.
.
.
Kuroko No Basket © Fujimaki Tadatoshi
Cloudy by The Sirius of Black Daria
.
.
.
Enjoy!
.
.
.
"Awan itu terlihat seperti Mametarou, nope?" ucapmu menyinggung nama anjing yang sudah dianggap sebagai anak bungsu di keluarga sahabatmu. Tidak mendapatkan respon, jari telunjukmu menunjuk sesuatu di atas mega biru luas yang juga diwarnai gradasi warna abu-abu dan lavender, "Yang itu."
"Hm?" getaran suara yang keluar dari tenggorokan seseorang di sampingmu terdengar begitu dekat, "Maksudmu kalau dilihat dari bawah?"
"Iya, itu kaki depan, kaki belakang dan buntut," ucapmu sembari terkekeh, "Mametarou terlihat seperti monjayaki dari bawah."
Sinar mentari menyusup masuk menembus jendela mobil yang sudah dilapisi kaca film. Meninggalkan kesan hangat di pipimu. Sedang kini, lawan bicaramu menggeser tubuhnya hingga paha kirinya bersinggungan dengan paha kananmu. Kau bisa merasakan lengan kirinya menekan lembut bahumu. Ia tampak ingin mengintip pemandangan yang ada di luar sana. Jarak yang terlalu dekat ini membuatmu mampu mencium aroma parfum yang ia kenakan.
"Yang itu mirip onigiri–nanodayo," ujarnya kemudian, jemari lentiknya yang tidak dilindungi perban terlihat jelas di matamu.
"Yang segitiga itu?" tanyamu, sedang ia hanya menggumam mengiyakan.
Jarimu menunjuk kumpulan awan yang lain, "Itu seperti fetus."
"Maksudmu bayi?" koreksinya.
Kau menggelengkan kepala, "Bukan. Fetus. Kau tahu? Seperti yang terlihat di foto USG."
"Ah, benar juga, itu kepala, punggung dan tulang ekornya," balas sahabatmu yang sedetik kemudian mengarahkan jarinya ke sisi lain langit, "Kalau begitu, yang itu terlihat seperti Rayquaza."
Sedikit bingung, kau terbata, "Ray–apa?"
"Ah, Pokemon–nanodayo. Rayquaza."
"Sejak kapan kau main Pokemon?" alismu tertekuk dalam-dalam, menyangsikan ucapannya.
Menghela napas pelan, ia menjelaskan, "Takao, kalau tidak bernyanyi, ia akan meracau non-stop tentang Pokemon."
Kau bingung mau berkomentar apa. Memang benar, banyak waktu di mana kau melihat Takao asik main kartu di kelas. Tapi baru hari ini kau tahu bahwa kartu yang dimainkannya Pokemon. Keheningan tak ayal mengisi ruang yang ada, meninggalkan sedikit suara halus mesin roda empat.
"Shintarou, tidak bisakah kau batal pergi?" tanyamu dengan suara yang hampir berbisik, namun cukup keras untuk didengar seluruh penjuru mobil.
Kau bisa menyadari sahabatmu itu menolehkan wajah, dan memperhatikan air mukamu dari balik kacamatanya, "Hanya satu tahun, aku akan kembali sebelum kau menyadarinya."
Lalu setelahnya kau merasakan beberapa jari yang terasa lembut menggenggam jemarimu. Manikmu masih berkelana nun jauh di langit sana, berusaha mengusir desakan air mata ketika namamu terdengar menguar keluar dari bibirnya.
Ini akan jadi yang pertama di mana dirimu harus terpisah jauh dari pemuda itu. Selama ini, jarak paling jauh yang ada di antara kalian adalah enam prefektur, ketika si surai hijau pergi wisata bersama keluarganya ke Hokkaido. Waktu paling lama kalian tidak saling sapa hanya sepuluh hari –ketika baik dirimu, pun dirinya tidak mau mengaku salah.
Tapi kini, dirinya akan pergi sepuluh ribu kilometer jauh ke arah timur. Siang harimu akan jadi malam harinya. Lalu meski ia sudah berjanji akan meluangkan waktu untuk berkomunikasi, kau tidak yakin itu cukup untuk menutupi kehampaan yang ada. Namun lagi-lagi, kau tidak bisa egois. Sebab dirimu juga pernah berencana untuk meninggalkannya bergumul dengan dunia sendirian.
Waktu perjalanan hanyalah lima belas menit. Kini kalian sudah sampai di bandara Haneda terminal penerbangan internasional. Setelah memutuskan masih ada cukup waktu sebelum lapor masuk, kedua orang tua sahabatmu memutuskan kalian berlima bisa bersantai terlebih dahulu di salah satu kedai kopi.
"Check-in bagasi jam berapa?" tanyamu lagi memastikan.
"Jam tujuh malam," jawabnya sembari mengaduk iced hazelnut latte yang tadi ia pesan.
Suara cekikikan halus terdengar, dan kau melirik ke arah suara tersebut. Adik perempuan dari sahabatmu tengah bergurau dengan kedua orang tuanya. Membuatmu mempertanyakan eksistensi beban tak kasat mata yang tengah menindih dadamu. Tidak seperti ketiga manusia itu dengan surai hijau tua mereka, kau tidak lebih dari orang asing –seseorang yang kebetulan sudah berteman lama.
Muncul tanda tanya di benakmu, akan alasan mengapa hatimu tidak bisa turut merayakan keberhasilan sahabatmu untuk bersekolah di salah satu universitas ternama di Boston. Jangankan sukacita, kini rasanya, bersama setiap detik yang berlalu, duniamu sudah dalam kondisi siap untuk hancur luluh lantak.
Kau melirik ke arah kanan. Ada dinding kaca yang memisahkanmu dengan sisi lain bandara. Kau bisa melihat nomor pintu masuk boarding berwarna kuning menyala. Tak lama setelah ini, surai hijau seseorang akan melangkah masuk juga ke dalam sana. Pergi meninggalkanmu setidaknya selama 263 hari kedepan –mungkin saja lebih lama.
"Toilet," ucapmu pelan.
Pergi ke toilet, sebenarnya hanyalah alasan. Kau hanya ingin meredam gemuruh yang tengah mengoyak otot jantungmu, tanpa belas kasih mencuri sedikitnya oksigen yang masih tersimpan di paru-parumu.
Tungkai kakimu sudah berjalan cukup jauh ketika kini bernapas dirasa menjadi terlalu sulit. Rasanya kau ingin menjatuhkan diri di tempat, di tengah ribuan orang asing itu. Namun, sedikit nalarmu yang masih tersisa memaksa dirimu untuk duduk di salah satu kursi tunggu yang kosong sebagaimana orang waras lainnya.
Hatimu tanpa henti berusaha untuk memuntahkan perasaan sendu yang tengah kau rasakan. Tampaknya mereka sudah tidak mampu membendung rasa perih itu lebih lama. Kau menggigit bibirmu sendiri yang bergemetar halus. Kepalamu menunduk dalam-dalam, berusaha menyembunyikan kondisimu yang begitu kacau –yang begitu memalukan.
"Mau apa?" tanyamu ketika sepasang sepatu yang terlihat begitu familiar masuk ke dalam jarak pandang. Ada seseorang di sana, berdiri tepat di depanmu. Tidak ada respon untuk beberapa saat setelahnya, membuatmu berpikir suasana bising bandara telah menenggelamkan suaramu, "Mau apa–"
"Kau buta arah-nanodayo," jawabnya segera, menandakan bahwa ia sejak awal bisa mendengarmu dengan baik, "Toilet di sebelah sana, sepertinya kau melewatkannya."
Kau memilih untuk tidak menjawab.
Ia menurunkan tubuhnya, hingga kini lututnya bersinggungan dengan karpet bandara yang sudah berwarna usang itu. Dengan posisinya yang sekarang, jade indahnya bisa sedikit mengintip obsidianmu, "Aku di sini."
Awalnya, kau ingin berkomentar bahwa karpet bandara itu kotor. Baiknya ia segera berdiri dan duduk dengan baik di kursi. Namun, alih-alih kalimat, air mata turun berjatuhan satu demi satu.
Tangannya yang besar dan hangat menangkup wajahmu. Sesekali ujung jemarinya akan mengusap kulitmu, menyeka aliran air mata yang tidak tampak akan berhenti dalam waktu dekat.
"Aku tidak ingin kau pergi," ucapmu, ketika pada akhirnya bisa memverbalisasikan pikiranmu yang sudah seperti kumpulan benang kusut.
Sudah kau duga. Kau tidak begitu paham dengan dunia.
Hingga satu tahun yang lalu, kalian masih berencana untuk melanjutkan koleksi almamater bersama dengan memilih untuk masuk ke universitas yang sama.
"Maaf-nanodayo. Aku tidak menyangka aku bisa lolos," dalihnya saat itu.
Padahal, jika bisa memilih, kau lebih berharap ia berkata bahwa dirinya sudah muak berada di satu ruang lingkup yang sama denganmu. Dengan begitu, kau bisa sadar diri dan menyerah.
Udara yang dihantarkan pendingin udara menusuk kecil kulitmu. Sedikitnya menjernihkan kepalamu yang sempat kalut. Menarikmu untuk kembali kepada realitas. Karena, meski bagi dirimu ia adalah ekuasi dari dunia, baginya kau mungkin tidaklah sama. Namun, tidak apa, kau tidak keberatan. Toh, kau tidak lebih dari pemeran pendukung di kehidupannya. Sahabatmu berhak melakukan sesuatu yang akan mendorong karirnya di masa depan, baik itu dengan pergi belajar ke luar negeri, pun menyisihkanmu dari hidupnya.
Kau cukup yakin, akan tiba suatu waktu di mana kau merasa ingin kembali ke masa ini. Untuk sekadar merasakan hangat tubuhnya yang menular dari sepasang telapak tangan itu. Di tempat, waktu, juga dengan perasaan yang sama.
Napasmu sedikit tertahan ketika satu kenyataan mengusik pikiranmu.
Sepertinya, ini benar-benar perpisahan.
"Shintarou," bibirmu yang meski belum berhenti bergemetar tetap memaksakan diri untuk naik, membuat sesuatu yang dikategorikan sebagai senyuman, "Selamat tinggal."
Sayangnya, manik obsidianmu terlalu sibuk disesaki air mata, hingga mereka tidak menyadari bahwa sepasang jade indah yang berada hampir sejajar dengannya itu kini ikut berubah keruh.
.
.
.
FIN
.
.
.
Author's note: Aloha~ kembali bertemu dengan Sirius!
Sirius senang bisa menyelesaikan cerita ini, karena sebagian isinya diambil dari draft lama!
Ya, cuma sekitar sepuluh persen dari isi cerita. Still, for Sirius it's a big win. /( - 3 -)\
Kali ini pun Sirius tidak berhasil membuat cerita yang bahagia. Sepertinya, Sirius perlu pergi bertapa dulu di gunung. /ittekimasu!/
Semoga Reader(s) bisa menikmati barang sedikit cerita berbubuk angst ini. May we meet again in another story~!
With lots of hugs and kisses,
The Sirius of Black Daria –
So… Mind to Review?
