Lemon scene in the end!!

chapter ini bisa teman-teman skip kalau nggak suka karena menurut saya ini cukup vulgar dalam Bahasa Indonesia.

jika ada ulasan tentang lemon scene dan tidak ada kaitannya dengan cerita, saya akan hapus.

saya sudah memberikan peringatan. jika tidak suka tapi terus melanjutkan membawa chapter ini sampai habis, saya tidak bertanggung jawab akan akibat yang terjadi.


Chapter 18

Detensi kali ini mereka harus merapikan buku di perpustakaan tanpa sihir. Sungguh menyebalkan. Besok adalah hari Natal tapi mereka masih harus detensi. Madam Pince keterlaluan sekali. Beliau sepertinya dendam karena Draco dan Hermione kerap kali mengganggu waktunya. Oleh karena itu, penjaga perpustakaan memberikan detensi hari ini.

Mereka akhirnya bertemu lagi. Ia dan Hermione akhirnya detensi bersama lagi setelah beberapa kali mereka detensi sendiri-sendiri. Ini juga pertama kalinya ia berada dekat dengan Hermione setelah ia keluar dari rumah sakit. Merlin! Ia merindukan gadis itu.

Hermione tampak lebih baik dari yang Draco ingat tapi sepertinya masih ada sesuatu yang menganjal padanya. Sesuatu yang membuat pundaknya berat.

"Kau tidak melakukan perubahan sejak 10 menit yang lalu, Malfoy."

Lamunannya terhenti karena suara jengkel Hermione. Dia mengerutkan dahi dan menatap Draco galak.

"Kita tidak akan selesai sebelum makan malam."

"Apa kau berpikir kita akan selesai secepat itu?" tanya Draco yang juga jengkel. Ia heran kenapa mereka harus beradu argumen setiap kali bertemu. Kapan hal ini akan berakhir?

"Ya. Aku yakin kita bisa selesai dengan cepat."

"20 rak buku, Granger," ujar Draco kesal. "Madam Pince sengaja melakukan ini pada kita."

"Tidak usah banyak mengeluh," balas Hermione. "Cepat kau pindahkan buku-buku itu."

Draco mau tak mau menuruti perintah Hermione. Namun, ia bertahan hanya beberapa menit saja.

"Aku sudah selesai."

"Kau bercanda?"

"Aku lelah dan bosan."

Hermione mendengus. "Selesaikan pekerjaanmu. Aku tidak akan membiarkanmu membuatku terlambat makan malam. Ini malam Natal dan aku tidak ingin merayakannya sambil detensi."

"Kau akhirnya tahu rasanya saat aku harus menunggumu selesai padahal aku harus latihan."

Hermione memincingkan matanya, menatap Draco dengan kejengkelan yang luar biasa.

"Selesaikan, Malfoy!"

"Fine."

Draco mengeluarkan tongkatnya dan hanya dengan satu sapuan, pekerjaan mereka selesai.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Hermione berang.

"Lebih cepat lebih baik."

"Madam Pince akan tahu dan kita akan mendapatkan masalah lebih besar."

"Kau juga melakukannya saat itu dan tidak terjadi apa-apa."

"Itu karena Hagrid mengerti," desis Hermione. "Kau pikir Madam Pince akan mengerti?"

Draco tidak benar-benar yakin tapi ia tetap mengangguk. "Tidak usah diambil pusing, Granger," ucap Draco. "Duduk dan tunggu di sini sampai Madam Pince datang."

Hermione membuang muka lalu membalikan badan dan pergi.

Draco mengerang kesal lalu mencarinya.

Terlalu mudah.

Ia menemukan gadis itu duduk menghadap jendela di tempat kesukaannya.

"Apa aku membuatmu kesal?" tanya Draco seraya menarik kursi dan duduk di belakangnya; memperhatikan Hermione hari ini mengikat rambutnya dengan pita berwarna merah dan hijau.

"Tentu saja," jawab Hermione tanpa membalikan badan.

"Apakah ada cara agar aku tidak membuatmu kesal?" tanya Draco yang masih menatap pita tersebut. Dia mungkin mengenakan warna itu karena ini adalah malam natal.

"Aku tidak tahu," bisik Hermione.

Draco sudah mengumpulkan niat untuk bertanya padanya perihal apa yang terjadi dengannya dan Ginny Weasley. Blaise mengatakan mereka bertengkar karena Draco.

"Bagaimana kabarmu?"

Hermione hanya menoleh sedikit. "Baik. Dan kau? Bagaimana lukamu?"

Draco mengangguk-angguk. "Seperti tidak pernah terluka."

Ia mendengar Hermione tertawa pelan.

"Apa yang kau lakukan selama ini? Aku hampir tidak pernah melihatmu."

Hermione mendesah. "Aku melakukan apa yang biasa aku lakukan. Aku hanya banyak menghabiskan waktu di kamar."

"Kenapa?"

Hermione tidak menjawab.

"Apa karena kau bertengkar dengan Weasley?"

Hermione tampak tidak nyaman dengan pertanyaan Draco. ia tahu karena bahu gadis itu bergerak tak nyaman seakan ingin pergi tapi tidak bisa.

"Begitulah."

"Kenapa kau yang harus berdiam diri di kamar?"

Hermione kini menoleh sepenuhnya. "Apa yang kau tahu?"

"Kau bertengkar dengannya karena aku."

Hermione tertawa pelan. "Mungkin ya tapi mungkin tidak."

"Apa yang dikatakannya padamu sampai membuatmu seperti ini?"

Pertanyaan Draco makin membuat Hermione tidak nyaman. Dia mengalihkan pandangannya dan memilih menatap meja kayu kosong di depannya.

"Kau tidak harus menjawabnya," kata Draco cepat. Ia tidak ingin kembali menjadi alasan suasana hatinya kembali memburuk.

"Aku bisa menjawabnya," ucap Hermione. Dia menarik napas panjang, lalu menatap Draco. "Dia mengatakan banyak hal yang menyakiti hatiku."

"Seperti yang dilakukan kakaknya?"

Hermione hanya menaikkan kedua alisnya.

"Kau tidak punya pilihan selain menjauhinya?"

"Aku tidak akan mendekatinya atau keluarganya lagi."

"Maafkan aku," Draco merasa bersalah. Jika saja ia memilih meladeni Ginny Weasley, Hermione tidak akan kehilangan temannya.

"Jangan minta maaf atas kesalahan yang tidak kau lakukan, Malfoy."

"Kau kehilangannya mungkin karena aku."

"Well, aku harus berterima kasih padamu kalau begitu."

"Draco memberikan ekspresi penuh tanda tanya.

"Karena kau, aku tahu apa yang sebenarnya dirasakan Ginny. Mungkin dia tidak merasakan sebelum pertandingan tapi aku jadi tahu seperti apa dia."

"Dia gila dan menyebalkan."

Alih-alih marah, Hermione tersenyum. "Dia kesal padamu. dia berhasil melukaimu tapi mungkin itu tidak cukup. Dia juga menyalahkanku atas semua yang terjadi."

"Dia benar-benar harus mengatur pikirannya."

"Kau benar."

Setelah itu, mereka tidak lagi berbicara. Keduanya diam tanpa saling menatap. Hermione kembali menatap ke luar jendela sedangkan Draco kembali menatap punggung Hermione.

Jika saja ia bisa mengatakan padanya kalau ia merindukannya. Ia ingin memeluknya lagi seperti di Hutan Terlarang waktu itu. Ia ingin memberitahunya kalau ia akan senantiasa ada untuknya.

Hermione kembali menoleh dengan senyuman. "Aku bersyukur kau baik-baik saja."

"Kutukan Weasley tidak parah."

"Tapi membuat luka lamamu terbuka. Luka lama. Luka karena apa?" tanya Hermione penasaran.

Draco berdehem tidak yakin untuk menjawab pertanyaannya. "Luka yang disebabkan Potter di tahun keenam."

Hermione sontak menutup mulutnya dan bergumam meminta maaf.

Draco tersenyum melihat tingkah lucunya. "Semuanya sudah baik-baik saja. Kau membuatnya semuanya membaik."

"Tentu saja tidak."

"Silakan untuk terus mengelak, tapi kau memang membuat semuanya membaik."

"Baiklah," kata Hermione pelan.

Dengan cepat, Draco turun dari kursi lalu berlutut di samping Hermione. Ia menangkup pipi merahnya dan mengelusnya. Tatapan Hermione membuatnya tidak dapat menahan diri. Dia terlalu merindukan gadis ini.

"Kau tidak tahu betapa aku merindukanmu, Granger," suara Draco serak, hampir tidak keluar. "Aku mengawatirkan keadaanmu tapi aku tidak punya cukup keberanian untuk bertanya padamu. Aku amat berharap saat itu kau datang padaku, mengandalkanku dan menjadikanku sandaran, tidak peduli betapa buruknya kondisiku."

"Aku tidak bisa," Hermione berbisik, menutup matanya.

"Aku ingin kau bisa."

"Kenapa kau harus seperti ini?" tanya Hermione penuh kesedihan. "Kau tidak harus baik padaku hanya karena aku membantumu."

"Aku begini bukan karena kau membantuku. Kau tahu itu dan sampai saat ini, perasaanku tidak berubah."

Hermione meraih tangan kanan Draco dan menggenggamnya erat. "Aku takut."

"Apa yang kau takutkan?" tanya Draco tanpa melepaskan tatapannya. Mata hazel Hermione memang menunjukkan ketakutan.

"Aku takut kehilanganmu."

"Kau tidak akan kehilanganku."

Draco pun menyapu bibirnya dengan bibir Hermione. Tanpa ragu, Hermione membalas ciumannya. Dia melingkarkan tangannya di leher Draco, mengusap lembut kepala Draco dan menariknya lebih dekat. Draco pun memeluknya, mengangkatnya hingga kini Hermione duduk di meja.

Hermione mengerang begitu Draco melebarkan kakinya, membuat roknya sedikit tersingkap. Tidak ingin terburu-buru, Draco memilih untuk menurunkan ciumannya dan membenamkan wajahnya di leher Hermione. Tubuhnya terbakar begitu hidungnya, bibirnya mencium leher Hermione. Aroma tubuh yang amat ia rindukan.

"Aku amat merindukanmu," bisik Draco, di sela-sela ciumannya. Tangannya tidak langsung menyentuh dada Hermione seperti yang selalu ingin ia lakukan tapi ia memilih untuk mengelus punggung Hermione dari luar.

"Aku juga merindukanmu," suara Hermione hampir tidak terdengar karena bersatu dengan erangan.

Ucapan Hermione dan erangannta membuat Draco hilang akal. Satu tangan yang bebas dengan sensual menyentuh setiap bagian tubuh Hermione sampai tiba di lutut. Awalnya ia ragu lalu ia memaikan ujung rok Hermione. Ia tidak ingin ini menjadi terlalu cepat tapi juga tidak tahan jika harus berlama-lama memaikan jarinya di sana.

"Apakah aku boleh meyentuhmu?" pinta Draco berbisik sembari mencium tengkuk Hermione.

Alih-alih menjawab, Hermione sendiri yang membawa tangan Draco masuk ke dalak roknya. Perlahan ia menyentuh paha dalamnya dan ketika jarinya berhasil berada di sana, Draco mengerti kenapa dia membiarkan Draco menyentuhnya.

"Kau basah, Hermione," ucap Draco dengan susah payah. Akal sehat sedikit demi sedikit menghilang. Ia hanya menyentuh bagian luar tapi dapat merasakan cairan mulai menyeruak dari dalam Hermione.

Mereka berada di perpustakaan, di tengah-tengah detensi. Mereka tidak bisa melakukannya di sini. Tapi, tiba-tiba tangan Hermione menelusup masuk ke dalam sweater Draco, mengelus punggungnya. Akal sehat Draco menghilang sepenuhnya.

Ia kembali mencium Hermione, lebih panas, lebih menuntut dari sebelumnya. Kedua tangannya kini dengan mudah menyingkap rok dan melepas celana dalamnya, membiarkan benda itu tergantung di betis Hermione. Bagian tubuh bawah Hermione hampir terlihat semuanya.

Pandangan keduanya bertemu, seakan menunggu masing-masing untuk bersuara terlebih dahulu. "Lakukanlah," Hermione mengangguk pelan; wajahnya memerah diselubungi gairah.

Draco memasukkan satu jarinya ke dalam Hermione. Ia ikut mengerang bersama Hermione. Hanya satu jari tapi dia menjepitnya amat kencang. Draco bisa saja keluar saat ini juga tapi ia menahannya. Jari tengahnya berada di dalam Hermione, bergerak perlahan membuat gadis itu meracau kenikmatan. Draco melihatnya menutup mata, sesekali menggigit bibir bawah, menahan untuk tidak mengeluarkan suara apapun.

Merlin! Hermione sangat cantik sekali.

"Lebih cepat... aku mohon..." Permintaan Hermione membuat Draco menambah satu jarinya. Dengan dua jari di dalam Hermione, ia kembali bersusah payah menghiraukan rasa sakit karena miliknya mengeras.

Gerakan dua jarinya lebih cepat ditambah dengan ibu jari yang menyentuh klitoris Hermione. Gadis itu memeluk Draco, lebih erat dari sebelumnya. Draco dalam merasakan dinding dalam Hermione makin sempit bersamaan dengan gerakan jarinya yang makin cepat.

"Jangan ditahan, Hermione," bisik Draco. "Keluarkanlah."

Ia tahu gadis itu makin dekat dengan orgasme jadi ia menambah satu jari lagi dan menambah kecepatannya. Hermione berteriak, memekik penuh kenikmatan. Draco tahu ia telah menemukan titiknya.

Draco terus memompanya sampai akhirnya Hermione kembali berteriak memanggil namanya begitu orgasme datang. Itu bukan orgasme biasa. Draco tidak pernah melihat seorang gadis orgasme begitu hebat. Hermione memuncratkan setiap cairan dari dalam tubuhnya. Tubuhnya bergetar hebat. Jika saja Draco tidak menahannya, dia mungkin akan jatuh.

Draco memeluknya selagi dia mengatur napas; mengelus punggungnya menunjukkan kalau ia tidak akan menyakiti gadis ini.

Lalu, ia merasakan tangan Hermione menyentuhnya, sedikit meremasnya. Ia sontak menutup mata namun tidak menahan erangannya. Sentuhan Hermione membuat akal sehat Draco kembali.

Mereka berada di perpustakaan.

Draco tidak akan bercinta dengan Hermione di sini. Tidak untuk pertama kalinya. Menyentuhnya di perpustakaan adalah kesalahan. Ia seharusnya membawa Hermione ke tempat yang lebih pantas dan memperlakukan gadis itu dengan lembut.

Draco lalu menahan tangan Hermione, menatapnya sejenak lalu mencium bibirnya cepat.

"Tidak di sini," bisik Draco.

Hermione tampak bingung. Alih-alih memberikan penjelasan, dengan hati-hati ia menurunkan Hermione dan membantu gadis itu merapikan pakaiannya. Hermione tidak dapat berdiri dengan baik, hampir terjatuh jika Draco melepas tangannya. Ia pun mendekap Hermione.

"Kau baik-baik saja?" tanya Draco. Hermione hanya mengangguk. "Kau bisa berjalan?" Hermione menggeleng.

"Aku tidak tahu," Hermione sedikit tertawa tapi suaranya pelan sekali.

Draco melepas dekapannya, mencium bibirnya sekali lagi, dan bertanya, "Apa kau percaya padaku?"

Ekspresi Hermione saat ini perpaduan antara bingung dan gairah. Wajahnya dipenuhi tanda tanya dengan pipi hangat memerah dan tatapan mata yang sayu.

"Aku ingin bercinta denganmu, Hermione. Saat ini juga tapi tidak di sini. Aku sudah tidak dapat menahannya lagi. Jadi, aku bertanya padamu: apa kau percaya padaku?"

Hermione menutup matanya kemudian mengangguk. "Aku percaya padamu."