membagi batin

kimetsu no yaiba © gotōge koyoharu

saya tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini

.

.

.

.

Mata Yushirō melirik ke arah matahari yang mulai menunjukkan tanda-tanda untuk bangkit dari peraduan. Berjaga hampir semalaman dalam posisi seiza membuat kedua kakinya hampir mati rasa, tetapi ia merasa pengorbanannya sepadan.

Beberapa jam yang lalu, ketika ia menawarkan diri (dengan gagal) untuk menutup pintu shōji sebagai pertanda berakhirnya waktu bertamu, tawarannya ditolak mentah-mentah. Sang pemilik kamar, Oyakata-sama, bersikeras memaksanya tetap tinggal dan memintanya menceritakan dongeng pengantar lelap.

"Dongeng, Oyakata-sama?" tanya Yushirō dengan nada tak percaya. "Entah apalagi yang bisa saya ceritakan kepada Anda. Saya sudah kehabisan ide, mohon maaf."

"Ayolah, sensei," bujuk Oyakata-sama dengan keras kepala. Tubuh rentanya yang mungil dan terbenam di bawah tumpukan selimut dipaksanya untuk tetap terjaga."Kuina bercerita kepadaku kalau ada penguntit terbaru yang nekat hampir mengorbankan nyawanya demi mendapatkan sesi wawancara denganmu. Kau bisa ceritakan padaku tentang itu, mungkin dengan itu aku bisa gampang tidur."

"Apa yang bisa kuceritakan tentang tindakan kriminal yang dilakukan para janin tukang cari mati seperti mereka? Seperti biasa, aku menembak daerah non-vital mereka, seperti perintah Anda, dan menggunakan pengaruh saya agar mereka dijebloskan penjara dengan dasar pasal melanggar privasi dan menerobos properti pribadi," Yushirō menjelaskan dengan suara bosan, seakan kelakuan manusia zaman sekarang sudah tak lagi mengusik dirinya.

"Tetapi tindakanmu kali ini berbeda, sensei," Oyakata-sama berkata sambil mengunci pandangan ke arah mata tajam Yushirō. "Kali ini kau menggunakan senapan asli, membuatmu mendapat tuntutan balik dari pihak keluarga wartawan malang itu dan kantor pers. Jika aku tak turun tangan sendiri demi menjaga kedamaian, mungkin rahasiamu akan terbongkar dan urusannya akan sangat panjang." Perkataan itu menohok hati Yushirō, membuatnya berdecak.

"Oyakata-sama, hari ini pasti Anda sangat lelah," Yushirō mencoba memotong pembicaraan mereka. Ia tak ingin membicarakan hal ini kepada sosok tua renta yang menjadi salah satu dari sedikit saksi hidup yang mengetahui jati dirinya. Sosok yang sudah banyak membantunya sejak lelaki tua itu hanyalah anak ingusan berusia delapan tahun.

Sosok yang mungkin sebentar lagi akan meninggalkannya sendirian di dunia ini.

Yushirō harus mengusahakan agar Ubuyashiki Kiriya tidak tidur terlalu larut; lelaki tua ini usianya sudah hampir seratus tahun dan Yushirō tak ingin lelaki itu mati hari ini gara-gara begadang. Namun, usahanya lagi-lagi berakhir sia-sia karena lelaki tua renta itu begitu keras kepala.

"Ada apa, Nak? Ceritakan padaku, mungkin aku bisa membantu."

Sial, bocah satu ini berani-beraninya memakai panggilan itu supaya hatiku luluh!

.

.

.

Malam berganti pagi dan pagi berganti malam. Waktu tereduksi menjadi dua definisi tatkala hidup dalam lini masa Yushirō. Tetapi, Yamamoto-sensei, itulah namanya sekarang, bukanlah bagian dari kaum yang menguasai bola biru berair dan berudara segar ini. Ia adalah sosok unik yang seharusnya tak lagi hidup, tak lagi bernapas di dunia. Namun, ia seperti digariskan untuk selalu melawan takdir; ia hidup kembali karena Tamayo dan ia melanjutkan hidup karena Tamayo pula.

Namun, rasanya penantiannya ini seperti tak pernah berakhir. Seperti selamanya.

Padahal, hanya Yushirō-lah yang hidup selamanya.

.

.

.

Ubuyashiki Kiriya tumbuh besar seperti ayahnya dan para leluhurnya. Tetapi Ubuyashiki Kiriya yang sekarang adalah sosok yang tak lagi Yushirō kenal.

Selama Yushirō hidup dan mengabdi pada Tamayo, lelaki itu bertemu dengan banyak kepala keluarga Ubuyashiki. Mereka datang dan pergi begitu cepat, bagaikan tamu di kehidupan panjang Yushirō. Lelaki itu selalu diundang saat upacara pengangkatan kepala keluarga baru maupun saat upacara pemakaman kepala keluarga. Begitulah pola interaksinya sejak zaman Edo hingga Taishō.

Maka dari itu, yang ada di benak Yushirō tentang para kepala keluarga yang telah berpulang adalah sosok mereka yang berambut hitam panjang, terbalut nagagi kimono berwarna hitam dan haori putih dengan motif bunga wisteria di ujungnya. Yang selalu menghembuskan napas terakhir di puncak masa muda.

Berbeda dari mereka, Yushirō diberi kehormatan untuk menyaksikan kepala keluarga Ubuyashiki yang terakhir perlahan menjemput masa senjanya. Segala hal tentang penuaan Ubuyashiki Kiriya terasa baru bagi Yushirō. Pada awalnya, ia menerimanya dengan lapang dada. Namun ketika Taishō berubah menjadi Shōwa, lalu berganti lagi menjadi Heisei, perasaan di dadanya mulai menyisipkan getir. Diperparah dengan berpulangnya rekan-rekan seperjuangan dahulu saat pertarungan terakhir, meninggalkan Yushirō dikelilingi oleh keturunan mereka yang serupa tapi tak sama—dunia ini rasanya menjadi asing. Ia menemukan dirinya berpegangan erat kepada Oyakata-sama.

Maka dari itu, setiap perayaan ulang tahun Oyakata-sama, Yushirō akan selalu menyempatkan diri untuk datang ke Kediaman Ubuyashiki dan merayakannya dengan caranya sendiri. Ia akan tiba pada jam makan malam, berbincang-bincang sejenak dengan Oyakata-sama, kemudian akan menjaga sang kepala keluarga yang terlelap hingga subuh tiba. Ini adalah kebiasaan yang selalu Yushirō lakukan sejak Oyakata-sama merayakan ulang tahun ke-9.

Sudah hampir seabad ia melakukan itu.

Pandangan Yushirō merendah ke arah tubuh Oyakata-sama yang masih terbuai mimpi. Hampir seluruh tubuhnya terbalut selimut, menyisakan kepala saja. Yushirō mengalihkan mata ke arah wajah Oyakata-sama yang penuh keriput, lalu ke arah kepalanya yang tak lagi berhiaskan rambut panjang.

Telinga tajam Yushirō mendengar kepakan sayap burung gagak yang muncul menyambut pagi, pada ujung jauh kediaman megah Ubuyashiki. Tidak seperti biasanya.

Yushirō menghembuskan napas letih.

Ia merasa lelah karena dunia tak lagi menjadi miliknya lagi.

.

.

.

Haruskah kuakhiri hidup ini ketika kau pamit, Oyakata-sama?