Naruto © Masashi Kishimoto
Mendung © Liu Lin An
Pairing: SuiKarin; SasuSaku
Warning: Miss Typo, OoC, Alternative Universe/AU.
Don't Like? Don't Read!
.
Bagian pertama Tetralogi Hujan
.
.
Sejak pertama kali ia mendengar bahwa ibunya kembali mengandung, Haruno Karin—yang saat itu baru berusia empat tahun, paham betul bahwa ia akan segera menjadi seorang kakak.
Akan ada anggota baru di keluarga mereka dan ia akan menjadi seorang kakak.
Kakak perempuan
Ya ampun, Karin ingat betul bagaimana dengan giat ia terus berdiri di depan cermin lemari pakaiannya sambil mengucapkan 'nee-chan' berulang-ulang kali begitu usia kandungan ibunya mulai menginjak delapan bulan. Ia akan menjadi seorang kakak, dan masa-masa dirinya sebagai putri tunggal keluarga Haruno akan segera berakhir. Akhirnya ia akan memiliki seseorang untuk berbagi, atau bertengkar. Karena sungguh, apapun itu akan jauh lebih baik daripada bermain sendirian.
Kelahiran Sakura adalah keajaiban; atau setidaknya begitulah yang orang-orang katakan.
Adiknya itu nyaris saja lahir tak bernyawa—terjadi beberapa komplikasi saat persalinan ibunya. Komplikasi tak terduga yang sebelumnya tidak pernah terdeteksi pada pemeriksaan-pemeriksaan rutin wanita bersurai pirang keemasan tersebut. Karena itu, keadaan pun menjadi rumit; dan kendati Haruno Mebuki adalah wanita yang luar biasa keras kepala, yang harus ia korbankan untuk melahirkan Sakura dengan selamat adalah nyawanya sendiri.
Kepergiannya meninggalkan luka yang teramat dalam; terutama untuk Karin dan Ayahnya. Pria itu begitu mencintai Ibunya, dan setelah kematiannya, Karin merasa Ayahnya sudah menyerah atas segalanya. Karin nyaris yakin keterpurukan Ayahnya itu hampir saja tak terselamatkan, itu hingga jerit tangis Sakura yang belum genap berusia tiga bulan akhirnya menyadarkan pria itu dari keterpurukannya. Malam itu mereka bertiga hanya bisa menangis sambil berpelukan di dalam kamar; Ayahnya mendekap Sakura dengan erat, menangis dalam diam sementara Karin menangis sesenggukan sambil merangkul ayah dan adikknya dalam pelukan seorang bocah berusia lima tahun. Karin tidak akan pernah melupakan hari itu.
Semenjak saat itu, Karin yakin bahwa sudah merupakan tugasnya—sebuah kewajiban tak terucap; untuk melindungi Sakura menggantikan ibu mereka.
Tidak pernah sekalipun Karin berpikir bahwa Sakura adalah beban—atau seperti apa yang sering tetangga mereka kisikan, orang yang bertanggung jawab untuk kematian ibu mereka. Sebagaimana kelahirannya nyatanya telah membuat wanita itu meregang nyawa di kursi persalinan.
Karin membenci gagasan itu sebagaimana ia membenci aroma bunga bakung dan dupa pemakaman.
Setiap kali ia mendengar bisik-bisik demikian, Karin akan segera melemparkan tatapan tidak suka pada siapapun itu yang berani membisikan hal-hal demikian; dan orang-orang tersebut akan segera berlarian dengan sungkan. Karena sungguh, hal tersebut terlampau kejam untuk diucapkan, apalagi ditujukan kepada adiknya yang sejatinya tak tahu apa-apa.
Tahun-tahun berlalu, Karin pun tumbuh sambil berusaha menggantikan sosok ibu untuk Sakura.
Setelah kematian ibu mereka, Ayahnya jadi lebih banyak menenggelamkan dirinya pada pekerjaannya. Oh, dia masihlah seorang pria ramah yang menyenangkan; tapi membesarkan dua orang anak perempuan seorang diri bukanlah hal mudah.
Tumbuh tanpa seorang ibu pun telah memaksa Karin menjadi dewasa lebih cepat.
Semenjak kelahiran adiknya, ia tidak pernah lagi menghabiskan waktunya bermain dengan anak-anak seusianya. Setiap harinya ia sibuk mengurus pekerjaan rumah dan mebesarkan Sakura. Selain itu, ia juga masih harus mengerjakan tugas-tugas sekolahnya sendiri. Tidak heran jika Karin tidak memiliki seorang pun teman; ia tidak pernah akrab dengan siapapun. Bukan berarti Karin benar-benar mempermasalahkannya. Toh juga ia tidak akan bisa membagi waktunya untuk siapapun itu 'teman' yang nantinya ia miliki.
Ayahnya pernah menawarkan untuk mencari seorang pengasuh saat ia merasa putri sulungnya itu terlalu sibuk dengan hal-hal orang dewasa alih-alih bermain dan menikmati masa kanak-kanaknya. Tapi Karin, tanpa perlu berpikir dua kali, menolak tawaran tersebut mentah-mentah.
Astaga, dia seorang kakak, dan sudah menjadi kewajibannya untuk mejaga dan melindungi adik perempuannya. Bagi Karin, Sakura adalah prioritasnya; tanggung jawabnya.
Dan itu takkan pernah berubah; sampai kapan pun.
"Ne-e!"
Karin menatap tidak percaya saat balita berusia tiga tahun itu merangkak canggung ke arahnya sambil tertawa-tawa, beberapa kali berusaha mengucapkan kata pertamanya dengan susah payah.
"Nee-chan!"
Saat Sakura akhirnya bisa mengucapkan satu kata tersebut dengan cukup jelas, Karin kemudian mengangkat Sakura tinggi-tinggi sambil memekik senang, sebelum kemudian menghujani pipi adiknya itu dengan ciuman bertubi-tubi yang disambut kekehan senang dari si balita. Untuk pertama kalinya setelah kematian ibu mereka, Karin akhirnya dapat benar-benar tersenyum lagi.
Waktu berlalu, Sakura tumbuh menjadi gadis yang menawan.
Tidak seperti dirinya yang agaknya pemalu dan tertutup, Sakura tumbuh menjadi gadis yang ramah dan supel. Orang-orang nampaknya lebih menyukai adiknya; yang sejujurnya, itu bukan masalah. Toh Karin tidak merasa rugi ataupun terganggu apabila orang-orang tidak terlalu menyukai dirinya.
Asalkan orang-orang itu tidak menyakiti perasaan adiknya—apalagi mengganggunya, Karin takkan pernah keberatan.
Dan begitu saja, hidup pun terus berjalan.
Karin mencintai Sakura; begitupula sebaliknya.
.
.
Saat Karin berusia tiga belas tahun, keluarga Uchiha pindah ke sebelah rumah mereka.
Pasangan Uchiha yang menyenangkan itu memiliki dua orang putra; si sulung lebih tua tiga tahun dari Karin dan yang bungsu seusia dengan Sakura.
Karin cukup menghormati si sulung dan selebihnya gemas melihat si bungsu yang nyatanya memanglah menggemaskan.
Saat itu, ia masih melihatnya seperti seorang adik; seperti bagaimana ia melihat Sakura.
Begitupun tahun-tahun setelahnya.
Uchiha Sasuke hanyalah seorang 'adik' lainnya yang tinggal di sebelah rumah.
Itu, hingga pada suatu hari, Sakura berkata padanya bahwa ia rasa dirinya telah naksir berat dengan si bungsu Uchiha—yang telah dengan luar biasanya tumbuh menjadi pemuda yang kelewat tampan.
"Astaga Nee-san, aku rasa aku akan pingsan kalau dekat-dekat dengannya terlalu lama."
Karin hanya bisa memutar kedua bola matanya bosan; sudah lebih dari sepuluh menit terakhir Sakura terus saja mengumandangkan puja puji terhadap si bungsu Uchiha yang tampan. Dan kalau boleh jujur, Karin sedikit jengkel.
Maksudnya, ini Sakura yang sedang kita bicarakan; adik perempuannya yang semenjak kecil telah ia jaga dan rawat dengan sepenuh hati. Dan sekarang gadis kecil yang selalu mengikutinya kemana-mana sambil merengekan namanya itu nampaknya sudah cukup besar untuk mengenal yang namanya cinta.
Aah, Karin rasa ia belum siap untuk itu; dan mungkin takkan pernah siap.
Lagipula, Sakura baru masuk sekolah menengah atas. Jalannya masih sangat panjang dan Karin sama sekali tidak ingin ada banyak kerepotan yang muncul kalau-kalau adiknya itu nantinya mengenal apa yang dikenal umat manusia dengan sebutan 'patah hati'—sejenis kondisi kasih tak berbalas yang kemudian menyebabkan kesedihan akut yang cenderung bersifat parasit.
Yah, atau setidaknya begitulah Karin suka mendeskripsikannya. Well, bukan berarti dia pernah merasakannya, tapi begitulah novel yang sering ia baca mendeskripsikannya.
Seketika, pandangan Karin terhadap si bungsu Uchiha pun berubah dari 'adik di sebelah rumah' menjadi 'hama pengganggu'
"Kau masih terlalu cepat seratus tahun untuk punya pacar. Belajar yang benar sana; kau bilang kau mau masuk sekolah kedokteran kan?" Karin kemudian menimpali adiknya itu dengan nada setengah malas.
Sakura hanya bisa menggembungkan pipinya dengan sebal menanggapi itu. Menurutnya, kakaknya ini terlalu kaku. Tapi, Sakura juga tidak mau banyak mendebat. Ia tahu betul berdebat dengan kakaknya soal ini hanya akan membuang-buang waktunya. Dan Sakura lebih setuju dengan pendapat Karin untuk menghabiskan waktu luangnya untuk belajar—daripada mendebat kakaknya dengan sesuatu yang pastinya tidak akan ada habisnya.
Tahun ini Karin baru saja menamatkan pendidikannya dan sekarang tengah menjadi karyawan maggang di sebuah toko kelontong dekat rumahnya. Ia tidak terlalu berminat melanjutkan sekolahnya, karena menurutnya itu hanya akan membuang-buang uang ayahnya—lebih baik semuanya diberikan untuk Sakura yang memang sangat ingin masuk ke sekolah kedokteran; sekolah itu pastinya tidak akan murah.
"Nee-san mau berangkat kerja?" Sambil kembali berguling-guling di bawah kotatsu—meja rendah dengan penghangat di bagian bawahnya, Sakura bertanya; menatap Karin yang kini tengah meneguhkan tas selempang lusuh berwarna biru di bahunya.
"Hm." Karin mengangguk kecil sambil berbalik untuk menatap adiknya yang kini tengah berbaring terlentang di tengah ruang duduk rumah mereka.
Jujur saja, toko kelontong ini bukan pilihan terbaiknya. Tapi gajinya lumayan dan letaknya tak terlalu jauh dari rumah mereka—bayak hal yang bisa ia hemat untuk itu. Dan kebetulan pemilik toko sedang mencari karyawan maggang yang tak memerlukan sertifikasi pendidikan yang tinggi.
Setidaknya, Karin berharap ia bisa mendapatkan setidaknya sedikit pengalaman disini sebelum memutuskan opsi karir lainnya.
Sakura kemudian melambai riang sambil menggumamkan hati-hati ketika Karin membuka pintu rumah mereka dan beranjak keluar.
Ketika ia berbalik, Karin terkejut mendapati seorang pemuda berambut raven tengah menyiram tanaman di sebelah halaman rumahnya.
"Oh, selamat siang." Dengan kaku, ia memberi salam. Si pemuda hanya melihatnya sekilas sebelum mengangguk sopan sebagai jawaban dan Karin hanya bisa beranjak lalu sambil tetap memasang senyum kikuk.
Si bungsu Uchiha bukanlah jenis yang mudah diajak bergaul—bukan berarti Karin mengasosiasikan dirinya sendiri sebagai orang yang mudah diajak bergaul. Tapi dibanding kakaknya, Karin rasa si bungsu jauh lebih pendiam; yang mana membuat gadis berambut merah itu agak kesulitan untuk bersikap setiap kali berjumpa dengannya. Karin gadis yang canggung, dan sikap diam si bungsu hanya membuatnya menjadi semakin kikuk.
Ditambah kekesalan tak berdasar yang dia rasakan pada si pemuda setelah tahu adiknya ternyata menaruh hati pada pemuda tersebut, Karin pun menjadi semakin tidak nyaman.
Dengan langkah agak terburu dalam upayanya berusaha segera menyingkir dari si bungsu Uchiha yang tampan, Karin segera bergegas untuk memulai kerja hari pertamanya.
Ia berdebar, bersemangat dan sedikit gugup—tentu saja.
Hanya saja, yang tidak Karin tahu adalah; tempat itu nyatanya tak ada ubahnya seperti neraka dunia.
.
Tuan Kakuzu—pemilik dari toko kelontong tempat Karin menjadi pegawai magang, adalah pria yang sulit.
Pria paruh baya berwajah garang itu adalah perwujudan nyata dari badai dan topan yang bergerak merusak kemanapun ia pergi. Ia bersumbu pendek; cepat tersulut emosinya dan nyatanya cukup ringan tangan.
Tak jarang pula para pegawainya kena semprot untuk masalah-masalah sepele yang jelas jauh dari urusan pekerjaan. Singkatnya, bosnya itu adalah pria yang kejam; Karin segera menyimpulkan demikian setelah ia genap bekerja seminggu disana. Tak heran semua pegawai sebelum dirinya memilih untuk melarikan diri.
Karin bekerja sebagai staf pembukuan di toko tersebut—ia sangat menyukai kelas ekonomi sewaktu di sekolah menengah, dan setidaknya ia tahu dasar-dasar akuntansi dan managemen. Dan karena tugas Karin seringnya berurusan dengan uang, itu adalah pekerjaan yang riskan.
Pekerjaannya tak kenal toleransi—apalagi dengan bos seperti tuan Kakuzu, yang sepertinya sangat mencintai uang melebihi apapun.
"Apa-apaan ini?!"
Karin mengerut tidak nyaman mendengar bentakan tak sabaran itu. Sudah hampir satu setengah bulan ia bekerja di sana, dan ini pertama kalinya pria gila itu membentaknya sedemikian rupa—tepat di hadapan pegawai lainnya dan para pengunjung toko kelontong.
"Kenapa uang di peti kas bisa minus sebanyak ini?! Kau bisa kerja tidak sih?!" Raung pria itu marah sambil mencengkram laporan yang diserahkan Karin dua hari yang lalu. Memang benar, uang di peti kas minus sebanyak 5000 yen. Tapi Karin juga tidak tahu soal itu; uang itu memang sudah minus sebanyak itu sejak hari pertama ia bekerja—dan ia sendiri sudah berkali-kali melaporkan hal tersebut pada bosnya.
"Tuan, itu—" Tapi seharusnya Karin tahu, pria itu tidak akan menerima penjelasan apapun. Seperti bagaimana ia tidak pernah mengindahkan sedikit pun laporan-laporan sepele—yang sebenarnya penting; yang selalu Karin sampaikan selama satu setengah bulan terakhir.
"Uang ini kau tilap kan?! Mengaku saja! Aku sudah bosan meladeni tukang tilap kecil sepertimu!"
Oh, itu tuduhan yang sangat kejam, sekali pun tidak benar. Karin memang berasal dari keluarga sederhana, tapi ia tidak serendah itu. Manik ruby Karin kemudian melirik pelan ke sekeliling dan bisik-bisik samar mulai terdengar. Dan Karin pun sadar ia harus segera menjelaskan kesalah pahaman ini secepatnya, atau semuanya akan menjadi semakin rumit.
"Tidak! Itu—"
Plak!
Rasa panas itu menghantam keras pipi kirinya secara tak terduga. Dan tiba-tiba saja, gadis bersurai merah itu pun kehilangan semua kata-kata yang tadinya hendak diucapkannya sebagai pembelaan. Karin menatap kosong sisi tubuh pria kejam yang baru saja menamparnya tersebut; seumur hidupnya, tak seorang pun pernah berlaku kasar kepadanya. Bahkan ayahnya sendiri; sekalipun Karin membuat kesalahan-kesalahan yang agaknya cukup serius, tidak pernah sekali pun mengangkat tangannya terhadapnya.
"Kau berani membalas perkataanku?! Dasar jalang kecil! Kemari kau! Biar ku beri kau pelajaran!" Entah apa yang dimakan Tuan Kakuzu sewaktu sarapan pagi tadi sehingga sikapnya jadi buruk sekali hari ini. Dengan cepat, tangan besarnya kemudian terulur dan mengamit segenggam penuh surai merah Karin—menjambaknya kuat-kuat.
"Akh!"
Karin memekik kecil merasakan kulit kepalanya ditarik dengan begitu kasar. Ia ingin sekali menangis, menjerit. Ia ingin memohon pertolongan pada siapapun yang ada disana—yang sepertinya hanya terpaku di tempat mereka berdiri sambil menontoninya dijambak dan dibentak. Tapi ia kemudian mati-matian menahan itu semua. Kalau ia menangis, itu sama saja dengan mengakui ia telah berbuat salah. Ini bukan salahnya. Sejak pertama kali ia mulai bekerja uang di sana memang sudah kurang—ia berkali-kali melaporkannya pada si pemilik toko, tapi pria itu tak sekali pun menampik laporannya tersebut; dan kini malah dengan seenaknya menyalahkan Karin.
"Berandal kecil sepertimu harus diberi pelajaran agar tidak berani mencuri lagi." Tangan besar itu kembali terangkat; siap menghantam kembali sisi wajah Karin dengan tenaga yang lebih besar dari sebelumnya, yang mungkin saja akan membuat bibirnya sedikit berdarah kali ini. Karin ingin bicara—tapi lidahnya kelu dan jambakan pada rambutnya pun membuat Karin susah berpikir jernih.
Jadi satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah memejamkan mata. Dan menunggu.
Tapi tidak pernah ada rasa sakit, dan Karin terkejut.
Dengan takut-takut ia lalu membuka sedikit matanya; dan punggung lebar seorang pemuda berambut raven adalah yang pertama kali dilihatnya.
"Saya rasa, anda sebaiknya tidak memukul wanita."
Itu suara yang agaknya cukup familier di telinga Karin; tidak terlalu sering di dengarnya, tapi jelas pernah ia dengar dalam memorinya. Dan ketika rambut raven yang mencuat itu menarik perhatian Karin sepenuhnya, ia pun segera tahu bahwa pemuda yang tengah berdiri di depannya itu adalah Sasuke—si bungsu Uchiha yang pendiam.
"A-Apa-apaan kau bocah?!" Mendapati tamparannya tertahan oleh seorang pemuda asing, si pemilik toko kelontong dengan gelagapan berusaha melepaskan tangannya; harga dirinya terluka. Dan rasa malu jelas menguar dari tubuhnya tatkala menyadari semua mata yang ada di toko itu kini menatapnya dalam kerutan tidak percaya dan setengah jijik.
"Dia memang pegawai anda, tapi saya rasa anda tidak seharusnya memperlakukannya demikian." Dengan satu hentakan tegas, Sasuke melempar tinju yang tadi di tahannya itu ke bawah; dan bersamaan dengan itu pula, cengkraman lainnya di kepala Karin terlepas.
"Brengsek! Kau kupecat! Paham! Kau kupecat! Aku tak mau melihat wajahmu lagi di tokoku!" Dengan gusar si pria berwajah garang itu kemudian meneriakan hal tersebut sambil berlalu ke dalam bilik toko; mungkin selebihnya merasa malu karena aksi marah-marahnya telah dihentikan oleh seorang remaja tanggung yang kelewat tampan.
Setelah kepergian pemilik toko yang kejam itu, orang-orang kembali dengan urusannya masing-masing. Bisik-bisik kecil memang masih terdengar; tapi Karin sudah tak ambil pusing lagi soal itu. Biarlah orang-orang mulai berpikir macam-macam, toh ia sendiri tahu ia tidak bersalah.
Karin dipecat—aneh bagaimana ini malah terasa sangat melegakan untuknya. Dan ia rasa itu sudah cukup baginya.
Tapi meski demikian, syok itu akhirnya menghantamnya—dan detik berikutnya ia sudah mendapati dirinya jatuh terduduk di lantai marmer toko yang dingin sambil menahan tangis.
"Kau tidak apa-apa?"
Mendengar itu, Karin menengadah takut-takut—berpikir mungkin pemuda itu kini tengah menatapnya kasihan dengan penuh rasa iba; yang mana akan lebih memalukan lagi untuknya.
Tapi kedua onyx itu hanya bergenang kekhawatiran sopan yang menenangkan; dan detik berikutnya Karin sudah mendapati dirinya pecah dalam tangis paling tak berdaya—tangis yang sama ketika ia kehilangan ibunya.
"Sshh, jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja. Ayo, aku akan mengantarmu pulang." Dalam kedipan mata, Karin kemudian malah telah menemukan dirinya tenggelam dalam dekapan hangat si pemuda raven; tenggelam dalam ketidak berdayaan yang asing. Karin terbiasa menjadi seorang 'kakak' dan ia terbiasa menjadi seseorang yang 'melindungi'. Tak sekali pun ia berpikir—atau berharap, untuk bergantung pada siapapun, karena ia sendiri tahu dia adalah gadis yang mandiri.
Tapi kini seorang pemuda—yang jelas jauh lebih muda darinya, tengah menenangkannya yang sedang menangis tak berdaya; aroma mint dan kopi menguar dari tubuhnya yang jangkung. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Karin merasa ingin bergantung pada seseorang. Bukan adiknya, bukan keluarganya. Tapi hanya seseorang.
Setelah mengumpulkan semua barang-barangnya dan berpamitan dengan beberapa staff toko lainnya—yang memandang kepergiannya dengan raut penyesalan dan cemas; Karin kembali ke rumahnya ditemani Sasuke disisinya.
Perjalanan mereka hening, tapi bagi Karin itu sama sekali tidak mengganggunya.
Karena dalam keheningan menenangkan tersebut, ia merasa aman.
"Terimakasih. Sungguh."
Dua kata itu diucapkan Karin begitu ia hendak berpisah dengan si pemuda raven di depan pagar rumahnya. Si pemuda hanya mengangguk sopan sebagai jawaban dan diam bergeming di tempatnya—menunggu si gadis merah masuk kembali ke rumahnya; sebelum beranjak kembali ke rumahnya sendiri begitu Karin menghilang dibalik pintu kayu ek rumah keluarga Haruno.
Begitu ia tiba di rumah, Sakura segera menyadari memar di pipinya—yang kini jadi agak bengkak dengan warna merah keunguan jelek.
Karin terpaksa berbohong ketika mengatakan memar itu karena ia telah ceroboh dan terantuk sesuatu di tempat kerja.
Ia tidak tahu apakah Sakura percaya atau tidak pada ucapannya; tapi gadis merah muda itu jelas kemudian telah dengan cepat menghambur dalam pelukannya sambil menangis dalam diam.
Karin pun kembali menangis sambil membalas pelukan adiknya. Ia lelah dan pipinya masih berkedut sakit akibat tamparan semena-mena yang tadi dilayangkan padanya.
Tapi yang pasti; dalam suasana haru biru antara seorang kakak dan adik perempuannya, pikiran Karin kembali mengingat momen saat ia membuka matanya dan mendapati punggung si pemuda raven yang tengah berusaha melindunginya dari tamparan lainnya yang pastinya tak kalah menyakitkan.
Bagaimana aman dan nyaman yang ia rasakan ketika berada dalam dekapan pemuda itu.
Dan saat itu juga, Karin tidak bisa untuk mengabaikan debaran aneh di dadanya.
.
.
Uchiha Sasuke memanglah sangat tampan.
Ibu-ibu di kompleks perumahan Karin sering bergosip tentang bagaimana beruntungnya Uchiha Mikoto—ibu pemuda itu, karena memiliki putra-putra yang rupawan.
Tapi wajah rupawan bukanlah apa yang bisa dengan mudah membuat Karin tersanjung; ia bukanlah wanita dengan pikiran sedangkal itu.
Semenjak insiden di toko kelontong, Karin sadar ia kini telah menatap si bungsu dengan berbeda.
Sebelumnya, ia melihat Sasuke seperti bagaimana ia melihat Sakura; hanya anak kecil yang harus dilindungi oleh orang dewasa—olehnya.
Tapi kenyataannya, pemuda itulah yang telah melindunginya dari rasa sakit dan malu ketika bosnya di tempat kerja berlaku seenaknya padanya.
Dan tiba-tiba saja, Karin mendapati dirinya memandang si bungsu Uchiha sebagai seorang laki-laki.
Laki-laki.
Karin meruntuk dalam hati. Akan lebih mudah baginya—dan seluruh dunia, apabila ia masih menganggap Sasuke seperti seorang adik layaknya Sakura. Atau setidaknya hama penganggu, sebagaimana yang ia rasakan setiap kali Sakura memuji pemuda itu di depannya tanpa henti.
Tapi ia sudah terlanjur terpesona oleh si pemuda raven dan kini jantungnya tak bisa berhenti berdebar ketika berpapasan dengan si bungsu Uchiha satu itu.
Karin ingin menampar dirinya sendiri ketika menyadari itu.
Ini Uchiha Sasuke yang sedang kita bicarakan; pemuda yang setengah mati ditaksir adiknya.
Karin merasa menjadi kakak paling jahat sedunia karena telah jatuh hati dengan orang yang sama dengan yang adiknya sendiri.
Karin tidak mau menjadi egois.
Ia mencintai Sakura; dan cinta tak berdasar pada si pemuda raven adalah hal yang tak boleh terjadi sama sekali—apalagi dipikirkan.
Jadi dengan segenap kemampuannya, Karin berusaha mengabaikan perasaannya sendiri. Menguburnya dalam-dalam dan tak pernah mengungkitnya lagi.
"Nee, Nee-san, dengar tidak sih?"
Karin segera tersadar dari lamunannya ketika mendengar rengekan adiknya. Ia menoleh melihat si merah muda yang kini tengah berguling-guling di ranjangnya; saat ini ia tengah duduk di kamar adiknya itu sambil melihat-lihat majalah kursus keterampilan. Terbesit sedikit dalam benaknya untuk semakin mendalami akuntasi dan ilmu managemen dasar—setidaknya menurutnya dua bidang tersebut sangatlah menarik dan sepertinya cukup berguna untuk pengembangan karirnya. Ia sama sekali tidak ingin kembali berakhir konyol seperti di toko kelontong kemarin.
"Apa?" Dengan nada malas yang sedikitnya dibuat-buat, ia menyahuti rengekan sang adik sambil tetap fokus pada kolom-kolom kursus di majalahnya. Sebuah kursus managemen akuntasi menarik perhatiannya, durasinya hanya satu tahun—tapi biayanya cukup mahal sehingga Karin rasa ia butuh menimbang-nimbang kembali pilihan tersebut.
"Sasuke. Kemarin ia mengantarku pulang—kyaa! Dia baik sekali." Sambil menggeliat senang di atas tempat tidurnya, Sakura berujar dengan riang. Karin memperhatikan sang adik dari ekor matanya; rupanya si merah muda satu ini memang sudah benar-benar kesemsem dengan si pemuda raven.
Karin hanya tersenyum kecil—berusaha mengabaikan sebuah gumpalan konyol rasa sesak yang tiba-tiba saja timbul di dadanya.
"Hee, kenapa kau tidak mengajaknya berkencan saja sih?" Guraunya kemudian sambil terkekeh pelan, ia tidak yakin apakah Sakura menyadari kepahitan dalam kekehannya.
Nampaknya tidak, karena detik berikutnya Sakura telah dengan segera melompat duduk di kasurnya; rona merah membanjiri wajah cantiknya.
"Ya ampun Nee-san! Tidak! Aku akan malu sekali kalau aku sampai ditolak! Aku rasa aku akan menangis berbulan-bulan dan patah hati selamanya." Sungut si merah muda sambil memeluk bantal sewarna peachnya.
"Coba saja." Karin mengatakan itu sambil terkekeh kecil—namun rasa pahit di mulutnya tak kunjung hilang ketika ia berkata demikian.
"Ugh, tidak ah!" Kini si merah muda sudah kembali berbaring sambil membenamkan wajahnya pada boneka stroberi besar miliknya. Melihat itu, si gadis merah hanya bisa mendengus geli.
Aah, betapa cepatnya si merah muda ini tumbuh dewasa. Karin rasa ia akan segera merindukan momen dimana hanya dirinyalah yang dipuja oleh sang adik.
Karin tersenyum tipis.
Dan malam itu, Karin hanya bisa merenungkan perasaan sesak di dadanya setiap kali mengingat si pemuda raven di sebelah rumah—dan biaya kursus keterampilan yang terlampau mahal.
.
.
Beberapa tahun berlalu.
Dan sudah hampir dua tahun lamanya Sakura menaruh hati pada tetangga mereka yang tampan; dan perasaan yang sama juga telah dengan susah payah berusaha Karin abaikan demi kebaikan mereka semua.
Adiknya itu sebentar lagi akan mengadakan upacara kelulusan dan kini sudah hampir satu tahun Karin bekerja di sebuah kantor penerbit sebagai akuntan.
Karin menyukai pekerjaannya—terlepas dari rekan kerjanya yang cukup menyebalkan; Karin tak pernah banyak mengeluhkan apapun. Gajinya bagus dan tidak ada bos yang suka main tangan disana. Setidaknya Karin tidak menyesal menggelotorkan semua uang tabungannya untuk membayar biaya kursusnya yang tidak sedikit itu.
Di lain pihak, ujian masuk universitas pilihannya sudah dekat, jadi Sakura lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan ikut kursus tambahan. Seperti hari ini.
"Kau sudah sarapan?" Karin bertanya sambil mengancingkan blazer abu yang dikenakannya. Seperti biasa, ia harus berangkat agak pagi karena kantornya terletak cukup jauh.
"Sudah Nee-san." Si merah muda menjawab sambil merapikan seragamnya di depan cermin kecil ruang tamu. Melihat binar semangat di wajah sang adik, Karin mau tak mau ikut tersenyum.
"Sudah tidak ada yang ketinggalan kan?"
"Ya ampun Nee-san, ini hanya tes percobaan. Tidak usah tegang begitu." Sakura terkekeh kecil ketika melihat raut khawatir kakaknya, sebelum berlalu ke sebelah pintu masuk untuk memakai sepatunya.
Mendengar tanggapan cuek adiknya, Karin hanya bisa memanyunkan bibirnya.
"Aku khawatir kau tahu."
"Iya iya, aku tahu. Terimakasih." Setelah selesai memakai sepatunya, Sakura kemudian memeluk erat kakaknya sebelum mengecup pipi gadis berambut marun itu dengan riang.
"Doakan aku ya." Sambil menatap kakaknya sungguh-sungguh, Sakura berujar pelan dan Karin membalasnya dengan seulas tersenyum lembut.
"Semoga berhasil."
Sakura lalu beranjak ke pintu depan rumah mereka, bersiap untuk segera berangkat ke tempat tes percobaan ujian masuk universitasnya; sebelum berbalik sekali lagi sambil tersenyum lebar ke arah kakaknya.
"Aku berangkat dulu."
"Hn. Hati-hati."
Setelah kepergian Sakura, Karin pun kembali bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Pagi itu cukup cerah, tapi itu sama sekali tidak mampu mengenyahkan kekhawatirannya mengenai ujian percobaan adiknya.
Sekolah di akademi kedokteran adalah impian Sakura, dan mau tidak mau, Karin pun ikut bermimpi agar adiknya dapat mewujudkan mimpi tersebut.
Bagaimana pun, mimpi Sakura adalah mimpinya juga.
Kemudian, dengan sedikit agak jengkel—karena tiba-tiba saja ia mendapat pesan untuk datang ke kantor jauh lebih awal dari seniornya yang menyebalkan, Karin berangkat kerja dengan terburu-buru; butuh waktu empat puluh lima menit naik bus untuk sampai di sana. Belum lagi ia masih harus berjalan kaki sekitar sepuluh menit dari halte bus ke kantornya itu.
Karin tiba di depan bangunan dua lantai berbata merah itu dengan sedikit tersengal. Dia memang terbiasa berangkat agak pagi karena jarak kantornya cukup jauh dari rumahnya; tapi ia juga tidak pernah berpikir untuk berangkat lebih pagi lagi dari biasanya—apalagi dengan pemberitahuan mendadak. Masih dengan jengkel, ia pun mendorong pintu kaca ganda bangunan tersebut dan bergegas masuk ke dalam.
"Pagi Karin-chan." Seorang wanita bersurai pirang pucat menyapanya, Karin tersenyum kecil sebagai balasan; dan untuk sesaat ia pun lupa akan rasa kesalnya.
"Pagi, Shion-san." Sahutnya kemudian sambil menghampiri wanita itu untuk meminta kartu absennya. Itu Yamanaka Shion, si resepsionis cantik primadona seluruh pegawai pria di kantor. Karin masih sulit paham mengapa wanita secantik dirinya mau bersusah payah bekerja di kantor penerbit kecil begini; padahal menurut Karin, Shion sendiri bisa punya karir sukses sebagai seorang model.
"Pagi benar, biasanya kau datang dua puluh menit lagi." Ujar gadis bermata violet itu ketika menyerahkan kartu absen pegawai pada Karin, kemudian menunduk sedikit untuk memperhatikan jam yang melingkari pergelangan tangannya yang kecil. Mendengar itu, Karin kembali mendengus jengkel ketika mengingat lagi alasannya datang jauh lebih awal.
"Hozuki-san mengirimiku pesan. Katanya aku harus datang lebih awal hari ini." Keluhnya sambil memasukan kartu tersebut ke mesin absen; setelah ada bunyi 'ding' nyaring—dan tanggal serta jam hari ini bertambah di kolom kartu tersebut, Karin segera mengembalikannya pada Shion.
"Ugh, Suigetsu itu. Apa dia masih suka mengerjaimu? Dia memang senior disini, tapi terkadang kelakuannya bisa sangat kekanakan." Keluh si rambut pirang. Karin hanya bisa terkekeh kecil mendengarnya.
Setelah menyampaikan salam perpisahan singkat pada si gadis pirang—dengan janji untuk makan siang bersama, Karin pun segera berlalu ke ruangannya.
Kinmushi Publishing adalah sebuah perusahaan penerbit kecil; tapi bisnisnya sendiri cukup bagus. Direkturnya—Aburame Shino, adalah orang yang pendiam. Tapi dia pria baik yang juga—lagi-lagi, cukup menyenangkan. Karin memang tidak terlalu mengenalnya secara personal, tapi setidaknya pria itu tidak pernah marah hingga membentak-bentak karyawannya, apalagi main tangan sembarangan.
Ruang kerja Karin sendiri cukup kecil, memiliki tiga set meja kerja dan satu bilik kaca berukuran sedang. Bilik itu digunakan bagian editing untuk rapat dengan penulis yang bukunya akan segera diterbitkan. Utsugai Sakon—senior editor, adalah yang paling banyak menggunakan bilik tersebut. Sementara dua set meja lain selain miliknya di ruangan tersebut adalah milik Mamura Tayuya—asisten editor, dan Hozuki Suigetsu—publishing manajer.
Karin cukup menyukai Tayuya, gadis itu masuk bersamaan dengannya dan mereka cukup dekat. Selain itu, ia juga mengenal Sakon sebagai senior yang cukup menyenangkan dan suka bercanda. Selebihnya, seperti bagaimana ia menyukai pekerjaannya, ia pun cukup nyaman dengan para rekan kerjanya.
Itu; tapi Karin sendiri tidak terlalu menyukai Hozuki Suigetsu yang menyebalkan.
Adalah hal yang jelas bahwa seniornya itu tidak terlalu menyukainya. Yang mana sampai hari ini Karin kurang paham darimana munculnya rasa tidak suka tersebut. Sejauh ini, Hozuki memang tidak pernah benar-benar mengusiknya secara terang terangan; hanya saja dia terkadang suka berlaku menyebalkan dengan suka memerintah Karin seenaknya. Seperti sekarang ini.
"Oh, kau sudah datang." Pria berambut pirang platina itu mendongak dari berkas yang tengah dibacanya begitu melihat Karin datang. Karin mengangguk sopan, meletakan tas kerjanya di atas meja dan menggantungkan mantelnnya di kursi; sebelum kemudian mendekati meja pria itu.
"Ada apa kau memintaku untuk datang lebih pagi, Hozuki-san?" Tanyanya langsung. Si pria menaikan satu alisnya—dan dengan wajah yang menurut Karin sangat menyebalkan, kemudian menarik malas salah satu laci kerjanya untuk mengeluarkan sebuah berkas setebal hampir lima sentimeter.
"Akan ada launching buku baru lagi. Aku butuh bantuanmu untuk menulis analisis penjualannya, dan ini materi sebagai referensi." Pria bermata violet itu menjawab ringan sambil menyerahkan berkas itu pada Karin. Sementara si gadis merah hanya bisa menganga tidak percaya mendengar permintaan tidak masuk akal itu.
"T-Tapi itu akhir minggu ini," Karin ingin membantah. Salah satu sifat menyebalkan lainnya dari pria yang merupakan seniornya ini adalah dia selalu saja memberikan Karin pekerjaan ekstra yang harus diselesaikan dalam waktu yang terlampau singkat. Memangnya dia apa? Robot pekerja?
"Tapi aku kira kau bilang saat hari pertamamu bergabung kau akan berusaha keras. Nah, aku sekarang ingin kau berusaha keras untuk menyelesaikan laporan ini dan menyerahkannya padaku tiga hari dari sekarang." Setengah jengkel, pria itu memotong penolakan yang hendak Karin lakukan.
"Ti-Tiga hari?!" Karin membeo kembali dengan tidak percaya. Butuh riset yang mendalam untuk membuat analisis penjualan, dan kalaupun ia memang harus mengerjakan laporan tersebut, seharusnya Karin diberitahu paling tidak seminggu sebelumnya. Bukannya malah empat hari sebelum acara—oh, pria ini memang titisan iblis.
"Kurasa itu waktu yang cukup." Timpal seniornya itu lagi dengan nada final; berusaha membuat Karin berhenti untuk protes soal tengat waktu penyelesaian laporan tersebut.
"Hozuki-san—"
"Aku percaya kau bisa menyelesaikannya Haruno. Sekarang cepatlah bekerja, kau buang-buang waktu saja kalau terus mendebatku." Sebagaimana pun Karin ingin memprotes, pria itu tetap saja tidak memberikan kelonggaran padanya.
Ugh. Karin menggerutu dalam hati. Apa-apaan itu; seenaknya saja ia meminta Karin menyelesaikan laporan sebanyak itu dalam waktu dua hari. Karin yakin pria itu pasti memang sengaja ingin mengerjainya.
Dengan jengkel, Karin berjalan kembali ke mejanya; menyalakan komputernya dan kemudian melesakan dirinya sendiri pada kursi duduknya dengan kekesalan yang dengan susah payah berusaha dibendungnya—namun gagal.
Sementara itu, pria yang hanya dua tahun lebih tua darinya itu—yang sudah merasa puas memenangkan perdebatan berat sebelah mereka tersebut; menaikan satu sudut bibirnya sambil memperhatikan si gadis merah yang mulai mengerjakan laporannya dengan raut jengkel yang sangat ketara.
.
Tentu Karin merasa hari ini ia tidak bisa lebih sial lagi.
Karena harus menyelesaikan laporan yang kelewat mustahil itu, ia bahkan sampai melewatkan makan siang—untung Tayuya dengan sangat berbaik hati mau membawakan roti dan sekotak susu untuknya begitu Karin memberitahu gadis berambut merah fuchsia itu bahwa ia tidak bisa ikut makan siang dengannya.
Dan ketika Karin kira hari ini tidak bisa lebih mengesalkan lagi, ia malah mendapati dirinya terjebak di halte bus dekat rumahnya kala tiba-tiba hujan jatuh mengguyur bumi dengan cukup deras.
Tadi pagi ia berangkat dengan tergesa-gesa sehingga ia lupa memasukan payung lipatnya. Ketika hujan mulai jatuh dalam rintik kecil yang semakin deras, Karin tak berdaya mendapati keabsenan payung tersebut dalam tasnya.
Sialan.
Butuh waktu sepuluh menit berjalan kaki dari halte ini ke rumahnya; dan Karin sedang menimbang-nimbang haruskah ia berlari menerobos hujan atau menunggu hujan reda—bagaimana pun ia harus memasak makan malam dan matahari yang tertutup awan hujan jelas akan semakin condong ke barat semakin lama ia menunggu di halte tersebut.
Astaga, ia tidak bisa membiarkan Sakura dan ayah mereka kelaparan menunggunya pulang.
Tentu saja, Sakura juga bisa memasak. Tapi gadis itu hanya mahir membuat telur mata sapi dan mi instan. Karin tidak mungkin membiarkan gadis itu makan makanan seperti itu saat ujian masuk universitasnya sudah semakin dekat.
Tapi saat ini ia juga tengah membawa laporan keuangan terkutuk yang telah seniornya minta untuk dikerjakan dalam tasnya—ia tak bisa mempertaruhkan berkas itu apabila nantinya malah basah terguyur hujan.
Saat Karin akhirnya sudah mulai meyakinkan dirinya untuk berlari menerobos hujan—dengan menyembunyikan tasnya dibalik blazer abunya; itu pun terjadi.
Bats!
"Ayo, kau tidak bawa payung kan?"
Dalam gerakan lamat-lamat, Karin menoleh kikuk ke arah pemuda yang kini telah membuka sebuah payung hitam besar di sebelahnya—yang kalau boleh jujur, tidak sempat Karin sadari kerberadaannya selama lima belas menit belakangan ini. Seketika ia mendapati sepasang onyx yang familier kini tengah menatapnya dan Karin pun mendadak lupa caranya bernafas ketika menyadari siapa pemilik manik kelam tersebut.
Itu Sasuke; dalam mantel gelap yang membalut seragam sekolahnya yang serupa dengan milik Sakura. Satu sikunya mengapit tas jinjingnya yang berwarna biru gelap, sedangkan tangannya yang bebas memegang erat gagang payung hitam yang kini sudah terbuka di atas kepalanya.
"Ayo, kau harus masak makan malam kan." Dengan nada datarnya yang khas, pemuda itu kembali berujar pelan. Karin tersentak di tempatnya berdiri begitu ia akhirnya memahami apa yang dimaksudkan pemuda itu.
Ia sedang menawarkan untuk berbagi payungnya dengan Karin.
Dan seketika, Karin rasa dirinya mendadak jadi bodoh.
"A-Ah, Sasuke-kun. Baru pulang sekolah?" Itu sebenarnya pertanyaan paling tidak masuk akal untuk ditanyakan pada saat-saat seperti ini. Jelas pemuda itu baru saja pulang sekolah; ia memakai seragam lengkapnya dan sepertinya turun bersamaan dengan Karin dari bus yang sama—yang lagi-lagi, sama sekali tak Karin sadari.
"Hn. Ayo." Sasuke hanya menyahut datar, sambil sekali lagi menegaskan Karin untuk segera mengikutinya setelah ia menegakan payungnya di antara dirinya dan si gadis berambut merah.
"Ah, iya. Terimakasih. Maaf merepotkan." Karin tidak yakin bagaimana tepatnya, tapi begitu ia sadar, mereka sudah berjalan beriringan menerobos hujan di bawah payung hitam pemuda itu.
Karin bisa merasakan wajahnya memanas dan ia bahkan bisa mendengar debar halus jantungnya sendiri tepat di telinganya—seolah-olah organ yang membuatnya tetap hidup itu benar-benar telah berpindah kesana.
Untuk beberapa menit terakhir hari itu; Karin yakin harinya tidaklah seburuk yang ia bayangkan.
.
.
Sialnya, sejak peristiwa di halte bus, Karin mendapati dirinya semakin larut dalam perasaan yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam. Ia tidak tahu bagaimana perasaan itu dapat dengan lihai mencari celah dalam hatinya dan kini malah semakin menjeratnya.
Karin meringis setiap kali memikirkannya.
"Nee-san! Coba tebak, aku dapat nilai sempurna untuk ujian percobaan!" Saat ia tengah bergelung dalam dilema tak berkesudahan itu, adiknya tiba-tiba menghambur masuk ke kamar si gadis merah lalu memeluk sang kakak erat-erat; nampak masih larut dalam euphoria apapun itu yang sepertinya sudah memenuhinya sejak ia mendapat kartu hasil ujian percobaannya.
"A-Apa? Benarkah?!" Sakura melonggarkan sedikit pelukannya untuk memberikan kakaknya anggukan antusias sebagai jawaban, dan mau tidak mau Karin yang tadinya masih tenggelam dalam dilemanya, malah ikut tertular euforia sang adik.
"Kau hebat sekali, Sakura." Ucap Karin tulus, sebelum kemudian akhirnya membalas pelukan sang adik tak kalah erat. Sejak kecil Sakura memang pintar, dan hal itu sudah menjadi kebanggaan tersendiri untuk Karin.
"Aku akan berusaha lebih keras lagi untuk ujian nanti." Sambil menarik sedikit tubuhnya, si merah muda tersenyum lebar. Ah, wajah cantik yang tertawa sumringah itu benar-benar mengingatkan Karin pada ibunya.
"Kau tahu, kau adalah kebanggaan kami semua. Kurasa, kalau ibu masih bersama kita, beliau juga akan bangga sekali padamu." Dengan sayang Karin membelai lembut pipi sang adik; mendengar ucapan kakaknya, kedua emerald Sakura berkaca-kaca.
Sekali lagi, ia membenamkan dirinya dalam pelukan sang kakak.
"Aku mencintaimu Nee-san."
"Aku lebih mencintaimu lagi."
Karin berbisik lirih sambil membalas pelukan adiknya.
"Hehe, dan tahu tidak, itu—"
Ding! Ding!
Ucapan si merah muda terpotong denting ponselnya. Dengan agak terburu ia merogoh sakunya untuk mengeluarkan ponsel lipatnya yang berwarna merah muda.
"Sebentar, aku dapat pesan." Gumam Sakura pelan sambil membuka pesan yang masuk ke ponselnya tersebut. Tiba-tiba kedua iris emeraldnya sedikit membulat tidak percaya dan sebuah senyum paling cerah terukir di wajahnya.
"Dari siapa?" Melihat ekspresi adiknya yang tiba-tiba berubah menjadi sangat cerah, mau tidak mau Karin ikut penasaran. Tapi Sakura hanya terkekeh pelan sebelum dengan cepat mengecup sayang pipi kakaknya.
"Sebentar, aku keluar dulu." Setelah mengatakan itu, Sakura dengan cepat melesat keluar dari kamar sang kakak.
"Hei, Sakura! Dasar gadis itu."
Setelah adiknya pergi, Karin berpikir untuk mulai menyiapkan makan malam. Sudah pukul tujuh petang dan ayah mereka sebentar lagi mungkin akan tiba di rumah.
Saat hendak turun ke lantai satu untuk menyiapkan makan malam, Karin menyadari pintu kamar Sakura yang sedikit terbuka.
Karin tadinya hendak menutup kembali kamar si merah muda, tapi ketika ia melihat kelebatan merah muda pucat di lantai kayu sederhana kamar bercat krem tersebut, Karin tidak bisa untuk tidak mendorong pintu itu lebih lebar dan melangkah masuk ke kamar adiknya.
Seperti kamarnya, kamar Sakura bercat krem sederhana. Ada meja belajar penuh buku; ranjang untuk satu orang dengan sprei biru muda; dan lemari pakaian ukuran sedang. Satu-satunya yang membedakan hanyalah sebuah karpet merah muda pucat di lantai kayu kecoklatan kamar tersebut—hadiah dari Karin. Sakura sangat menyukai karpet itu sejak pertama kali mereka melihatnya di estalase sebuah toko furniture. Saat itu Sakura masih duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama dan Karin baru saja merayakan kelulusannya. Karin kemudian menghadiahkan karpet tersebut pada si gadis merah muda segera setelah mendapatkan gaji pertamanya saat masih bekerja di toko kelontong terkutuk dekat rumahnya—ugh, sejujurnya ia sendiri tidak mau mengingat-ingat tempat itu lagi. Tapi waktu itu Sakura senang sekali; ia memeluk Karin erat-erat sambil tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih. Karin terkekeh kecil sambil mengingat kembali betapa senangnya sang adik ketika menggelar karpet ini untuk pertama kalinya waktu itu.
Karin sangat menyayangi Sakura; lebih dari separuh hidupnya ia dedikasikan untuk adiknya. Dan ia pun sudah bertekad untuk selalu menjadi kakak yang baik.
Itu, sebelum ia dengan konyolnya jatuh cinta pada orang yang juga disukai adiknya.
Rasa sesak itu pun kemudian kembali mengusik Karin.
Sambil mengenang kembali masa kecil mereka, Karin berjalan mendekati meja belajar Sakura—belasan buku bacaan kedokteran tebal berjejer disana; permukaannya yang berpelitur banyak ditempeli sticky notes aneka warna yang penuh akan catatan-catatan penting. Karin terkekeh kecil melihat betapa berambisinya Sakura agar bisa diterima di akademi kedokteran di Tokyo. Kemudian, saat Karin sudah puas melihat-lihat dan hendak beranjak ke dapur untuk mulai menyiapkan makan malam, sebuah figura foto di meja belajar itu menarik perhatiannya.
Itu foto teman-teman satu kelas Sakura—mungkin diambil setelah pesta kelulusan kemarin. Sakura gampang dikenali di foto itu karena warna rambutnya yang mencolok. Gadis itu tersenyum kecil dalam rangkulan gadis berambut pirang mentega yang tersenyum dua kali lebih lebar. Anak-anak gadis berkumpul di depan, dan yang laki-laki melompat-lompat riang di belakang. Semua terlihat begitu bahagia di foto itu. Dan setelah memperhatikan anak laki-laki yang berdiri di belakang adiknya—Karin tercekat.
Itu si bungsu Uchiha; nampak ikut larut dalam suasana bahagia kelulusan itu sambil memandang lembut gadis di depannya. Dan ia tersenyum—sesuatu yang sama sekali tak pernah Karin lihat. Karin memang pernah mendengar dari adiknya bahwa selama kelas tiga, si merah muda dan si bungsu Uchiha akhirnya berada di kelas yang sama. Tapi Karin tidak pernah benar-benar memperhatikan ucapan adiknya itu—karena bagaimana pun ia sendiri juga punya satu dua hal yang harus dipikirkan soal si bungsu Uchiha.
Dan untuk beberapa detik yang ganjil, Karin mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah perasaan yang Sakura rasakan terhadap si pemuda raven tersebut hanya sekedar rasa 'suka' semata? Ataukah, perasaan si merah muda malah sama seperti perasaannya? Dan kalau benar demikian, apakah Sakura juga sama tersiksanya ketika ia harus memendam perasaannya pada si tampan bermata onyx itu selama bertahun-tahun? Dan apakah Sakura mencintai Sasuke seperti halnya Karin mencintai pemuda itu?
Seketika Karin terkejut menyadari pemikiran itu.
Ia mencintai Sasuke.
Dia sudah tahu itu; hanya saja ia tak pernah berani mengatakannya keras-keras. Karena baginya, itu sama menjijikannya seperti mencintai adik lelakinya sendiri.
Sedikit gusar, gadis berambut merah marun itu pun dengan segera menyibakan gorden di samping meja belajar adiknya—hanya sedikit untuk sekedar menatap langit malam. Karin selalu senang memandangi langit malam ketika sedang gelisah. Ia suka melihat bagaimana bintang-bintang itu berhamburan di atas kegelapan malam seperti hamparan batu permata di atas karpet gelap; dan dia beruntung karena malam ini cerah, cahaya bulan jatuh lembut di jalanan dan tak ada sedikit pun awan mendung yang menutupi pemandangan kesukaannya.
Atau tidak.
Karena saat ia kemudian memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya dari gemerlap langit malam ke halaman depan rumahnya, pemandangan yang ia dapat adalah si merah muda yang tengah direngkuh oleh seseorang.
Berciuman
Karin bisa saja langsung mengamuk turun dan mengejar pemuda brengsek yang sudah dengan lancang mencium adiknya itu di depan rumah mereka. Tapi rambut raven itu terlalu familier; dan gadis bermanik ruby itu tidak perlu berpikir keras siapa gerangan pemuda berandal yang kini tengah menciumi adik perempuannya. Syok itu membuatnya kelu dan hatinya tiba-tiba mencelos.
Ketika ia akhirnya sadar, Karin hanya mendapati mendung yang menggantung di kedua netra ruby cemerlang miliknya.
.
.
Mendung Fin
.
.
[Edited 25/01/2023]
Hello,
Long time no see ya 😊
Sampai malu rasanya saya baru kembali setelah sekian lama hengkang dengan banyak hutang fic fic yang mangkrak :')
Yah, tidak banyak yang bisa saya sampaikan disini, selain fakta bahwa fic ini sudah mengalami proses editing sedemikian rupa agar bisa sampai pada ending yang selama ini saya cari-cari, hehe.
Dan oh, dan in case ada yang bertanya Kinmushi itu artinya apa:
金 [Gold]
虫 [Insect]
Yang secara harfiah artinya 'serangga emas', yang mana referensinya diambil dari Perfectly Innocent 😊
Semoga para pembaca sekalian cukup terhibur ya~
Thank you for reading.
With Love,
Lin.
