Naruto © Masashi Kishimoto

Sehabis Hujan © Liu Lin An

Pairing: SuiKarin; SasuSaku

Warning: Miss Typo, OoC, Alternative Universe/AU.

Don't Like? Don't Read!

.

Bagian terakhir Tetralogi Hujan

.

.

Karin dan Sasuke berpencar malam itu.

Hujan masih mengguyur bumi, meski tidak selebat saat Sakura tadi berlari pergi.

Untuk ukuran seorang gadis berusia dua puluh tahun, Karin harus akui adiknya itu cukup lincah. Bahkan Sasuke pun tidak bisa mengejar gadis itu sebelum si merah muda akhirnya menghilang di belokan.

Sungguh, kalau saja Karin saat ini tidak khawatir setengah mati dengan keselamatan adikknya, ia rasa ia mulai mempertimbangkan Sakura untuk mengikuti sprinting saja di Olympic. Namun jelas bukan itu sekarang masalah yang harus dipikirkannya.

Bodoh kau Karin, hanya itu yang sedari tadi terus-terusan Karin ulang di kepalanya. Hanya Tuhan yang tahu apa yang tengah dipikirkan ayahnya ketika beliau nantinya pulang dan tidak ada seorang pun putrinya di rumah—dengan keadaan pintu rumah yang tebuka lebar.

Terlepas dari pertengkarannya dengan sang adik, Karin rasa ia pun akan mendengar satu dua ceramah panjang dari ayahnya soal tanggung jawab.

"Kau menemukannya?!"

Karin setengah berteriak saat ia berbelok di persimpangan dekat halte bus dan mendapati Sasuke yang tengah membungkuk sambil terengah untuk mengambil nafas sejenak tak jauh dari halte tersebut.

"Tidak. Nee-san?"

Karin menggeleng cepat, lalu kembali mengusap wajahnya dengan frustasi.

Sakura—terlepas dari usianya yang nyaris genap dua puluh tahun, nyatanya takut gelap.

Konyol memang. Tapi Sakura tidak pernah sekalipun berani keluar larut malam sendirian, bahkan ketika Karin memintanya untuk memasukan cucian ke mesin cuci di ruang bawah tanah rumah mereka saat hari sudah mulai gelap, adiknya akan selalu menemukan sejuta cara untuk berkelid.

Sekarang sudah nyaris jam sembilan malam, dan gadis itu tengah berkeliaran sendirian entah dimana.

Kehujanan dan sendirian.

Astaga, seketika kepala Karin mendadak pening. Hantu dan roh-roh jahat mungkin adalah satu-satunya kekhawatiran si merah muda, tapi Karin lebih khawatir dengan para berandal usil atau kriminal berbahaya yang bisa saja tengah berkeliaran di saat hujan untuk mencari mangsa.

Dilihat darimana pun, Sakura adalah korban empuk untuk berbagai macam tindakan kejahatan.

"Apa yang sudah kulakukan?" Karin jatuh mengerut sambil menyembunyikan wajahnya dibalik lipatan lututnya.

Kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi pada adiknya, si sulung Haruno itu takkan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.

Karin ingin menangis. Ia ingin berteriak dan menumpahkan semua rasa frustasinya.

Semua ini hanya karena Karin telah memilih untuk menjadi egois; karena ia menginginkan sebuah konklusi, tanpa memikirkan konsekuensi macam apa yang akan menantinya atas pilihannya itu.

Dan ia nyaris saja melakukannya—menangis meraung seperti hewan yang terluka, tapi eksistensi Sasuke di dekatnya anehnya menghentikan niatan Karin untuk benar-benar melakukan semua itu.

Untuk banyak alasan, Karin sadar dirinya harus menjadi orang dewasa disini; maka dengan satu hentakan nafas, ia pun menegakan kembali tubuhnya lalu menoleh cepat pada pemuda raven yang masih terlihat termenung di sampingnya tersebut.

"Baiklah, kita coba cari lebih jauh lagi. Sasuke-kun, kau pergilah ke bendungan, aku akan mencari ke taman. Jika dalam dua jam kita masih belum menemukannya, temui aku di depan kantor polisi di dekat pertigaan, mengerti?" Titahnya cepat sambil menunjuk arah perbukitan tempat bendungan di kota mereka berada.

Tanpa banyak bertanya atau mendebat, Sasuke hanya mengangguk dan segera berlari menuju arah bendungan yang tadi ditunjuk gadis bersurai merah marun tersebut, sedangkan Karin segera pergi ke taman bermain yang memang cukup terkenal rawan tindak kejahatan di jam-jam malam seperti ini.

Saat ini hanya satu pintanya, agar adik perempuannya itu setidaknya mendapatkan tempat berteduh dan aman dari masalah.

"Kumohon maafkan aku, Sakura."

.

Sakura tidak tahu kapan terakhir kali ia berlari sekencang yang ia lakukan hari ini.

Dan meskipun dulu Anko-sensei selalu memuji bagaimana dirinya memiliki 'kaki yang cepat', Sakura tidak pernah benar-benar berpikir bahwa ia memang bisa berlari secepat itu.

Setidaknya hingga hari ini.

Karena selain amarah yang tengah ia rasakan, Sakura tidak bisa memungkiri dirinya merasa sedikit kagum dengan kemampuan berlarinya—ia berani bertaruh tadi Sasuke hampir saja menyusulnya, tapi pemuda itu kemudian tertinggal jauh di belakang begitu dia berbelok di persimpangan rumah mereka.

Mungkin alih-alih menjadi dokter bedah, karir sebagai atlet lari di Olympic juga terdengar cukup menjanjikan untuknya. Dan sepertinya Karin pun akan senang mendukungnya untuk itu.

Ah, Karin.

Kakak perempuannya yang begitu dia sayangi.

Menggumamkan namanya dalam hati saja masih menciptakan denyut nyeri di ulu hati Sakura sekarang ini.

Bagaimana pun ia masih tidak percaya.

Memang, satu dua kali Sakura sempat berpikir bahwa 'mungkin saja' Karin juga tertarik dengan Sasuke, atau Uchiha yang lainnya, mengingat kedua kakak beradik tetangga mereka itu memang tampan. Siapa sih tidak tertarik dengan pria-pria rupawan? Terlebih lagi kalau nyatanya pria-pria itu adalah tetangga di samping rumah.

Tapi Sakura tidak pernah menyangka bahwa kakak perempuannya itu ternyata juga mencintai si bungsu Uchiha selayaknya dirinya mencintai pemuda itu—dan kalau apa yang diakui Karin tadi padanya benar adanya, artinya kakaknya itu sudah jatuh cinta pada si bungsu Uchiha jauh sebelum dirinya dan Sasuke akhirnya resmi berkencan.

Sakura merasa seperti habis ditampar; dan ia pun tak bisa menampik bahwa ia pun merasa telah dikhianati oleh kakak perempuan yang telah begitu dipercayainya.

Mengapa Karin tidak pernah memberitahukannya hal sebesar ini?

Karena dibalik kemarahannya akibat mengetahui kebenaran yang telah disembunyikan Karin darinya selama ini, Sakura pun juga merasa bersalah—sampai ke tulang-tulang.

Astaga, ini kakaknya yang sedang kita bicarakan.

Anak perempuan yang telah dengan sukarela mengorbankan masa kanak-kanaknya sendiri hanya untuk membesarkan adik perempuannya setelah ibu mereka meninggal tepat setelah persalinan.

Sakura bisa dibilang berhutang begitu banyak pada kakaknya itu.

Kendati ia memang tidak pernah meminta apapun itu yang telah Karin lakukan untuknya; tak seorang pun pernah meminta, namun nyatanya Karin tetap mencintai Sakura dengan begitu besarnya.

Sayangnya, cinta itu pulalah yang kini menghempaskan beban luar biasa di pundak si merah muda.

Bohong apabila Sakura tidak berpikir untuk merelakan Sasuke untuk kakaknya itu setelah tahu kenyataan bahwa Karin ternyata juga mencintai pemuda tersebut.

Namun kembali lagi, memikirkan Sasuke di pelukan wanita lain sama menyakitkannya dengan kenyataan bahwa dia telah mencuri pemuda yang—mungkin saja, adalah cinta pertama kakaknya itu.

Yang mana pun itu, Sakura nyatanya tak sanggup untuk memilih.

Jadi disinilah dia, di taman bermain tua yang asing dan jauh berlawanan dari rumah mereka. Bersembunyi di bawah perosotan usang yang berkarat, basah kuyup dan bermata sembab—karena, yah, ia menghabiskan dua puluh menit belakangan ini dengan menangis.

Hujan masih turun membasahi bumi, tapi sudah tidak sederas saat ia tadi berlarian kesana kemari seperti atlet lari dengan dopping super.

Oh, dan sendirian.

Bagus sekali, kalau pun ada hal yang paling Sakura benci, itu adalah sendirian di saat gelap. Selama ini ia selalu saja memiliki seseorang yang menemaninya setiap kali dia harus melakukan sesuatu di luar rumah saat matahari sudah lama tenggelam—dan beberapa hari belakangan, seseorang itu adalah Sasuke.

Seketika Sakura mulai berkeringat dingin; meski pakaian yang ia kenakan sudah basah kuyup dan suhu udara saat itu bisa membuat siapapun menggigil—sekali pun dalam balutan mantel paling hangat.

Dengan agak sedikit panik, kedua emeraldnya segera mengamati sekelilingnya; tempat asing yang gelap, bau dan menakutkan. Buru-buru Sakura pun memutuskan untuk pindah tempat meratap; sepertinya tadi dia melewati sebuah toko swalayan dengan papan bertuliskan 'buka 24 jam'. Bagaimana pun, sepertinya meratap dan menangis di sana jauh lebih baik daripada dibawah perotan usang yang menakutkan ini.

Itu, sebelum kehadiran seseorang kemudian mengagetkannya setengah mati.

"Kau tidak apa-apa?"

"Kyaa!"

Sakura rasa teriakannya itu bisa saja menyaingi suara guntur malam itu. Hal lainnya yang paling ia tidak sukai adalah seseorang yang mengendap di belakangnya, terlebih lagi saat gelap.

Saking terkejutnya, Sakura pun terjungkal ke belakang dan kini jatuh terduduk di dasar perosotan tua yang penuh karat sambil menatap ngeri orang yang tadi telah menegurnya.

"Whoa, santai nona. Aku bukan penjahat. Kau baik-baik saja? Kau tampak lusuh."

Si pria misterius—seorang pria yang terlihat beberapa tahun lebih tua darinya, bertubuh agaknya terlalu kurus dan berambut pirang platina sebahu, menggaruk canggung belakang lehernya dengan satu tangan. Sementara tangannya yang lain memegang erat payung hitam besar dan bungkus plastik sedang berisi belanjaan yang sepertinya didapat dari toko swalayan.

Sakura memperhatikan pakaian pria tersebut—mantel abu tebal, dengan celana kain hitam dan sepatu pantofel gelap. Dia terlihat seperti pegawai kantoran yang tidak berbahaya, tapi Sakura pun masih belum yakin betul bahwa pria itu memang benar manusia atau bukan; mengingat hari sudah terlalu gelap dan area sekitar taman bermain tua itu bukanlah bagian yang dekat dengan pemukiman penduduk.

Berjumpa dengan arwah penasaran seorang pegawai kantor yang matinya tragis bukanlah ide yang bagus untuknya, terlebih mengingat kondisinya sekarang ini.

"Ti-tidak. Aku baik-baik saja. Terimakasih." Jawab Sakura sekenannya, sambil berusaha bangkit dari posisi terduduknya lalu berusaha menyapu sia-sia remahan karat perosotan yang tak sengaja menempel di rok sekolahnya akibat terjatuh tadi.

Namun si pria tidak segera menanggapi jawaban Sakura dan kini malah memincingkan matanya sambil terus memperhatikan Sakura dari ujung kepala sampai kaki. Berulang kali.

Karena terus-terusan dilihat demikian, Sakura pun kini semakin takut; baik itu penjahat atau roh gentayangan, Sakura sama sekali tidak ingin berurusan dengan keduanya.

"Oh," Namun belum sempat Sakura buru-buru pamit dan berlari pergi mencari perlindungan di toko swalayan yang sedari tadi dipikirkannya, pria itu seperti menyadari sesuatu yang sejak tadi berusaha ia ingat-ingat, dan menunjuk Sakura dengan raut yang kini berubah tidak percaya, "kau adiknya Haruno."

"Kau kenal kakakku?"

.

Sasuke bisa merasakan paru-parunya mulai berontak.

Ia memang terkenal cukup atletis di angkatannya, tapi berlarian mengelilingi kompleks perumahan mereka—yang tidaklah kecil, selama hampir nyaris empat jam penuh, bukanlah jenis olah raga yang disukainya.

Tapi bukan itu tepatnya yang kini benar-benar mengganggunya.

Sakura—kekasihnya, masih belum bisa ditemukan.

Sasuke sudah dengan sangat teliti berlari mengitari bendungan dua jam yang lalu. Menyusuri semua sudut yang sekiranya bisa digunakan oleh seorang anak gadis bertubuh mungil untuk bersembunyi. Tapi hasilnya tetap saja nihil.

Ia masih memperluas pencariannya hingga ke kuil tua dekat bukit, namun ia pun masih belum menemukan Sakura, hingga akhirnya setengah jam yang lalu ia pun memutuskan untuk kembali menemui Karin di depan kantor polisi yang tadinya telah mereka sepakati.

"Ini semua salahku," Itu adalah hal pertama yang Karin ucapkan ketika Sasuke akhirnya melihat wanita yang beberapa tahun lebih tua darinya itu duduk terpuruk di bangku panjang di depan kantor polisi sambil menenggelamkan wajahnya di balik kedua telapak tangannya ketika ia tiba.

Si sulung Haruno itu terlihat berantakan; rambutnya basah dan kusut, noda-noda lumpur jelas memenuhi ujung bawah rok kerja beserta legging hitam yang ia kenakan, dan mantel sewarna kremnya berkerut jelek karena basah kuyup.

Untuk satu dan banyak alasan, Sasuke merasa iba terhadap kakak kekasihnya itu.

Karena bagaimana pun, Karin pasti merasa semua kekacauan ini disebabkan oleh perasaan sentimentil yang nyatanya ia rasakan terhadap si bungsu Uchiha tersebut.

"Jangan menyalahkan dirimu seperti itu Nee-san. Ini semua hanya kesalah pahaman." Sasuke berujar pelan, berusaha menghibur. Meski ia pun tidak terlalu yakin dengan ucapannya sendiri.

Mendengar suara si pemuda raven, Karin akhirnya mendongakan kepalanya dan menatap nanar pemuda yang kini berdiri di hadapannya itu.

Ruby miliknya bersirobok dengan sepasang onyx yang kini terlihat begitu penuh simpati, yang mana harus Karin akui, sangatlah menangkan.

Seketika, sekelebat kenangan akan peristiwa di toko kelontong tiba-tiba terlintas di benak gadis bersurai merah marun tersebut, dan buru-buru Karin pun menampar dirinya sendiri dalam hati.

Terlarut dalam perasaan sentimentilnya sendiri kepada si bungsu Uchiha adalah hal terakhir yang dibutuhkan Karin saat ini, mengingat bagaimana mereka tengah kesulitan setengah mati mencari adik perempuannya yang kini entah berada dimana.

Karin berdehem pelan sebelum kemudian kembali memijat pelipisnya pelan.

"Oh, Sakura pasti sudah sangat membenciku sekarang."

Dan sejujurnya, Karin merasa dirinya ingin menangis sekali lagi. Ia telah mengacaukan segalanya, dan apabila Sakura pada akhirnya benar-benar membencinya, Karin rasa ia tidak akan menyalahkan gadis itu untuk itu.

Memang benar dirinya yang jatuh cinta pada Sasuke—yang merupakan kekasih adiknya, adalah sesuatu yang berada sepenuhnya diluar kendalinya.

Tapi Karin punya pilihan, ia selalu punya pilihan. Dan nyatanya ia memang tidak pernah memilih untuk benar-benar menyerah terhadap perasaannya sendiri.

Karena dalam hatinya, dalam sudut terdalam kehendaknya sebagai seorang wanita dan bukan seorang kakak, Karin memanglah menginginkan Sasuke untuk dirinya sendiri.

Sebagaimana ia benci untuk benar-benar mengakuinya, nyatanya Karin memang tidak pernah ingin menyerah; walaupun ia juga tahu, pada akhirnya, ia takkan pernah jadi pilihan.

Dan inilah hasil dari kekeras kepalaannya itu.

Ia mengecewakan adiknya, membebani pria yang dicintainya, dan mungkin telah dengan tanpa sengaja membuat ayah mereka khawatir.

Dalam keterpurukannya, Karin merasakan seseorang telah mengambil tempat duduk tepat di sebelahnya. Dan ia tak perlu menebak siapa itu yang kini tengah duduk di sampingnya dalam keheningan yang terasa begitu berat.

Yang saking beratnya, Karin pun merasa sangat enggan untuk kembali membuka kedua rubynya dan menatap pemuda raven di sampingnya tersebut.

Hening masih menggantung di antara mereka untuk beberapa saat—dan dalam keheningan yang berat itu, Sasuke diam-diam mencoba untuk merangkai kata-kata penghiburan. Karena, yah, dia sejatinya bukanlah seseorang yang pandai menghibur siapapun dan jelas gadis di sampingnya ini memang perlu sedikit dihibur sebelum ia benar-benar hancur berantakan karena rasa bersalahnya sendiri.

"Sakura berbakat dalam banyak hal," Suara baritonnya kemudian memecah kesunyian di antara mereka sambil mendongak menatap langit malam yang tak menampakan apapun selain kelabu gelap awan yang sepertinya masih ingin memuntahkan isinya untuk jatuh ke bumi.

Dalam diam, Karin berusaha mendengarkan celetukan pelan pemuda itu tanpa banyak mendebat; menunggunya melanjutkan apapun itu yang hendak si pemuda raven sampaikan kepadanya.

"Tapi menurutku, dia tidak berbakat untuk membenci siapapun. Terutama kakak perempuannya sendiri."

Karin menoleh cepat ke arah si bungsu Uchiha yang masih dengan setia duduk manis di sampingnya. Untuk kemudian terperangah setengah tidak percaya atas apa yang kini pemuda itu lakukan. Uchiha Sasuke kini tengah tersenyum kecil ke arahnya.

Tersenyum

Catat itu. Karin tidak pernah melihat pemuda itu tersenyum sebelumnya. Tidak sekalipun.

Dan saat ia masih berusaha mencerna keganjilan yang baru saja ditemuinya ini, Karin lebih terkejut lagi saat menyadari degup jantungnya tidak berdetak satu ketukan lebih cepat sebagaimana biasanya setiap kali ia berinteraksi dengan si pemuda raven.

Di titik ini, Karin pun mulai bertanya-tanya, apakah ini artinya ia telah mendapatkan kesimpulan yang selama ini ia cari-cari?

Bahwa sampai kapan pun, ia tidak akan pernah bisa membuat si bungsu Uchiha itu berpaling kepadanya. Bahwa ia harus menerima kenyataan bahwa adiknya lah yang telah pemuda itu cintai dengan sepenuh hati.

Karin bisa merasakan sesuatu dalam dirinya telah diputus dalam satu hentakan cepat, sehingga alih-alih merasa sesak dan pedih, gadis bernetra ruby cemerlang itu hanya bisa merasa lega.

"Oh, dan memasak, tentu saja. Dia juga sepertinya tidak cukup berbakat untuk itu." Namun belum sempat Karin membalas penghiburan si pemuda raven, Sasuke pun kemudian buru-buru menambahkan.

Dan terlepas dari apakah ia memang hendak melucu untuk mencairkan suasana, atau hanya sekedar menyatakan sebuah fakta yang kelewat benar—yang mana, sekali lagi, semua orang pun sudah ketahui, Karin tetap saja tertawa lepas menanggapi celetukan terakhir pemuda itu.

Oh, ia masih khawatir tentang adik perempuannya yang masih belum ditemukan, tapi Karin tidak bisa menampik bahwa penghiburan kecil yang coba pemuda itu berikan terhadapnya telah membuat Karin merasa lebih baik.

Walau hanya sedikit.

"Tentu saja."

.

"Kau harus bisa memaklumi kakakmu,"

"Dengan membohongiku lebih dari dua tahun?!"

Pertemuan tak terduganya dengan Hozuki Suigetsu yang 'legendaris'—yang kisahnya telah dengan setia selalu dikeluhkan oleh kakak perempuannya di setiap kesempatan, akhirnya mengantarkan Sakura dan pria itu untuk duduk berteduh di toko swalayan 24 jam yang sejak tadi memang hendak disambangi gadis bersurai merah muda tersebut.

Oh, lupakan pakaiannya yang basah serta perutnya yang mulai menjerit minta makan. Karena hal pertama yang pria di hadapannya ini lakukan setelah berhasil mengamankannya di depan swalayan adalah mulai menceramahinya soal aksi kabur dari rumah dadakannya.

Tentu saja, hal terakhir yang Sakura inginkan saat ini adalah ceramah.

Dan pria bersurai pirang platina itu sudah hampir empat puluh lima menit memberikan kuliah pada si merah muda tentang betapa berbahayanya bagi gadis muda untuk berkeliaran sendirian di malam hari di tempat terasing.

Setidaknya Karin benar, pria ini memanglah menyebalkan.

Sakura hanya ingin menyepi, dan setidaknya berusaha menata kembali perasaannya mengenai kenyataan pahit yang baru saja ia ketahui; bahwa kakak perempuannya sendiri sebenarnya juga diam-diam mencintai kekasih yang baru beberapa minggu dikencaninya. Dan kalau boleh jujur, si bungsu Haruno itu pun merasa pria yang merupakan rekan kerja kakaknya ini tidaklah memiliki alasan mendasar untuk turut ikut campur dalam masalah mereka ini.

"Dia sudah berlaku tidak jujur." Sakura pun kembali menambahkan dengan murung.

Melihat gadis remaja di hadapannya itu semakin murung, si bungsu Hozuki itu pun hanya bisa menghela nafas pelan, sebelum kemudian membuka mantelnya sendiri, lalu berdiri dan menyampirkan mantelnya yang cukup kering tersebut pada pundak mungil si merah muda yang ternyata sejak tadi sudah mulai gemetar. Untung saja Suigetsu malam itu memakai pakaian yang cukup tebal di bawah mantel tersebut, sehingga ia pun tidak keberatan apabila dirinya nanti harus terpaksa pulang tanpanya.

"Lalu apa yang kau harapkan dilakukan olehnya? Menjadi jujur dan membuatmu merasa bersalah?" Ucap Suigetsu kemudian setelah duduk kembali di kursinya.

Untuk beberapa detik yang sangat mengesalkan, Sakura berusaha mati-matian untuk tidak menghempaskan mantel yang telah dengan murah hati diberikan pria itu padanya—karena sungguh, itu sangatlah tidak sopan dan Sakura memang agaknya berterimakasih atas gestur lembut pria itu kepadanya.

Dan saat Sakura hendak membuka mulutnya untuk membalas dengan pedas pertanyaan retorik yang dilemparkan pria pirang platina itu, Suigetsu sudah terlebih dulu memotongnya.

"Kakakmu, sudah menghabiskan seluruh hidupnya untuk membesarkanmu. Menggantikan ibu kalian. Kau pasti akan merasa berhutang budi kepadanya, dan ketika dia menceritakan perasaannya yang sebenarnya, sudah tentu kau akan menepis perasaanmu sendiri dan memaksa pemuda malang ini untuk mengencani kakakmu. Untuk apa? Rasa berhutang budi?"

Sakura mengerjapkan kedua emeraldnya ketika mendengar celoteh panjang lebar pria dihadapannya itu—yang kini dengan setengah malas mengeluarkan sebatang rokok untuk disesapnya, tapi segera diurungkannya saat melihat tanda dilarang merokok yang terpasang cukup besar di depan toko swalayan.

Si merah muda masih kesal, tentu saja. Tapi ia pun harus mengakui bahwa apa yang diucapkan pria itu memang sepenuhnya benar; Sakura nyatanya memang akan melakukan itu apabila Karin memang memberitahukan perasaannya yang sebenarnya pada Sakura sejak awal. Sakura akan dengan segera langsung mundur dan mengubur dalam-dalam perasaannya sendiri; lalu berusaha sekeras mungkin mendukung kisah percintaan kakaknya tersebut.

Yang mana itulah yang telah Karin lakukan untuknya selama beberapa tahun belakangan ini.

Seolah kembali ditampar, kebenaran dari semua itu pun langsung saja membuat Sakura seketika kehilangan semua kemarahannya dan hanya bisa menunduk malu setelahnya.

Ia merasa telah menjadi begitu egois dan kekanakan karena tidak mau mendengarkan penjelasan kakak perempuannya itu terlebih dahulu. Dan ia pun malah berlarian kesana kemari malam-malam begini, yang pastinya kini membuat kakaknya itu sangat khawatir.

Melihat gadis di hadapannya itu kini hanya menunduk diam dan terlihat merasa begitu bersalah, Suigetsu pun kemudian hanya bisa berdehem pelan lalu mengeluarkan dua buah onigiri instan yang sebelumnya sempat ia beli di toko swalayan yang mereka tempati. Dengan lembut, ia kemudian menyodorkan kedua onigiri tersebut ke hadapan si gadis merah muda, dan akhirnya kembali melajutkan.

"Kakakmu menyanyangimu; sialan, dia mencintaimu. Aku rasa kau bisa mengerti itu tanpa perlu aku jelaskan."

Mendengar itu semua, mau tak mau Sakura pun akhirnya kembali mengangkat kepalanya dan menatap lekat sepasang violet yang terlihat begitu sungguh-sungguh itu dengan kedua emerald miliknya. Sekali lagi, gadis itu pun akhirnya tak bisa menahan isak tangisnya yang mulai lepas dari bibirnya yang kini gemetar.

"Aku menyanyanginya." Ujarnya pelan di sela-sela isakannya.

Karena memang benar demikian; ia mencintai Karin. Dan apabila ia dipaksa untuk memilih antara kakak perempuannya atau Sasuke—kendati ia akan merasa sangat berat untuk tidak memilih keduanya, Sakura tetap akan menempatkan Karin sebagai pilihan pertama. Dia kakaknya, dan melebihi apapun Sakura sangatlah menyayangi kakaknya tersebut.

Melihat gadis di depannya kini mulai menangis tersedu, mau tidak mau Suigetsu pun hanya bisa mendengus pelan, lalu mengulurkan tangannya untuk menepuk lembut puncak surai merah muda gadis tersebut sambil tersenyum kecil.

"Tentu saja." Ujarnya pelan, sambil kemudian mengeluarkan lagi sekotak susu strawberi dari kantong plastik belanjaannya, dan menyodorkannya kembali pada Sakura—setelah sebelumnya menancapkan sedotan pada susu tersebut.

"Menurutmu dia akan memaafkanku? Bagiama pun, aku sudah merebut cinta pertamanya." Sakura menerima susu tersebut sambil masih sesenggukan; sesekali ia mencoba menyeka air matanya yang tak henti-hentinya terus mengalir dari kedua emeraldnya yang cemerlang.

Mendengar pertanyaan konyol itu, si pria bersurai pirang platina pun hanya bisa mendengus geli. Aneh rasanya ia bisa mengatakan ini semua setelah baru tadi sore ia yakin seratus persen dirinya sendiri telah mengalami patah hati paling buruk dalam hidupnya. Dan kini ia malah memberikan ceramah pada adik perempuan dari gadis yang merupakan penyebab patah hatinya tersebut.

"Aku rasa, kakakmu sudah bisa menebak kalau pada akhirnya dia tidak akan pernah jadi pilihan." Sambil menerawang jauh, si bungsu Hozuki itu pun berusaha menjawab pertanyaan yang tadi dilemparkan si merah muda kepadanya. Ia memang tidak mengenal Haruno Karin sedekat itu, tapi bekerja beberapa tahun bersamanya, Suigetsu tahu betul kualitas luar biasa gadis tersebut—ia tidak akan pernah mengharapkan apapun dari sesuatu yang ia sendiri ketahui adalah mustahil untuk didapatkan, atau dikerjakan.

Dia gadis yang realistis, dan lebih banyak bertindak dengan mengandalkan logika daripada perasaan sentimental tidak tidak berdasar.

Dan kalau pun ada yang harus memikirkan kembali perasaannya sekarang ini, itu adalah si bungsu Hozuki sendiri. Karena begitu ia akhirnya menyadari dirinya ternyata telah jatuh cinta pada si sulung Haruno yang sulit, Suigetsu tidak bisa bilang dirinya tidak menjadi dungu.

"Terkadang, tidak mudah jatuh cinta sendirian." Lanjutnya lagi sambil menoleh kembali pada si bungsu dan tersenyum kecil.

Untuk sesaat, Sakura hanya bisa tertegun mendengar pernyataan terakhir yang begitu tiba-tiba tersebut.

"Namamu Suigetsu kan?" Well, pria ini—yang konon menurut kakak perempuannya adalah titisan iblis yang melenggang bebas di atas bumi, nyatanya tidaklah seburuk yang si merah muda itu pikirkan.

Oh, bahkan menurutnya pria bersurai pirang platina ini bahkan cukup menyenangkan.

"Itu Hozuki untukmu. Dan sepertinya kakakmu cukup senang mengolok-ngolokku di depanmu." Kedua lubang hidung Suigetsu mengerut jelek ketika mendengar gadis tersebut menyebut namanya dengan nada tak acuh yang kedengaran sangat menyebalkan. Oh, Karin sudah pasti sering mengeluhkan soalnya pada adik perempuannya ini.

"Memang, dia bilang kau menyebalkan. Dan, yah, aku pun cukup kesal karena kau memang sering membuat hidup kakakku jadi sulit." Dan Sakura pun dengan segera mengakui itu, karena sungguh, tak ada satu hari pun dimana Karin tidak mengeluhkan soal seniornya yang menyebalkan di tempat kerja itu.

"Tentu saja." Suigetsu kemudian hanya bisa tersenyum masam menanggapi semua itu, dan si merah muda pun mau tak mau terkekeh pelan melihat ekspresi si pria pirang platina yang berubah kusut.

"Tapi aku rasa dia salah untuk satu hal," Lanjut si bungsu Haruno itu kemudian sambil mulai meminum susu yang tadi diberikan pria tersebut padanya, dan selanjutnya memasang sebuah cengiran ceria yang biasanya memang selalu diumbarnya pada siapapun, "kau tidak sebrengsek itu, malahan kau cukup menyenangkan. Aku rasa, aku bahkan menyukaimu."

Untuk beberapa detik yang aneh; Suigetsu harus mengakui ia cukup terkejut dengan pernyataan tersebut. Dan ia nyaris saja tersanjung, kalau saja ia tidak sengera mengingatkan dirinya sendiri bahwa si merah muda ini adalah adik perempuan dari gadis yang akhir-akhir ini baru saja disadarinya, telah membuatnya jatuh hati.

"Whoa, jangan menyanjungku begitu. Aku tidak mau dipukul pacarmu, dan aku tidak tertarik dengan anak kecil."

Oh, Sakura tarik kembali ucapannya.

Pria ini memang sangat mengesalkan; tidak salah memang kakaknya sering dibuat uring-uringan karenanya.

"Geh, kutarik kata-kataku. Kau memang menyebalkan."

.

Karin baru saja hendak membuat laporan ke kantor polisi ketika kedua ruby miliknya kemudian menangkap dua sosok asing dari kejauhan yang tengah berjalan berdampingan mendekati dirinya dan Sasuke.

Yang satunya cukup tinggi, dengan kilap keperakan di atas kepalanya dan sepertinya tengah memengang payung hitam besar di antara dirinya dan sosok lainnya yang bertubuh munggil dalam balutan mantel sewarna abu-abu pucat.

Karin awalnya tidak yakin siapa kedua orang asing tersebut yang berjalan mendekati tempatnya dan Sasuke berdiri, hingga ia akhirnya mengenali surai merah muda dari sosok yang mengenakan mantel abu-abu.

Itu adik perempuannya.

"Sakura!"

Tanpa perlu pikir panjang, Karin pun dengan segera berlari cepat mendekati kedua orang tersebut dan segera merangsekan tubuhnya sendiri untuk memeluk seseorang yang ternyata memang benar adalah adiknya tersebut.

"Nee-san…" Sedangkan si merah muda hanya bisa mengerang pelan saat merasakan kakaknya itu benar-benar menghempaskan tubuhnya untuk memeluknya erat-erat.

Tak lama, si merah muda pun akhirnya membalas pelukan kakak perempuannya tersebut dengan tak kalah erat; sambil juga menenggelamkan wajahnya sendiri di perpotongan leher kakaknya.

Dan begitu saja, kedua kakak beradik itu pun kemudian menangis sesenggukan di dalam pelukan masing-masing, sementara dua orang pria lainnya hanya bisa saling melemparkan tatapan canggung kepada satu sama lain, sebelum tersenyum kecil melihat kedua kakak beradik Haruno tersebut menangis tersedu-sedu.

Setelah beberapa saat, Karin pun kemudian mendongakkan wajahnya untuk melihat seniornya yang biasanya selalu membuatnya sebal itu, sebelum kemudian tersenyum kecil sambil menggerakan mulutnya tanpa suara dan berujar 'terimakasih' saat Suigetsu akhirnya memperhatikan wajah gadis bersurai marun yang kini tengah dibanjiri air mata tersebut.

Sekali lagi, ketukan jantung pria bernetra violet itu pun berubah menjadi satu ketukan lebih cepat dari yang seharusnya; dan Suigetsu pun berusaha mati-matian menahan sensasi panas yang kini mulai merambat di kedua wajahnya.

Aneh bagaimana beberapa jam yang lalu si bungsu Hozuki itu masih merasa begitu patah hati dan merana; sedangkan kini ia merasa telah melakukan sesuatu yang seharusnya mendapatkan sedikit penghargaan—atau paling tidak, sebuah ciuman. Oh, baiklah, sedikit pujian juga akan sangat membantu kalau saja itu semua memang benar memungkinkan.

Ugh, si Sulung Haruno ini suatu hari nanti jelas akan menjadi alasan kejatuhannya sendiri.

"Ayo kita pulang, aku rasa Tou-san pasti sudah begitu mencemaskan kita berdua." Ujar Karin kemudian setelah melepaskan pelukannya dan menyeka wajahnya sendiri.

"Um," Sementara si merah muda hanya bisa mengangguk lemah mengiyakan, sambil berusaha mempertahankan mantel abu yang telah sebelumnya diberikan kepadanya. Untuk kemudian teringat kebaikan hati si pemilik mantel, jadi ia pun segera berbalik dan menyunggingkan seulas senyum terbaiknya kepada si pria bersurai pirang platina, "Suigetsu-san, terimakasih."

"Sudah kubilang, itu Hozuki untukmu. Dan, yah, terimakasih kembali." Suigetsu hanya bisa mendengus pelan, kemudian mengacak cepat puncak kepala merah muda tersebut.

Sementara Sakura yang mendapat perlakuan demikian hanya bisa terkekeh pelan, sedangkan sang kakak perempuan hanya menatap balik violetnya sambil tersenyum kecil.

Tersenyum, heh!

Suigetsu kini yakin betul kakak beradik Haruno ini memang benar-benar akan menjadi kejatuhannya suatu hari nanti.

.

Perjalanan pulang malam itu sebagian besar diisi oleh keheningan khusyuk, yang anehnya tidaklah terlalu canggung mengingat insiden kurang mengenakan yang baru saja terjadi beberapa jam yang lalu.

Karin masih setia merangkul adiknya perempuannya—yang berbalut mantel abu-abu miliki rekan kerjanya, sambil berjalan beriring-iringan di samping trotar jalanan yang masih basah. Sedangkan si pemuda raven berjalan pelan beberapa langkah di belakang mereka.

Tak ada satu pun yang buka suara.

Kilau lampu jalanan yang setengah temaram dan memantul di setiap genangan air hujan membuat perjalanan pulang mereka nyaris terasa magis.

Dan baik Sakura maupun Karin berharap, mereka berdua masih akan bisa menikmati momen-momen indah ini hingga mereka tua nanti.

Saat cat rumah keabuan berlumut milik keluarga Haruno sudah mulai terlihat oleh mereka bertiga, Karin bisa melihat pintu rumah mereka yang seingatnya terbuka lebar saat terakhir kali ia tinggalkan kini sudah menutup. Hanya ada satu penjelasan untuk itu, dan Karin pun kemudian hanya bisa menghela nafas pelan saat menyadari ia mungkin harus mendengar satu sesi ceramah panjang lainnya dari ayah mereka malam ini karena telah meninggalkan rumah begitu saja dengan kondisi pintu yang masih terbuka lebar.

"Yah, aku akan meninggalkan kalian berdua kalau begitu. Sepertinya Tou-san sudah pulang, dan aku perlu menjelaskan banyak hal." Pamit gadis bersurai merah marun itu kemudian, begitu mereka semua akhirnya tiba tepat di depan pintu masuk kediaman Haruno tersebut.

Baik Sakura maupun Sasuke hanya mengangguk pelan menanggapi ucapan gadis yang beberapa tahun lebih tua dari mereka itu, sebelum Karin akhirnya benar-benar masuk ke dalam rumah—meninggalkan kedua muda-mudi tersebut untuk menyelesaikan apapun itu yang menurut mereka masih perlu untuk diselesaikan.

Sakura kemudian masih bisa mendengar suara kakak perempuannya tersebut samar-samar dari balik pintu untuk mencari ayah mereka;

"Maafkan aku."

Sebelum kemudian si bungsu Uchiha tiba-tiba mengucap maaf dengan sangat lirih hingga si merah muda itu nyaris saja tak mendengarnya.

"Oh, diamlah." Sakura kemudian kembali berjalan pelan untuk mendekati si pemuda raven yang sejak tadi nampak begitu menjaga jarak dengannya—Sakura bahkan yakin betul pemuda itu selalu menghitung jarak empat langkah kaki darinya, sebelum kemudian menjinjit pelan untuk memeluk kekasihnya tersebut.

Mendapatkan perlakuan demikian dari gadis yang jelas-jelas satu kepala lebih pendek darinya itu, Sasuke pun hanya bisa balas memeluk gadis tersebut dengan semakin erat.

"Kau satu-satunya." Bisiknya kemudian dengan suara sepelan mungkin sambil menenggelamkan kepalanya di perpotongan leher gadis tersebut.

"Hm?" namun pendengaran Sakura masih bagus, jadi ia masih bisa mendengar bisikan pemuda itu dengan cukup jelas—hanya saja nampaknya ia masih kurang memahami maksud ucapan pemuda tersebut. Dan apakah itu ditunjukan kepadanya?

Sasuke cukup terkejut Sakura bisa mendengar celetukan sembarangnya itu. Tadinya, ia mau berpura-pura untuk tidak mengatakan apapun dan tetap bertahan memeluk gadis bersurai merah muda tersebut dalam diam—karena sungguh, memalukan sekali apabila ia benar-benar harus menjelaskan maksud celetukannya itu pada gadis dalam dekapannya ini.

Tapi kemudian dia pun segera buru-buru menepis semua rencana berkelit itu; karena, yah, ini Sakura.

Karena bagi Sasuke, ia lebih baik mati menahan malu daripada harus kehilangan gadis itu untuk kedua kalinya malam ini.

"Aku mencintaimu. Dan kau satu-satunya." Ujar pemuda bernetra onyx itu kemudian, sekali lagi menengaskan maksud dari gumaman sembarangnya.

Mendengar pernyataan cinta yang nyaris kelewat serius sehingga mungkin saja terdengar seperti lamaran untuk menikah itu pun membuat semburat merah kemudian menghiasi wajah si bungsu Haruno.

"Aku tahu. Aku percaya padamu," Dan dengan gelagapan ia pun kemudian mencoba memisahkan dirinya dari pelukan pemuda itu, sebelum kembali melanjutkan, "hanya saja aku tidak percaya Nee-san selama ini menyembunyikan hal sebesar ini dariku."

Sasuke sejujurnya tidak tahu dirinya harus berkomentar apa untuk itu; karena baginya, ini pertama kalinya ia merasa begitu bersalah karena telah menolak seseorang—kendati pada kenyataannya ia memang tidak ingin mengencani siapapun selain Sakura.

"Karin-nee bilang kalau kau tahu, kau mungkin akan memaksaku mengencaninya." Jadi ia pun kemudian memilih untuk menyampaikan apa yang tadi sore telah Karin sampaikan padanya di restoran.

"Mmm, benar. Mungkin aku bisa mengerti soal itu." Mendengar itu, Sakura hanya bisa mengelus pelan dagunya sambil terlihat tengah memikirkan sesuatu yang sangat serius.

Dan seketika, Sasuke pun tiba-tiba disergap ketakutan tak berkesudahan saat memikirkan bahwa si merah muda tersebut akan benar-benar berpikir untuk merelakannya berkencan dengan kakak perempuannya sendiri.

"Kau akan memaksaku mengencaninya sekarang?" Tanyanya kemudian dengan satu alis terangkat tinggi.

Mendengar pertanyaan konyol itu, Sakura segera menggeleng cepat sambil meremas pelan telapak tangan pemuda tersebut yang kini tengah bertautan dengannya.

"Duh, tidak! Tentu saja tidak. Dia tidak akan senang, terlepas dari apakah dia mencintaimu atau tidak," Dan memang benar, Sasuke pasti sudah gila apabila ia berpikir Sakura mungkin akan dengan senang hati merelakan pemuda itu untuk gadis lain—sekalipun gadis itu adalah kakak perempuannya sendiri.

"Lagi pula, aku tidak ingin menyerahkanmu pada siapapun,"

Sakura bisa merasakan panas menjalar cepat dari kedua pipinya hingga ke belakang lehernya setelah mengatakan itu kepada si pemuda raven. Sungguh, adakah hal lain yang lebih normal dan tidak memalukan yang bisa ia katakan kepada pemuda di hadapannya ini?

"Hn." Dan setelah satu menit penuh hanyut dalam keheningan yang terasa nyaris selamanya, si bungsu Uchiha pun kemudian kembali memeluk kekasihnya itu sambil berguman pelan.

Aah, semuanya terasa sangat benar sekarang.

Tentang dirinya, tentang si bungsu Uchiha; Sakura merasa mereka akhirnya berada di tempat yang seharusnya. Bagaimana mungkin ia sempat berpikir untuk merelakan pemuda ini untuk jatuh ke pelukan wanita lain sekalipun itu adalah kakak perempuannya sendiri?

"Aku mencintaimu, Sasuke-kun."

Sakura pasti sudah gila.

"Hn, aku pun mencintaimu, selalu dan selamanya."

Karena jelas hanya si pemuda ravenlah yang ia inginkan untuk selalu memeluknya, bahkan hingga akhir jaman.

.

Ada begitu banyak hal yang dipikirkan Karin malam itu.

Setelah menjelaskan keadaan rumah yang tadinya telah ditingalkan dengan pintu terbuka lebar tanpa seorang pun kepada ayahnya—yang mana dengan cukup mengejutkan bisa pria itu maklumi tanpa banyak memberikan ceramah, Karin menghabiskan sisa malam itu dengan merenung sendiri di kamarnya.

Oh, ada begitu banyak hal yang terjadi hari ini.

Mulai dari kesimpulan yang akhirnya ia dapatkan atas perasaannya pada si bungsu Uchiha yang tampan—yang telah selama lebih dari dua tahun ini ia cintai dalam diam, hingga pengakuan menyedihkan yang terpaksa harus ia jelaskan pada adik perempuannya mengenai fakta mengejutkan bahwa sebenarnya kakaknya sendiri telah jatuh cinta sejak lama pada kekasihnya.

Seolah itu semua tidak cukup untuk membuat hari ini menjadi begitu kacau, senior di tempat kerjanya pun kemudian harus ikut terlibat.

Oh, ya ampun.

Kalau Tayuya sampai tahu, dia tidak akan pernah membiarkan Karin hidup tenang tanpa pernah selesai menggodanya soal ini.

Dan kenapa juga Hozuki Suigetsu yang menyebalkan itu bisa kebetulan berada di sana hari ini?

Bukannya Karin tidak bersyukur—oh dia berhutang banyak pada pria itu untuk semuanya hari ini. Kalau saja si bungsu Hozuki itu tidak ada di sana malam itu, hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi pada Sakura. Atau lebih buruk lagi, adiknya itu mungkin bertemu dengan orang-orang jahat yang bisa saja mencelakainya.

Setelah selesai mandi dan berganti baju, Sakura sempat singgah sebentar ke kamarnya.

Memberitahu Karin dengan singkat kebaikan apa yang telah dilakukan si pria pirang platina terhadapnya—meminjamkan mantel, memberi makan dan menawarkan diri untuk mengantarkan pulang. Tak lupa Sakura juga berpesan pada Karin untuk tidak jadi terlalu ketus pada pria malang tersebut.

Yang hanya ditanggapi Karin dengan dengusan pelan, sebelum kemudian menyuruh adik perempuannya itu untuk segera kembali ke kamar dan beristirahat.

Namun belum sempat Karin menutup pintu kamarnya setelah berhasil mendorong Sakura keluar, adik perempuannya itu kemudian buru-buru menyentuh pelan lengan kakaknya, sambil menatap dengan sungguh-sungguh kedua manik ruby cemerlang kakaknya itu dengan emerald miliknya.

"Dan maafkan aku, tapi aku tidak bisa memberikan Sasuke untukmu, Nee-san." Ujarnya pelan. Butuh usaha yang teramat sangat luar biasa untuk Sakura bisa mengatakan itu tanpa menumpahkan sekali lagi air matanya. Tapi si merah muda itu pun sendiri tahu, bahwa setidaknya, ia memang harus menyampaikan ini semua pada kakaknya.

Bagaimana pun, Karin berhak tahu pendapat Sakura tentang ini semua; tentang perasaannya.

Setelah sebelumnya Sakura sendiri sudah dengan bersikeras memaksa kakaknya itu untuk jujur.

Mendengar ucapan adiknya yang sangat tak terduga tersebut, Karin hanya bisa tertegun sejenak di tempatnya berdiri. Sebelum kemudian menghela nafas lelah, lalu terkekeh pelan.

Seolah ia tidak akan memperkirakan hal demikian.

"Tentu saja," dengan lembut Karin kemudian mengusap pelan puncak kepala adik perempuannya itu, sambil balik menatap emeraldnya dengan sayang, lalu kembali menambahkan, "dan kau memang seharusnya tidak menyerahkannya kepada siapapun."

Kedua emerald Sakura pun semakin memanas mendengar perkataan kakaknya tersebut, jadi ia pun buru-buru menghamburkan dirinya sendiri ke dalam dekapan Karin dan memeluk erat kakak perempuannya itu.

"Aku mencintaimu, Nee-san." Ujarnya lirih, untuk kemudian dengan cepat mengecup pipi kakaknya dan segera berlari terbirit ke kamarnya sendiri.

"Dasar," Karin hanya bisa kembali mendengus pelan melihat kelakuan adik perempuannya itu, sebelum kembali menatap sendu ke arah pintu kamar adiknya yang baru saja menutup pelan, "dan aku pun lebih mencintaimu."

Begitu Karin akhirnya bisa membaringkan tubuhnya sejenak di atas ranjangnya dan bekedip, tiba-tiba alarm handphonenya sudah berbunyi nyaring menandakan hari sudah berganti; yang artinya, ia harus segera bersiap-siap berangkat bekerja.

Sambil setengah menggerutu, Karin pun memaksakan tubuhnya untuk segera terbagun dari tidurnya yang sangat kurang dan bergegas ke toilet untuk mencuci muka.

Saat ia tiba di dapur, ia sedikit terkejut mendapati ayahnya yang ternyata masih belum berangkat bekerja dan alih-alih tengah duduk bersimpuh di depan altar almarhum ibunya dengan dua dupa yang menyala beserta dua buah bakpao daging yang asapnya masih mengepul—itu adalah makanan kesukaan almarhum ibu mereka.

"Tou-san tidak bekerja?" Tanya Karin spontan, sambil berjalan pelan mendekati ayahnya tersebut.

Melihat putri sulungnya yang sudah terjaga, Haruno Kizashi hanya tersenyum kecil sambil menepuk pelan tempat di sebelahnya, mengisyaratkan agar Karin ikut bergabung dengannya. Yang mana langsung saja Karin sambut dengan senang hati.

"Yah, Tou-san pikir, hari ini Tou-san bisa ambil cuti saja." Ujar ayahnya pelan segera setelah Karin menyelesaikan doanya.

Mendegar itu, mau tidak mau Karin pun mengangkat satu alisnya tinggi-tinggi. Bekerja adalah satu-satunya hal yang bisa mengalihkan kedukaan ayahnya atas meninggalnya ibu Karin dan Sakura. Dan adalah hal yang sangat aneh apabila ayahnya tiba-tiba berkata bahwa dirinya hanya 'sedang ingin' beristirahat di rumah.

"Kenapa begitu?" Jadi mau tidak mau Karin pun kembali bertanya.

"Hmm, karena sedang ingin?"

"Tidak, aku serius." Tapi Karin masih belum puas atas jawaban tak acuh tersebut.

Tapi sayangnya, ayahnya memang tidak punya banyak alasan khusus untuk beristirahat hari ini. Yah, pada kenyataannya ia memang ingin bersantai hari ini.

"Ya, Tou-san memang sedang ingin beristirahat hari ini."

Kejadian kemarin cukup mengejutkannya, karena itu adalah kali pertama ia melihat kedua putrinya bertengkar sehingga Karin—si sulung yang begitu bisa diandalkan, bahkan lupa menutup pintu rumah. Biasanya Karin terlalu bertanggung jawab untuk membuat kesalahan ceroboh semacam itu. Tapi hal itu pun akhirnya menyadarkan Kizashi betapa kedua putrinya sudah tumbuh dewasa dengan begitu cepat. Jauh dalam hatinya, ada setitik rasa bersalah yang pria paruh baya itu rasakan ketika menyadari ia tidak pernah begitu benar-benar memperhatikan kedua putrinya tumbuh dewasa dan malah begitu berlarut-larut dalam duka atas kepergian istrinya.

"Apa karena kejadian semalam? Maafkan aku, seharusnya aku bisa lebih bertanggung jawab." Namun Karin masih merasa aneh soal ayahnya yang tiba-tiba mengambil cuti ini, dan mau tak mau ia pun kembali merasa bersalah.

"Karin," Dengan lembut Kizashi kemudian menarik pelan kepala putri sulungnya tersebut ke dadanya, lalu mengelusnya pelan sebelum melanjutkan, "tidak pernah ada satu hari pun Tou-san tidak pernah mensyukuri kerja keras dan pengabdianmu untuk memberikan sosok ibu yang layak bagi Sakura. Selamanya, Tou-san akan berterimakasih padamu untuk itu. Jadi jangan pernah sekalipun berpikir apapun usaha yang telah kau berikan dan curahkan untuk keluarga ini tidak ada hasilnya, paham?"

"…aku mengerti. Terimakasih, Tou-san. Aku menyayangimu." Butuh usaha yang sangat keras bagi Karin untuk menahan air matanya setelah mendengar deklarasi yang begitu mengharukan tersebut. Sehingga pada akhirnya ia pun hanya bisa mengangguk pelan dalam dekapan ayahnya.

"Seandaikan Mebuki masih hidup, dia akan sangat bangga padamu." Ujar ayahnya lagi, dan Karin pun semakin mengeratkan pelukannya pada pria yang sudah membesarkannya dan Sakura tersebut.

"Nah, tidakkah kau seharusnya bersiap-siap berangkat bekerja? Kau bisa serahkan urusan memasak sarapan kepada Tou-san." Selang beberapa menit kemudian, ayahnya kemudian mengingatkan putri sulungnya itu lagi bahwa ia bisa saja terlambat bekerja hari ini.

Dan kalau boleh jujur, Karin sendiri sebenarnya ingin beristirahat di rumah saja hari ini—mengingat apa yang telah terjadi seharian kemarin.

"Terimakasih, tapi mungkin aku pun bisa mengambil cuti hari ini." Timpalnya lagi, sambil masih bertahan di posisinya—memeluk sang ayah dari samping tubuhnya.

Mendengar itu, ayahnya pun hanya bisa menggeleng pelan sambil kemudian menepuk pelan punggung Karin dan memintanya untuk melepaskan pelukan.

"Oh, tidakkah kau harus menemui seseorang hari ini dan menyampaikan terimakasih dengan lebih pantas kepadanya?" Ingat ayahnya kemudian. Dan Karin pun segera didesaki keinginan untuk menepuk jidatnya sendiri mendengar celetukan sang ayah.

Well, ia mungkin memang benar telah menceritakan dan menjelaskan segalanya pada ayahnya itu kemarin malam—tapi Karin bersumpah ia sudah berusaha meminimalisir dan menjauhkan topik mengenai si bungsu Hozuki jauh-jauh dari sang ayah.

Oh, hanya ada satu orang yang mungkin telah dengan begitu bersemangat menceritakan sendiri kisah malam kemarin versinya pada pria paruh baya tersebut.

"Sakura?"

"Terkadang anak itu bisa jadi sangat mengejutkan." Ayahnya hanya bisa terkekeh pelan mendengar pertanyaan dengan nada menuduh tersebut dilontarkan kepadanya. Sedangkan Karin hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah polah adik perempuannya tersebut.

"Baiklah, aku akan segera bersiap-siap. Kalau begitu, kuserahkan sarapan hari ini padamu Tou-san, dan tolong jangan biarkan Sakura ikut membantumu. Kita tidak ingin dia berusaha menghanguskan rumah ini sekali lagi." Dengan setengah berat hati, Karin pun akhirnya mengurungkan niatannya mengambil cuti, dan segera bangkit dari posisinya untuk segera bersiap-siap berangkat kerja—setelah sebelumnya memberikan peringatan singkat soal Sakura yang harus dijauh-jauhkan dari kompor.

"Ha ha ha ha, tentu saja."

Ayahnya memang ada benarnya. Karin memang harus menyampaikan ucapan terimakasihnya dengan sepatutnya.

Terlepas dari seberapa buruk hubungannya dengan seniornya yang menyebalkan tersebut di masa lalu.

"Ah, aku harus membeli wagashi*."

.

Pagi hari itu, Suigetsu berangkat ke kantor dengan suasana hati yang sepertinya kelewat cerah.

Bahkan baik Shion maupun Tayuya nampak mengerutkan kedua lubang hidung mereka melihat gelagat aneh si bungsu Hozuki saat pria itu telah dengan tanpa sadar berjalan melompat-lompat dari lobi menuju ruang kerjanya dan terus bersenandung riang sepanjang pagi.

Jelas ini tidak biasa; malah menurut Tayuya, tingkah pria itu sudah kelewat aneh.

Mengingat bagaimana suasana hatinya yang telah menjadi begitu buruk saat meninggalkan Tayuya sendirian di café kemarin ketika mereka berdua tengah berusaha menguntit Karin dan pasangan kencannya, sulit rasanya bagi gadis bersurai fuschia tersebut untuk memahami perubahan suasana hati si pria pirang platina yang kelewat drastis itu hari ini.

Well, setahu Tayuya, seniornya itu baru saja mengalami patah hati paling buruk dalam hidupnya kemarin sore.

"Apakah akhirnya ada kumbang emas yang merayap naik ke lubang pantatmu?"

"Pertanyaan macam apa itu?"

Suigetsu menghentikan senandung riangnya begitu si merah fuschia tiba-tiba datang dan berselonjor di seebelah meja kerjanya sambil melontarkan pertanyaan yang langsung saja membuat pria itu mengernyit tidak senang.

"Kau sedang senang." Tegas Tayuya sekali lagi, kali ini sambil memincingkan kedua netra keemasannya.

"Dan aku tidak boleh senang?" Mendengar pernyataan tanpa konteks yang jelas itu, mau tidak mau Suigetsu semakin mengerutkan kedua alisnya. Apasih yang juniornya ini inginkan darinya pagi-pagi begini? Karena jika Tayuya memang hanya ingin mencari ribut dengannya, suasana hati Suigetsu sayangnya sedang terlalu bagus untuk itu.

"Oh, seingatku, saat kau meninggalkanku sendirian kemarin, kau terlihat seperti seekor anjing yang baru saja selesai dikebiri." Timpal Tayuya lagi, kali ini sambil setengah mendelik.

"Sudahkah ada yang pernah mempertanyakan kemampuan mulutmu untuk menceletukan hal-hal tidak sopan?" Pertanyaan retorik itu kemudian dimuntahkan oleh si pria pirang platina dengan diiringi oleh sebuah dengusan geli yang berusaha ditahan-tahan, namun gagal dengan begitu hebatnya.

"Yah, kau memang sedang senang." Yep. Suasana hati seniornya ini memang sedang bagus pagi ini. Dan mau tidak mau, Tayuya pun menjadi begitu penasaran dengan apakah yang telah membuat seniornya merasa demikian.

"Ck, terserah. Bicara denganmu jadi membuatku ingin merokok." Merasa juniornya itu akan kembali melemparkan pertanyaan-pertanyaan sulit yang mengesalkan kepadanya, Suigetsu pun segera memutuskan untuk mengambil tindakan paling rasional saat itu juga; bergegas pergi.

Karena sungguh, ia baru menyadari bagaimana mulut gadis fuschia itu bisa melontarkan kalimat-kalimat sembarang yang pun dengan mudah, menjungkir balikan kehendaknya—oh sudah ada terlalu banyak contoh untuk itu.

Jadi ia pun mendorong dirinya sendiri ke belakang dan dengan segera bangkit dari kursi kerjanya; bergegas berjalan meninggalkan ruangan.

"Kau sedang senang, dan kau tidak bisa membohongiku!"

Tayuya hanya bisa meneriakan itu dari kejauhan, sambil memperhatikan tubuh jangkung Suigetsu menghilang dari balik pintu menuju ke atap.

Apapun itu yang telah membuat si Hozuki senang, pastilah bukan sesuatu yang sepele. Mengingat pada kenyataannya semua orang tahu, Hozuki Suigetsu bukanlah orang yang mudah dibuat terkesan, apalagi senang.

Tak lama setelah Suigetsu berlalu ke atap untuk merokok pagi itu dan Tayuya masih sibuk menerka-nerka apa gerangan yang telah terjadi antara kemarin sore dan tadi pagi, Karin pun tiba di kantor.

Seperti biasa degan segera ia pun menyapa Tayuya yang masih terpaku pada pintu yang tadi dilalui Suigetsu—memikirkan seribu satu cara untuk kembali mengintrogasi pria itu saat jam makan siang nanti.

"Selamat pagi."

"Sel—wow! Kau, kau terlihat berbeda pagi ini." Baru saja Tayuya hendak membalas sapaan selamat pagi rekan kerjanya itu, ia sudah keburu dibuat kaget dengan penampilan si sulung Haruno pagi itu.

Sekali lagi, Karin berdandan hari itu. Berdandan.

Astaga, apakah ini artinya sesuatu yang tidak diketahui oleh Tayuya memang telah benar-benar terjadi kemarin sore?

"Ah, tidak. Aku merasa sama saja dengan kemarin." Namun Karin menepis tuduhan 'tampil berbeda' itu dengan tak acuh sambil mulai melepaskan mantelnya. Well, Karin memang merasa ia tetap melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan kemarin. Dan kalaupun ia merasa berbeda, itu karena ia memutuskan untuk setidaknya mulai secara rutin memakai pewarna bibir yang baru dua hari dibelinya. Barang itu tidak murah, dan Karin benar-benar merasa sayang membuang-buang uangnya kalau ia hanya akan mengonggokan benda tersebut di atas meja riasnya.

"Ada apa sih dengan orang-orang hari ini? Dan apa itu bingkisan cantik mencurigakan yang kau bawa?" Mendengar jawaban rekannya itu, mau tidak mau membuat Tayuya semakin semakin memincingkan matanya menatap Karin, sebelum kemudian perhatiannya jatuh pada tas bingkisan cantik yang diletakan oleh Karin sendiri di atas meja kerjanya.

"Ah, apa kau melihat Hozuki-san? Aku punya sedikit urusan dengannya." Kilah Karin dengan cepat; karena jujur saja, ia tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan kepada si gadis fuschia tentang apa yang hendak dilakukannya. Karena sungguh, ia pun tak tahu harus mulai menjelaskan darimana.

"Hm, dia naik ke atas untuk merokok. Dan aku harus memberitahumu, dia melompat dan bernyanyi-nyanyi semenjak aku tiba di kantor." Tambah Tayuya kemudian, berharap Karin akan mampu membantu gadis bersurai fuschia itu untuk mengetahui apa yang sekiranya telah membuat suasana hati senior mereka yang sangat menyebalkan itu berubah.

"Yang artinya?" Namun dicecar pernyataan demikian malah membuat Karin semakin bingung. Sebenarnya apa sih yang ingin Tayuya sampaikan padanya?

Jeda beberapa saat, dan Tayuya hanya bisa semakin memincingkan matanya menatap rekan kerjanya tersebut. Namun melihat Karin yang hanya balas menatapnya penasaran, Tayuya pun hanya bisa menghela nafas pelan.

"… terserahlah. Kalau kau mau mencarinya, kau tahu dimana kau bisa menemukannya." Setengah frustasi, Tayuya pun akhirnya memutuskan untuk segera menyerah mencari tahu apapun itu korelasi yang mungkin muncul dari perubahan sikap yang sangat drastis si bungsu Hozuki dan bingkisan misterius yang dibawa Karin pagi ini.

"Oke, trims." Tanpa banyak bertanya, Karin pun segera berjalan cepat menuju pintu yang menghubungkan ruang kerja mereka dengan atap, lalu segera menghilang di baliknya.

Untuk beberapa saat, Tayuya hanya bisa semakin termenung di tempatnya duduk dan kembali memikirkan alasan-alasan yang kemungkinan menjadi jawaban atas perubahan sikap dua orang rekan kerjanya tersebut.

"Mungkin akhirnya Neraka benar-benar sudah membeku."

.

Begitu Karin membuka pintu baja yang memberikan akses langsung ke atap dari ruang kerja mereka tersebut, ia bisa dengan segera mememukan Suigetsu yang baru saja menyelesaikan puntung rokok pertamanya pagi itu.

"Hai, selamat pagi." Dan tanpa aba-aba, ia pun segera menyapa pria tersebut.

Menyadari siapa yang kini telah ikut bergabung bersamanya di atap, Suigetsu hanya bisa terperangah—gabungan antara keterkejutan dan ketidak percayaan.

"…hei," Karena sungguh, mendapatkan senyum si sulung Haruno malam kemarin saja sudah cukup membuatnya senang bukan kepalang, apalagi didatangi pagi-pagi begini.

Mau tidak mau, Suigetsu harus mengakui, ada bagian egonya yang serasa terpuaskan oleh gestur tak biasa gadis berambut marun tersebut.

Mungkin karena suasana hatinya memang sedang baik, atau juga mungkin karena pria di hadapannya itu bukannya malah membalas sapaannya dengan celetukan menyebalkan seperti biasanya, mau tidak mau Karin pun mengulum senyum kecil, sambil melangkah pelan mendekati si bungsu Hozuki—yang kini sudah sepenuhnya lupa cara bernafas saat Karin akhirnya mengambil tempat tepat di sampingnya.

"Terimakasih, karena sudah menemukan adikku semalam." Ujarnya pelan kemudian, tanpa sadar sedikit menelengkan satu kepalanya ke arah si pria bernetra violet.

Suigetsu mengerjap beberapa kali di tempatnya berdiri. Selama hampir tiga tahun ini mengenal Karin, ia rasa gadis itu nyaris tidak pernah sekalipun terdengar mengucapkan terimakasih padanya—untuk apapun. Dan itu bisa dimaklumi, mengingat tingkah Suigetsu selama ini terhadapnya.

Dan kini saat gadis itu akhirnya datang dengan kemauan sendiri menemuinya sambil mengulum seulas senyum kecil paling mempesona yang bisa disunggingkan gadis hidup manapun.

Suigetsu yakin ia nyaris saja berjingkrak riang saat itu juga.

"Omong kosong, itu bukanlah hal besar." Namun ia hanya membalas ucapan terimakasih tersebut seolah apa yang dilakukannya bukanlah hal yang besar—yang dimana menang benar diakuinya. Ia hanya menemani adik kecil si sulung Haruno itu beberapa jam tadi malam sebelum mengantarnya pulang. Tidak ada sesuatu yang spesial menurutnya—tidak ada yang bisa disebut benar-benar heroik dari itu semua. Kalau pun ada satu dua hal yang bisa ia syukuri soal kejadian semalam, itu hanyalah fakta bahwa Karin nyatanya tidak benar-benar berkencan dengan siapapun.

Oh, Suigetsu buta apabila ia tidak bisa melihat bagaimana si pemuda raven rupawan itu menatap si rambut merah muda kemarin malam. Jelas itu adalah tatapan penuh damba yang tak memiliki dasar. Dan tanpa perlu ditanyakan lagi olehnya, Suigetsu sepenuhnya tahu siapa yang ada dalam hati pemuda tersebut. Yang untungnya, untuk Suigetsu sendiri, itu bukanlah si sulung, melainkan si bungsu.

Mendengar bagaimana seniornya itu hendak merendah, Karin tidak bisa untuk menahan kekehannya. Dengan satu gerakan yang sangat anggun, ia pun kemudian mengayunkan bingkisan wagashi yang tadi pagi telah buru-buru dibelinya itu pada senior tersebut.

Satu alis si pria pirang platina terangkat tinggi, tidak yakin dengan apa yang seharusnya ia lakukan pada bingkisan cantik yang baru saja disodorkan padanya.

Kedua ruby Karin kemudian berusaha menangkap sepasang violet yang kini terlihat setengah kebingungan tersebut; sebelum kini kembali menyunggingkan seulas senyum paling indah yang pernah dilihat Suigetsu seumur hidupnya.

"Well, setidaknya, itu hal besar, untukku."

Suigetsu harus menahan mati-matian hasratnya untuk sedikit membungkuk ke arah gadis bersurai merah marun tersebut dan segera menyapukan bibirnya sendiri di atas bibir ranum gadis tersebut.

Sungguh, terkadang Karin tidak pernah tahu betapa mempesonanya ia sehingga Suigetsu sering kalang kabut sendiri karenanya.

Dan seolah ia memang sengaja ingin menyiksa Suigetsu dengan seutuhnya, Karin pun kemudian menyentuh pelan salah satu lengan pria itu sambil kembali melanjutkan;

"Terimakasih. Sungguh."

Oh, persetan sudah.

Detik itu juga Suigetsu segera tahu bahwa dirinya sudah kehilangan kendalinya secara penuh dan dengan cepat menutup jarak di antara mereka.

Ciuman itu hanya beberapa detik.

Beberapa detik yang cukup ganjil; tapi bagi keduanya, beberapa detik yang sangat aneh itu terasa seperti selamanya.

Dan meskipun Karin sendiri tidak bisa menampik betapa terkejutnya ia atas ciuman yang begitu tak terduga ini, gadis bersurai marun itu tidak bisa memungkiri bahwa ciuman itu lucunya terasa benar.

Oh, Karin ingin segera menampar dirinya sendiri ketika pemikiran itu semakin menggerayangi otaknya.

"A—"

Begitu Suigetsu akhirnya menarik dirinya kembali—namun juga tidaklah pergi terlalu jauh dari wajah Karin yang kini sudah bersemu merah hingga ke telinga, Karin segera mendapati dirinya hilang kata-kata sepenuhnya, dan hanya bisa melongo tidak percaya menatap pria yang baru saja selesai menciumnya itu.

"Mulai sekarang kau kularang tersenyum seperti itu," Ujar Suigetsu pelan, hanya beberapa senti dari bibir ranum si gadis merah marun. Kalau ia boleh jujur, sulit sekali rasanya untuk tidak kembali memajukan tubuhnya dan mengecup kembali bibir si sulung Haruno itu untuk kedua kalinya. Tapi bungsu Hozuki itu berhasil menepis niatannya itu dan kini sudah sepenuhnya menarik diri dari si gadis marun sambil menaikan satu alisnya tinggi-tinggi.

"Kau punya bakat aneh untuk menjadi terlalu mempesona saat orang-orang tidak mengharapkannya."

Dan begitu saja, Suigetsu kemudian meninggalkan Karin yang masih terpaku di tempatnya berdiri.

Tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Suigetsu baru saja menciumnya, kan? Menciumnya.

Hozuki Suigetsu yang itu?! Pria yang sudah lebih dari dua tahun ini selalu menyiksanya dengan berbagai cara yang masih diperbolehkan oleh hukum yang berlaku?!

Karin yakin, ini semua adalah antara dirinya yang memang sedang berkhayal di siang bolong, atau Hozuki Suigetsu yang menyebalkan itu akhirnya benar-benar kehilangan akal sehatnya.

"Apa-apaan itu?!"

Yah, Karin pun akhirnya hanya bisa memekik dalam keterkejutannya sendiri beberapa saat setelahnya.

Astaga, berapa banyak hal sih yang bisa terjadi dalam hidup seseorang dalam kurun waktu kurang dari dua minggu?

Yang pasti, Karin yakin dua minggu belakangan ini sudah mengubah hidupnya sepenuhnya, dan ia pun hanya bisa mengerut malu dengan wajah memerah sehabis hujan di pagi hari tersebut.

.

.

Sehabis Hujan Fin

.

Catatan Penulis:

Holla, akhirnya cerita ini tamat juga! #berlututdanbersujuddikakiparapembaca

Jujur, sebenarnya Tetralogi Hujan bukanlah sebuah ide yang disengaja, hanya fic iseng yang saya pikirkan ketika hendak menulis fanfiksi lagi setelah menyelesaikan Monochrome Triology dan semua side-story nya—duh rasa kangen itu nyata.

Hanya saja saya cukup sedih karena baru aktif menulis sekarang, setelah banyak pembaca yang sudah tidak begitu tertarik dengan serial Naruto lagi setelah komiknya tamat beberapa tahun yang lalu.

Sekarang saya hanya masih berhutang HANAYOME, yang sepertinya akan butuh banyak waktu untuk merampungkannya.

Terimakasih untuk semua yang sudah dengan setia—lebih dari tiga tahun, membaca fanfiksi Tetralogi Hujan ini, meninggalkan review, menjadikan fanfiksi ini favorit kalian serta men-follow nya sejak lama. Saya terharu sekali, sungguh.

Dan terimakasih juga bagi para silent reader, meskipun kalian tidak meninggalkan jejak apapun, saya harap kalian menikmati cerita saya ini.

Thank you for reading.

Salam Hangat,

Lin.