William menguatkan diri untuk tidak gemetar di hadapan Stevens.
Dalam sekali sentuh, lelaki itu langsung tahu kalau permintaannya dikabulkan. Surat di tangannya, yang lebih berharga ketimbang total aset keluarganya, sedikit lebih berat sekian miligram. Permukaannya sedikit menonjol tak rata. Seperti dirinya saat ini.
Setelah Stevens undur diri dari ruang kerja, dengan kilat tangan William yang bebas menyambar pisau amplop. Membukanya. Mengambil isinya.
Terdapat dua benda di dalam amplop tersebut. Secarik surat singkat dan sepotong rambut tercintanya yang dibungkus kertas sobekan nota belanja. Rambut coklat gelap dari Emma terjalin rapi dalam kepangan kecil, kedua ujungnya diamankan oleh tali sama gelapnya.
Sejenak, William berdiam mengagumi keindahan rambut itu. Di mata orang lain, mungkin terlihat sedikit kasar karena tak pernah terawat oleh minyak esensial atau parfum mewah. Tetapi William tidak peduli. Ini rambutnya Emma. Ratu di hatinya.
Tangannya otomatis membawa kepangan rambut berharga itu ke dekat hidung. Ingin tahu apakah harum wanita terindah itu masih sama seperti waktu William mencumbu Emma setelah empat purnama tak bersua.
Darahnya bergelora hebat.
Tak ada wanita yang bisa menggugahnya seperti Emma.
Hanya dia. Emma.
William tak sabar untuk memasukkan rambut itu ke dalam jam sakunya. Supaya ia bisa membangun harap akan hari dimana ia bisa mencintai si pemilik rambut sepuas-puasnya.
