BAB IV
Semilir angin berhembus lewati pepohonan. Ciptakan gemerisik suara daun yang bergesekan temani suara jangkrik di waktu malam ketika bulan purnama bersinar terang hiasi langit gelap. Malam telah larut ketika Ying Cheng menuang teh panas dari sebuah poci tua ke mangkuk keramik dengan bibir sedikit pecah dihadapannya. Tidak ada kata-kata terucap dari mulut sang pemuda kecuali tatapan matanya yang tertuju pada sebuah lilin besar di atas meja makan dan sebuah tarikan nafas.
Jujur, ia merasa lelah.
Akan tetapi, hasilnya sepadan.
Sosok tidak dikenal itu masih bisa diselamatkan. Tinggal perkara waktu dan kemauannya untuk bertahan yang menjadi soal. Apakah ia bisa kembali norma atau tidak itu urusan belakang. Pokoknya, jangan sampai wanita itu sebagai seorang tarkatan. Demikian isi pikirannya sekarang ketika pria berambut panjang itu meminum tehnya secara perlahan. Nikmati waktu sembari sesekali mendengar suara dengkuran Braan dan Qali yang sesekali terdengar dari arah kamar tidurnya.
Malam ini terasa begitu tenang.
Demikian adanya walaupun ia tahu bahwa saat ini ia bukan satu-satunya orang yang terjaga. Nyala lilin di meja tunjukkan keberadaan bayangan manusia tidak jauh dari tempatnya berada. Berdasarkan bentuk siluetnya, Ying Cheng sudah tahu siapa sosok itu sebenarnya. Agaknya perempuan pemilik bayangan itu baru saja membuka dua pintu kamar yang saling berhadapan. Satu pintu menuju kamar tempat perempuan misterius itu ditempatkan. Pintu lainnya menuju kearah tempat para bocah tertidur pulas.
"Kamu mau minum teh, Maya?"
Atas pertanyaan pria berambut hitam itu, Maya hanya menghela nafas. Didekatinya meja makan yang terbuat dari kayu usang. Tanpa menjawab, dirinya duduk pada bangku kosong yang setuju akan tawaran yang diberikan. Adapun jawaban itu dibalas dengan disodorkannya sebuah mangkuk kosong untuk diisi teh panas oleh sang pemuda.
Keheningan kembali hadir ditengah suasana karena kedua orang itu menikmati tehnya dalam diam. Abaikan udara dingin yang sesekali masuk dari celah dinding kayu usang seakan mengingatkan para penghuni akan betapa apa adanya kondisi rumah mereka tinggal. Agaknya keputusan untuk memberi selimut pada mereka yang terbaring di kamar sudah tepat untuk dilakukan.
"Terima kasih sudah membantuku hari ini." Pria itu berkata memecah kesunyian. Awali pembicaraan sambil menambah isi mangkuknya dengan minuman panas. Kedua matanya menatap lawan bicara yang hanya menyunggingkan senyum sebagai balasan.
"Braan tadi siang sudah menceritakan bagaimana kalian berdua bisa berakhir membawa orang itu pulang." Ujar Maya, "Aku senang, wanita itu setidaknya masih ada harapan. Tapi…."
"Apabila kamu bertanya apakah aku memikirkan risikonya? Aku minta maaf…."
"Bukan itu maksudku, Ying Cheng." Jawab gadis muda itu pada sosok didepannya, "Aku hanya ingin bertanya, apakah kamu sebenarnya mengenal dia?"
Mendengar pertanyaan dari wanita cantik berpakaian compang camping itu, Ying Cheng hanya terkesiap. Ada jeda selama beberapa saat sebelum akhirnya lelaki muda berambut panjang tersebut kembali mengajukan pertanyaan sambil tertawa.
"Apa maksudmu, Maya?"
"Selama proses tadi, aku sering melihatmu memperhatikan wajah, telinga, dan hiasan naga di pakaiannya." Kata wanita itu sambil menyesap sedikit minumannya, "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?"
Atas ucapan tersebut, lelaki berambut hitam itu hanya tertawa kecil dan meminum teh panasnya. Dalam pendar cahaya lilin penerangan, pria tersebut mengamati sosok wanita edenian dihadapannya yang tengah tersenyum memperhatikan dirinya.
"Kelihatan ya?"
"Aku mungkin baru tiga tahun menjadi adikmu," ucap Maya sambil menatap Ying Cheng dengan matanya yang besar, "Tapi tiga tahun bukan waktu yang sebentar."
Mendengar gadis berkulit agak gelap di hadapannya, lelaki itu kembali diam seribu bahasa. Perlahan, pandangannya beralih pada sebuah kotak usang panjang yang tersandar pada dinding rumah di dekat lemari penyimpanan obat. Ingatannya mulai menerawang ke belakang. Teringat dirinya akan punggung seorang wanita dewasa yang berdiri depannya ketika ia masih seorang anak kecil seusia Braan. Adapun sosok itu berpenampilan seperti layaknya seorang petarung yang mengenakan combat suit bewarna merah muda dengan ornamen logam di beberapa bagian. Rambutnya panjang terikat dengan hiasa kepala seperti cakar naga tetapi kedua pinggirannya habis dicukur memperlihatkan bentuk kepala. Bagian telinga perempuan itu tampak mengenakan anting model ear clip berbahan logam.
Sayang ia tidak dapat mengingat wajahnya.
Begitu juga dengan namanya.
Semuanya begitu buram. Kabur. Tidak jelas.
Angin malam kembali berhembus diluar. Suara gemerisik daun diatas dahan pepohonan disekitar rumah itu lagi-lagi iringi suasana malam. Ciptakan suasana syahdu ketika rembulan bersinar terang sesaat sebelum tertutup awan kecil yang melintas.
Kalimat "Sebenarnya aku juga tidak begitu yakin, Maya." terucap dari mulut sang pemuda sebagai jawaban.
-o0o-
Pagi hari telah datang, mentari telah datang gantikan bulan di angkasa. Reruntuhan bekas pemukiman itu tetap sepi seperti biasa. Tidak ada orang, binatangpun tidak melintas. Suasana Wulin tetap indah seperti biasa. Forest of Hidden Destiny tetap jauh dari peradaban. Namun, suara dan teriakan anak kecil yang sedang bermain pada halaman belakang sebuah rumah mengusik ketenangan dengan keceriaan. Berikan suasana kebebasan karena bangunan tersebut adalah satu-satunya rumah dengan penghuni didalamnya, terlepas dari kondisinya yang serba apa adanya, Begitu sederhana, begitu perlu perbaikan. Daun-daun kembali berguguran ditiup angin yang membelai pepohonan. Suara gemerisik kembali terdengar hadirkan ketenangan ditengah kekacauan ulah jenaka sang anak.
"Jangan jauh-jauh mainnya!" Teriak Maya dari dekat tungku dapur rumah di halaman belakang pada sosok Braan dan Qali yang tengah berlarian tidak jauh dari tempatnya berada. Diamatinya bubur yang tengah dimasak diatas kompor dengan seksama. Pastikan semuanya diproses dengan benar agar semua orang bisa berbahagia, kecuali seseorang yang sejak para bocah bangun dari tidurnya sudah tidak ada di rumah. Entah sejak kapan ia pergi keluar. Maya hanya tahu satu hal.
Ying Cheng tidak ada di rumah. Keberadaannya tiada di kamar yang sekarang digunakan pria itu untuk meletakkan sosok tak dikenal. Bangku kayu didalamnya telah kosong seolah tidak ada orang yang tidur semalam. Meja makan tempat mereka bercakap-cakap semalam pun kosong tanpa menunjukkan bekas digunakan sebagai tempat tidur darurat. Namun, gadis itu tahu benar hilangnya sosok tersebut bukan berarti sang pemuda lari meninggalkan.
Siang nanti pria bermata sipit itu pasti akan kembali ke rumah.
Lagipula masih ada orang yang perlu ia tolong di kamarnya.
Wanita tarkat misterius tersebut masih belum sadarkan diri hingga sekarang. Namun, keadaannya telah menunjukkan perbaikan. Semua lukanya sudah mendapatkan penanganan. Tubuhnya kemarin juga sudah dibersihkan walaupun pakaian lamanya terpaksa dibuka dengan cara dipotong karena alasan keselamatan. Maya sempat ragu dalam prosesnya karena ternyata pakaiannya tidak bisa digunakan untuk menutup badan perempuan tanpa kesadaran. Badan wanita edenian berkulit gelap itu lebih kecil dibandingkan pemilik luka panah. Untung dirinya masih ingat kalau Ying Cheng menyimpan pakaian di atas kotak kayu dekat meja makan. Ukurannya kebesaran tetapi masih lebih baik dibandingkan kata tiada. Adapun pakaian tersebut berupa sebuah hanfu kasar bewarna hitam polos dengan sebuah logo aneh dibagian dada.
"Kak, apakah kita boleh menjenguk kakak yang lagi tidur di kamarnya kak Ying Cheng?" Tanya Braan yang berlari mendekati Maya sambil diikuti oleh Qali dibelakangnya. Wajahnya tampak antusias. Namun, gadis itu hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya seraya mengambil mangkuk bubur didekatnya. Pertanda makan pagi akan segera disajikan.
"Duduklah kalian, makanan sudah siap."
"Kak Ying Cheng kemana, kak?" Qali bertanya menanyakan sosok yang menghilang sejak pagi datang.
"Entahlah, sepertinya dia ada urusan sebentar."
"Jangan-jangan dia pergi menangkap ikan sendirian!" Ujar Braan menduga-duga.
"Mungkin saja," ujar Maya seraya menghidangkan makanan sarapan di meja belakang, "Semoga dia pulang membawa ikan yang lebih banyak karena kamu nggak diajak."
"Ah! Kak Ying Cheng curang kalau begitu!"
Atas respon dari bocah lelaki tersebut, baik Maya dan Qali hanya tertawa.
Lagipula lebih baik mereka sibuk sendiri daripada memasuki ruangan berisi orang yang sedang dirawat dengan banyak jarum masih menancap di badan, mangkuk obat kosong pertanda habis diminumkan, beberapa bungkus obat yang sudah disiapkan untuk direbus waktu siang dan malam dengan sedikit catatan mengenai cara memasak. Namun, sosok pelaku merangkap penanggungjawab sedang entah pergi kemana.
-o0o-
"Kamu itu manusia! Bukan anjing!"
Suara seorang wanita dalam ingatan bangunkan kesadaran Ying Cheng yang sejak beberapa saat lalu tertidur diatas batu pada tepian sungai berarus deras. Buat dirinya melihat sejenak ke lingkungan sekitar sebelum akhirnya memegang kepala untuk redakan rasa kejut dan sakit kepala yang melanda. Agaknya pembicaraan dengan Maya semalam telah membangkitkan memori masa silam dari kehidupannya.
Padahal dua puluh lima tahun telah berselang sejak dirinya bertemu dengan wanita bersenjata sai itu di suatu area persawahan. Kala pria itu pertama kali melihat seorang perempuan dalam combat suit bewarna merah muda dengan sentuhan hitam dan ornamen logam tampil sebagai manusia pertama yang membela serta memandangnya sebagai manusia. Sayang pandangannya saat itu begitu buram karena banyaknya darah dan debu yang mengganggu penglihatannya.
Lagipula waktu kejadian ia masihlah seorang bocah tanpa daya maupun kemampuan. Meski demikian, melihat dari kondisinya sekarang, tidak jelas apakah dulu dan sekarang memberikan perbedaan kecuali usia, tinggi badan, serta kondisi tubuh yang terus berubah. Apakah semua itu menjadikan semuanya berbeda?
Aliran sungai yang mengalir membantunya meraih ruang kenyataan. Gemerisik dan guguran daun dari pepohonan seakan mengingatkan dirinya akan keberadaannya sekarang. Nafas Ying Cheng perlahan kembali normal. Dirinya kemudian kembali beranjak setelah sebelumnya menarik nafas panjang. Sedikit senyuman tampak tergurat pada bibirnya ketika ia lanjut berjalan dengan mengabaikan indahnya pemandangan yang ada.
Ia sadar bahwa keputusannya untuk menolong seorang wanita kemarin bukan semata-mata atas desakan Braan, melainkan ada bagian dari dirinya yang berharap sosok itu adalah wanita yang sama. Pemuda berparas oriental tersebut tahu jika hal itu adalah buah kenaifan belaka. Namun, keberatannya untuk membuang kemungkinan membuat dirinya tetap melakukan.
Dunia bisa luas tetapi bisa juga sempit pada saat yang sama. Jikalau dia bukan sosok yang sama, mungkin wanita tarkat itu juga memiliki seorang saudara wanita berpakaian biru dengan ornamen emas di pinggirannya. Mungkin pula pernah bertemu sosok bocah lain yang menamai dirinya "Anjing" karena tidak memiliki nama, persis seperti dirinya dulu hanya saja mungkin kebetulan itu membawa perbedaan.
Misalnya, bocah itu kali ini adalah seorang wanita.
Lagipula kenyataan bisa jadi lebih fiksi dari cerita karangan orang.
Sungguh apa yang terjadi membuatnya ingin menyingkir sejenak renungi semua seperti hari ini ketika dirinya pergi dari pagi untuk berpikir disela-selam mencari barang untuk mendukung proses penyembuhan sosok tak dikenal di rumahnya. Kini Ying Cheng berada di dalam hutan untuk mencari tanaman ginseng yang dibutuhkan. Saat ini langkah kakinya terhenti di dekat pohon besar dengan buah-buahan lezat. Tanaman sasaran ditemukan tidak jauh dari sisi batang utama. Ia pun lalu bergegas mengambilnya sebelum kembali ke rumah dengan berbagai hasil panen pada keranjang bambu di punggungnya. Dia berharap pasien yang saat ini ada di kamarnya bisa sembuh lebih cepat agar semua dapat kembali normal seperti biasa. Pemuda itu tersenyum tipis berharap tidak ada seseorang akan muncul dan menariknya untuk mengajukan protes pada seorang Dewa karena kekesalannya pada keadaan seperti waktu dua puluh lima tahun silam.
"Sekarang ikut aku ke tempat Liu Kang! Dia harus bertanggungjawab!"
Demikian isi ingatan yang tertinggal.
-o0o-
7
