Menjadi Ketua Murid adalah impiannya sejak menginjakkan kaki di Hogwarts. Ia berpikir kalau itu adalah satu-satunya cara agar pandangan orang-orang banyak mengenai penyihir kelahiran muggle yang mempunyai status lebih rendah dari penyihir berdarah-campuran atau berdarah-murni itu bisa berubah. Namun, begitu ia mendapatkan tawaran itu langsung dari Kepala Sekolah, Hermione Granger menolaknya.
Penolakannya membuat semua orang terkejut. Tidak ada murid yang lebih cocok menjadi Ketua Murid selain Hermione. Namun ia sendiri mempunyai alasan yang kuat untuk tidak menerimanya. Kehidupan sekolahnya tidak pernah tenang selama 6 tahun. Yang ia inginkan hanya menjadi murid biasa dan menjalani kehidupan sekolah layaknya seorang remaja. Ia ingin belajar dengan tenang. Selain itu, Harry dan Ron tidak kembali ke sekolah karena tawaran pelatihan auror. Tahun ini akan menjadi kesempatan yang bagus.
Tidak banyak yang kembali ke Hogwarts di antara teman-teman satu angkatannya. Beberapa dari mereka pindah sekolah, beberapa juga tewas dalam perang. Hati Hermione masih merasa sakit saat mengingat kejadian di mana Lavender Brown tewas dibunuh Fenrir Greyback. Ia tadinya tidak menyukai gadis itu tapi dia tidak pantas tewas dengan cara seperti itu.
Hermione dapat menyebutkan nama-nama teman satu angkatannya yang kembali tapi di antara mereka semua, Draco Malfoy lah yang paling mengejutkan. Semua orang kini tahu kalau dia adalah seorang Pelahap Maut. Semua juga tahu kalau dia menjadi Pelahap Maut untuk melindungi orang tuanya bahkan semuanya tahu kalau malam di mana Dumbledore tewas, Draco Malfoy menurunkan tongkatnya, hampir meminta bantuan untuk diselamatkan tapi sudah terlambat.
Draco Malfoy terbebas dari hukuman kurungan Azkaban tapi tidak dengan ayahnya, yang harus mendekam di penjara itu seumur hidupnya. Ada banyak kecaman dan penolakan tapi alasan untuk membebaskan Draco dari hukuman cukup masuk akal. Dia menjadi Pelahap Maut di bawah ancaman dan tekanan. Dia juga masih di bawah umur saat tato Pelahap Maut dilukis di lengannya. Namun, ia tetap mendapatkan hukuman yang merupakan sebuah pilihan: kembali ke Hogwarts atau menjadi tahanan rumah selama 5 tahun.
Tidak ada yang tahu pilihan Draco termasuk dengan Hermione dan anggota Orde Phoenix lainnya sampai hari di mana ia bertemu dengannya di King's Cross. Mereka berpapasan di peron yang penuh dengan banyak orang. Itu dijadikan kesempatan bagi Hermione untuk tidak bertegur sapa dengannya. Namun, Hermione masih dapat memperhatikan penampilan Draco yang berubah cukup drastis dari kali terakhir ia bertemu dengannya: tidak ada lagi anak-anak laki kurus dengan pipi tirus, kantung mata gelap, dan wajah pucat. Draco Malfoy kini terlihat sehat seakan perang tidak pernah ada.
"Sudah aku duga kalau dia akan kembali," seru Ginny begitu Hermione tiba di dalam kompartemen. Ginny tidak sendiri, ada Neville dan Luna di sana.
"Draco?" tanya Luna pelan.
"Tentu dia kembali," ujar Neville. "Kembali ke Hogwarts bukan hukuman yang buruk. Dia akan bebas setelah lulus sekolah."
"Menurut kalian, apa yang akan terjadi?" tanya Ginny penasaran. "Tidak hanya Malfoy, tapi teman-temannya juga. Aku pikir mereka tidak akan kembali."
"Kita sudah mendengar langsung dari Profesor McGonagall kalau beliau ingin semua murid-muridnya kembali ke sekolah. Tidak ada pengecualian, termasuk untuk Malfoy dan teman-temannya."
"Apa mereka akan mengacau seperti sebelumnya?" tanya Neville penasaran.
"Kurasa tidak," Luna menjawab penuh percaya diri. "Terlebih untuk Draco Malfoy. Kupikir dia akan menjadi lebih baik dari sebelumnya."
Hermione mengerutkan dahi mendengar jawaban Luna. "Kenapa kau bisa yakin sekali, Luna?"
"Karena dia memang baik, Hermione," jawab Luna tapi tidak ada yang meneruskan percakapan lagi mengenai Draco Malfoy dan teman-temannya.
Kereta terus berjalan sampai akhirnya mereka sampai di Stasiun Hogsmeade. Begitu turun dari kereta, Hermione dapat melihat Hagrid di bagian di depan, menunggu murid tahun pertama. Para prefek juga Ketua Murid, Hannah Abbott dan Terry Boot, juga sudah siap di posisi mereka masing-masing.
Entah insting atau bagaimana, Hermione tidak langsung pergi dengan Ginny. Ia menunggu sampai semua orang turun dari kereta, bahkan ia menjadi orang terakhir yang berada di stasiun. Mungkin ini nalurinya karena ia tidak ingin berada di sekitar kerumunan. Ia ingin menyendiri, menghindari tatapan orang-orang.
"Granger."
Hermione sontak membalikkan tubuhnya begitu ia mendengar seseorang memanggil namanya. Draco Malfoy yang memanggilnya. Aneh sekali. Hermione sudah memastikan kalau ia adalah orang terakhir yang berada di stasiun, kenapa Malfoy baru keluar dari kereta?
"Kenapa kau baru keluar?" tanya Hermione tidak ramah sama sekali. Ia kesal karena kini ia tidak sendirian.
"Apa itu sebuah masalah bagimu?" tanya Draco. Suaranya terdengar seperti cibiran. Dia juga menyeringai di ujung senyumnya.
"Tidak," jawab Hermione singkat lalu memutar tubuh dan berjalan cepat. Sungguh, ia tidak ingin diganggu oleh siapa pun termasuk Draco.
"Hei!"
Hermione mendengar dia memanggilnya tapi ia tetap berjalan, secepat yang ia bisa. Nasib berkata lain. Draco Malfoy berhasil mengejarnya dan kini sudah berdiri di hadapannya. Beruntung ia bisa berhenti tepat waktu sehingga tidak menabrak pria yang ternyata mempunyai tinggi di atas rata-rata. Ia tidak pernah berdiri berhadapan dengannya sebelum ini, jadi ia tidak tahu kalau pria itu sangat tinggi dan membuatnya tampak begitu kecil.
"Aku tidak ingin berbicara denganmu, Malfoy," Hermione tidak segan menunjukkan ketidaknyamanannya. "Jadi, minggir dari hadapanku sekarang juga."
"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," pinta Draco, sedikit memohon.
Ia seharusnya terkejut mendengar suara permohonan yang keluar dari mulut Draco tapi ia terlalu kesal untuk peduli akan hal itu.
"Tidak bisakah kau menunggu sampai kita tiba di kastel?"
"Lebih cepat lebih baik," kata Draco cepat.
"Bicara lah sekarang!"
"Terima kasih, Granger."
"Hanya itu?"
"Iya. Terima kasih, Granger. Kudengar kau membuat kesaksian untukku. Hukumanku jadi lebih ringan dari yang aku bayangkan."
Ini kali pertama Hermione mendengar Draco mengucapkan terima kasih, terlebih padanya. Apa yang terjadi? Apa ini yang tadi dimaksud Luna? Oh tidak mungkin. Draco Malfoy mungkin hanya bersikap sopan padanya.
"Aku bukan satu-satunya yang memberikan kesaksian untukmu, Malfoy," Hermione gusar karena harus membuka memori di hari persidangan untuk Pelahap Maut yang amat melelahkan. "Harry, Luna, Dean, Mr Ollivander. Mereka juga memberikan kesaksian untukmu."
"Aku juga tahu itu tapi aku belum bertemu dengan mereka."
"Kau juga akan berterima kasih pada mereka?"
"Tentu saja."
Baiklah, pikir Hermione. Bukan masalah besar dia berterima kasih padanya. Ucapan terima kasihnya juga tidak akan mengubah segalanya. Ia memberikan kesaksian karena menurutnya, dia bernasib sama dengannya. Hanya karena dia berada di pihak lain bukan berarti dia tidak menjadi korban.
"Oke." Hanya itu dan Hermione menggeser tubuhnya lalu berjalan meninggalkan Draco Malfoy yang bergeming.
Satu langkah, dua langkah. Hermione bersyukur karena dia tidak mengikutinya tapi setelah beberapa langkah, dia kembali memanggilnya. Hermione mengerang kesal sampai mengentakkan kakinya. Ia juga kesal pada dirinya karena dengan bodohnya, ia membalikkan tubuh.
Penglihatannya masih bagus meskipun berdiri di tengah kegelapan dengan sedikit cahaya dari sinar rembulan di atasnya. Dari tempat ia berdiri, ia dapat melihat Draco Malfoy tersenyum padanya.
Ia yakin penglihatannya masih bagus. Atau sudah saatnya ia memakai kaca mata seperti Harry? Apa ini karena ia terlalu banyak membaca? Tidak mungkin laki-laki itu tersenyum padanya. Seakan-akan seolah-olah dia pantas melakukan. Seakan dia sudah sering sekali tersenyum padanya.
Draco berlari kecil menghampiri Hermione dan kembali berdiri di hadapannya. Satu hal baru yang ia tidak suka dari Draco Malfoy adalah tinggi tubuhnya. Hermione tidak menyukai menjadi begitu kecil di depan Draco Malfoy.
"Selamat malam, Granger," kata Draco dengan senyuman yang tidak pernah Hermione lihat lagi.
Setelah mengatakan itu, dia pun pergi, meninggalkan Hermione yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. "Apa yang baru saja terjadi?"
