BoBoiBoy milik Animonsta Studios

Saya tidak menarik keuntungan materi apapun dari sini.

.

Untuk Event #Falltober Komunitas Edufiction BoBoiBoy

.

.

Hari 12

Rantai

.

.

"Abang."

Seorang kapten menoleh, kedua tangannya menggenggam banyak rantai kuasa energi. Napasnya memburu, sedang matanya tampak liar. Ia menatap tajam ke arah sumber suara, membuat sang empunya mundur ke belakang.

"Kaizo ... ?"

Sang kapten melirik ke sisi lain. Laksamana Maskamana, atau Pian, mengangkat kedua tangannya dalam isyarat menenangkan. Topengnya telah ia lepas, memperlihatkan gurat waspada dan penuh hati-hati. Ia memandang Kaizo seakan memandang hewan liar ketakutan yang sebentar lagi akan lepas kendali.

Kaizo rasa itu tak perlu. Ia kenal Pian, wali dirinya dan Fang itu. Mana mungkin ia menyerangnya tanpa provokasi?

"Kaizo, kau baik-baik saja?"

Sang kapten tak menjawab. Baik? Sudah lama ia tidak baik-baik saja. Kapan ia baik-baik saja? Hingga hari ini, ruang dirinya hanya ada amarah menderu-deru yang siap tumpah melumat segalanya, termasuk Fang tersayang.

"Abang ... ?"

Wajah Fang tampak sendu. Wajah Pian terlihat muram.

Kenapa? Batin Kaizo.

Pian melangkah mendekat, jemarinya dengan perlahan meraih tangan Kaizo. Satu demi satu ia melepaskan genggamannya pada rantai tenaga, membuatnya hilang menguap. Kaizo membiarkan walinya melakukan hal yang sama pada tangannya yang lain, ia baru menyadari betapa eratnya ia menggenggam ketika Pian mengurai jemarinya.

Pian menatapnya dengan sorot seribu dialog, tetapi tak berani ia bahasakan. Ia hanya menaruh kepala Kaizo pada pundaknya, seperti saat ia berusia 13 tahun. Namun kali ini, Kaizo bukan lagi anak kecil, ia bahkan lebih tinggi daripada walinya. Mengapa ia mendapat perlakuan ini lagi? Ada apa dengan Pian, ada apa dengan dirinya?

"Kaizo, mereka semua sudah mati. Sudah tak ada lagi ... " ujar Pian.

Kaizo tahu. Sedari lima menit yang lalu, bendungannya telah pecah dan mengalir habis meninggalkan cangkang kosong berkerak. Ia merasa kalah, walau ia menang. Ia merasa lelah luar biasa, walau ia masih kuat bertarung lagi. Sepatutnya, ia tertawa keras sekarang, tetapi ia beku. Ia bahkan tak mampu menjawab pertanyaan sederhana.

Seseorang dahulu berkata membalas dendam sering menyisakan rasa puas yang bernoda.

Mengapa? Bukankah mereka pantas mendapatkannya? Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum, orang-orang itu harus merasai buah dari kejahatannya.

Namun Kaizo melakukannya tidak karena rasa keadilan, bukan? Ia menghukum karena ia dendam. Ia menghukum bukan karena ingin menghentikan keburukan. Ia melampaui batas ketika ia meledakkan kuasanya tanpa kendali, mencambukkan rantai-rantainya hingga tercabik semuanya. Apakah ini setimpal dengan kejahatan mereka?

Hati kecilnya setuju, tetapi ia tak merasa seperti pemenang.

Kaizo membiarkan rambutnya diremas pelan oleh Pian, wajahnya terbenam pada baju zirah Maskmana. Sayup-sayup, ia mendengar jeritan seseorang, tetapi ia tak mengenal suaranya.

.

.

.

End.