemudian terdengar suara dari arah pintu. Tanah kenal dengan suara ini, ketika suara pip...pip...pip.. itu muncul, tak lama ibu angkat mereka yang berukuran besar itu akan muncul.
Tanah pun bangkit sambil meregangkan tubuhnya hingga membuat Angin nyaris terjungkal. Lalu bergegas menuju pintu depan untuk melihat keadaan gadis itu.
Saat kucing kecil itu sampai ke depan pintu dia pun menemukan pengasuhnya itu sudah duduk di tangga beranda dan membuang nafas panjang.
Tanah pun duduk tak jauh dari posisi gadis itu. Walaupun tidak tahu apa yang terjadi, dia sedikit paham jika ekspresi gadis itu menunjukkan ada yang salah. Dan benar saja, tak lama setelah itu tetesan air bening mulai mengalir turun dari kedua mata gadis itu hingga membuatnya terisak-isak.
"Mama!?" ekspresi yang sangat jarang diperlihatkan oleh majikannya tersebut lantas membuat si kucing kecil kaget. Ia panik dan langsung menghampiri untuk melihat lebih dekat wajah gadis itu. "Kenapa!? Apa ada sakit!? Atau di luar sana ada makhluk yang menjahati Mama!?"
Lama terisak-isak, gadis itu menyeka air matanya dan menyadari si kucing peliharaannya yang bernama Tanah itu sedang memandanginya dengan tatapan yang sangat dalam. Seolah khawatir pada dirinya.
Tanah bergerak perlahan mendekati gadis itu, menggosokkan kepala lembutnya pada Hanna, mencoba memberikan kenyamanan. Gadis itu masih sedikit terisak, tetapi melihat perhatian dan kepedulian Tanah membuatnya merasa sedikit lebih baik.
"Kamu nunggui mama ya? Kamu lapar? Maaf ya kalau akhir-akhir ini mama pulangnya lama. Ayo kita masuk dan makan" Hanna pun segera berdiri dan menggendong Tanah di pangkuannya, dia menatap kucing kecilnya itu dengan wajah dan senyuman lembut sebelum kemudian melangkah masuk ke dalam apartemen. Tak lupa Hanna memanggil dua kucingnya yang lain.
Tanah, menatap balik wajah Hanna dan memandanginya agak lama, ekornya mengibas gembira dan ia pun menyenderkan kepalanya dengan nyaman di pelukan Hanna.
.
.
.
.
"Makhluk besar ini sudah menyelamatkanku. Seandainya hari itu dia tidak membawaku... aku mungkin sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tidak peduli seberapa banyak dan seberapa sulit, aku bersumpah akan membalas kebaikannya. Meskipun itu berarti akan menghabiskan waktu seumur hidupku"
Waktu berlalu... Hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, bulan menjadi tahun. Waktu berlalu, Tanah masih setia mendampingi Hanna. Setiap hari dia mengantar Hanna berangkat kerja hingga depan pintu untuk memastikan gadis itu aman. Saat Hanna pulang dia akan menyambutnya dan memastikan gadis itu pulang dengan gembira. Saat sedih dia datang menghiburnya. Sedikit demi sedikit dia mulai memahami banyak kosakata milik Hanna. Dia pun tumbuh jadi kucing yang ramah dan penurut, layaknya janji yang diucapkannya saat dia berada dalam keadaan sulit. Lalu perlahan anggota keluarga mereka mulai bertambah banyak. Dari yang awalnya hanya ada tiga ekor kucing di rumah, menjadi tujuh ekor. Layaknya perlakuan Hanna padanya, Tanah pun memperlakukan saudaranya dengan lembut.
~MC~
Tanah duduk pada sofa di ruang keluarga dan menikmati acara TV sore. Di sisi lain saudaranya tengah sibuk melakukan hal lain di ruangan yang berbeda, ada yang menikmati waktu tidurnya, ada yang masih asyik bermain, ada sibuk bantu-bantu membersihkan alat makan selesai makan siang tadi, dan ada yang asyik menjelajahi dunianya sendiri dari buku-buku milik majikannya.
Tidak lama kemudian kunci pintu apartemen mereka berbunyi yang menandakan jika Hanna sudah kembali dari pekerjaannya. Tak ayal, Tanah pun segera berdiri dari sofa dan lari menuju pintu untuk menyambutnya.
"Selamat datang, Mama!" ucap pemuda itu dengan senyuman hangat.
Hanna membuang nafas panjang, usai lelah bekerja seharian "Aku pulang, Tanah." Namun dia tetap menyahut dengan senyuman di wajahnya. "Bagaimana hari ini? Tidak ada masalah kan?" lanjut gadis itu lagi sambil membuka sepatunya.
Tanah menjawab "Hari ini baik-baik saja, Mama."
Hanna tersenyum lebar, gadis itu naik ke lorong "Terima kasih banyak ya, maaf jadi merepotkanmu setiap hari." Ucapnya seraya membelai kepala Tanah dengan lembut
Tanah menundukkan kepalanya dan menerima belaian lembut itu dengan nyaman. Sembari kepalanya dielus Tanah menjawab "Tidak apa-apa, Mama. Aku senang bisa bantu"
"Kalian sudah makan?" tanya Hanna lagi sembari melepaskan belaiannya pada kepala Tanah.
"Sudah, Ma" jawab Tanah singkat.
Hanna tersenyum lega mendengar jawaban Tanah. "Baiklah. Kalau gitu Mama ganti baju dulu ya? Kita istirahat dulu sebelum menyiapkan makan malam nanti." Ucapnya sambil melangkah masuk menuju ruangan tengah apartemen mereka.
"Baik!" Tanah pun mengekor Hanna di belakang. Tampak ia menyilangkan kedua tangannya ke belakang tubuhnya seolah menunjukkan saat ini dia sedang sangat senang.
Hanna segera pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian kantornya yang kurang nyaman dan membersihkan make up yang menempel di wajahnya. Setelah beberapa saat, ia kembali dengan pakaian yang lebih nyaman. Dengan tubuh yang lemas, ia melemparkan dirinya di atas sofa ruang tengah apartemen mereka.
"Huft... Capeknya..." keluh Hanna.
Tanah tersenyum, lalu mendekatinya dan mulai memijat bahunya dengan lembut. "Mama sudah bekerja keras" ucapnya dengan penuh perhatian.
Hanna tersenyum lembut mendengar kata-kata penuh perhatian dari Tanah. "Terima kasih banyak ya, Tanah. Padahal kamu tidak perlu repot-repot membantu dan bermain seperti biasa dengan saudaramu"
"Aku... Hanya ingin membantu mama" jawab Tanah.
"Oh iya. Tadi pagi kau ingin ngomong sesuatu kan?" saat Hanna sedang menikmati pijatan yang diberikan oleh Tanah. Benaknya kembali teringat dengan ekspresi Tanah tadi pagi, selagi ada kesempatan dan luang sekalian saja dia tanyakan.
Tanah terdiam dan menghentikan semua aktivitasnya, termasuk pijatan tangannya pada bahu Hanna. Ia kembali mengulum bibirnya, keraguan sempat berkecamuk di dadanya, tapi dia merasa harus mengatakan itu.
"Mama... Hari itu... Kenapa mama menyelamatkanku...?" tanyanya pelan dan sedikit ragu.
Hanna tersentak. Ia berpikir dan mencerna kalimat Tanah sejenak. Jujur saja, selama dua setengah tahun ini banyak hal yang sudah terjadi. Agak sulit baginya memahami hari apa yang dimaksud oleh Tanah.
"Padahal mama bisa saja meninggalkanku mati di kotak itu sendirian. Kenapa?" pemuda itu menyambung perkataannya sebelumnya. Wajahnya tertunduk, ia menggigit bibirnya cukup kuat.
Setelah mendengar lanjutannya barulah Hanna paham apa yang dimaksud Tanah. Rupanya hari di musim gugur seperti ini, di mana dia pertama kali menemukan kucing kecil yang ditelantarkan di tengah pasar dalam keadaan antara hidup dan mati.
"Kenapa...? ya...?" gumamnya. "Karena kau meminta tolong"
Tanah membelalak setelah mendengar jawaban Hanna. Dia nyaris tidak percaya jika alasannya sesimpel itu, hanya karena dia mengeong minta tolong.
Hanna menutup matanya, sudut bibir naik dan menyenderkan lengannya pada lengan sofa. Dia tampak sedang bernostalgia sambil menopang kepalanya pada tangan "Kamu menangis sekencang itu, bahkan orang satu pasar kayaknya bisa dengar, rasanya jadi susah mengabaikanmu. Siapa sangka, kucing kecil kurus yang tidak terurus itu malah tumbuh besar dan sekarang menjadi pemuda setampan ini"
Saat mendengarnya Tanah hampir tidak bisa mengatupkan mulutnya lagi. Ia pun berucap dengan lembut. "Mama..."
"Hmm...?"
Dan tiba-tiba saja memeluk gadis itu dari belakang. Hanna hampir dibuat melompat dari tempat ia duduk sekarang karena saking terkejutnya.
Hanna yang kebingungan lantas protes. "He? EH? Kenapa!?"
"Terima kasih..." sebuah kata terlontar keluar dengan lembut dari bibir Tanah.
Benar sebuah kata yang diucapkan ketika ingin membalas kebaikan orang lain. Hanna pun lantas terdiam saat mendengarnya.
Tanah pun mengucapkan semua yang ada di benaknya secara bertubi-tubi hingga Hanna tidak berani menyela.
"Terima kasih karena tidak meninggalkanku sendirian di sana. Terima kasih karena sudah menyelamatkanku. Terima kasih karena sudah membawaku pulang. Terima kasih sudah memberikanku rumah yang nyaman dan hangat serta makanan yang layak. Terima kasih karena sudah merawat dan membesarkanku. Terima kasih karena selalu bermain denganku. Terima kasih karena sudah menyayangiku. Terima kasih karena sudah lahir ke dunia ini."
"Terima kasih untuk segala, Mama... Aku menyayangimu..."
Tepat setelahnya Hanna merasakan pelukan Tanah semakin longgar dan akhirnya lepas. Lantas gadis itu kebingungan.
Ia pun berdiri dan melihat ke belakang sofa. Namun tak menemukan keberadaan pemuda itu sama sekali. Dia seolah hilang di telan bumi, karena khawatir ia pun coba memanggilnya
"Tanah?"
"Miuw~"
Sebuah suara kecil mengagetkan Hanna, dengan cepat ia menoleh ke sumbernya. Yaitu lengan sofa di sebelah kirinya. Dan di sana...
Seekor kucing berbulu putih dan coklat dengan ras Norwegian Forest tengah duduk manis memandangi Hanna. Tentu saja Hanna kenal dengan kucing itu, sudah pasti dia Tanah. Suaranya yang lembut sudah menjadi ciri khasnya.
"Tanah...?" Hanna membuka kedua lengannya lebar. Matanya berkaca-kaca, serasa ingin menangis.
Kucing itu menurut dan melangkahkan keempat kakinya menuju Hanna.
Lantas gadis itu pun memeluk si kucing dengan erat dan menenggelamkan wajahnya ke dalam helaian bulu tebal dan lembut bagaikan selimut tersebut.
"Kamu ini ngomong apa? Justru akulah yang harusnya berterima kasih... Setiap hari pekerjaan di kantor terasa menyesakkan... Rasanya seperti berlari kesana-kemari hanya demi hidup. Aku hampir nggak punya tempat yang bisa kudatangi untuk berkeluh kesah. Semuanya terasa kayak beban. Tapi begitu aku pulang ke rumah dan membuka pintu, di sana ada kamu, yang menunggu hanya untuk menyambutku. Seketika itu juga beban itu menghilang. Aku lah yang harusnya bersyukur menemukanmu. Terima Kasih... Tanah..."
Gadis itu terus memeluk kucing kesayangannya tersebut hingga suara isak tangisnya bisa terdengar. Sementara Tanah tampak menyamankan diri di pangkuan Hanna dan membuat suara dengkuran yang lembut.
"Halo. Hanna di sini. Dua setengah tahun yang lalu aku memungut seekor kucing kecil di pasar. Siapa yang sangka kucing kecil itu sudah tumbuh dewasa dan besar. Dua minggu yang lalu secara ajaib kucingku berubah menjadi manusia, entah kenapa dia senang sekali dengan pekerjaan rumah. Lalu hari ini, entah bagaimana dia kembali lagi menjadi kucing seperti semula. Bukankah ini artinya permintaannya sudah terkabul? Tapi pada akhirnya aku sendiri pun tidak tahu apa keinginannya yang sebenarnya"
To Be Continued
