Disclaimer: Saya tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apapun. Seluruh karakter milik Gege Akutami.

Warning: headcanon, typo, dan ooc. 2116w.

YOUTH

summary: mereka remaja yang belum merekah sempurna. berkeliling kota menikmati masa muda dan melupa sejenak dari penatnya dunia.

Mulanya hanya ada Ieiri Shoko seorang.

Kemudian Suguru Geto datang menyapa dengan senyuman. Terkadang bertanya tentang bagaimana harinya berlangsung. Terkadang menyodorkan lolipop rasa stroberi yang masih terbungkus rapi. Laki-laki itu kadang menghampiri Shoko dengan penampilan rapi; seragam lengkap, rambut gondrong dikuncir, harum, dan tidak lupa dengan seulas senyum. Tapi lebih sering seragamnya kusut, kancingnya lepas satu-dua, dan rambut yang dikuncir asal. Dan bau kutukan. Shoko asumsikan kalau laki-laki itu lebih sering menghampirinya sepulang dari misi.

Keduanya tidak selalu berbicara satu sama lain. Terkadang, Suguru Geto hanya duduk di sampingnya sembari menatap jauh ke atas langit. Atau jatuh tertidur menyandar pada bahu Shoko. Ia tidak pernah keberatan, toh, menghadapi kutukan memang selalu melelahkan. Terkadang laki-laki itu bicara tentang cita-citanya soal menghapus kutukan dan melindungi manusia biasa. Sungguh cita-cita yang mulia, kata Shoko di hari itu. Suguru hanya tertawa.

"Rokok itu rasanya bagaimana?" Suguru bertanya di sore hari yang cerah sepulang sekolah. Mereka berdua sedang duduk-duduk di koridor asrama. Muka Suguru terlihat kusut, sama seperti seragamnya. Entah karena apa. Shoko enggan bertanya dan tidak ingin terlalu tahu juga. Shoko lebih suka menunggu. Menunggu laki-laki itu bicara duluan.

Shoko merogoh saku rok seragamnya. Menarik satu batang rokok dan pemantik. "Rasanya, biasa saja. Aku baru coba satu merk, yang lain belum pernah," Shoko menyodorkan rokok dan pemantik ke hadapan si laki-laki, "Mau mencobanya?"

Suguru terlihat ragu-ragu, tapi akhirnya diterima juga. Ia menyelipkan batang rokok itu pada kedua belah bibirnya yang kering. Tangannya yang satu lagi menyalakan pemantik.

"Kalau ketagihan jangan menyalahkanku, ya," peringat Shoko sembari mengambil sebatang rokok lagi dari dalam saku roknya, "aku sendiri susah lepas."

Suguru mendengus. "Nggak akan. Tenang aja," Asap putih tipis diembuskan dari balik bibir, "rasanya aneh. Lain kali kamu beli yang lain merknya. Atau kalau nanti dapat kiriman uang, ayo kita coba berbagai merk lain."

Idenya aneh. Tapi Shoko mengangguk juga. Mungkin seperenam uang kiriman dari orang tuanya di bulan depan akan dibelanjakan rokok berbagai merk dan rasa. Mungkin.

"Tepati janjimu ya."

"Tentu saja." balas Suguru ringan.

Hari-hari berikutnya mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama. Kalau ada Suguru, di sana ada Shoko. Begitu sebaliknya. Sampai semua teman-teman yang lain bertanya, mengira mereka berkencan. Suguru tidak berusaha menjelaskan dan Shoko enggan menjelaskan. Mereka berdiri berdekatan— jarak yang sangat dekat untuk bergandengan tangan. Tapi tidak pernah mereka lakukan. Soalnya mereka teman, tidak kurang dan tidak lebih. Dan Shoko sendiri tidak ingin membuat hidupnya lebih rumit dengan drama percintaan. Menjadi penyihir saja sudah banyak yang ia lewatkan, apalagi ditambah percintaan.

"Uang kiriman dari orang tuaku sudah masuk," Suguru memperlihatkan layar ponselnya yang menyala. Ibu sudah mengirimkan uang padamu, dipakai yang baik ya. Begitulah yang tertera di sana.

Shoko jadi merasa bersalah. "Kamu benar-benar ingin mencoba semua merk rokok?" tanyanya memastikan. Shoko berharap Suguru mengurungkan niatnya.

Suguru mengangguk. "Iya," tangannya terulur, "Ayo pergi."

Shoko meraih uluran tangan itu. Suguru menggenggamnya erat. Ternyata tangan Suguru hangat dan permukaan telapak tangannya lumayan kasar.

Hari itu, keduanya berjalan bergandengan tangan. Tidak dilepas meski sudah sama-sama berkeringat. Tidak dilepas meski sudah sampai di depan kios kecil langganan Shoko. Toko itu tidak terlalu jauh dari sekolah, bisa dicapai dengan berjalan kaki. Makanya Shoko selalu punya stok rokok di dalam sakunya. Juga, penjualnya tidak terlalu peduli soal apakah pembelinya sudah cukup umur atau tidak. Terkadang kalau Shoko merasa tekanan menjadi penyihir terlalu berat, ia akan membeli bir kalengan beralkohol. Ia akan minum ditemani penjaga toko diselingi pembicaraan tentang hidup. Penjaga toko itu perempuan paruh baya yang belum menikah dan tidak berniat menikah. Menurutnya, laki-laki itu aneh dan bau. Shoko iya-iya saja, tapi ternyata pernyataan laki-laki itu aneh dan bau melekat di belakang kepalanya.

Genggaman tangan dilepas. "Kamu tunggu di sini saja, aku yang beli," Suguru mengujar, nadanya seperti menitah tapi Shoko tidak keberatan, "mau nitip makanan?" tanya Suguru dengan sebelah tangan menahan pintu.

"Nggak. Rokok saja." balas Shoko sembari mendudukkan diri di teras depan toko. Tidak banyak yang melewati toko ini. Mungkin karena sekarang masih pukul sepuluh pagi dan semua orang masih berkutat dengan rutinitas masing-masing. Seharusnya Shoko juga menjalani rutinitas sebagai murid SMA. Tapi kebetulan Yaga-sensei sedang ada urusan mendesak, jadilah kelas ditiadakan.

"Kamu satu sekolah denganku, ya?" Shoko menoleh, ada figur laki-laki berambut putih dengan penutup mata hitam sedang membungkuk di sampingnya. Di tangannya ada dua kantong plastik besar yang isinya menyembul keluar. Roti melon, kikufuku mochi, susu kotak, permen, dan banyak lagi. Yang Shoko terka semuanya makanan manis.

Sebelum sempat Shoko menanggapi, laki-laki itu menempatkan satu bungkus roti melon ke pangkuannya. "Belanjaanku terlalu banyak, jadi itu buat kamu saja. Dimakan ya. Kamu terlihat sebentar lagi pingsan."

Laki-laki itu melenggang pergi. Menyisakan Shoko yang tercenung sendiri. Buru-buru ia ambil kaca kecil dari dalam saku, melihat bayangannya. Kantung mata hitam yang semakin tebal, pipi tirus, dan bibir kering. Pantas saja laki-laki itu beranggapan demikian.

"Cantik, kok," Itu suara Suguru. Langkahnya mendekat dan berhenti tepat di sebelahnya. Ada satu kantung plastik ukuran sedang di tangannya. Suguru melirik roti melon yang berada di pangkuan si gadis. "Pasti ulah si Satoru, ya?"

Satoru.

Shoko mengerutkan alis mendengar nama itu. Ia tidak pernah mendengar orang dengan nama itu di sekolahnya. Atau mungkin dia yang tidak tahu. Atau mungkin ia yang terlalu abai dengan sekitar.

"Dia tingkat yang sama dengan kita. Tapi jarang di kelas. Aku lumayan kenal."

Shoko tidak bertanya lebih jauh. Tidak ingin tahu juga tentang si Satoru itu. Yang pasti laki-laki itu termasuk ke dalam kategori aneh—menurut Shoko. Dan mungkin kalau ia bercerita kepada bibi penjaga toko, perempuan paruh baya itu juga akan beranggapan demikian.

Mulanya Ieiri Shoko dan Suguru Geto.

Kemudian Satoru Gojo datang di tengah-tengah mereka berdua. Suguru mengenalkan Shoko pada Satoru Gojo. Laki-laki dengan penutup mata yang memberikan roti melon tempo hari. Hari ini tidak pakai penutup mata, tapi pakai kacamata hitam. Shoko dapat melihat sedikit mata Satoru Gojo dari samping. Warnanya biru jernih seperti langit dan bulu matanya panjang. Mata kamu cantik, sudah ada di ujung lidah tapi tidak ia katakan. Takut laki-laki itu kurang suka kalau menyinggung soal matanya. Satoru Gojo terkenal sebagai pemilik Six Eyes. Yang dipuja tapi juga ditakuti. Itulah yang diceritakan Suguru tempo hari saat mereka mencoba rokok dengan perpaduan rasa anggur dan mint.

Satoru Gojo datang dengan banyak makanan manis. Shoko tidak terlalu suka, ia jauh lebih suka rokok dibandingkan makanan manis. Bahkan jika di dunia ini makanan terakhir adalah makanan manis, Shoko lebih memilih mati dibandingkan memakan makanan manis. Tapi Satoru Gojo selalu punya caranya sendiri supaya Shoko mau makan makanan yang dibawanya. Terkadang ia memasang wajah manis seperti anak kucing meminta Shoko dan Suguru memakan mochi yang dibeli dari toko langganannya. Terkadang Satoru menipu Shoko dengan permen berbentuk lipstik. Terkadang laki-laki itu juga menyelipkan permen bentuk rokok ke dalam kotak rokoknya.

Satoru hampir selalu menghampiri Shoko dalam keadaan rapi dan harum. Meskipun menurut Shoko, Satoru itu aneh. Tetapi, Satoru akan mengajaknya berbicara tentang apa saja. Tentang sarapan yang dimakan, membuat Shoko bertaruh mengenai makan siang di kantin, tentang kutukan yang ditemuinya, bahkan tentang kikufuku mochi dari toko langganannya yang seringkali habis.

Terkadang Satoru mengungkapkan rencananya untuk menjahili Kiyotaka Ijichi. Atau mengganggu Nanami Kento. Terkadang ia juga mengajak Suguru Geto membolos yang hampir selalu dituruti oleh Suguru. Atau mengajak Shoko dan Suguru menyelinap keluar dari asrama dan memburu kutukan. Atau hanya mengajak mereka berkeliling menyusuri kota menikmati angin malam.

Seperti sekarang.

Satoru berada di depan mobil pikap hitam entah milik siapa. Mungkin milik keluarganya karena sejauh yang Shoko tahu dari Suguru, Satoru berasal dari keluarga kaya. Kalau kaya kenapa jadi penyihir, Shoko bertanya pada Suguru yang hanya dibalas gelengan kepala.

"Ayo naik!" seru Satoru dengan nada riang seperti biasa. Suguru mendengus tapi akhirnya naik juga. Begitu pula dengan Shoko.

"Memangnya siapa di sini yang punya SIM?" Shoko bertanya.

Satoru menoleh. "Nggak ada dan nggak perlu juga," laki-laki itu menjulurkan tangan, mengusak puncak kepala si gadis berambut cokelat di sampingnya, "Nggak usah takut. Suguru yang menyetir. Dia lumayan mahir."

Lumayan mahir.

Shoko mengambil rokok dari saku, menyelipkan rokok diantara kaitan jari-jari kedua tangan. Itu adalah kebiasaan Shoko lakukan ketika mengalami situasi menekan. Tapi kalau dipikir kembali, lebih baik mati karena kecelakaan daripada mati dimakan kutukan.

Lagipula banyak yang ia lewatkan setelah memutuskan menjadi penyihir. Tidak ada kencan buta. Tidak banyak teman-teman perempuan yang bisa diajak berbelanja. Tidak bisa karaoke sepulang sekolah karena lebih sering diisi dengan menuntaskan misi dan berlatih.

"Sebentar," Suguru merogoh rokok dari dalam saku, menoleh kepadanya, "kamu punya pemantik?"

"Ada, kok. Aku selalu bawa."

Suguru mengibaskan tangan—mengisyaratkan dirinya untuk mendekat. Shoko menyelipkan rokok di bibir dan mencondongkan tubuh. Pemantik di tangan kanan sudah siap untuk dinyalakan.

"Aku saja!" seru Satoru yang berada di tengah-tengah mereka. Shoko menyerahkan pemantik kepada si laki-laki berambut putih. Membiarkan lelaki itu menempatkan pemantik di antara dua ujung batang rokok yang saling bersentuhan.

Shoko tak akan pernah melupakan ketika ia melihat mata Suguru menyala. Dibara api yang membayang dari pemantik yang dinyalakan Satoru. Suguru tersenyum tipis yang disusul oleh tawa lepas Satoru. Aku seperti orang ketiga, seloroh Satoru dengan nada agak mengeluh.

Shoko menarik tubuhnya, melemparkan punggung pada jok mobil yang terlampau keras. Ia menarik tuas jendela, membuka kaca lebar-lebar. Membiarkan semilir angin malam saling berlomba memenuhi mobil yang terlampau sempit untuk mereka bertiga.

Satoru merogoh ransel hitam yang berada di antara kedua kakinya. Menarik keluar jaket warna biru tua dari dalam sana.

"Pakai ini," Satoru menyodorkan jaket miliknya kepada Shoko. Yang mungkin tak akan pernah luput dari kepala Ieiri Shoko. Ia menurut saja, toh, tidak ada salahnya. Jaket Satoru terlalu besar untuknya, ia seperti tenggelam di dalam jaket itu.

Shoko memberengut tak suka sedangkan Satoru dan Suguru sibuk tertawa. Si bodoh Satoru itu malah sempat-sempatnya memotret menggunakan ponsel.

"Jangan memberengut begitu, nanti cantiknya hilang," ujar Satoru sembari mencolek dagunya.

Suguru hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat mereka berdua.

Destinasi pertama mereka adalah minimarket kecil yang dijaga oleh seorang kakek tua. Minimarket itu bahkan berpendingin, hanya ada kipas tua penuh debu berputar pelan di langit-langit.

Mereka memborong segala hal yang mereka bisa; tiga cup ramen instan, dua kaleng bir beralkohol, satu botol teh gandum dingin, tiga bungkus mochi dan sebungkus rokok dengan perpaduan rasa anggur dan mint. Kemudian mereka menyeduh dan memakan ramen instan di emperan toko. Diselingi satu-dua percakapan tentang habis ini mau kemana dan sisanya lebih banyak diisi suara seruput.

Shoko yang pertama kali menandaskan ramennya. "Aku mau duduk di belakang."

Satoru dan Suguru mengangguk saja.

Hal selanjutnya ketika ramen dan bir telah dihabiskan adalah Shoko duduk di belakang bersama Satoru. Kalau kamu sendirian nanti mati konyol, begitu katanya. Shoko tidak keberatan. Lagipula mungkin memang alkohol sudah mengaliri tubuhnya. Badan dan wajahnya terasa hangat.

Shoko merebahkan tubuhnya pada permukaan bak mobil yang keras. Satoru melayangkan protes, hei nanti kotor!, tapi tidak ia gubris. Satoru juga tidak bersusah payah menariknya untuk bangkit dari sana. Yang ada malah lelaki jangkung itu turut merebahkan dirinya di samping Shoko.

Satoru mulai berceloteh tentang cuaca hari ini yang sesuai dengan prediksi, dilanjutkan dengan bagaimana misi hari ini diselesaikan, betapa cantiknya bintang di malam hari ini, dan mimpi-mimpinya. Shoko hanya diam mendengarkan dan menanggapi seperlunya. Ia lebih suka mendengar dibandingkan berbicara. Ia lebih suka mendengarkan orang lain menceritakan tentang mimpi-mimpinya dibandingkan ia harus bercerita tentang mimpinya. Mimpi. Cita-cita. Shoko belum terpikir sampai ke sana. Ia hanya ingin lulus, menjadi penyihir biasa—yang tidak lemah atau kuat, dan punya banyak uang supaya bisa mencicip segala jenis minuman beralkohol yang ada di seluruh penjuru dunia. Bukan cita-cita yang mulia seperti Suguru Geto atau penuh ambisi seperti Satoru Gojo. Bisa menua saja sudah syukur karena penyihir biasanya mati muda. Entah mati di tangan kutukan atau penyihir lain yang lebih kuat. Makanya Shoko ingin menjadi penyihir biasa saja—supaya bisa mati karena sudah tua.

"Apa mimpimu, Shoko?" tanya Satoru sembari menolehkan kepalanya. Mata birunya berkilauan terkena sinar lampu jalan. Sebelah tangannya meraih rambut Shoko, memilinnya perlahan.

"Aku mau mati karena sudah tua, menjadi penyihir biasa, dan punya banyak uang," jemarinya meraih permukaan punggung tangan Satoru yang sedang sibuk memilin rambutnya, "mungkin menjadi dokter merangkap penyihir. Supaya bisa hidup dalam bayang-bayang dan punya banyak uang."

Satoru tertawa lepas. "Kalau begitu jangan mati. Dan jangan biarkan salah satu dari kami mati."

"Tentu saja."

Laki-laki itu bau dan aneh tiba-tiba terbesit di kepala. Tapi Shoko tidak lagi peduli. Suguru tidak aneh tapi terkadang bau kutukan. Satoru wangi tapi dia aneh. Membiarkan dirinya berada di antara laki-laki yang aneh dan bau ternyata bukan hal buruk juga. Malah menyenangkan karena dua laki-laki itu memberi warna baru bagi hidupnya yang kelabu. Di masa depan, Shoko bisa membayangkan dirinya mengobati kedua laki-laki aneh dan bau itu. [ ]

fin

a/n: cinta matiku sashisu. semoga kalian suka!