nenek

emma © kaoru mori

saya tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini

note. future fic (around late 1930s). grandma!emma and her OCs family

.

.

.

.

Jemari Emma dengan terampil mengolah benang di tangan menjadi sulaman. Kali ini, ia mempelajari pola art deco dari buku referensi pola yang dibelikan putrinya dua minggu yang lalu. Untuk mengisi waktu sunyi, katanya sembari menyerahkan buku referensi pola yang berbalut bingkisan kertas motif renda.

Emma cukup jeli untuk melihat kertas bingkisan kado dari anaknya itu bermotif serupa dengan sapu tangan berharganya.

"Nenek, ini dibacanya angka 5 atau huruf S?" suara mungil sang cucu mengalihkan perhatian Emma. Ia berdiri dekat dengan posisi neneknya yang sedang duduk nyaman. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut dari belakang punggung keduanya, menyusup masuk dari pintu jendela yang terbuka lebar.

Wanita tua itu meletakkan alat sulamannya ke coffee table terdekat, membuka kesempatan bagi sang cucu mendekatinya. Sosok mungil itu menyodorkan novel The Prisoner of Zenda edisi pertama yang terbuka lebar, persis di depan muka. Mungkin karena kelewat semangat atau putus asa ingin segera dibantu.

Emma memutuskan untuk mengambil alih novel itu ke tangannya. Tubuhnya bergerak di tempat, mengatur jarak pandang antara lembar buku itu dan kedua matanya agar nyaman dibaca.

Tak hanya sang wanita tua yang mencari posisi nyaman; sang cucu juga mencarinya dengan langsung mendaki sofa tempat Emma duduk, lalu merangkak mendekati neneknya. Melihat buku bacaannya terbuka lebar di hadapan sang nenek, ia menunjukkan satu paragraf yang terlihat buram di matanya.

"Oh, ini huruf S, Nak."

Sang cucu terlihat tak yakin, kedua matanya yang hijau segar memicing tak percaya. "Terlihat seperti angka 5. Apakah karena tintanya pudar?"

Kekehan lirih lolos dari bibir Nenek, "Di mata Nenek, cetakan buku ini masih terlihat baru, padahal terbitan tahun 1894."

"Wow, sudah lama sekali," bibir sang cucu mengerucut, masih bergumul batin dengan dilema huruf S atau angka 5 yang masih menjadi pertanyaan. Tangan kanannya mengucek-ucek mata, berharap polos kalau tindakannya akan mengenyahkan keburaman di mata seperti menghapus embun yang menempel di jendela.

Gerakan tersebut tak luput dari perhatian Emma.

"Mina, coba pakai kacamata Nenek."

Tawaran itu membuat sang cucu, Mina, kaget bukan kepalang.

"Tapi, Nenek, masa aku sudah pakai kacamata? Aku tidak setua Nenek," Mina sedikit berseru, tak percaya dengan usulan neneknya. Kepalanya menoleh bingung, mengikuti posisi neneknya yang berdiri meninggalkannya. Rupanya, Emma hendak mengambil sapu tangan berharganya yang tersimpan di laci meja tulis.

Mina menyaksikan bagaimana sang nenek, Nyonya Besar Jones terdahulu, melepas kacamata yang dikenakan dengan keanggunan yang tiada tanding. Gadis kecil itu teringat akan perkataan ayahnya dulu, yang selalu berdoa agar putrinya mewarisi sisi anggun Emma yang luar biasa.

Perhatian Mina tetap terfokus pada neneknya yang kini membersihkan lensa kacamata dengan sapu tangan itu. Gerakan sang nenek begitu hati-hati bagaikan membersihkan perhiasan pusaka keluarga yang berharga.

Setelah dirasa bersih, Emma melipat kembali sapu tangan itu dan mengembalikannya ke dalam laci meja tulis. Dalam sekejap, sang nenek telah kembali ke sisi Mina. Gagang kacamata milik Emma terbuka lebar, siap untuk diuji coba.

"Cobalah dulu."

Mau tak mau, Mina pun menurut.

Perlahan, sang nenek mengenakan kacamata itu untuk cucunya. Tentu saja ukuran kacamata itu terlalu besar untuk Mina. Selain itu, Emma juga yakin kalau preskripsi miliknya dan milik Mina akan berbeda cukup signifikan. Tapi, itu bukan masalah.

Mengingat Mina adalah cucunya. Sang cucu mungkin memiliki rambut pirang cerah dan bermata hijau yang sangat berkilau, tetapi Emma yakin kalau darahnya juga mengalir pada anak itu.

"Pegang gagangnya hati-hati. Kalau sudah, coba baca lagi paragraf tadi," bimbing Emma.

Mina mematuhi perkataan neneknya, kembali membaca paragraf di The Prisoner of Zenda dengan alat bantu baca menggantung di wajahnya. Sensasi menusuk sekaligus tercerahkan membulatkan kedua mata hijaunya. Mina belum pernah merasakan kedua hal itu sebelumnya.

"Nenek, aku bisa baca huruf S-nya, tapi aku juga pusing. Apakah aku sedang sakit?"

Kepolosan Mina dalam tanyanya membuat Emma tertawa. Suara soprano itu begitu menentramkan hati.

"Ah, Nenek akhirnya tertawa. Ayah, akhirnya Nenek bisa tertawa!"

Giliran Emma yang kali ini terkejut. Sang wanita tua terdiam beberapa saat, tak mengindahkan kepindahan Mina yang berlari mendekati sosok ayahnya yang berdiri di ambang ruang keluarga. Emma juga seakan berada dalam gelembung dunianya sendiri karena ia tidak mendengarkan bagaimana putra sulungnya menegur lembut gadis kecil itu: Wilhemina, jangan mainan dengan kacamata Nenek!

Gelembung itu pecah saat sang putra memanggilnya. Sang cucu, Wilhemina, telah menghilang dari pandangan.

"Ibu, kami hendak minum teh di patio. Apakah Ibu ingin bergabung? Atau ingin tidur siang saja?"

Tawaran itu diberikan dengan hati-hati, seakan tak ingin membangun harapan lebih akan kehadiran sang ibu yang begitu rapuh akhir-akhir ini.

Bagaimana tidak? Emma menghabiskan hampir dua bulan mengenakan gaun berkabung. Sibuk mengurusi segala hal tentang pemakaman dan suksesi keluarga, hanya beristirahat saat tidur siang dan malam. Kesibukan untuk menutupi kesedihan, semua orang yang berjiwa peka sangat tahu tentang itu.

Emma mempertimbangkan tawaran putranya.

Sang putra merapatkan jarak sambil mengembalikan kacamata ibunya. Emma menerima dan mengenakan lagi kacamata itu sambil berucap, "Sepertinya Mina butuh kacamata. Jika boleh, Ibu ingin menemaninya ke optik."

Sang putra memandang paras ibunya yang begitu elok meski sudah berusia lebih dari setengah abad. Yang terpoles senyum lembut tulus yang sudah lama tidak ia saksikan.

"Aku menurut saja, Ibu. Kalau Ibu dan Wilhemina sudah siap, akan kubantu atur mobilnya."

Tangan kanan Emma meraih pipi putranya untuk mengelus penuh kasih. Sudah hampir dua bulan sang putra mengemban tanggung jawab baru dengan tabah. Namun, sang wanita tahu kalau putranya hanya menunda waktu untuk menuntaskan dukanya sendiri.

"Tidurlah sebentar, Doug. Biar Ibu yang mengurus sesi minum teh kali ini," pinta Emma penuh pengertian. Sang putra, Doug, menaikkan sebelah alisnya yang tebal nan tegas. Kedua mata sang putra mencari makna dan menemukan itu di kedalaman mata bijak ibunya.

"Terima kasih," suara Doug bergetar haru.

Emma membalas syukur putranya dengan sorot mata yang menguatkan. Sungguh sulit menerima kabar duka ini bagi semua orang, apalagi di tengah kondisi peperangan besar di depan mata. Tetapi, Emma telah mengucap sumpah tegar dalam suka dan duka di hadapan altar pernikahan. Wanita tua itu bertekad untuk memenuhi sumpah itu sampai akhir napasnya.

Setelah acara minum teh selesai, Emma berencana untuk memetik lima belas tangkai bunga mawar putih di taman. Ia akan menggunakan mawar petikannya untuk menghias makam suaminya.

.

.

.

.

.

note2. visual anak laki-laki sulungnya emma bisa dilihat di cover dvd s2 anime. untuk visual si cucu, bayangin aja aurelia versi 8 tahun.

note3. nama si cucu terinspirasi dari film dracula yang dibintangi gary oldman dan winona ryder. secara kebetulan, cocok banget untuk melanjutkan nama william dan wilhelm (wali nikahnya emma) di keluarga jones yang pro-jerman. untuk namanya si putra sulung, dengan baik hati aku menamainya douglas richard jones. ehe.