Ginny fucking Weasley mengutuknya. Sialan. Sialan.

Ia dapat merasakan sakit di seluruh tubuhnya saat ia membuka mata: dadanya seperti habis dibelah, kepalanya seperti habis terhantam sesuatu yang keras, tulang punggungnya seakan patah lalu disambung kembali. Semua terjadi karena Ginny Weasley. Kutukan apa yang digunakannya sampai bisa membuat tubuhnya sakit seperti ini?

Gadis itu lebih mengesalkan dari yang ia duga. Hanya karena tidak terima dikalahkan oleh Draco, dia memancing amarahnya, mengoceh dan menghina masa lalunya. Jika Draco tidak dalam perjalanan untuk detensi bersama Hermione, ia akan meladeni gadis gila itu. Ia tidak ingin membuang waktunya karena ia harus menunggu satu minggu untuk bisa bersama Hermione lagi. Tapi, gadis sialan itu malah mengutuknya saat Draco mengacuhkannya.

Ia tidak ingat kejadian setelah itu. Yang ia tahu, ia terbangun dengan rasa sakit yang amat sangat dan terbaring di salah satu ranjang pasien di Hospital Wings.

Ia tidak tahu saat ini sudah pukul berapa tapi ia dapat melihat semburat sinar matahari yang masuk dari celah jendela. Ia sudah pasti akan melewatkan pelajaran hari ini dan jika keberuntungan tidak ada padanya, ia akan melewatkannya untuk beberapa hari ke depan.

Tidak ingin mengasihani dirinya sendiri, dengan susah payah Draco membenarkan posisinya dan duduk bersandar dengan bantal di punggungnya. Rasa sakitnya luar biasa. Kutukan apa yang digunakan si jalang sampai membuat Draco merasa seperti ini? Aneh sekali, ramuan Madam Pomfrey biasanya bekerja cepat dalam waktu semalam.

Ngomong-ngomong tentang Madam Pomfrey, kenapa patron rumah sakit itu belum mengunjunginya? Selain karena rasa sakit di tubuhnya, ia juga lapar. Ia melewatkan makan malam dan sarapan, tidak heran jika perutnya berbunyi seakan ia tidak makan berhari-hari.

Draco akhirnya memutuskan untuk turun dari ranjang dan mencari Madam Pomfrey, tapi saat kakinya menyentuh lantai batu rumah sakit, rasa dingin menjalar dari telapak kaki ke seluruh tubuhnya. Ia spontan mengerang serta mengumpat. Bodoh sekali, Draco Malfoy, bodoh sekali. Tidak ada orang pintar yang menyentuh lantai batu dingin di tengah musim dingin dengan kaki telanjang.

"Oh, kau sudah sadar."

Madam Pomfrey yang tiba-tiba datang, dengan ekspresi lega dan menyenangkan, membuat Draco bergerak cepat, memutar tubuhnya seakan ia sehat. Ia keliru mengambil tindakan dan mengakibatkan dada serta punggungnya sakit seperti terhunus belati.

"Kau masih tidak boleh bangun, Mr Malfoy," kata Madam Pomfrey seraya membantu Draco duduk dan bersandar kembali.

"Apa yang terjadi padaku?" tanya Draco.

"Kutukan Miss Weasley membuat luka Sectumsempra-mu kembali terbuka, Mr Malfoy."

"Apa?" Draco langsung menyentuh dadanya yang dilapisi perban. Ia makin penasaran kutukan apa yang digunakannya. "Profesor Snape bilang luka itu sudah sembuh," tambah Draco.

"Memang," jawab Madam Pomfrey. "Tapi, kutukan Miss Weasley memberikan reaksi buruk pada bekas lukamu. Asal kau tahu, kami harus membawa lukisan Severus ke sini semalam. Kau sekarat, Mr Malfoy."

Tidak mungkin. Draco tidak ingin memercayai ucapan Madam Pomfrey.

"Kami berpikir kau tidak akan bangun dalam 2 atau 3 hari namun dalam semalam, kau sudah bangun. Ramuan yang diberikan padamu bekerja luar biasa cepat."

"Yeah, tapi aku merasa sekujur tubuhku sakit sekali, Madam Pomfrey."

"Mungkin karena kau sadar terlalu cepat. Jika kau sadar 2 hari kemudian, kau akan merasa sehat seperti tidak pernah merasakan sakit."

"Apa kepala sekolah sudah memberitahu ibuku?" tanya Draco. Tapi kemudian, ia merasa bodoh. Seharusnya ia tidak perlu bertanya. Sekali pun ibunya diberitahu, ibunya tetap tidak akan bisa mengunjunginya.

Madam Pomfrey pun mengangguk tapi terlihat tidak ingin mengatakan apa pun. Draco pun mengerti dan tidak memberikan pertanyaan lain. Tak lama setelah Madam Pomfrey pergi, healer lainnya datang dan memberikan Draco sarapan. Ia makan dengan tenang dan meminum ramuan yang diberikan. Tak lama, ia kembali tertidur. Ia sungguh berharap rasa sakit ditubuhnya akan segera menghilang.

.

Draco kembali bangun dengan rasa sakit yang hampir menghilang. Ia kembali memandang jendela dan melihat sinar matahari sudah perlahan menghilang. Ia tidak tahu berapa lama ia tertidur. Bisa saja beberapa jam atau lebih lama dan bangun di hari berikutnya. Ia ingin turun untuk mencari tahu saat ini pukul berapa tapi langsung mengurungkan niatnya karena tidak ingin merasakan sensasi dingin yang menusuk kakinya lagi.

Ia membenarkan posisinya, duduk bersila di atas kasur. Ia memutar kepalanya, mencari tongkat yang ternyata berada di atas nakas di samping seikat bunga pansy. Draco tersenyum melihatnya. Pansy pasti datang menjenguknya. Hanya dia satu-satunya teman wanitanya yang bisa menyihir bunga menjadi mekar di musim dingin.

Ia masih berpikir mengenai siapa saja yang datang mengunjunginya saat ia melihat ada bayangan wanita di balik tirai. Ia mengenali bayangan itu tapi agar lebih yakin, ia bertanya, "Siapa di situ?"

Tirai terbuka dan tebakan Draco benar. Dia Hermione.

"Kenapa kau mengendap-endap di sana, Granger?"

"Aku tidak mengendap-endap," Hermione membela dirinya lalu menarik kursi dan duduk. "Bagaimana keadaanmu?" b

"Tidak baik," jawab Draco jujur. Rasa sakit memang sudah berkurang tapi tidak benar-benar pergi. Ia juga tidak berniat untuk berbohong mengenai rasa sakitnya. Bukan karena ia ingin mendapatkan simpati dari Hermione tapi karena ia ingin gadis itu tahu perbuatan temannya amat berbahaya. "Ngomong-ngomong, ini tanggal berapa?"

Hermione mengerutkan dahi, bingung karena pertanyaan aneh Draco. "Kutukan Ginny mengenai dadamu, kan? Bukan kepala? Kenapa kau bertanya ini tanggal berapa?"

"Jawab saja, Granger."

"16 November."

Draco menghela lega. Ia bangun di hari yang sama.

"Kenapa kau tiba-tiba bertanya hari?"

Ia pun menjelaskan pada Hermione penjelasan yang diberikan Madam Pomfrey tadi pagi. Seperti biasa, gadis itu tidak pernah berhenti berpikir jadi dia terus memberikan pertanyaan yang membuat Draco kesal.

"Kau seharusnya bertanya pada temanmu," cibir Draco saat Hermione mulai bertanya apa yang dilakukannya sampai membuat Ginny mengutuknya.

"Aku belum bertemu dengannya lagi," balas Hermione.

Draco ingin sekali bertanya tapi ia tidak ingin membicarakan Weasley. Tapi, ia tidak bisa. Ia ingin membicarakan Weasley atau lebih tepatnya ia ingin mengatai Weasley.

"Kau hebat sekali berteman dengan orang sepertinya."

"Dia tidak seburuk itu."

"Kau masih membelanya?" seru Draco tidak percaya.

"Aku tidak membelanya. Yang Ginny lakukan memang salah tapi dia bukan orang jahat. Dia mungkin sedang kesal jadinya bertindak di luar batas."

"Tidak peduli dia kesal atau tidak. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku menghiraukannya dan dia menyerangku. Dia seharus mendapatkan hukuman yang setimpal."

"Dia mendapatkan detensi sampai tahun ajaran berakhir dari Kepala Sekolah."

"Hanya itu?" tanya Draco berang.

"Memangnya dia harus mendapatkan hukuman apa lagi?"

"Aku tidak tahu," Draco semakin kesal. "Kepala Sekolah seharusnya memecat dia dan mengganti kapten tim quiddtich asramamu."

"Well, kupikir detensi selama setahun lebih buruk dari pada dicopot jabatannya."

"Dia melakukan itu tanpa sebab Granger. Jika memang dia kesal karena hal lain, kenapa harus aku yang diserangnya?"

"Kau yakin kalau kau tidak mengkonfrontasinya?"

"Kau masih berpikir aku yang memulainya?"

"Tidak, aku hanya –"

"Jika kau berpikir aku yang memulainya dan alasan kau ke sini bukan karena kau peduli padaku, lebih baik kau pergi saja."

Ekspresi lembut Hermione menghilang. Gadis itu terkejut dan tampak ketakutan. Ucapannya telah menyakiti hati Hermione. Ia ingin menarik ucapannya tapi sudah terlambat. Draco langsung merasa bersalah lalu buru-buru menggenggam tangan Hermione. Gadis itu berusaha keras melepaskannya tapi Draco masih jauh lebih kuat.

"Maafkan aku," ucap Draco tulus. "Jangan pergi."

Hermione menatapnya galak tapi masih ada semburat kesedihan di sana.

"Jika aku tidak peduli padamu, aku tidak akan datang ke sini," ujar Hermione dingin. Draco dapat merasakan itu karena dadanya kini jauh lebih sakit. Ia menggenggam erat tangan Hermione. Ia ingin Hermione tahu kalau ia merasa bersalah. Ia tidak ingin Hermione pergi.

"Aku hanya memastikan kalau kau memang tidak mengonfrontasinya. Jika ada satu indikasi saja kau yang memulainya, kau juga akan mendapatkan hukuman."

Draco pun menggeleng. "Aku tidak memulainya. Aku bersumpah padamu."

Tangan Hermione di genggamannya membuat tubuhnya perlahan menghangat. Ia menutup mata lalu membukanya diikuti dengan helaan napas. "Aku berpapasan dengannya saat akan menuju Ruang Piala. Aku terlalu senang karena bisa bertemu dan menghabiskan waktu berdua denganmu. Aku tidak akan sadar berpapasan dengannya jika dia tidak meneriakiku dengan kata-kata yang tidak pantas. Well, mungkin aku pantas mendapatkannya tapi jika memang dia kesal padaku karena pertandingan Quidditch, dia tidak seharusnya memanggilku Pelahap Maut."

"Maafkan aku," ucap Hermione simpati. Ekspresinya kini melembut.

"Kau tidak perlu minta maaf, Granger. Kau tidak melakukan kesahalan. Weasley lah yang harus meminta maaf padaku."

"Aku bisa berbicara padanya agar dia meminta maaf padaku."

"Kau tidak perlau melakukan itu. Jika dia memang merasa bersalah, dia akan melakukannya tanpa interferensi orang lain, termasuk kau, sahabatnya sendiri," kata Draco. perlahan ia melepaskan genggaman tangannya lalu kembali memperhatikan cahaya matahari yang mulai menghilang. "Sepertinya orang-orang tidak akan pernah bisa berhenti memandangku sebagai Pelahap Maut."

Ia kembali menatap Hermione dan memaksakan diri untuk tersenyum. "Weasley mungkin hanya salah satu dari banyak orang yang tidak terima dengan kondisiku saat ini. dia mungkin hanya menunggu waktu yang tepat untuk meluapkan semuanya. Aku mungkin juga sedikit beruntung karena tidak semua orang mempunyai keberanian sepertinya."

Hermione tidak memberikan respons, hanya menerawang dengan kesedihan kembali menyelimuti mata hazelnya.

"Percayalah padaku," pinta Draco, sedikit memohon. Rasanya sakit mengatakan hal tersebut pada Hermione tapi, saat ini, ia tidak peduli dengan pikiran orang terhadapnya asalkan gadis ini tetap melihatnya seperti ini. Ia sungguh tidak peduli jika seluruh orang masih menganggapnya Pelahap Maut selama Hermione tidak beranggapan yang sama. "Percayalah padaku kalau aku tidak mengonfrontasinya. Aku akan melakukan apa pun agar kau percaya padaku."

Sebulir air mata jatuh membasahi pipinya seraya Hermione mengambil tangan Draco dan mengelusnya lembut. Dia mengangguk pelan lalu berkata, "Aku percaya padamu, Draco."