BoBoiBoy © Monsta
Keping Kisah Asmaradana © Roux Marlet
The author gained no material profit from this work of fiction.
Alternate Universe, Historical, Family, Spiritual
#Octoberabble Day 3: Dawn
Bab 3: Harapan
.
.
.
.
.
Yogyakarta, 1899.
.
Mawais melayangkan pandang ke laut lepas sambil menghela napas. Satu malam hampir berlalu dengan pencarian yang nihil. Sang putra mahkota Kesultanan Yogyakarta bersin dua kali; belum pernah dia begadang semalam suntuk di atas perahu menghadang angin selatan macam begini.
"Sebaiknya kita kembali, Tuanku." Salah satu abdi dalem berkata, sementara yang lain menyelubungi bahunya dengan selimut. Langit masih hitam bertabur kelap-kelip bintang di atas sana.
"Tidak. Sampai Duri kutemukan, aku tidak akan pulang," balas Mawais bersikukuh, tak lupa menggumamkan terima kasih pada yang memberinya kain penghangat barusan.
"Kita sudah memutari seluruh pantai dari ujung ke ujung, Tuanku," keluh bawahannya yang lain.
"Saat azan Subuh nanti, kita menepi," titah putra pertama Sultan Balakung itu. "Kalian tukar jaga dengan regu yang lain. Aku akan berlayar lagi."
"Tuanku juga perlukan istirahat."
"Aku mau temukan anakku."
Semua abdi dalem tahu bahwa Gusti Pangeran Harya Mawais Amarta Husada adalah seorang yang keras pendiriannya. Salah satu putra kembarnya yang baru berumur tujuh tahun hanyut terseret ombak, kemarin siang. Tak ada ayah yang tak akan khawatir dalam kondisi begini. Namun, Mawais bahkan tidak menyentuh makanan dan minuman sejak Magrib kemarin. Memejamkan mata barang sejenak pun tidak.
Sang Pangeran seolah sedang bermati raga demi putranya kembali.
"Duri, Duri … kembalilah. Ayah akan lakukan apa pun agar kau bisa pulang."
Saat akhirnya azan Subuh berkumandang dari perkampungan nelayan terdekat dan perahu pencarian mereka menepi ke pantai, Mawais merasakan satu tiupan angin yang begitu kencang menyapu wajahnya, membuat rambut dan janggutnya yang lebat berkibar-kibar. Mawais memandang kembali ke arah laut. Semburat jingga di cakrawala telah tampak sedikit. Sampai perahu mereka benar-benar berlabuh, Mawais tidak melepaskan pandangannya dari kejauhan.
Dalam salat Subuh, Mawais kembali bernazar dalam hatinya. Dia akan menjaga anak-anaknya baik-baik, tak akan lagi dia teledor dan memberi celah bagi kejadian serupa ini. Memang benar pepatah yang berkata bahwa anak-anak adalah titipan Allah. Apabila Allah memang menghendaki anaknya hanya satu saja, Ais, maka itu cukuplah baginya. Namun, sebagai manusia, Mawais tetap memohon pada Sang Pencipta. Duri, putra bungsunya, baru berumur tujuh tahun; masih panjang perjalanannya di dunia yang fana ini. Mawais bahkan rela jika dirinya harus mati, asalkan Duri bisa selamat. Itu tidak berlebihan.
Namun, apabila Allah berkehendak lain, dan Duri memang harus direlakannya untuk pergi … apa pun kehendak-Nya, Mawais akan menerimanya.
Fajar menyingsing, cahaya mentari mulai merayap naik. Secercah harapan terbit di hati Mawais kala dilihatnya sekelebat bayangan perahu yang berlayar lambat di cakrawala.
"DURI!"
.
.
.
.
.
Catatan Penulis:
Ini kisah pencarian Duri yang hanyut di laut selatan, dari sudut pandang bapaknya :")
Terlambat update karena kesibukan dan ada event juga di sebelah, hoho /plak
Akhir kata … terima kasih sudah membaca!
[14 Oktober 2023]
