kala petang
bayanganbalap (racingshadows)
Summary:
Deri menghela napas, dan berjalan menuju saklar yang berada di sebelah pintu masuk. Niatnya ke indekos Juni untuk asistensi, malah berujung menonton film horror Thailand. Deri lupa teman masa kecilnya itu penakut, dan selalu minta diantar ke mana-mana apabila mereka diam-diam menonton film horror yang dilarang oleh orangtua mereka.
(atau: pembicaraan mereka, setelah matahari terbenam)
Work Text:
18. things you said when you were scared
(atau: pembicaraan kita saat matahari terbenam)
"Matiin, Jun, lampunya."
"Jun, Jan, Jun, Jan. Enak banget nyuruh orang. Matiin sendiri, lah."
"Emang ini kamar siapa?"
Juni memutar mata, dan Deri terkekeh melihatnya. Namun, Juni tidak kunjung berdiri, dan tetap duduk, menunduk memandang ponselnya.
Deri kembali menggodanya, "Masih takut sama adegan serem tadi?"
"Berisik."
"Gitu doang takut."
"Emangnya elo enggak?"
"Gak, lah. Takut tuh sama Tuhan, jangan sama hantu."
"Halah, di-ghosting juga takut, kan?"
"Berisik."
Giliran Juni yang tertawa.
"Matiin lampunya, Jun, besok gue ada kuliah pagi."
"Terus? Kan ini kamar gue." Juni kembali tak acuh, dan men-scroll linimasa Instagram. "Matiin sendiri." ujarnya.
Deri menghela napas, dan berjalan menuju saklar yang berada di sebelah pintu masuk. Niatnya ke indekos Juni untuk asistensi, malah berujung menonton film horror Thailand. Deri lupa teman masa kecilnya itu penakut, dan selalu minta diantar ke mana-mana apabila mereka diam-diam menonton film horror yang dilarang oleh orangtua mereka.
Tapi mereka sudah lama tidak bertemu, sejak kepindahan Juni ke luar kota.
Maka Deri mengira, Juni sudah lebih pemberani. Namun, dia tidak sepenuhnya benar. Deri mendengus dan menggeleng-gelengkan kepalanya, menahan senyum, meskipun Juni tidak bisa melihatnya.
Deri mematikan saklar; kamar Juni gelap gulita, Deri membalikkan badan…
… dan mendapati Juni sudah berdiri di depannya, dengan layar ponsel menerangi mukanya.
Deri melompat ke belakang, hampir berteriak, namun Juni sudah lebih dulu menertawakannya.
"Bangke." umpat Deri pelan, sambil berusaha mengatur napasnya. Jantungnya masih berdebar lebih kencang.
"Takut tuh sama Tuhan." kata Juni, mengulang perkataan Deri.
"Sialan." Deri menjauhi Juni, dan sudah siap-siap untuk tidur, namun Juni memandang keluar.
"Kok lampu di luar gelap juga, ya?" gumamnya.
Deri terdiam; baru kali ini dia menginap di kos Juni, dia kira, lampu depan kamarnya memang tidak menyala.
Juni membuka kunci pintu kamarnya, dan menjulurkan kepalanya ke luar. Deri mendengar Juni bertanya, mungkin kepada tetangganya, "Mati lampu, A?"
"Iya, Jun, aliran." Didengarnya tetangga tersebut menjawab.
Juni mengunci pintunya, dan berjalan menuju Deri yang sudah berbaring di kasur Juni.
"Geser." kata Juni, dan dengan berat hati, Deri beringsut mendekati tembok.
"Mati lampu beneran?" tanya Deri.
"Iya, aliran." jawab Juni, melepas kacamatanya.
Sumber cahaya mereka satu-satunya berasal dari ponsel yang dipegang Juni. Deri memperhatikan Juni melalui cahaya tersebut, yang sedang menaruh kacamata dan ponsel di meja samping tempat tidur. "Kenapa ya, orang sini bilang mati lampu itu aliran?"
"Lo belum pernah denger ngajepret?"
"Hah?"
"Ngajepret itu, kalo daya listriknya gak kuat, misalkan lo masak nasi, terus nyetrika, sambil nonton TV. Listriknya gak kuat, ngajepret. Kalo aliran kan dari PLN."
"Wih, lo udah dua tahun tinggal di Bandung, kosakatanya udah advanced."
"Makasih." Juni melipat kedua tangannya di atas perut, matanya terpejam.
Deri belum ingin tidur. Dia masih ingin mengobrol, tentang apa saja. Tentang kuliahnya, kuliah Juni di tingkat tiga. Tentang keluarga Juni. Tentang kakak Juni yang dulu selalu membelikan mereka es krim. Tentang Juni.
"Jun," panggil Deri, menyikutnya hingga Juni kembali membuka mata.
"Apa." gerutu Juni.
"Ayo cerita serem."
"Lagi mati lampu gini?! Gak deh. Makasih."
"Lho, kan momennya lagi pas."
"Gak. Kan besok gue udah tidur sendiri lagi di kamar ini. Kalo gue kepikiran gimana?"
"Gue tidur lagi deh di sini besok."
Juni terdiam, dan Deri segera melanjutkan, "Gue abis baca cerita serem di Twitter."
"Lo ngomong sekali lagi, gue pake headset. Gue gak mau denger cerita horror."
"Yah…" Deri menggumam kecewa. "Ya udah, deh."
"Tidur, Der. Besok kan lo kuliah pagi."
"Tapi gue gak bisa tidur." keluh Deri.
"Terserah." Juni menghela napas.
Diam-diam Deri tersenyum melihatnya. Berada di sebelah Juni, memperhatikannya, mengobrol dengannya, serasa kembali ke masa kecil. Namun, terselip hal lain yang menjadikan pengalaman ini berbeda, tidak seperti dulu.
Mungkin karena mereka sudah dewasa, dengan pemikiran masing-masing, dengan kegiatan dan orang-orang terdekat yang berbeda. Tapi Deri tidak pernah tahu, kapan tepatnya dia mulai merasakan kehadiran Juni, kapan tepatnya dia mulai mencari Juni, saat dia memasuki laboratorium dan mendapati dia tidak ada.
Kapan tepatnya dadanya mulai berdesir, jantungnya berdetak lebih kencang, dan mulutnya terasa kering, saat dia melihat dan mendengar Juni tertawa, atau tersenyum.
Dia tidak tahu kapan tepatnya semua hal itu dimulai, tapi dia ingin tahu lebih banyak hal tentang Juni; apa yang dialaminya setelah pindah, apa yang dilewatkan Deri selama mereka berpisah. Apa Juni masih suka es krim cokelat? Atau dia punya preferensi lain? Juni dulu suka menyanyi, apa sekarang masih? Apa dia pernah ikut kontes Indonesian Idol? Atau X-Factor? Atau jangan-jangan, Idola Cilik?
Banyak hal yang ingin Deri tanyakan, sampaikan, namun waktunya tidak pernah pas. Juni selalu sibuk dengan tugas kuliah, organisasi, dan lab. Deri juga sibuk dengan tugas, laporan praktikum, dan UKM seni.
Setahun berlalu, sejak Deri dan Juni bertemu di Administrasi Prodi untuk perwalian, namun mereka belum pernah benar-benar mengobrol. Hanya selintas, menyapa dan menganggukkan kepala. Bahkan Deri memanggilnya dengan sebutan Akang, meskipun mereka seumuran. Hanya karena Deri tidak langsung kuliah setelah lulus SMA, dan menunggu setahun dengan belajar, magang di tempat orangtuanya.
Kemudian, saat semester lima dimulai, Deri kebetulan melewati laboratorium tempat Juni bekerja sebagai asisten, dan melihat pengumuman daftar mahasiswa yang mengambil praktikum di lab tersebut, dan asisten yang akan mendampingi mereka selama praktikum.
Dia melihat namanya dan Juni.
"Der." panggil Juni. "Udah tidur?"
"Belum." jawab Deri, dia berbalik dan berbaring di sisi kanannya, menghadap Juni. "Lo kok belum tidur juga?"
"Gak bisa tidur jadinya."
"Ya udah, ayo ngobrol. Apa aja."
"Lo tuh, ya, kasih topik ngobrol, kek."
"Kan tadi gue udah ngajakin cerita serem."
"Bukan yang kayak gitu, ya, bangsat."
Deri tertawa. "Punya lilin gak? Kita ngepet aja, lumayan buat bayar UKT."
"Lo yang ngider ya? Gue yang jaga lilin."
"Siap. Buat lo apa sih yang enggak."
Juni tidak berkata apa-apa, dan untuk sesaat Deri mengira, dia salah jawab. Tapi, dia mendengar Juni berbisik, lirih, "Lo… masih takut ketinggian gak?"
Deri terkejut mendengar pertanyaan yang tak diduganya itu. Dia menjawab dengan hati-hati, bertanya-tanya ke mana jawaban ini akan membawanya, membawa mereka berdua, "... Masih."
"Kalo sama kodok? Masih takut juga?"
"Masih." Deri menghela napas. "Fobia gak gampang disembuhin, Jun."
"Di sini gak pernah ada kodok, kok…" kata Juni.
Deri tergelak. "Gak mungkin, lah, kan gak musim hujan."
"Ya siapa tahu lo jadi gak mau main lagi ke sini."
"Enggak, gue pasti bakal sering ke sini, sampe lo bosen."
"Sampe lo harusnya yang bayar kosan gue ya, karena mungkin lo bakalan lebih sering di sini, dibanding di kosan lo sendiri."
"Kalo di sini ada kamar kosong, mending gue pindah aja."
"Biar apa?"
"Biar deket sama lo."
Juni terkekeh. "Biar kayak waktu kecil dulu, kita tetanggaan?"
Deri mengernyit; bukan itu maksudnya. Namun, dia tetap menjawab, "Iya."
"Nanti gue kabarin kalo ada kamar kosong." ujar Juni. "Kamar sebelah itu, tuh, 'Aa yang tadi bilang aliran, itu bentar lagi kosong, soalnya si 'Aa itu mau wisuda Agustus ini."
"Lo Agustus ini ulang tahun, kan." Deri tidak bertanya, hanya memastikan.
"Iya."
"Udah tua juga ya lo."
"Sialan. Liat aja nanti September, gue balikin kata-kata lo." Lanjut Juni, "Kita tuh cuma beda sebulan ya, gak nyampe setahun."
Deri tergelak. "Yang penting, elo lebih tua."
"Dengan segala hormat, Bapak Deri, bodo amat."
Kasurnya makin terguncang karena gelak tawa Deri.
"Sstt, diem, Der, ntar tetangga gue ngiranya di kamar ini ada hantu."
"Bukannya ada?" seloroh Deri. "Gue suka denger kok, kosan lo ini berhantu."
"Diem, Deri, ntar hantunya kepanggil." Juni terdiam, Deri ikut diam. Kamarnya sudah gelap gulita, tanpa penerangan apapun. Ponsel Juni sudah lama meredup. "Tuh, kan. Anjir. Gue jadi merinding. Berasa lagi diliatin."
"Diliatin sama gue."
"Berisik. Gue serius."
"Gue juga serius." ujar Deri, menatap ke kegelapan di hadapannya. Dicoba diraihnya Juni.
"Anjir!" seru Juni. "Lo ngapain megang-megang gue?!"
"Mau mastiin aja yang beneran ngobrol sama gue itu Juni bukan."
"Yang ngomong sama gue beneran Deri bukan?!"
"Nih, coba pegang," Deri meraih tangan Juni — setidaknya, terasa seperti tangan Juni. "Anget, kan? Kalo dingin, bukan gue." Deri masih belum melepaskan tangan Juni, ketika dia melanjutkan, "Kok tangan lo dingin…"
"Gue takut, bangsat." timpal Juni. "Ya kali gue hantu."
"Sstt, Juni, nanti 'mereka' ngerasa kepanggil."
"Lo yang mulai duluan!" Deri merasakan Juni bangkit. "Gue tukeran, ah! Gue yang deket tembok!"
Deri juga ikut bangkit. "Mending kita berdiri dulu, terus lo tiduran duluan." Ketika Juni tidak menjawab, Deri berkata, "... Kita loh ya yang berdiri, jangan mikir yang aneh-aneh."
"Gue gak mikirin yang jorok-jorok, anjiiing."
"Jangan gitu. Kasian anjing lo di rumah itu, siapa namanya? Bleki?"
Juni menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Bella."
"Oh, ya. Bella. Kayak cewek di Twilight itu, kan?"
"Iye."
"Ya udah ayo kita berdiri dulu."
"Gak mau." balas Juni.
"Kenapa?"
"... Takut. Takut ada yang narik kaki gue dari bawah tempat tidur…"
"Gak akan. Kalo ada yang narik, gue tarik balik. Terus kita jadi saling menarik deh, kayak lomba 17 Agustusan."
"Kadang gue capek banget ngomong sama lo."
"Ketawa, dong. Biar gak tegang-tegang amat."
"Gimana kalo," potong Juni sebelum Deri sempat mengutarakan lelucon tak senonoh lagi, "Gue geser ke tempat lo, terus lo ke tempat gue?"
"Gue… loncat, gitu?"
"Ya gak loncat juga… Lo diem aja di sana, di ujung tuh, terus gue geser."
Maka Deri merangkak menuju ujung tempat tidur, kedua tangannya meraba-raba depannya, mencari ujung kasur. Dia meringkuk, memeluk kedua lututnya, dan berkata, "Udah nih gue udah di ujung."
Kasur berguncang sedikit, dan dia merasakan sesuatu — kaki Juni? — menyentuh kakinya. Deri memegangnya, dan mendengar Juni berteriak.
"Anjing! Anjing! Bang—"
"Jun, Jun, ini gue." Deri menggoyang-goyangkan pergelangan kaki Juni. "Biasa aja 'napa."
"Anjing lo, Der."
"Bukan, gue kucing." timpal Deri, melepaskan kaki Juni, dan tangannya kembali meraba-raba hadapannya, sembari dia beringsut menuju tempat Juni sebelumnya. Setelahnya, dia berbaring, dan merasakan Juni menatapnya. "Kok gue ngerasa ada yang ngeliatin."
"Tuh, kan, bukan gue aja yang ngerasa gitu."
"Kayaknya lo, deh, yang ngeliatin gue."
"Pede banget. Orang gue gak keliatan apa-apa."
"Gue juga tadi gitu, tapi kan gue bisa ngerasain kehadiran lo." Kemudian, Deri bersenandung, "Dan kau hadir, merubah segalanya…"
"Berisik banget sih lo dari tadi."
"Lo tau gak? Menurut kaidah KBBI, yang betul itu mengubah, bukan merubah."
"Iya."
"Lo udah tau?"
"Gue nge-iya-in aja biar cepet." Deri menghela napas dan mencibir. Juni tergelak mendengarnya dan melanjutkan, "Jangan pundung, Der. Lo jelek kalo ngambek."
"Kata kakak-kakak gue, gue lucu kalo ngambek."
"Ya itu kan kata kakak lo, lo kan adik mereka."
"Jadi gue gak lucu?"
"Enggak."
Deri bergerak membelakangi Juni. Dirasakannya Juni memegang bahunya, sembari tertawa.
"Enggak, Der, lo lucu. Lo ganteng. Paling ganteng sedunia."
"Sedunia akhirat?"
"Malah ngelunjak, kan."
Deri kembali berbaring di punggungnya. "Lo masih suka mimpi buruk gak?"
"Lo masih inget?" tanya Juni, secercah keterkejutan terdengar di ujung kata.
"Masih." jawab Deri. "Lo juga masih inget, kan, gue takut kodok dan ketinggian?"
"Iya, sih…" Juni menghela napas. "Kalo mimpi badut udah enggak, tapi gue ada mimpi lain yang sama nakutinnya."
"Apa tuh?"
"Mimpi naik lift, terus lift-nya jatuh."
"Aduh."
"Iya." Juni melanjutkan, "Biasanya gue mimpi gitu kalo lagi stress, banyak tugas, kurang tidur. Sekalinya tidur, mimpi gitu, gimana gue gak makin capek abis bangun."
Deri terdiam, mendengarkan Juni berceloteh mengenai mimpi-mimpi lainnya; dari yang buruk, hingga yang baik.
"Gue baru tau, kalo mimpi ikan itu katanya ada rezeki yang akan datang."
"Kata siapa tuh?"
"Kata Ibu Kos."
"Terus lo percaya?"
"Pas kita ketemu di prodi itu, gue sebelumnya mimpi ikan." Juni melanjutkan, "Terus paginya, pas gue beli sarapan di warung si Ibu, gue cerita gue mimpi ikan. Dia bilang, 'Wah itu tandanya kamu bakalan dapet rezeki.'" Dia terdiam sejenak, dan sesaat, Deri merasa ada sesuatu yang hangat di dalam dirinya. Juni kembali berbicara, "Siangnya, gue ketemu lo."
Deri tercekat, tidak tahu harus menjawab apa; dia bahkan tidak terpikir untuk mengutarakan lelucon soal itu.
"Jadi, gue seneng bisa ketemu lo lagi." simpul Juni.
Deri berdeham, sebelum berkata, hampir seperti berbisik, "... Gue juga…"
Melalui suaranya, Deri bisa mendengar secercah senyum Juni, "Udah ngobrolnya? Gue udah ngantuk."
"Oke," jawab Deri, merasakan kasur terguncang sedikit, dan mungkin Juni sudah tidur membelakangi dirinya.
Dicobanya untuk ikut tidur, tapi pikiran Deri melayang-layang ke percakapan mereka tepat satu menit dua puluh tujuh detik yang lalu: Siangnya, gue ketemu lo. Gue seneng bisa ketemu lo lagi.
Deri sudah lama terbangun; kamarnya terang benderang, matahari sudah lama naik.
Dan dia, masih di tempat tidur, memikirkan Juni, dan malam yang mereka habiskan bersama, saat itu, tujuh tahun yang lalu.
Mungkin itu adalah awal, atau pertengahan, atau apapun yang pasti bukan akhir. Meskipun pada akhirnya, mereka berpisah, di persimpangan jalan. Juni memilih jalan yang lain, begitu juga dengan Deri.
Namun, entah kenapa, mimpi itu datang. Saat mereka mengobrol di dalam kamar gelap, bisa merasakan kehadiran masing-masing, tapi tidak dapat menatap.
Ketika terbangun, Deri tidak terlalu ingat jelas mimpinya, tapi dia masih dapat mendengar kata-kata Juni, Pas kita ketemu di prodi itu, gue sebelumnya mimpi ikan.
Deri bangkit dari tempat tidurnya, dan tersenyum kecil. Perlahan, dia terkekeh. Samar-samar, dia mengingat ada kolam ikan di mimpinya, dan dia menjulurkan kepala untuk melihat ada banyak ikan di kolam itu. Entah di bagian mimpi yang mana.
Gue seneng bisa ketemu lo lagi.
… Gue juga…
sediakalaNamun, baru saja Deri melangkah keluar ruangannya, pandangannya tertuju kepada satu sosok yang… terlihat familiar. Sangat familiar, hingga Deri melangkah lebih dekat, dan lebih dekat lagi, untuk memastikan.
Juni.
Itu Juni.
Chapter 1 Chapter Text
17. things you said i wish you hadn't
Selasa itu, seperti Selasa-Selasa sebelumnya, terasa amat panjang bagi Deri. Dia bangun, mandi, berpakaian, dan pergi membeli bubur untuk dimakan di tempat. Di sana, dia terlalu asyik mengobrol dengan Kang Bubur sehingga dia telat. Sesampainya di kantor, dia dihadapkan oleh surel yang membludak: balasan dari buyer yang berada di zona waktu berbeda.
Tepat dua jam kemudian, jam sepuluh pas, dia mendesah. "Perasaan gue udah ngerjain banyak hal, deh." ujarnya kepada Wawan, rekan kerja yang duduk di sebelahnya. "Tapi, kok, masih jam sepuluh ya… Mana istirahat masih lama lagi."
"Mending lo ke produksi aja." balas Wawan.
"Ngapain?"
"Anterin shoulder pad ke factory B. Gue masih follow up pertanyaan produksi ke buyer." Kemudian, sambil melirik Deri, Wawan menambahkan, "Ayolah. Di factory B lo bisa ketemu Gisel terus cari gosip."
"Gue bukan lamtur."
"Lo lamtur anak-anak Merchandiser, Der." Wawan mengingatkan, tangannya meraih plastik isi shoulder pad dan menyerahkannya ke Deri. "Nih, ada tiga pasang buat sample."
"Ini PPC-nya siapa? Ningsih? Apa Karina?"
"Ningsih."
Maka berangkatlah Deri ke factory B yang jaraknya lumayan jauh dari office tempat karyawan-karyawan non-produksi berada; HRD, Merchandiser, Purchasing, Finance, Import and Export.
Namun, baru saja Deri melangkah keluar ruangannya, pandangannya tertuju kepada satu sosok yang… terlihat familiar. Sangat familiar, hingga Deri melangkah lebih dekat, dan lebih dekat lagi, untuk memastikan.
Juni.
Itu Juni.
Juni sedang duduk di sofa depan resepsionis, menunduk menatap ponselnya. Tampaknya dia sedang menunggu seseorang… tapi, siapa? Deri kenal semua buyer lokal, dan hapal wajah-wajah QC buyer.
Apa… Juni akan bekerja di sini?
Deri menghampiri Juni, dan menyapanya. Mata Juni membesar melihat Deri, dan Deri tertawa melihatnya.
"Kok… lo ada di sini?" tanya Juni.
"Harusnya itu yang gue tanya: lo ngapain di sini?"
"Gue… gue abis tandatangan kontrak…"
"Oh? Beneran?" Deri duduk di hadapan Juni. "Di posisi apa? Bagian apa? Produksi atau office?"
"Di QC," jawab Juni, "Produksi, pasti. Factory… B?" lanjutnya ragu.
"Oh, QC factory B? Berarti nanti lo sama Bang Kanan!"
"Iya gue waktu itu interview sama dia…"
"Terus lo di sini ngapain? Nunggu dia? Atau nunggu Bu Iren?"
Juni tertawa kecil. "Bu Iren? Bu Ai-rin?"
"Iya, itu. Bu Iren."
Juni kembali tertawa. "Lagi panggil Pak Kanan."
"Lo hati-hati, jangan panggil dia Bapak."
"Kenapa emang?"
"Takutnya kejang-kejang, soalnya belum bapak-bapak tapi udah dipanggil Bapak."
Juni masih saja tertawa mendengar kelakar Deri. Deri tersenyum menatap Juni: sudah lama mereka tidak bertemu, maka sudah lama juga Deri tidak mendengar suara tawa Juni yang khas, yang membuat hati Deri terasa hangat, menjalar hingga wajah dan ujung jari.
"Lo di sini bagian apa? Di office ya?" tanya Juni.
"Iya, gue di Merchandiser." jawab Deri. "Nanti kalo ada apa-apa lo hubungin gue aja, nomor WA gue masih yang lama."
"Kalo ada apa-apa… apanya?"
"Ya misalkan lo nemu garmen cacat atau apa gitu, hubungin gue aja."
"Emangnya lo pegang semuanya?"
"Ya enggak, sih."
"Terus?"
"Biar ada alasan aja kita ngobrol."
Juni tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya mendengar itu.
Sebelum Deri bisa melanjutkan aksinya, Kanan menghampiri mereka.
"Pagi, Juni." sapa Kanan, kemudian melihat Deri dan berkata, "Pagi, Deri. Udah kenal sama Juni?"
"Dia temen kuliah gue, Bang." jawab Deri.
"Oh, bagus, dong." Kemudian kepada Juni, Kanan berkata, "Tapi lo hati-hati, ya. Dia orang paling gak bisa dipercaya di Vision Garment, nomor satu."
Deri terbahak mendengarnya. Deri senang membual, menceritakan hal-hal yang tidak pernah terjadi, atau pernah terjadi, namun dia membesar-besarkannya. Seperti cerita Kanan pernah makan kecoak (tidak pernah terjadi) atau Wawan tidak tahu jalan hingga tersesat ke Garut (hanya sampai Rancaekek).
Karena itu, dia sering kali dibilang dia manusia paling tidak bisa dipercaya di Vision Garment.
"Nomor duanya ada?" kata Juni.
"Nomor duanya Toni, anak Pattern." jawab Kanan. "Nanti juga lo ketemu dia. Udah, ah, ayo kita ke ruangan QC aja. Lo mau ke mana, Der?"
Deri berdiri. "Gue mau ke factory B juga, mau ngasihin shoulder pad ke Ningsih." Dia ikut berjalan bersama mereka, dengan Juni di tengah Deri dan Kanan.
"Buat sample apaan?"
"Buyer Jepang itu, lho."
"Yang mana?"
"Gak tau, ini pegangannya Wawan."
Kanan menggeleng-gelengkan kepalanya dan mendesah. "Kan. Gue bilang juga apa. Jun, lo kan temen kuliah dia, dia ini emang dari dulu gak bisa dipercaya?"
Juni tertawa kecil. "Biasa aja, sih, Bang, dulu…"
"Gue baik, Bang. Dapat dipercaya. Trustable."
"Lo itu bukan trustable, tapi, trus trus, kayak tukang parkir."
Deri bertepuk tangan. "Hore, Bang Kanan udah mulai bagus jokes-nya, agak garing sedikit, tapi there's room for improvement! Semangat, Bang!"
"Sialan lo."
Juni tertawa menyaksikan mereka. Deri menunduk, mencoba menyembunyikan senyumnya. Ketika dia mendongak, dia melihat Ningsih di pintu masuk factory B. Ningsih juga melihatnya, dan melambaikan tangan kepada Deri.
"A Deri, kata A Wawan ada shoulder pad untuk sample Jepang?" kata Ningsih. Dia melihat Juni dan mengulurkan tangan. "QC baru, ya? Aku Ningsih, PPC."
"Juni." Juni menyambut uluran tangan Ningsih.
"Ningsih ini PPC yang pegang buyer Asia, kayak Jepang dan Korea. Lo bisa minta tech-pack, size spec, dan trimlist ke dia. Kalo ada pertanyaan juga, kasih ke dia, biar dia yang follow up." jelas Kanan. Juni mengangguk-angguk.
"Nih." Deri menyerahkan bungkusan plastik ke Ningsih. "Ada empat pasang."
"Ih, kan sample-nya cuma tiga piece?" Ningsih mengeluarkan shoulder pad dan menghitungnya. "Ada tiga, Aa."
"Oh, salah, ada tiga." Deri tertawa.
"Tuh, lihat, dia memang orang tidak bisa dipercaya." ujar Kanan.
"Asli, ih, aku mah suka agak hariwang kalo aku pegang order yang dipegang A Deri juga." kata Ningsih.
"Ya ampun, Ning, gue gak sejelek itu kali?"
"Mukanya enggak, tapi kelakuannya iya." Kemudian, setelah berpikir sejenak, Ningsih menambahkan, "Kalo A Deri bikin Tiktok, pasti masuk tiktokjelek."
"Ya Tuhan…" gumam Deri. "Udah, ah, gue balik aja ke office. Ke produksi gue malah di-bully." Dia melambaikan tangannya ke Juni. "Bye, Juni, nomor WA gue masih yang lama."
Kanan menimpali, "Lo jangan macem-macem sama anak gue."
"Gue gak akan macem-macem, Pak Kanan." Deri berjalan mundur. "Gue baik, kok!"
Hal terakhir yang dilihatnya sebelum berbalik dan berjalan menuju office adalah senyum Juni.
Deri melirik jam tangannya: pukul sepuluh lebih tiga puluh tiga menit.
"Wan," panggil Deri.
"Hmm." Wawan masih memandangi layar komputernya, satu tangan memegang kalkulator. Deri tidak paham kenapa Wawan tidak menggunakan Excel saja, atau kalkulator di komputer.
"Lo pernah mimpi ikan, gak?"
"Gak inget." jawab Wawan. "Pernahnya mimpi gendong kucing."
"Katanya gak inget…"
"Kucing oren soalnya, jadi gue inget."
"Jadi gue semalem mimpi ikan…" ujar Deri, pelan, matanya memandang komputer dan baris-baris angka costing, namun pikirannya berkelana ke tempat lain. "Terus ada yang pernah bilang ke gue, kalo mimpi ikan itu gue akan dapet rezeki…"
"Si Juni itu bukan? Yang lo suka sama dia dan dia juga kayaknya suka sama lo tapi gak pernah ada waktu yang tepat?"
Deri terperangah mendengar Wawan. "Kok lo… inget, sih, cerita gue itu?" tanya Deri. "Kenapa urusan kerjaan aja lo lemotnya kayak Windows lagi update?"
"Gue inget apa yang temen-temen gue pernah cerita, kok," timpal Wawan. "Lo juga, kan, kalo kobam, udah gak ada filter lagi."
"Sialan, tapi bener." Deri terdiam sejenak, kemudian berkata, "Juni kerja di sini sekarang. Lo tau, gak? Gue baru ketemu dia tadi, pas mau ke factory B. Dia di QC, sama Bang Kanan."
"Juni ini maksud lo?" Wawan menunjukkan ponselnya, jempolnya menahan layar agar status WhatsApp itu tidak berpindah. Deri melihat foto Kanan, Juni, dan Gisel di ruangan QC, dengan caption, Welcome aboard, Juni!
"Iya, yang itu."
"Cakep."
"Punya gue."
"Buset, belom jadian aja udah sewot." Wawan melanjutkan, "Yakin jadian?"
Deri mencibir. "Ya kalo dia belum punya pacar."
"Kalo si Abang suka, gimana? Cinta segitiga? Adu rayu?"
"Bang Kanan gak pernah pacaran sama anak buahnya sendiri."
"Iya juga." Wawan mengangguk-angguk. "Kalo Gisel suka?"
"Emangnya Gisel suka batang?"
"Lho, dia gak suka cowok?"
Deri memandang Wawan.
"Eh, serius. Gue gak tau. Dia gak suka cowok?"
"Gue tarik kata-kata gue." kata Deri. "Lo kalo urusan beginian kadang secepet SiGancang, tapi kadang lemot kayak Internet Explorer."
Wawan tidak menjawab, dan malah mengetik sesuatu di ponselnya. Deri menggeser kursinya mendekati Wawan, dan mengintip.
"... Kenapa lo malah jadi nanyain Gisel, deh…" gumam Deri saat melihat kalimat, Sel, lo gak suka cowok? di layar ponsel Wawan.
"Abis gue penasaran…" kata Wawan. "Jadi kalo Bang Kanan gak mungkin pacaran sama anak buahnya, dan Gisel gak suka cowok, jadi ada kemungkinan buat lo sama Juni, gitu?"
"Betul sekali, Wawan Surawan." Deri menggeser kursinya kembali ke depan mejanya. "Tapi itu kalo dia gak punya pacar."
"Mau gue tanyain ke Gisel?"
"Gak usah. Ntar dia malah ngiranya lo yang demen."
"Cakep, sih."
"Punya gue."
"Sewot amat lo, gue juga demennya ama yang lain."
"Makanya adain aksi pendekatan, sebelum ditikung sama yang lain."
"Emangnya ada yang suka si Abang juga?"
"Emangnya gue ngomongin Bang Kanan?"
Wawan sudah membuka mulutnya untuk membalas, tapi terdengar suara ding dari ponselnya. Dia menunduk memandangnya, dan Deri kembali menggeser kursinya mendekat, melihat pesan balasan Gisel.
Kemana aja, bocah?
"Sialan gue dibilang bocah, padahal lebih tuaan gue…" ujar Wawan.
"Lo emang kayak bocah, Wan."
"Lo juga, lebih muda dari gue, tapi udah enak aja panggil nama."
"Jujur, lo gak cocok dipanggil Kakak, Abang, atau Aa."
"Yang panggil gue Aa cuma Ningsih…" keluh Wawan. Dia menaruh ponselnya dan kembali memandangi layar komputer. "Udah, ah, gara-gara lo ya kalo gue dimarahin Pak Sugeng karena costing-an belom beres."
"Siap, si Yang Paling Sibuk Sedunia."
"Oke, deh, si Yang Paling Merasa Memiliki Juni."
Rasanya baru sedetik berlalu, ketika kali ini, ponsel Deri yang berbunyi. Dia melihat pesan di notification center: Der, gue mau pesen geprek buat makan siang. Lo sama Wawan mau nebeng gak?
Deri menyerahkan ponselnya ke Wawan. Wawan membacanya sekilas, dan berkata, "Gak, gue lagi berhemat."
"Gaya bener lo hemat, padahal kemarin abis beli album Twice."
"Ya itu. Bias gue comeback, jadi gue harus berhemat."
"Pantesan ya lo sama Bang Kanan gak ada kemajuan, orang kayak gini aja lo gak bisa ngemanfaatin."
Wawan mendecak. "Ya udah, iya, gue pesen satu, pake nasi, level 0."
"Cih, cemen level 0." Tapi Deri mengetik pesanan Wawan kepada Bang Kanan.
"Lo level berapa?"
"Lima."
"Kasian banget lambung lo."
Oke. Ntar istirahat ke ruang QC ya, balas Kanan. Deri tersenyum.
"Senyum-senyum sendiri baca WA si Abang, padahal katanya udah punya Juni."
"Nah, sekarang gue bisa balikin kata-kata lo: sewot bener, padahal belom jadian."
Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, namun bagi Deri, terasa sekejap mata: tahu-tahu, Juni sudah lulus. Tahu-tahu, dia mendengar kabar Juni sudah kembali ke Jakarta untuk bekerja. Tahu-tahu, mereka tidak pernah saling berkabar.
Deri sering melihat story di Instagram Juni, sedang gym, sedang nongkrong bersama teman-teman kantornya, dan terakhir, dia melihat post tentang Juni resign. Dia ingin bertanya, namun tidak menemukan keberanian.
Mungkin dia memang pengecut, seperti dulu, saat dia dan Juni bertemu lagi di kampus, namun dia tidak pernah mendekati Juni, hingga kesempatan datang padanya.
Wawan mendengarkan semuanya, dan berkata, lirih, "Lo tuh, jangan cari keajaiban. Lo yang harus bikin keajaiban itu sendiri…"
Deri mengangguk, dan mengusap matanya. "Gue tau… tapi, susah…"
Mereka sedang berada di parkiran motor. Sepi, hampir kosong. Sudah hampir jam enam sore.
Sudah lebih dari tiga bulan sejak kedatangan Juni. Sekejap mata, dan Deri kembali ke titik nol.
Deri bisa menyalahkan pekerjaannya yang tidak selesai, dan terus bertambah. Dia bisa menyalahkan sample development untuk buyer yang sama sekali baru, tidak pernah dia handle sebelumnya.
Wawan benar.
Seharusnya dia berusaha lebih keras.
"Bener ya, kalo lo kobam itu gak pernah ada filter." kata Wawan.
"Berisiiik," gerutu Deri, menutup mata dan menyandarkan kepalanya ke spidometer. "Gue ngantuk, abis cerita panjang."
"Deri? Wawan? Belum pulang?"
Deri mengangkat kepalanya cepat dan melihat Juni di depannya. Juni. Orang yang baru saja Deri bicarakan dengan Wawan. Dalam hati dia mengumpat, Kenapa orang yang lagi gue omongin suka terpanggil, sih. Bukan satu-dua kali hal ini terjadi. Pernah, dia sedang membicarakan Pak Sugeng, Merchandiser Team Lead, di toilet. Kemudian, Pak Sugeng masuk ke dalam toilet.
"Belom nih, Jun." jawab Wawan. "Lo kenapa belom pulang?"
"Tadi habis dipanggil Bu Irene." kata Juni. "Gue udah lulus probation."
"Oh, selamat!" ujar Wawan, berdiri dan mengulurkan tangannya ke Juni. "Naik gaji, nih."
Juni terkekeh. "Moga-moga aja…" Juni melirik Deri. "Deri… kenapa? Diem aja?"
"Oh, ini." Wawan menepuk bahu Deri pelan. "Jun, kostan lo deket sini, kan? Kalo nampung dia dulu, mau gak? Dia abis makan peuyeum dari Bu Iin, terus jadi gini."
"Jadi… diem?"
"Jadi mabok."
Juni tidak kuat menahan tawanya, dan segera menutup mulut dengan tangan. "Eh, sori…" katanya. "Gue baru tau ada orang bisa mabok karena makan tape."
"Si Deri ini emang gak kuat makan atau minum yang ada alkoholnya," jelas Wawan.
"Kayak lo minum satu gelas bir gak langsung teler aja…" gerutu Deri pelan, kepalanya kembali bersandar di atas spidometer.
"Dia ngantuk, katanya. Gue gak tega ninggalin dia sendiri, tapi gue harus pulang karena udah ada janji. Sementara, kalo dia bawa motor, takutnya kenapa-napa. Gimana, Jun? Boleh gak nampung dia dulu untuk sementara? Kalo ada apa-apa, telepon gue aja."
"Boleh aja." kata Juni. "Motor lo simpen sini aja gak apa-apa, Der? Nanti gue anterin lagi aja ke sini."
Deri melambaikan tangannya, namun masih belum mengangkat wajah. "Gue gak apa-apa, cuma mau istirahat bentar di sini."
"Lo istirahat di sini, nanti ketemu sama si Baju Merah lho." kata Wawan.
"Si Baju Merah siapa?" tanya Juni. Kemudian, Deri mendengar Juni bergumam, "Ooh…"
"Udah, Der, mending lo sama Juni aja. Gue mau pulang sekarang, gak bisa nemenin lo lama-lama." kata Wawan lagi, satu tangan berada di bahu Deri. Kemudian, Wawan berbisik, "Inget kata-kata gue tadi?"
"Yang gue kalo kobam gak ada filter?"
"Yang soal keajaiban, dodol."
"Oh, ya." Deri mengangkat wajahnya dan melihat sekeliling, mencari Juni. Dilihatnya Juni sudah mengeluarkan motornya. Deri berdiri dan menunggu Juni.
"Tapi soal gak ada filter itu juga lo harus hati-hati, sih. Beneran."
"Thanks for speaking up, Wan." kata Deri. Juni sudah berada di hadapan mereka berdua. Deri menaiki jok belakang, dan berpegangan ke behel motor.
"Pegangan ke Juni, Der. Ntar lo jatoh." kata Wawan.
Deri ragu, tangannya masih menggenggam erat behel motor di belakangnya. Namun, Juni berkata, "Iya, Deri, pegangan ke gue aja gak papa."
Maka Deri menaruh tangannya di bahu Juni, dan memusatkan perhatiannya di situ, agar tidak mengantuk. Dia hampir tidak mendengar Juni pamitan ke Wawan, juga tidak mendengar balasan Wawan. Dia hanya berfokus ke Juni di hadapannya, begitu dekat.
Jarak kantor ke kostan Juni rasanya amat dekat, meskipun mereka melalui banyak kelokan di gang sempit. Tiba-tiba motor Juni sudah berhenti di depan sebuah rumah bertingkat.
"Ayo, Der, ini kostan gue." kata Juni. Deri turun dari motor dan membiarkan Juni memasukkan motornya ke parkiran dalam. Deri ikut masuk, dan menutup gerbang. Dia berjalan mengikuti Juni ke kamarnya.
Di dalam, Deri memilih duduk di lantai yang tidak ditutupi karpet.
"Di atas aja, Der." kata Juni. "Ntar masuk angin."
"Gak papa." Deri menggelengkan kepalanya, sambil memeluk lututnya. "Adem."
"Lo beneran gak apa-apa?" Juni ikut duduk di depannya. "Gue gak pernah liat lo mabok. Dulu waktu makrab juga, lo gak ikut minum, kan."
"Gue gak bisa minum alkohol… gak kuat."
Juni tertawa, namun cepat-cepat dihentikannya. "Maaf, tapi… kocak banget, gue baru liat ada orang mabok karena makan tape."
"Lo harus tau ya, peuyeum Bu Iin itu paling enak. Lo harus nyobain, nanti kalo dia bawain lagi, gue bawain juga ke elo…" Deri menunduk, memandang ke satu titik di lantai.
"Der?"
"Jun…" Deri memandang Juni. "Kenapa, sih, kita gak pacaran aja?"
Juni terdiam, mata membeliak.
Deri melanjutkan, "Gue… suka sama lo. Dari dulu. Tapi, dulu lo punya pacar. Gue baru tau abis kita beres asistensi itu. Terus, katanya lo udah putus, tapi lo keburu lulus, dan gak akan di Bandung lagi… sekarang, lo balik ke sini, kerja di tempat sama kayak gue… Kenapa kita gak pacaran aja?" Deri berhenti. Juni masih memerhatikan, mendengarkannya. "... Itu juga kalo lo suka sama gue. Kalo nggak, ya… udah. Gak jadi."
Samar-samar, Deri teringat kata-kata Wawan tentang dirinya yang tidak ada filter saat mabuk.
Juni tersenyum, dan untuk sesaat Deri merasakan sebuah harapan.
"Lo besok bakalan lupa soal ini, Der." kata Juni. Kemudian, dia bangkit dan membawakan segelas air untuk Deri.
"Jadi… nggak?" Deri memastikan. Dia menenggak air banyak-banyak, untuk menelan gumpalan yang ada di tenggorokannya.
Juni menggelengkan kepalanya perlahan. "You're going to forget about this in the morning." ulangnya.
Deri meminta segelas air lagi, karena gumpalan di tenggorokannya masih ada, terasa.
Semua berjalan seperti biasanya. Deri bangun, mandi, berpakaian, dan pergi membeli bubur untuk dimakan di tempat. Di sana, dia terlalu asyik mengobrol dengan Kang Bubur sehingga dia telat. Sesampainya di kantor, dia dihadapkan oleh surel yang membludak: balasan dari buyer yang berada di zona waktu berbeda.
Tapi, waktu berjalan lebih cepat, juga lebih lambat.
Tepat jam dua belas siang, dia mendengar bel istirahat dari produksi, dan mendongak dari layar komputernya. Lampu-lampu di ruangan sudah dimatikan, makan siang sudah tersedia di mejanya.
"Sibuk banget, Der?" tanya Wawan.
Deri mengangguk. "Gue masih nego tanggal delivery, karena produksi gak mau nerima tanggal yang ditentuin buyer." Dia membuka kotak makannya dan melihat makanan di dalamnya. Dia mengernyit, namun tetap menyendok sesuap nasi.
Mereka makan dalam diam. Tak lama, Wawan sudah selesai. Wawan memang cepat sekali makannya, Deri terkadang heran, bagaimana Wawan bisa tidak tersedak.
"Gimana lo sama Juni?" tanya Wawan sambil lalu.
"Yah…" Deri berhenti makan. "Lo bener, soal gue harus hati-hati ngomong kalo lagi mabok."
"Lo ngomong apa emang ke dia? Lo confess?" Wawan tidak melihat Deri, matanya memandangi layar ponsel. Deri tidak menjawab, dan Wawan menengok ke arah Deri, mata membeliak. "Anjrit. Der, beneran lo confess?"
Deri mengangguk pelan.
"Terus? Gimana katanya?"
"Lo gak ngeliat muka gue udah memelas gini?"
"I am so sorry, bro…" kata Wawan. "Tenang, masih banyak ikan di laut."
"Tapi gue maunya ikan Juni."
"Coba lo tanya dia, siapa tau dia punya kolam ikan di rumahnya."
"Lucu."
"Hahahaha." Wawan tertawa terpaksa. "Damn. I am so sorry… Gue, kan, yang waktu itu minta dia buat bawa lo dulu ke kostan…"
"Gak apa-apa, Wan. Seenggaknya sekarang gue udah tau isi hati dia."
"Terus, sekarang lo gimana?"
"Move on. Mau gimana lagi?"
"Tapi, gue salut ama elo. Kita kan tiap minggu suka ada acara nih, suka ada Juni juga, kan. Lo bisa ya nahan perasaan…"
"Lo gak tau aja gue sakitnya kayak gimana tiap liat dia… ngeliat dia ketawa… berharap andai gue yang bisa bikin dia ketawa…" Deri menutup kotak makan dan menyingkirkannya.
"Oh, pantes ya lo dengerin lagu Yoasobi melulu."
"Bangsat, ternyata lo liat Spotify activity gue ya?"
"Lah, kita kan patungan buat pake Spotify Family. Lagu-lagu lo ada di Family Mix." Wawan kemudian berkata, "Bang Kanan nanyain lo berdua. Kata dia, lo sama Juni gelagatnya sama-sama aneh."
"Masa, sih?"
Wawan mengangkat bahu. "Lo, kan, tau gue jarang merhatiin orang. Kalo lo gak ngomong soal ini, gue gak akan tau lo udah ditolak Juni."
"Bangsat, harus diperjelas lagi."
Wawan tidak menjawab, dan mengetik sesuatu di ponselnya. Kemudian, "Kan gue udah bilang, plenty of fishes in the sea."
"I want Juni's fish."
"Nah, itu namanya hawa nafsu."
"Bangsat bener gue punya temen."
Wawan menyerahkan ponselnya ke Juni, menunjukkan layar WhatsApp. "Bang Kanan ngajakin karaoke, mau ikut? Tapi yang dateng ada dia, Juni, Gisel, Jajang, Toni, Karina."
Tadinya, Deri sudah akan menolak begitu mendengar nama Juni. Namun, diurungkannya niat itu. Bagimanapun juga, dia harus bisa memperlakukan Juni seperti biasanya, seperti tidak ada apa-apa.
Deri mengangguk. "Oke, bilang ke dia gue ikut."
Wawan mengetik jawaban Deri. Kemudian, dia membacakan balasan Kanan, "'Sip. Di Paskal, ya. Deri bisa ngeboncengin Gisel, gak? Gisel gak bawa motor.'"
"Bisa." balas Deri.
Wawan kembali mengetik, dan membaca balasan, "'Wan, Juni nebeng lo, ya? Motornya di bengkel.' Wah, gimana nih, Der?"
"Gimana apanya? Iyain aja."
"Lo gak apa-apa?"
"Gak apa-apa. Emangnya gue bakalan kenapa-napa?" tanya Deri balik.
Wawan mengetik, tapi ketikannya terhenti. "Eh, kata si Abang gak jadi, Gisel jadinya nebeng gue. Juni nebeng lo."
"Kok dia jadi nebeng gue?" Deri mengerutkan kening.
Wawan mendekatkan ponsel ke telinga, namun suara Gisel terdengar jelas dari ponsel Wawan.
"Gue gak mau diboncengin si Deri! Dia lama kayak siput hamil!" seru Gisel dari voice note.
"Sialan, gak selambat itu, kali." gerutu Deri. "Kalo bawa cewek juga gue bawa motornya pelan-pelan." Deri meminta ponsel Wawan, dan mulai merekam voice note, "Heh, Gisel, masih untung ada yang mau nebengin lo. Wawan tuh hobi nyasar. Masa lo lupa, dia ke Pasteur mau lewat tol padahal bawa motor?!"
"Sialan, jangan bawa-bawa gue." Wawan merebut ponselnya dari tangan Deri, namun voice note tersebut sudah keburu terkirim. "Ini kenapa ajang PDKT gue malah keganggu sama bocil-bocil kayak lo pada."
"Emangnya tahap PDKT lo udah nyampe mana?"
"Yang pasti ada di tahap menjanjikan, gak kayak elo."
"Gue mau bilang ke Pak Sugeng, kalo gue mau tukeran tetangga. Gue mau punya tetangga yang akhlaknya lebih."
"Gue juga pengennya tetanggaan sama non wibu."
"Anjing."
Di perjalanan, Deri dan Juni tidak berbicara. Percakapan mereka hanya saat Juni akan menaiki motor.
"Nebeng ya, Der."
"Yo."
Sudah. Hanya itu saja.
Deri tidak tahu harus berkata apa, selagi dia sangat menyadari dan merasakan kehadiran Juni di belakangnya, begitu dekat.
Deri melihat Wawan malah berbelok kanan, di saat seharusnya dia lurus. Deri mengumpat, dan meminggirkan motor, berbalik ke Juni.
"Jun, sori, tolong telepon Gisel, dong. Bilangin harusnya Wawan lurus aja, jangan belok."
Juni dengan cepat mengeluarkan ponselnya, dan menelepon Gisel, menjelaskan apa yang baru Deri katakan.
"Iya, puter balik aja," kata Juni. "Lo tau, kan? Iya, gue sama Deri tepat sebelum perempatan, nungguin lo."
"Aduh, Wawan, tuh," gerutu Deri. "Hobi banget nyasar. Gue gak paham lagi sama dia. Untung lo gak dibonceng dia, Jun."
"Iya, tapi kata Gisel lo bawa motornya pelan banget kayak siput hamil." Juni tertawa, dan betapa senangnya Deri mendengar tawa itu lagi. Dia menurunkan standar motor.
"Gue bawa motornya pelan karena gue tau, kalo Wawan ketinggalan, dia nyasar." Deri menerangkan. "Gue di belakang dia aja, dianya belok ngasal, gimana kalo dia paling belakang?"
Juni tertawa lagi. Kemudian, mereka tidak berkata apa-apa lagi. Deri memperhatikan dari spion, mencari motor Wawan, namun pikirannya masih mencari topik obrolan lain.
Belum sempat Deri berkata apa-apa, Juni sudah mendahuluinya, "Der… lo… inget, ya? Yang waktu itu."
Deri terdiam, lama. Matanya masih memandang spion, namun mengawasi gerak-gerik Juni. Bisa saja dia pura-pura tidak mendengar, bisa saja dia mengabaikannya, toh Juni suaranya lirih, hampir tenggelam oleh suara bising kendaraan di sekitar mereka.
Bisa saja.
Namun, Deri tetap menjawab, "Iya."
Kali ini, giliran Juni yang terdiam. Mungkin Juni juga sedang menimbang-nimbang untuk mengabaikan Deri, untuk berpura-pura percakapan ini tidak pernah terjadi.
"Lo inget, gue bilang apa?"
"Lo bilang, gue bakalan lupa besoknya." Tapi gue gak lupa, lanjut Deri dalam hati.
"Iya, tapi gue juga bilang, try again when you're sober." suara Juni begitu jelas di telinga Deri, meskipun di sekeliling mereka begitu bising, begitu riuh, dengan bunyi mesin dan klakson. Namun, dia tetap tidak bisa mempercayai pendengarannya.
"Lo… apa?"
"Gue bilang, try again when you're sober."
"... Kapan?"
"Pas gue ngasih air. Inget, gak? Kan gue kasih air, lo minum, terus lo minta air lagi, gue kasih lagi, terus gue bilang gitu."
"Gue… gak inget."
Juni tertawa. "Jadi ketika gue bilang, you're going to forget it this morning, lo lupa kalimat gue selanjutnya?"
"... Iya."
Deri tidak berani berbalik menatap Juni, namun, dia bisa merasakan senyum Juni saat dia berucap, "Ask me again, Der."
Belum sempat Deri membuka mulut, sudah terdengar suara klakson motor Wawan, dan pemiliknya yang berdecak, "Emangnya lurus?! Ke Paskal bukannya belok?!"
"Ah, anjing lo, Wan," umpat Deri, lebih karena kekesalan Wawan sudah menginterupsi momen hampir-jadiannya. Dia menaikkan standar, dan mulai menjalankan motornya pergi, meninggalkan Wawan. Dia menelengkan kepalanya sedikit, dan berkata, "Jun, sebentar ya. Takut lo gak ngedenger."
Deri sekali lagi mendengar suara tawa itu, dan tersenyum.
Deri sengaja melambatkan motornya, agar momen ini berlangsung lebih lama: Juni di belakangnya, jari-jarinya menggenggam jaket Deri. Tidak banyak kata terucap di antara mereka, namun untuk Deri, itu sudah lebih dari cukup.
Ask me again, Der.
Wawan dan Gisel berhasil masuk ke dalam Paskal dengan selamat dan utuh, tidak ada satupun yang tertinggal atau tersesat. Deri dan Juni menyusul di belakangnya, dengan lambat dan berhati-hati. Deri melambaikan tangannya ke Gisel dan Wawan, memberi tanda agar mereka masuk duluan. Gisel melihatnya, dan cepat-cepat menarik Wawan masuk ke tempat karaoke.
Deri memarkirkan motornya agak jauh, di depan toko yang sudah tutup. Juni turun dari motor. Deri menurunkan standar motor dan mematikan mesin. Dia melepaskan helmnya dengan penuh kehati-hatian, mencoba untuk terlihat tetap tenang, meskipun jantungnya berdebar kencang, dan tangannya sedikit gemetar.
Saat dia turun dari motor dan mendongak, Juni sudah tersenyum melihatnya.
Ask me again, Der.
"Juni…" Deri memulai, berbisik, "Kenapa… kita… gak pacaran aja?"
"Ayo." balas Juni.
"Ayo? Gitu aja?"
"Iya, ayo."
"Gue udah deg-degan…"
"Sama, gue juga." Juni berkata. "Gue juga suka sama lo. Dari dulu. Tapi, waktu itu, saatnya memang belum tepat. Terus gue mikir, gue sama lo masih sama-sama muda, kalo memang ada jalannya, gue pasti bakalan bisa sama lo. Eh, bener. Gue ketemu lagi sama lo di sini."
"Jadi… kita… pacaran?"
"Iya."
"Beneran?"
"Gue harus gimana lagi biar lo percaya ini bukan mimpi?"
"... Ciuman?"
"... Nyesel gue tanya." Juni berbalik meninggalkan Deri, namun Deri satu langkah lebih cepat.
"Iya, iya, gue percaya sekarang." Mereka berjalan beriringan, dengan lengan hampir bersentuhan.
Angin berhembus kencang, suhu semakin turun seiring berjalannya malam, namun mereka sama-sama menunduk, menyembunyikan senyum.
Pagi itu, Deri datang lima menit lebih awal. Pak Sugeng yang melihatnya hanya bisa mengangkat alis. Deri menyunggingkan senyum lebar kepada atasannya. Pak Sugeng membalas dengan menggeleng-gelengkan kepala.
Wawan juga mengerutkan kening melihat Deri sudah ada di mejanya.
"Ini gue yang telat, atau lo yang kecepetan?"
"Yang mana aja boleh." ujar Deri.
Mereka mulai menekuri pekerjaan masing-masing; membaca, membalas, dan meneruskan surel ke produksi.
"Nomor telepon PPC factory A berapa?" tanya Wawan.
"123." jawab Deri.
Wawan mengangkat pesawat telepon yang berada di meja mereka, dan mulai menekan tombol sesuai dengan jawaban Deri. Dia berbicara dengan seseorang di ujung telepon, lalu menutup telepon.
"Dasar orang gak bisa dipercaya satu Vision Garment." gerutu Wawan. "Masa perkara nomor telepon aja bisa salah?!"
"Emang tadi bukan PPC factory A?"
"Bukan! Itu nomor telepon pattern factory B!"
"Oh, si Toni ini." jawab Deri santai.
Wawan menggeleng-gelengkan kepala dan mulai mengetik lagi di komputernya.
Ponsel Deri berdering. Dia melihat layar: Juni Aku
Deri tersenyum dan mengangkatnya, "Iya, Juni?"
"Der, lo pegang sample Eropa ini, yang jalan di factory B, kan?"
"Iya."
"Ini statusnya apa, ya?"
"Pacaran, Jun."
"... Status sample-nya, Der, bukan status kita…" jawab Juni. Deri mendengar suara tawa di ujung telepon.
"Oh. Hehehehe. Maaf, maaf. Development, Jun."
"Gue diketawain Bang Kanan dan Gisel… harusnya gue gak on speaker." keluh Juni.
"Hehehehe, gak apa-apa dong, Sayang." Deri kembali mendengar suara tawa yang lebih keras.
"Gue tutup aja, ya… daripada mereka harus ngedengerin hal yang lebih malu-maluin…"
"Lho, gak usah malu—halo?! Jun?! Yah, beneran ditutup…" Deri memandang ponselnya dan mendesah sedih. Dia melirik ke samping, dan menemukan Wawan tengah mengawasinya.
"Lo kalo pacaran bucin banget, ya."
"Everything I do, I do it for love, bro." timpal Deri. "Dan ini karena lo juga, kan."
Wawan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Karena Bu Iin."
Deri terbahak. Betul, karena Bu Iin, Deri dan Juni bisa seperti ini. Deri mengingatkan dirinya sendiri untuk berterima kasih kepada Bu Iin, kalau dia ke produksi lagi.
Selasa itu, tidak seperti Selasa-Selasa sebelumnya, berlangsung begitu cepat bagi Deri. Tiba-tiba, sudah istirahat. Tiba-tiba, sudah dua jam menuju waktu pulang. Tiba-tiba, sudah tiba waktunya pulang.
Deri berjalan menuju parkiran, sendiran, karena Wawan masih ada pekerjaan yang belum selesai. Dia melihat Juni yang juga berjalan menuju parkiran bersama Kanan, dan Gisel. Dia tersenyum dan berlari kecil menghampiri mereka.
sediakala bayanganbalap (racingshadows) Chapter 2 Notes:jujutsu kaisen spoiler alert /
ini bakalan jadi kumpulan one-shot deri & juni sehabis jadian 3
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text9. things you said when you were crying
Juni terbangun karena suara isakan di sampingnya. Dia tidak berani membuka matanya. Bagaimana kalau itu hantu penunggu kostan? Bagaimana kalau dia tidak sengaja menyinggung penunggu kamar ini?
Tapi, dia ingat dia memang tidak sendirian di kamar ini.
Dia meraih Deri di sampingnya, tapi matanya masih belum terbuka. "Der, Der…"
Suara isakan itu terhenti.
Juni membuka matanya dan melihat ke samping. "Der… lo nangis…?"
Deri menutup wajahnya dengan selimut, yang terlihat oleh Juni hanya jemarinya yang mencengkram erat ujung selimut. Deri menjawab dengan parau, "Enggak…"
"Lo kenapa? Alergi kambuh abis main sama kucing Toni? Udah minum obat belom?"
"Enggak… gue gak kenapa-napa…" ujar Deri, masih dengan suara serak. Dia berdeham. "Udah, Jun, tidur lagi…"
Juni menarik selimut dengan paksa, dan menemukan mata Deri merah dan bengkak. Hidungnya beringus. Juni menyipitkan mata. "Lo bilang sekarang juga lo kenapa sampe nangis?!"
Deri menutup matanya dengan satu tangan, terisak, dan satu tangan meraih ponselnya dan mengulurkannya ke Juni. Juni mengambil ponsel itu, masih sambil menyipitkan mata melihat kelakuan pacarnya. Deri bukan orang yang cengeng, kecuali…
Juni menunduk melihat layar ponsel; sebuah halaman komik dengan judul tertera di atas: Jujutsu Kaisen.
"Ini apa?" tanya Juni.
"Nanami…" isak Deri.
"Iya si Nanami kenapa?"
"Nanami…" Deri tidak bisa mengontrol tangisannya, dan dia tersedu-sedu, kedua tangan menutupi wajahnya. Juni meraihnya ke pelukannya dan mengelus rambutnya, menunggu hingga Deri bisa melanjutkan perkataannya: "... mati. Di chapter itu."
Kecuali… ada salah satu tokoh kesayangan Deri yang mati di anime kesukaannya.
Dari balik kepala Deri, Juni melihat ponselnya dan mulai scroll down, membaca sekilas panel-panel komik itu. Ah.
"Iya… udah, gak apa-apa," gumam Juni. "Nanami udah tenang di sana…"
"Enggak…" Deri masih terisak. "Nggak rela… dia gak sepantasnya mati… Nggak mau…"
"Udah, udah…" Juni menepuk-nepuk bahunya, meski batin berkata, Memangnya tokoh dua dimensi bisa masuk surga, ya?
Tidak butuh waktu lama untuk Deri agar bisa kembali tenang. Dia menarik diri dari pelukan Juni, dan menghapus sisa air matanya.
Juni memandanginya dengan hati-hati. "Udah… gak papa?"
Deri mengangguk. "Masih sakit, sih."
"Apanya?"
"Hatinya." Deri kembali menghapus air mata. "Sakitnya kayak diputusin."
"Nanti juga ada yang lain lagi…"
"Gak ada. Nanami cuma satu."
"Iya…"
"Kamu juga."
"Apaan?"
"Cuma satu di hati aku."
Juni mengerjapkan mata. Otaknya masih memproses sedetik lebih lama, namun tangannya sudah cepat mengambil bantal dan melemparnya ke Deri. "Nyesel gue udah khawatir sama lo!"
Deri tertawa dan memeluk bantal itu. "Makasih, ya, udah khawatir sama gue."
"Gak. Gue nyesel. Gue kirain alergi lo kambuh atau apa kek, dipecat gitu."
"Ih, jahat banget ngedoain gak bener."
"Gue gak ngedoain!"
"Doa itu omongan."
"Omongan itu doa."
"Oh, iya."
Deri berbaring. "Ayo, tidur lagi."
"Gue jadi gak bisa tidur gara-gara lo."
"Ayo, manis, Abang kelonin."
"Najis banget." Juni bergidik. Dipandangnya Deri dan rambutnya yang sudah semakin panjang itu, hampir menutupi mata. "Der."
"Hmm."
"Lo tahu gak?"
"Apaan?" Deri menatapnya; matanya masih bengkak dan merah, namun senyum sudah terulas di bibirnya. Juni tidak bisa tidak ikut tersenyum melihatnya.
"Lo makin mirip Bondol JPG."
senja kala bayanganbalap (racingshadows) Summary:"Yuk!" ujar Deri semangat. "Ayo ke Dufan!"
"Lo ke Dufan mau naik apaan, Der?" tanya Juni. "Lo kan takut ketinggian?"
Notes:playlist
(See the end of the work for more notes.)
Work Text:21. things you said when we were on top of the world
"Bang, gue mirip Bondol emang?"
"Akhirnya nyadar juga." ujar Kanan, masih berkutat dengan ponselnya, tidak menoleh ke Deri.
Deri merengut, dan menjulurkan badannya untuk melihat apa yang membuat Kanan tampak begitu sibuk. "Lagi ngapain sih, Bang?"
"Main Candy Crush."
"Bang, lo tuh jabatan udah tinggi, gaji gede, masa mainnya Candy Crush kayak ibu-ibu PNS?!"
"Lo jangan shaming ibu-ibu, dong." balas Kanan. "Ini tuh lumayan buat nyegerin otak." Kanan terdiam, matanya menyipit, satu tangannya di meja, ujung kukunya mengetuk-ngetuk permukaan meja. "Sialan." umpatnya, sebelum menyentuh kembali layar ponsel dengan jempolnya, dan menggeletakkannya begitu saja.
"Katanya nyegerin otak." ejek Deri.
"Daripada lo main Mobile Legends sampe teriak-teriak gitu." timpal Kanan, kembali mengambil ponselnya.
Deri mendengar suara Juni dan Jajang duluan, sebelum melihat bayangan mereka di pintu. Mereka masuk membawa kantong plastik berisi makanan yang dipesan Kanan. Wawan dan Toni mengikuti mereka.
"Akhirnya datang juga." kata Deri. Juni duduk di sebelahnya, membuka kantong plastik, dan mengambil satu kotak makan plastik sekali pakai. Deri sudah siap menerimanya, namun Juni mengulurkan kotak makan itu ke Kanan — yang sigap menerimanya, sambil tak lupa mengucapkan terima kasih.
Deri terperangah. Juni terkekeh, dan bilang, "Yang tua lebih dulu." Kotak makan selanjutnya dia berikan untuk Deri. Jajang juga membagikan makan untuk Wawan dan Toni.
Kemudian, tidak ada yang berbicara; masing-masing sibuk dengan makanannya (Wawan), makan sambil memainkan ponsel (Kanan dan Toni), atau saling mencuri makanan yang ada di kotak masing-masing (Jajang, Deri, Juni).
Toni bergumam, "Dufan promo, nih." Lanjutnya, "Buy one get one."
"Yuk!" ujar Deri semangat. "Ayo ke Dufan!"
"Lo ke Dufan mau naik apaan, Der?" tanya Juni. "Lo kan takut ketinggian?"
"Masih ada Istana Boneka! Rumah Miring!"
"Boleh, tuh," potong Kanan. "Hari Sabtu ini gimana?"
"Sabtu kan kita lembur." jawab Toni.
"Oh, sori, gue gak tau, gue kan anti lembur-lembur Sabtu club." Deri nyengir.
Toni memutar mata dan mengabaikan Deri. "Sabtu depan aja. Kita ke sana naik apa?"
"Gue punya temen yang ada rental mobil." kata Deri.
"Yang nyetir?"
Deri menepuk bahu Kanan. "Kan ada si Abang! Abang kita ini udah jagoan lah nyetir mobilnya, kayak pembalap F1."
Wawan, yang daritadi tidak banyak berbicara, ikut menimpali, "Kalo Bang Kanan gue percaya. Kalo Deri, enggak."
"Awas lo, Wan, gak akan gue bantuin lo bikin dokumen ekspor." ancam Deri. Wawan hanya mengangkat bahu.
Kanan menghela napas. "Ya udah, iya. Gue yang nyetir. Sabtu depan berarti, ya?" Dia melirik Deri. "Lo yang ngatur mobil, oke?"
"Siap!"
"Lo beneran gak papa, Der?"
Deri menarik kunci motornya, melepas helm dan menggantungkannya di spion, sebelum berbalik ke Juni. "Gak papa, apa?"
"Gak papa ke Dufan? Di sana kan banyak wahana ekstrem dan tinggi-tinggi…"
"Gak papa, Jun. Malah gue seneng bisa main sama anak-anak. Udah lama soalnya." Deri membuka kunci pintu kamarnya, dan mempersilakan Juni masuk duluan. Dia tersenyum saat mengunci kamar dari dalam. "Lo khawatir sama gue?"
"Gue suka nyesel kalo udah khawatir sama lo."
Deri tergelak, teringat kejadian beberapa minggu lalu, saat dia menangisi karakter manga yang dia suka, dan Juni dibuat panik olehnya. "Gue gak akan kenapa-napa, Sayang, masih banyak wahana lain yang lebih… menyenangkan, dan kids friendly."
Juni tidak berkata apa-apa lagi. Saat Deri menoleh memandangnya, dia melihat sekilas semburat merah di pipi Juni.
"Lo… jangan salting, dong. Gue jadi ikutan salting."
Juni menarik napas. "Udah, gue capek." katanya pendek, sebelum menghambur masuk kamar mandi.
Panggilan sayang masih menjadi hal yang baru, asing untuk mereka. Bahkan, sekadar mengubah panggilan gue-elo menjadi aku-kamu saja terasa… aneh, menggelikan. Jadi mereka sepakat untuk tidak mengubah apa-apa soal panggilan nama dan kata ganti, kecuali saat… terbawa suasana, a spur of the moment, dilandasi nafsu.
Lantas, apa yang berubah? Hampir tidak ada, kecuali mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama di kost, entah kost Deri atau Juni. (Seringnya, di tempat Juni karena paling dekat dengan kantor.)
Tapi, Deri senang karenanya. Setelah sekian tahun berada di perantauan, baru kali ini ada yang menemaninya pulang, makan bersama, dan tidur di sampingnya.
Mungkin karena ini hanya permulaan, dan rasa ini mungkin akan pudar. Namun, Deri berharap rasa ini tidak akan hilang, dan dia berharap Juni juga merasakan hal yang sama.
Terdengar suara notifikasi dari ponselnya, Deri melihatnya sekilas. Dia mengetuk pintu kamar mandi dan berkata, "Jun, gue ambil makanan Go-Food dulu, ya." Samar-samar dia mendengar jawaban Juni, dan pergi.
Mereka sudah berjanji bertemu di kantor tepat jam 4 pagi. Kanan, Deri, dan Juni sudah di depan kantor, di dalam mobil rentalan. Deri dan Kanan berbagi satu termos kopi di kursi depan, sedangkan Juni tidur di belakang.
"Kan gue udah bilang, janjiannya jam 3 aja." gerutu Kanan.
"Kagok, Bang, harusnya kita rame-rame nginep di kostan siapa gitu."
"Kostan Juni maksud lo? Males banget, ntar kita dicuekin lagi sementara kalian pacaran."
"Eh, yang lain masih pada di mana, ya? Kan tadi kita udah telepon." kata Deri, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Kanan menggelengkan kepalanya sambil menuangkan kembali kopi ke tutup termos.
Terdengar suara ketukan di jendela pengemudi. Mereka menoleh dan melihat Karin, Gisel, Wiwi, dan Ningsih. Kanan menurunkan jendela. "Masuk aja, ada Juni."
"Baru ada Juni aja?" tanya Karin. "Yang lain?"
"Gak tau."
Mereka berjalan mengelilingi mobil, menggeser pintu penumpang, dan masuk. Deri menoleh ke belakang, dan melihat Juni terbangun. Juni mengangguk ke arah gadis-gadis yang menyapanya dan duduk di kursi belakang. Matanya masih terlihat mengantuk. Juni melepas kacamata dan mengusap matanya.
Kanan meliriknya. "Pindah aja."
"Apa?" kata Deri.
"Pindah aja ke belakang."
"Nanti gak ada yang nemenin lo, Bang."
"Ntar ada Wawan."
Deri tidak perlu disuruh dua kali; dia segera berpindah ke belakang, duduk di sebelah Juni. Juni tersenyum melihatnya, masih dengan mata mengantuk.
"Kok pindah?" katanya.
"Ngantuk." jawab Deri pendek. Dia menaikkan hoodie jaketnya, dan mencari posisi yang pas untuk tidur. Baru saja dia memejamkan mata, dia merasakan kepala Juni bersandar di pundaknya. Dia melingkarkan lengannya di pundak Juni, tanpa membuka matanya.
"Di sini banyak yang single, Der." ujar Karin di belakang mereka.
Deri menggerutu, "Berisik." Dia mendengar Juni terkekeh.
Perjalanan mereka lancar, nyaris tanpa hambatan. Mereka berhenti di salah satu rest area untuk sarapan, sebelum menuju Ancol.
Mereka menaiki perahu, kemudian berjalan-jalan di pantai sembari menunggu Dufan buka. Tak lupa juga berfoto-foto. Deri mengamati foto Juni yang dia ambil diam-diam di perahu.
"Der!" panggil Kanan. Deri menoleh. "Mau difoto gak? Gue fotoin, nih."
Di hadapan Kanan, ada Juni, yang melambaikan tangannya. Di belakang Juni terhampar pemandangan laut luas. Deri berjalan menghampirinya.
"Kurang deket, Der," kata Kanan.
Deri beringsut lebih dekat, lengannya hampir bersentuhan dengan lengan Juni.
"Gaya, dong. Kaku amat kayak bikin foto KTP." ujar Kanan lagi.
"Jadi difoto gak sih, Bang?"
Kanan berdecak. "Lo protes mulu, dah. Gue charge juga lama-lama ini seharga foto prewed!"
"Iya, Bang, iya." Deri mengangkat tangan tanda menyerah, dan tertawa. Juni juga ikut tertawa. Mereka sama-sama mengacungkan jempol saat Kanan memotret.
"Bagus, Bang?" tanya Deri seraya menghampiri Kanan. "Kalo guenya jelek, itu salah lo ya."
"Itu salah lo, ya. Bukan gue. Gue kan fotografer profesional."
Hasil fotonya memang bagus. Bahkan dari kamera ponsel saja, Kanan bisa mengaturnya agar tampak menggunakan kamera pro. Hamparan laut luas di belakang mereka adalah poin utama, namun Deri tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Juni, yang telah menyita seluruh perhatiannya.
Tidak hanya di foto, namun juga saat ini, saat kapanpun. Saat Juni masuk ke ruangan dan Deri otomatis langsung mengenalinya. Saat Juni sedang bersenda gurau dengan Jajang dan Toni, dan Deri tanpa sengaja ikut tersenyum mendengar dia tertawa.
"Bagus, Bang." puji Deri. "Kirimin ya. Japri WA aja."
"Gak ke grup, nih?"
"Gak usah." Deri menggelengkan kepalanya.
Dia kembali melihat foto yang sudah dikirim Kanan. Kanan ternyata mengambil beberapa foto, tidak hanya satu. Mata Deri terpaku kepada satu foto candid yang diambil saat dia dan Juni sedang menertawakan Kanan yang mengomel. Foto itu jauh lebih bagus dibanding foto yang Deri ambil diam-diam. Dia tersenyum, dan menekan tombol, Use as wallpaper.
Deri mengantar mereka bersembilan ke wahana Halilintar.
Wawan bertanya kembali, "Lo yakin gak ikut, Der?"
Deri menggelengkan kepalanya mantap.
"Gue juga takut ketinggian, tapi penasaran pengen naik ini."
"Ya itu kan elo, gue enggak," timpal Deri. "Bye. Have fun. Ntar gue liat foto-fotonya."
Mereka sudah memasuki antrian, kecuali Juni, yang memandanganya, seakan-akan ingin mengatakan sesuatu, namun Deri keburu memotongnya.
"Udah, sana. Ntar lo udah beres, gue ada di sini."
Maka Juni pergi bergabung dengan yang lain. Deri menatap punggungnya untuk beberapa saat, kemudian berlalu dari tempat itu.
Dufan ramai, dan banyak orang mengantri untuk menaiki wahana yang populer. Dia memutuskan untuk membeli makanan ringan sembari menunggu. Dia mengantri sebentar. Saat membayar, dia mendengar ada orang memanggilnya.
"Der!"
Dia menoleh ke sana-sini, hingga matanya menemukan… Juni, yang berjalan menghampirinya.
"Jun? Lo gak jadi naik Halilintar?"
"Enggak."
"Kenapa?"
"Takut."
Tapi raut muka Juni tidak ada takut-takutnya. Deri mengulurkan sekotak popcorn yang dibelinya. "Mau?"
Juni meraup segenggam popcorn, dan memakannya. Mereka berjalan menuju tempat duduk.
"Terus kita ngapain sekarang? Nungguin mereka?" tanya Deri.
"Bosen. Lama. Ngantrinya tadi panjang banget." Juni tampak berpikir. "Ke Istana Boneka aja, yuk."
Meskipun dia berasal dari Jakarta, namun udara panas dan lembab Ancol membuat Deri kepanasan. Dia sudah terbiasa tinggal di Bandung yang sejuk, suhu paling panas yang dia pernah rasakan hanya di kisaran 30°C, mungkin satu atau dua derajat lebih tinggi lagi.
Ditambah, Istana Boneka letaknya di ujung dari Halilintar. Dia sudah menghabiskan satu botol air mineral selama perjalanan.
"Panas, Der?"
"Ya menurut lo?" Seloroh Deri. "Lo emangnya gak kepanasan?"
"Enggak."
"Oh, ya, gue lupa lo orang Bekasi."
Juni tidak mengindahkannya, dan merogoh tasnya. Dia mengeluarkan satu topi. "Nih." katanya, mengulurkan topi. "Untung gue inget bawa satu topi lagi."
Deri memandangi topi itu tanpa bisa berkata apa-apa. Dia menatap Juni. "Jun, nikah, yuk."
"Enggak, makasih." tolak Juni.
Deri mengambil topi itu dan memakainya. Pandangannya sudah tidak terlalu silau lagi dari sinar matahari. Samar, dia mendengar Juni menggumam, "Coba kalo nanyanya pas lagi serius, gak kayak gini."
"Jadi jawabannya iya?"
"Lo, tuh, kalo nembak kenapa gak pernah bener, sih, waktunya?" Juni menepuk lengannya pelan dan berjalan mendahuluinya.
Deri dengan cepat menyusulnya, mendadak mendapat energi tambahan dari topi itu.
Mungkin benar kata orang, dari kepala turun ke hati.
"Dari mata turun ke hati, goblok." kata Juni saat mendengar Deri mengucapkan isi hatinya.
Antrian panjang menguar, tidak hanya di Istana Boneka, namun juga di wahana lain seperti Poci-Poci, Alap-Alap, dan Rumah Kaca. Namun mereka tetap sabar mengantri. Bagi Deri, waktunya tidak terasa, karena ada Juni. Mereka mengobrol banyak hal saat mengantri, hingga saling bertukar meme yang didapat di media sosial.
Saat masuk Istana Boneka, rasanya penantian panjang Deri terbayar sudah dengan hembusan sejuk pendingin ruangan. Sesaat dia melupakan hawa panas dan pengap di luar.
Setelah selesai, mereka mengantri di wahana Poci-Poci. Mereka bergantian memutar cangkir teh besar itu, sembari tertawa keras, merasakan perputaran mengguncang perut mereka, dan mereka tertawa lebih kencang. Hingga cangkir teh itu berhenti berputar, dan mereka turun sempoyongan; perut sakit karena kebanyakan tertawa dan berputar.
Mereka berjalan-jalan sebentar untuk menenangkan perut. Baru saja mereka mengantri Alap-Alap, Kanan menelepon Juni, menanyakan keberadaan mereka. Mereka berjanji bertemu di McD untuk makan siang.
Deri menutup matanya rapat-rapat, dan menggenggam pengaman erat-erat, saat kereta Alap-Alap meluncur cepat. Dia merasakan angin di wajahnya, sesaat mengkhawatirkan topinya. Perutnya ikut jungkir-balik, padahal wahana ini tidak seekstrem Halilintar.
Dia berpegangan ke bahu Juni saat turun dari wahana.
"Lo gak apa-apa, Der?" tanya Juni khawatir, sembari membimbing Deri untuk duduk. "Makannya nanti aja? Gue telepon Bang Kanan."
Deri menggelengkan kepala sambil membuka botol air mineral. "Gak papa, kita di sini aja bentar, ya?" Dia menarik napas dalam, menenggak lagi air, dan berdiri. "Oke, ayo."
"Kalo lo pingsan, gue gak tanggung jawab, ya…"
Tapi Deri tidak pingsan, dia selamat sampai McD, dan membiarkan Juni memesankan makanan untuknya. Dia menemukan teman-temannya duduk di luar, tersisa dua kosong di meja itu.
"Udah pacarannya?" ejek Gisel. Deri mengabaikannya, dan duduk di kursi kosong sebelah Kanan.
"Lo pucet banget." ujar Kanan sambil mengulurkan satu botol air mineral. "Minum dulu."
Deri menolaknya. "Kembung gue dari tadi minum mulu."
"Gue kirain lo gak berani naik Alap-Alap." kata Toni.
"Gue kirain gak seserem Halilintar." Deri mengembuskan napasnya. "Taunya sama aja."
"Bisa makan, gak? Atau mau nanti?" tanya Kanan.
Deri menggelengkan kepalanya. "Sekarang aja. Laper."
"Kalo Deri masih mau makan, tandanya dia baik-baik aja." ujar Wawan.
Tak lama, Juni datang dengan senampan makanan dan minuman. Deri rasanya tidak bisa makan nasi dengan keadaan perut seperti itu, jadi dia mengambil kentang goreng.
Dia makan dalam diam, dan membiarkan suara-suara sekelilingnya menjadi latar suara yang tidak diindahkannya. Hingga suara Juni memanggilnya.
"Der, ini." Dia menggeser gelas kertas berisi teh panas. "Biar gak eneg."
Deri tersenyum. "Makasih."
Karin bertanya, "Tadi lewat Rumah Kaca, ngantri gak?"
Juni mengangguk. "Penuh."
"Cobain aja, yuk?" ajak Karin, memandang sekelilingnya. "Ngantrinya gak mungkin lama, kayaknya."
Mereka setuju. Setelah makan, mereka berjalan menuju Rumah Kaca. Deri dan Juni di paling belakang.
Karin benar; meskipun antriannya panjang, namun tidak makan waktu lama bagi mereka untuk bisa masuk ke wahana. Mereka beramai-ramai mencari jalan keluar, dengan pantulan bayangan diri di sekeliling mereka.
Saat mereka menemukan jalan buntu (lagi), Wiwi mengeluarkan ponselnya dan mengajak mereka untuk berfoto bersama di hadapan kaca. Dia mengirimkan fotonya di grup WhatsApp bersama.
Mereka mengajak naik Tornado, termasuk Juni. Deri menolak, tapi berjanji akan menjaga barang bawaan mereka. Tidak seperti wahana lain, antrian Tornado tidak begitu panjang. Setelah selesai, yang lainnya kecuali Juni, kembali mengantri wahana itu. Juni menemani Deri menonton mereka dibawa berputar-putar di langit.
"Serem gak, Jun?"
"Biasa aja." kata Juni.
"Lo gak takut naik wahana serem?"
"Enggak."
"Takutnya apa?"
"Kehilangan lo."
Deri terdiam sebentar. Kemudian, "Itu harusnya kata-kata gue."
Juni tertawa. "Lo yang mulai duluan."
"Gue serius nanyanya."
Juni menoleh memandangnya. "Gue juga serius jawabnya."
Satu detik, dan mereka saling memalingkan pandangan. Deri merasa udaranya semakin panas, pengap, mungkin wajahnya semakin memerah. Mungkin. Dia menundukkan kepala.
Deri ikut naik Niagara-Gara. Pikirnya, wahana itu bisa sedikit menjernihkan pikiran dan tubuhnya yang panas. Dia benar. Wahana itu terasa lebih menyenangkan dibanding Alap-Alap.
(Bukan karena dia bisa melihat Juni dan kaosnya yang menempel ke badannya karena basah. Bukan.)
Dia tidak ikut naik Ontang-Anting, karena takut masuk angin. (Dan wahananya cukup tinggi baginya.)
Dia duduk di antara Juni dan Kanan, di Kora-Kora, tepat di bagian tengah. Sementara yang lain duduk di paling belakang. Deri menutup matanya rapat, merasakan perutnya kembali naik dan turun mengikuti wahana. Tapi dia tidak sepusing dan sepucat itu saat turun.
"Gak apa-apa, Der?" Kanan kembali mengecek keadaan Deri.
Deri menggeleng. "Sedikit gila, tapi gak apa-apa."
"Itu, mah, udah bawaan." timpal Kanan.
Juni tertawa mendengarnya.
Mereka berhenti di depan Bianglala. Hari sudah menjelang sore, dan antrian Bianglala semakin panjang. Mereka memandang Deri.
"Ayo." kata Deri mantap.
"Yakin?" tanya Juni.
"Iya, gak apa-apa. Gue bisa tutup mata."
Deri dan Juni tentu saja mengantri di paling belakang. Mereka terbagi menjadi dua kelompok: para pria; Kanan, Toni, Wawan, Jajang; dan para wanita; Karin, Gisel, Wiwi, Ningsih. Deri dan Juni berdua, mungkin mereka akan ditempatkan bersama dua orang dari rombongan belakang. Namun, ternyata rombongan belakang memilih untuk bersama rombongannya.
Maka Deri dan Juni di satu kabin, berdua. Hanya berdua.
Juni duduk di depan Deri. Saat kabin naik ke atas, Juni mengulurkan tangannya, dan Deri menyambutnya, sembari menutup mata dan menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya.
"Lo kalo takut… jangan maksain…" ujar Juni pelan.
"Tapi gue dari dulu pengen naik ini," kilah Deri. "Ya meskipun gue gak bisa liat. Takut."
Kabin berhenti perlahan, Deri menggenggam tangan Juni lebih erat. "Kenapa berhenti?"
"Emang suka gini, diberhentiin dulu biar yang paling atas nanti bisa lihat-lihat." jawab Juni. "Nanti kalo kita di paling atas juga sama."
"Fotoin, Jun, yang banyak. Biar gue bisa liat."
"Iya."
Deri mendengar suara risleting tas Juni terbuka, mungkin mengambil ponselnya. Perlahan, kabin kembali naik. Deri sedikit melonggarkan genggamannya, khawatir Juni sakit, tapi Juni bergeming.
"Jun…" bisik Deri. "Gue ngerepotin ya, dari tadi?"
Juni tidak langsung menjawab, dan Deri ingin sekali membuka matanya, melihat ekspresinya, tapi rasa takutnya mengalahkannya.
Dua detik, dan Juni menjawab, "Gue mau, kok, direpotin sama lo."
"Berarti… iya?"
"Iya." Juni melanjutkan, "Tapi gue gak keberatan."
"Kalo lo keberatan… bilang ya."
"Iya." Juni menjawab. "Lo juga, ya."
"Iya."
Kabin kembali berhenti. Deri bertanya, "Kita udah di paling atas?"
"Belum."
Deri berfokus ke tangan Juni yang terasa hangat, atau mungkin itu karena tangannya sendiri yang dingin.
"Deri."
Deri terdiam. "Bentar." ujarnya. "Lo manggil gue gitu berarti mau ngomong serius, nih."
"Emang biasanya gue gak serius?"
"Biasanya lo manggil gue 'Der' aja. Gue jadi… deg-degan denger lo panggil nama gue lengkap."
"Deri."
"Aduh, Jun."
Tapi Deri mendengar Juni tertawa, dan untuk sesaat, dia merasa lega mendengarnya.
"Kenapa lo bisa suka sama gue?"
Deri terdiam. Dan terus terdiam, memikirkan dan menyusun kalimat di otaknya. Meskipun jika dia menjawab tidak tahu, Juni akan mengerti. Karena seperti itulah Juni, dan dia.
Tapi ini Juni. Dan apalah Deri, jika dia tidak ingin yang terbaik untuk mereka, untuk Juni?
"Gue merem juga, nih." kata Juni. "Biar gak liat ekspresi lo."
Deri tergelak. "Oke. Hmm. Apa, ya. Gue juga bingung ngejelasinnya. Tapi karena lo, ya… lo. Gitu."
"Jadi kalo gue bukan gue… lo gak suka?"
"Ya… begitu." Lalu, kata Deri, "Lo… gimana?"
"Ya karena lo itu lo."
"Sama, dong."
Mereka terdiam lagi, sementara kabin mulai naik kembali.
Deri berkata, pelan, lirih, "Kalo… suatu hari nanti kita berubah, gimana?"
"Berarti kita memang belum bisa menunjukkan diri kita yang sebenarnya."
"Hmm." gumam Deri. "Bener juga."
"Lo takut?"
"Iya." jawab Deri. "Kayak… apa, ya, terlalu cepet? Tapi gak cepet juga. Pas lah kecepatannya. Tapi… gimana ya. Gue kan gak tau selanjutnya gimana."
"Iya, sama, gue juga. Kalo gue dukun, gue gak akan kerja di garmen." Hening sejenak, dan Juni melanjutkan, "But I'm glad you're thinking about our future."
"Kenapa memang?"
"Jadi lo ngebayangin di masa depan masih sama gue, kan?" tanya Juni balik. Sesaat, Deri merasakan senyum Juni di nada suaranya. "I'm glad."
Kabin berhenti lagi. Deri bertanya, untuk mengalihkan pembicaraan. "Udah di atas?"
"Udah."
Kabin berguncang sedikit, dan Deri menggenggam tangan Juni lebih erat, panik.
"Tenang, Der, gue di sini." ujar Juni, di samping Deri. Rupanya guncangan tadi karena Juni pindah ke samping Deri.
"Kaget…" gumam Deri.
Juni menenangkannya dengan mengusap punggung tangan Deri.
"Terus… lo gimana?" tanya Deri.
"Hmm?"
"Are you… thinking about us? About our future?"
"Iya."
"Kayak… gimana?"
Deri merasakan tangannya diangkat, dan ada sesuatu menyentuh punggung tangannya. Lembut, hangat. Juni berbisik, "It's a rather long story. Do you still want to hear it?"
Deri menelan ludah. "I… I would…" Diturunkan tangannya, dan jantungnya berdegup lebih kencang. Dia ingin segera turun, bukan karena takut, tapi karena dia ingin menghabiskan waktunya bersama Juni, berdua. Berdua saja. Jauh dari pandangan orang lain.
Untungnya, kabin turun. Mereka tidak banyak berbicara setelahnya. Baru saat kabin berhenti, dan Juni melepaskan genggamannya, Deri tahu sudah waktunya mereka turun.
Ketika mereka menghampiri teman-temannya, Deri masih merasakan tangan hangat Juni di genggamannya.
Perjalanan pulang sama lancarnya, dan terasa lebih cepat. Tahu-tahu, mereka sudah keluar dari gerbang tol. Tahu-tahu, mereka sudah sampai di garmen. Deri mengantar Kanan ke rumahnya, sebelum mengembalikan mobil ke tempat rental dekat kost.
Dia melirik Juni yang duduk di sebelahnya. "Capek?"
"Sedikit." balas Juni. "Tapi seneng."
Deri tersenyum.
Sesampainya di kost, Deri langsung berbaring di kasur, sementara Juni ke kamar mandi. Dia melihat-lihat foto yang ada di grup WA mereka. Kemudian, dia melihat satu foto… dirinya dan Juni, di kabin Bianglala, Juni duduk di sebelahnya, memandang langsung ke kamera, sementara dia sendiri menunduk. Deri mengecek siapa yang mengirim foto itu: Wiwi. Dia tersenyum, dan menekan tombol save.
Tak lama, matanya terasa berat, dan perlahan-lahan menutup. Dia masih setengah sadar, setengah tertidur, saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. Dia merasakan ponsel di tangannya diambil, selimut ditarik menutupi tubuhnya. Dia mendengar suara saklar lampu dimatikan, dan Juni naik ke tempat tidur di sisinya. Dia merasakan kepala, rambutnya diusap, dan sesuatu yang lembut nan hangat menyentuh dahi, hingga pelipisnya.
Juni berbisik, "Good night."
Deri ingin menjawab, tapi dia sudah keburu terlelap.
seketika bayanganbalap (racingshadows) Summary:"Kamu pernah…" Deri berhenti, tidak melanjutkan.
"Apa?" Juni tidak mengangkat kepalanya; dia menyukai wangi detergen baju Deri. Wanginya familier; hangat, segar, manis.
"… Had sex?"
Chapter 1 Chapter TextJuni kira, dia tidak akan lagi merasakan kupu-kupu di perutnya saat Deri mendekatkan kepala untuk menciumnya.
Ciuman ini bukan hal yang baru atau pertama bagi mereka. Namun di setiap kecupan tersebut selalu tersimpan rasa yang berbeda.
Juni menarik diri dan tersenyum. Deri juga menyunggingkan senyum, sebelum kembali mengecupnya.
"Kenapa?" tanya Deri, masih dengan kecupan-kecupan kecil yang terasa ringan seperti sayap.
"Gak apa-apa." jawab Juni, satu tangannya berpindah ke tengkuk Deri, menariknya mendekat hingga dahi mereka bersentuhan.
Napas Deri masih memburu, jari-jarinya hangat saat menyentuh leher Juni. Juni mengikik geli dengan sentuhan tiba-tiba itu, dan menyembunyikan wajahnya di bahu Deri.
"Kamu pernah…" Deri berhenti, tidak melanjutkan.
"Apa?" Juni tidak mengangkat kepalanya; dia menyukai wangi detergen baju Deri. Wanginya familier; hangat, segar, manis.
"… Had sex?"
Juni mendongak; matanya beradu pandang dengan Deri yang pipinya memerah. Bibir bawahnya juga hampir sama merahnya, setelah digigit Juni. Juni meraih dan menyelipkan rambut Deri di belakang telinganya. "Pernah," jawabnya. "Kamu?"
"Iya…"
Juni memang memiliki hasrat untuk menyentuh Deri; seutuhnya, tanpa ada halangan apapun di antara mereka. Dia ingin melihat dan mendengar Deri, saat kepuasan larut dalam dirinya. Juni ingin berada di sana, memeluknya, menatapnya, tahu bahwa Juni lah yang membuat Deri dapat memenuhi hasratnya.
Namun, Deri tidak pernah meminta, dan Juni tidak pernah bertanya.
Pikirnya, mungkin Deri butuh waktu. Karena Deri selalu menahan diri sebelum semuanya berlangsung terlalu jauh. Dia akan mengakhiri percumbuan mereka dengan senyuman, menepuk pelan pipi Juni, mengambil ponselnya atau minum, dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Maka, Juni terkejut saat Deri bertanya, "Tapi kamu… mau?"
"Sama kamu?"
"Iya. Mau?"
Juni terkadang bertanya ke dirinya sendiri, bagaimana dia bisa berpacaran dengan orang yang tidak tahu cara merayu. Memiliki keberanian untuk mengutarakan perasaannya saja dibantu dengan makan tape. Sekarang, mengajak bermesraan saja seperti mengajak makan bakso.
Tapi mungkin di situlah letak pesona Deri, yang tidak bisa ditolak Juni.
"Mau aja, kalo kamu juga mau." Rambut Deri yang sudah dirapikan kembali jatuh menutup matanya. Juni kembali menyelipkannya di balik telinga agar bisa melihat Deri dengan lebih jelas.
"Atas atau bawah?"
"Bawah." jawab Juni cepat. "Gak menerima tawar-menawar."
Deri mencibir. "Boti galak."
Juni menampar pipinya pelan. "Gini juga demen, kan."
"Iya, sih." Keheningan melingkupi mereka sesaat, sebelum Deri mengambil tangan Juni yang berada di pipinya, dan menggenggamnya erat. Dia menunduk, memandang jari-jari Juni. "Aku… mau…"
"Mau apa?"
"Mau coba… sama kamu…"
"Coba bilang ke aku." Tangan Juni pelan-pelan berpindah ke rambut Deri, mengelus kepalanya. "Apa yang mau kamu coba." Dia tersenyum, dan pura-pura tidak menyadari Deri menelan ludah; jakunnya bergerak naik dan turun, selagi matanya menatap bibir Juni.
"Touching you…" Deri memulai, suara rendah dan dalam. "Running my hands on your skin… back… chest… down… lower…" Dia mendesah. "I want to hear you… See you… I won't be able to take my eyes off you… You're always the view I'll never get tired of…"
"Not bad for a dirty talk," puji Juni, merasakan gairahnya naik saat mendengarkan Deri. "Glad we are on the same page."
"I want to kiss you…" ujar Deri, mengambil tangan Juni dari kepalanya, dan menggenggam kedua tangannya.. "Lanjutin lagi yang tadi?"
Juni memiringkan kepalanya dan membawa tangan mereka dekat ke bibirnya. Dia memberikan kecupan-kecupan ringan di buku-buku jari Deri. "Kisses… Touches… Ambil semuanya, itu punya kamu." Dia berkata lirih, sebelum melepaskan satu tangan, dan menempatkannya di tengkuk Deri untuk menariknya lebih dekat, hingga bibir mereka bersentuhan.
Deri menutup matanya.
Ciuman itu dimulai dengan pelan, ringan, seperti sebelumnya. Hingga Deri melingkarkan lengannya di pinggang Juni, satu tangannya di belakang kepala Juni, membawanya lebih dekat lagi, hingga Juni berada di pangkuan Deri. Lidah Deri menyentuh bibir bawah Juni, membujuknya untuk membuka mulutnya, untuk memperdalam ciumannya.
Juni mendesah saat lidah Deri masuk, dan suara itu direguk oleh Deri. Juni melingkarkan kedua lengannya di bahu Deri, dada mereka saling bersentuhan. Tangan Juni meraih rambut Deri, memegangnya erat, selagi dia luluh oleh ciuman-ciuman itu yang semakin cepat dan dalam, saling mengisi dahaga masing-masing.
Namun dahaga itu tidak kunjung reda, bahkan saat Deri menarik diri untuk menarik napas, bibir Juni masih menggerayangi dagu, rahang, dan pipi Deri. Dia tidak memberi ruang sedikit pun untuk melepas Deri. Dia memeluk Deri erat-erat, kepalanya kembali menunduk, bersandar di bahu Deri. Dia begitu mendamba, begitu ingin.
"… Ayo." kata Deri, mengelus belakang kepala Juni.
"… Beneran?" Juni bertanya kembali, untuk memastikan. Bahkan jika Deri ingin menyudahinya saat ini, dia akan melepaskannya tanpa banyak pertanyaan, tanpa banyak permohonan. Maka dia memeluknya lebih erat lagi, saat menunggu jawaban Deri.
"Sampai senyamannya kamu…"
"Senyamannya kamu." balas Juni.
"Senyamannya kita." kata Deri, dan Juni bisa merasakan secercah senyum di suaranya.
"I will do anything to make you feel good, Der."
"Aku juga…" Juni mengangkat kepalanya. Deri mengecup keningnya, dan bibirnya tetap di sana saat dia melanjutkan dengan bisikan, "I want to make you feel good, too…" Bibirnya pelan-pelan bergerak turun, menyentuh pelipis, kelopak mata, pipi, dan dagu Juni.
Tangan Juni berada di atas dada Deri. Jari-jarinya menyentuh kancing piama. "Buka?"
Deri mengangguk, bibirnya beralih ke leher Juni.
Napas Juni tersekat di tenggorokannya, dia memejamkan mata dan semakin ditarik, ke dalam dekapan Deri. Jari-jarinya gemetar saat dia mencoba membuka kancing. Matanya masih tertutup, namun dia berhasil membukanya satu per satu, hingga piama itu menggelincir dari bahu Deri. Deri melepaskan tangannya dari pinggang Juni untuk sesaat, membiarkan piamanya jatuh ke tempat tidur, dan membiarkan tangan Juni menyentuh kulitnya tanpa halangan pakaian.
Running my hands on your skin… back… chest… down… lower…
"Apa lagi abis ini?" Juni bertanya, membuka matanya.
Tapi Deri malah memancing Juni dengan giginya di tulang selangka Juni, sementara tangannya diselipkan ke dalam baju Juni, memberikan sentuhan-sentuhan ringan dengan ujung jarinya, membuat bulu kuduk Juni berdiri. Hingga Deri menemukan putingnya, dan memilinnya; tidak keras, namun cukup untuk membuat Juni mengerang.
Juni menekan pinggulnya, dan merasakan sesuatu menyentuh pahanya. Dia menekan lebih keras, dan Deri menggigit bahunya untuk meredam suaranya.
Juni tertawa, namun Deri tergugup. "Maaf…"
"Gak sakit, kok." Juni meyakinkannya. Dia menunduk memandang tonjolan di selangkangan Deri. "Buka juga, ya?"
Mata Deri sudah sayu dan keruh karena hasrat dan geloranya, namun dia masih bisa berkata, "Yang kamu juga."
"Semuanya?" goda Juni.
"Semuanya."
Maka Juni turun dari pangkuannya, berdiri tepat di hadapannya, dan mulai membuka kancing piamanya satu per satu, dengan perlahan, tanpa mengindahkan pandangan Deri. Piama itu meluncur dari bahunya, hingga terlepas, dan jatuh ke lantai. Sengaja dia membalikkan badan untuk memindahkan pakaian itu. Sengaja dia tidak menghadap Deri saat dia melorotkan celananya hingga ke pangkal kaki, dan membungkuk. Saat mendengar suara napas Deri tercekat di tenggorokannya, Juni diam-diam tersenyum saat dia bangkit dan berbalik menghadapnya; tanpa sehelai benang.
Deri terlonjak saat Juni tiba-tiba berlutut di hadapannya. Namun Juni hanya menarik karet pinggang celana Deri.
"Yang ini, dibuka juga?" tanya Juni.
Deri menggeleng. "Nanti aja." jawabnya. "Sini."
Juni kembali naik ke pangkuannya, kakinya dilingkarkan di pinggang Deri. Juni mendesah saat merasakan dada telanjangnya bersentuhan dengan dada Deri. Dia menggerakkan pinggulnya sedikit, menggesekkan penisnya ke perut bawah Deri. Desahannya semakin keras. Lengan Deri semakin mengetat di pinggang Juni.
Juni tertawa kecil dan menunduk, memegang wajah Deri di kedua tangannya. "Hadiah karena udah jadi anak yang sabar." Juni menghadiahinya dengan sebuah kecupan yang mampu membuai Deri lebih dalam, tenggelam dalam hasratnya. Dia meraih satu tangan Deri dan menaruhnya di atas dadanya, tepat di atas jantung. Jantungnya bertalu-talu, dan dia tahu Deri bisa merasakannya. "Kerasa, kan? Ini karena kamu." ujarnya.
Deri tidak menjawab, matanya masih kelabu oleh menahan hasrat.
Juni berbisik ke telinganya, "Touch me, wherever you want." Tapi tangan Deri tidak bergerak satu ruas jari pun. "Kenapa tadi berani, sekarang enggak?"
"Udah dibuka bajunya…"
Juni menyandarkan keningnya di bahu Deri dan tertawa. "You like doing it with clothes on?"
"Enggak… maksudnya… kan tadi aku gak ngeliat…"
"Mau ditutup aja matanya?"
Juni tidak melewatkan bagaimana jakun Deri bergerak naik dan turun, seakan-akan mempertimbangkan kemungkinan itu. Juni menggigit bahu Deri perlahan, tidak terlalu dalam.
"... Nanti aja. Kapan-kapan."
Dan Juni akan memastikan Deri ingat janjinya.
Tangan Juni berpindah ke perut bawah Deri, ke kelim celana dalamnya, Dia bertanya, "Mulut atau tangan?"
"... Tangan." Tangan Deri berpindah ke pinggang samping Juni. "Kamu juga… bareng-bareng," pintanya, dan Juni hampir tertawa betapa gelisahnya Deri di pelukan Juni. Bagaimana dia amat berbeda di tempat tidur; begitu malu, canggung, tapi juga begitu berharap.
Dan, begitu penurut.
Menyenangkan.
"Iya." Juni mengangguk. "Aku lupa lube-nya. Tunggu, ya." Dia memberikan kecupan-kecupan kecil di pipi dan kening Deri. "Sayang."
Pelukan Deri mengencang begitu dipanggil itu, tapi dia kemudian melepaskan Juni. Juni mencari-cari botol lubrikan di lacinya, dan beberapa bungkus kondom, untuk berjaga-jaga.
Deri melepas celana dalamnya, dan membiarkan Juni melumuri penis mereka berdua dengan lubrikan. Deri menyembunyikan wajahnya di leher Juni saat Juni menyentuhkan mereka berdua. Deri mengerang, dan Juni juga bergetar merasakan kenikmatan dari sentuhan itu.
Juni menggerakkan pinggulnya perlahan, untuk menguji kesabaran Deri. Dia ingin melihat sampai mana batas kesabaran Deri. Tapi Deri menahan erangan dan desahannya, dengan menggigit bibirnya. Maka Juni berhenti. Tangannya menarik rambut Deri, memaksanya untuk menatap matanya.
Mata Deri lebih sayu dari sebelumnya; pipinya memerah hingga ke dada, bulir keringat meluncur di dahi, dan bibir bawahnya bersemu merah setelah digigit.
"Is it good for you?" tanya Juni.
Deri mengangguk.
"Then tell me, show me how much you like it." Juni menarik rambutnya lebih keras.
Napas Deri tercekat, tapi dia berhasil menjawab dengan suara gemetar, "Iya…"
"Pinter."
Deri menggerakkan pinggulnya, dan Juni mengikuti. Mulut Deri terbuka, napasnya berat, terengah-engah, dan dia tidak lagi menahan erangan-erangan puasnya. Matanya tertutup, semu merah dimulai dari pipi, leher, dan dada. Begitu tampan. Miliknya.
Juni mengecup leher Deri, sebelum menggigitnya pelan, dan mengulumnya, meninggalkan tanda bahwa Deri miliknya. Rambut Deri sudah agak panjang, tanda itu akan tertutup sekilas. Namun Juni akan selalu bisa melihatnya.
Juni mengecup bibir Deri lembut. "Harusnya aku rekam ya, so you can see how pretty you look right now, trembling under me, so needy, so desperate. Siapa yang bikin kamu kayak gini?"
"Kamu…" Napas Deri goyah di bibir Juni. Pinggulnya bergerak semakin cepat, tak teratur.
"Ini—" Juni mengambil tangan Deri dan meletakkannya di atas dada—"Punya kamu. Semuanya. All of it. Kamu? Punya siapa?"
"Kamu…"
Juni menggumam senang dan menciumnya kembali, lebih dalam, dan Deri membuka mulutnya, membiarkan lidah Juni masuk.
"Deri." bisik Juni saat dia menarik diri, namun terus mendekap Deri erat. Dia menyelipkan rambut Deri di belakang telinganya. "You belong to me."
Deri memeluk pinggang Juni erat, seluruh badan gemetar saat mani memancar mengenai paha dan perutnya.
"Good boy." bisik Juni, kemudian dia membungkuk, merasakan tetes putih itu dari kulit Deri.
Deri memegang bahu untuk menahannya. "Juni." Dia memperingati, tapi suaranya terdengar lemah, dan genggamannya pun tidak cukup kuat.
Juni mendorong penisnya ke genggaman tangannya, dengan mata tertutup, membayangkan penis Deri masuk menjejali tenggorokannya, mengingat bagaimana rupa dan suara Deri saat dia keluar. Tak lama, Juni mengikuti, tangannya basah.
Dia duduk, membawa tangannya ke bibir Deri. Deri tidak ragu-ragu meraihnya, dan menjulurkan lidah untuk menjilat tangan Juni bersih, satu ruas jari, demi satu ruas. Hingga telapak tangan, dan kecupan kecil di pergelangan tangan Juni.
Juni menghadiahi Deri dengan satu ciuman lagi; dia bisa merasakan dirinya sendiri di lidah Deri. "Good boy." pujinya.
Setelahnya, mereka membersihkan diri dan mengganti seprai, kemudian tidur saling berhadapan, tidak berbicara. Tapi itu sudah cukup bagi Juni.
Kantuk dan lelah sudah melandanya, namun rasanya dia masih belum akan tidur.
Tangannya menyentuh pipi Deri. "Belum tidur?" tanyanya, memecah keheningan di antara mereka.
"Gak mau tidur," jawab Deri, menekan tangan Juni di pipinya.
"Kenapa?"
"Gak mau bangun besok dan ngira ini cuma mimpi."
"Ini bukan mimpi, Der." Juni terkekeh. "Was it good?"
"Better. The best." Deri mengecup telapak tangan Juni. "You made it feel good."
"I'm glad." ujar Juni. Dia mengelus pelipis Deri. "Tidur, Der, I'll see you tomorrow."
"Aku baru bisa tidur kalo udah dicium dan dipeluk."
Juni tertawa. "Manja." Namun dia merentangkan tangannya dan menyambut Deri masuk ke pelukannya. Deri meringkuk di dadanya, kaki-kaki mereka saling menjerat.
"Tinggal ciumnya yang belum." kata Deri.
Juni memberikan kecupan singkat di keningnya. "Udah. Selamat tidur."
Juni melihat Deri mencibir. Deri mengangkat tubuhnya sedikit, dan Juni melonggarkan pelukannya agar Deri bisa mencium bibir Juni. Singkat, hanya sekejap mata, kemudian Deri sudah kembali berbaring.
Deri berkata, "Tidur nyenyak, Juni."
Juni tidak tidur nyenyak.
Sudah berhari-hari dia seperti ini, hingga dia lupa rasanya terbangun tidur tanpa sakit kepala. Dia tidak bisa tidur.
Deri pergi ke Jakarta untuk keperluan pekerjaan menemui agen buyer selama seminggu. Sekarang sudah empat hari berlalu.
"Kusut amat mukanya," kata Gisel saat Juni memasuki ruangan QC. "Gosok dulu sana."
"Haha." Juni tertawa tidak niat.
Kanan menggeser cangkir kertas berisi kopi hitam di mejanya. "Ngopi dulu." katanya. "Udah sarapan?"
Juni mengangguk. "Udah." Dia merogoh saku untuk mengambil uang, dan menyerahkannya ke Kanan. Baru saja dia membuka tutup cangkir, dia mendengar Gisel berceletuk.
"Baru ditinggal Ayang sebentar aja udah kayak gini."
Kanan menahan tawa dengan berpura-pura batuk, namun Juni tidak mengindahkan mereka berdua, dan malah menyesap kopi panas itu.
Begitu pahit di lidah.
Kopi Deri selalu manis. Juni bisa merasakan manisnya krimer dan gula di bibir Deri.
Juni menandaskan habis kopinya, dan membuang cangkir kertas itu.
Malamnya, Juni pulang ke kamar kostnya yang gelap dan sepi. Dia lembur dua jam untuk mengejar ekspor produksi yang mepet. Saat dia pulang, Kanan masih ada di ruangan, berdebat dengan seorang supervisor produksi. Juni ingin menunggu, tapi Kanan sudah melambaikan tangannya dan menyuruh Juni pulang.
Padahal Juni belum ingin pulang.
Dia menyalakan lampu kamar, memandang sekeliling, dan menarik napas dalam-dalam sebelum dia melangkah masuk dan mengunci pintu.
Dia masuk ke kamar mandi untuk mencuci tangan, kemudian keluar, menyiapkan piring dan air minum. Dia duduk di lantai, beralaskan karpet, dan menyalakan TV. Dia tidak menonton, hanya agar ada suara mengisi keheningan di kamarnya. Dia melihat-lihat notifikasi di ponselnya, dan membalas pesan Deri yang menanyakan apa dia sudah pulang.
Dia merindukan Deri, sangat. Dia lupa bagaimana malam harinya berlalu, sebelum Deri hadir di hidupnya.
Juni menghela napas, menaruh ponselnya di samping, dan mulai memakan nasi bungkus yang dia beli di warung depan. Dia tidak memasak nasi, karena tahu nasi itu tidak akan habis. Dia sudah terbiasa menyiapkan beras untuk porsi dua orang.
Setelah makan, dia membereskan bekasnya, kemudian mandi. Suara pancuran air berpadu dengan suara TV di luar. Deri masih belum membalas pesannya.
Dia keluar kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggangnya. Sebelum mengambil baju ganti, dia memungut ponselnya dari lantai, sekali lagi mengecek notifikasinya.
Masih tidak ada apa-apa dari Deri.
Juni mengenakan baju, mematikan lampu kamar, dan berbaring di tempat tidur. Sebenarnya dia tidak suka langsung tidur-tiduran setelah makan. Tapi tidak ada hal lain yang bisa dilakukan; jadi dia mencoba untuk tidur cepat.
Dengan penerangan kamar hanya berasal dari TV, dia melihat-lihat ponselnya, scolling linimasa Instagram, dan mengetuk tanda suka di layarnya untuk foto teman-temannya. Dia juga ingin mengepos sesuatu di Instagram. Dia membuka galeri ponsel, dan mencari foto yang bisa dipos.
Matanya terhenti pada satu foto Deri yang sedang tertidur pulas di mobil. Rekan kerja Deri, Reno, yang mengambil foto itu. Deri mengirimkannya ke Juni.
Penghilang rindu, ketiknya.
Penghilang rindu apaan, ini buat nakut-nakutin tikus, balas Juni.
Tapi Deri betul.
Juni memandang foto itu lama. Bahkan saat tidur saja, Deri masih tetap rupawan, tanpa cela. Kekurangannya mungkin hanya selera humornya yang receh, dan energinya yang tidak habis-habis, terserap dari orang-orang sekelilingnya.
Juni tersenyum mengingat kelakuan Deri di hadapan dia dan teman-teman mereka.
Banyak hal terjadi, waktu berlalu, dan dia masih tetap menyayangi Deri.
Mata Juni tertuju ke satu titik di foto Deri; dia membesarkan foto dengan jarinya. Setitik noda terlihat di leher Deri. Namun itu bukan noda. Juni mendengus melihatnya, menahan tawa. Masih berbekas, saat itu. Dia tidak tahu saat ini bagaimana. Mungkin sudah hilang sepenuhnya.
Juni jadi teringat malam itu. Dia teringat tubuh hangat Deri; tangan dan jemari yang selalu menyentuh, menggerayangi, meraba; bibir yang terasa manis dan memabukkan; suara Deri di telinganya…
Juni bergeser di tempat tidurnya, merasakan hasratnya naik, hanya dengan membayangkan Deri. Dia meraih botol lubrikan dan tisu, menurunkan celananya, membuka tutup botol, menggosokkan kedua tangannya, dan melumuri penisnya dengan cairan itu.
Juni mendesahkan nama Deri saat dia mulai menyentuh dirinya, membayangkan Deri hadir di sisinya, menyentuhnya, napasnya terdengar rendah dan berat, menggumamkan nama Juni…
Ponsel Juni berdering. Lamunan Juni buyar. Dia mengumpat dan menyeka satu tangannya dengan tisu, kemudian meraih ponselnya.
Dia berhenti mengumpat saat melihat nama Deri di layarnya, panggilan video. Tanpa pikir panjang, dia menekan tombol Accept. Wajah Deri terpampang di layar ponsel, tersenyum lebar.
"Hai, Juni." sapanya. Kemudian, matanya menyipit. "Udah tidur? Kok, gelap banget?"
"Hai, Der." balas Juni, berusaha agar suaranya tidak terdengar gemetar. Dia berdeham. "Iya, aku tadinya mau tidur."
"Oh, kalo gitu… udah aja? Biar kamunya bisa tidur?"
"Enggak!" seru Juni, mengagetkan mereka berdua. "Gak apa-apa, kok… Mana Reno?"
"Masih diajak meeting buyer sama Pak Sugeng. Aku kabur, hahaha." jawab Deri. "Aku sakit kepala, Jun, gak bisa tidur. Aneh rasanya tidur gak ada kamu…"
Juni terdiam mendengarnya; ternyata, dia tidak sendirian. Selama Deri di Jakarta, jadwalnya padat, dan hanya bisa menyempatkan diri untuk menelepon di sela-sela jam istirahat, atau malam hari sebelum tidur.
"Jun? Capek, ya? Aku matiin aja teleponnya, ya, biar bisa tidur? Aku juga mau tidur…" ujar Deri, membuyarkan lamunan Juni.
"Enggak… aku…" Juni menelan ludah. "I tried to get off… thinking about you…"
Giliran Deri yang terdiam. Kemudian dia bangkit dan berjalan entah ke mana—
"Der, mau ngapain?"
"Bentar—" Terdengar suara ritsleting terbuka, dan tampaknya Deri menarik sesuatu. "Aku mau lihat."
"Mau lihat apa?"
"How you look and sound, touching yourself."
Juni menelan ludah; hasratnya kembali naik. Di layar, dilihatnya Deri berjalan masuk ke ruangan yang lebih terang, mengunci pintu, dan duduk. "Kamu di mana?"
"Di toilet." jawab Deri. "Reno bawa kunci kamar sendiri. Bentar, Jun." Tampaknya Deri menaruh ponsel di pahanya, karena Juni melihat kepala Deri dari bawah, mukanya tampak serius membuka lilitan kabel earphone-nya.
Mungkin seperti ini tampaknya bila Juni berada di bawah Deri.
"Oke," gumam Deri, jari telunjuk dan jempolnya menaruh earphone di telinga. "Tell me where you left off."
"How about you tell me what you want to do to me?" Juni menyunggingkan senyum. "Use your imagination."
Dilihatnya jakun Deri naik-turun. Deri terdiam beberapa saat, kemudian bertanya, "... Kamu pakai baju apa?"
Juni menahan tawa. Pertanyaan dasar. Tapi Juni menjawab juga, "Pakai kaos dan boxer."
"Buka kaosnya."
Juni duduk, menyandarkan ponselnya di lampu duduk, agar Deri bisa melihatnya menarik kaosnya ke atas, pelan-pelan, menampakkan dada telanjangnya. Juni menyeringai ketika kaosnya sudah terlepas. Rambutnya sedikit berantakan, Juni berpura-pura merapikannya dengan jari.
"... Bisa aku rekam gak sih, ini?"
"Rekam gimana?" Juni tertawa.
"Screen recording."
"Come home soon, and you can take as many pictures and videos of me as you want." janji Juni. "Terus apa sekarang?"
"Suck your fingers, bayangin itu jari-jari aku."
"Semuanya?"
"Semuanya."
"Sebentar, Der—" Juni meraih case TWS miliknya, dekat dengan ponsel. Dia buru-buru menyambungkan bluetooth ponsel dengan TWS, dan memakaikannya ke telinga. Kemudian Juni mundur, agar Deri bisa melihat dia seluruhnya. Juni bisa mendengar napas Deri tersekat di tenggorokannya, dan Juni diam-diam tersenyum, tahu Deri bisa melihatnya sudah keras dan penuh hasrat. Juni berlutut, memejamkan mata saat memasukkan jari ke dalam mulutnya, satu demi satu.
"Touch your neck, down to your breast." kata Deri, suaranya terdengar berat dan dalam di telinga Juni.
Juni menurutinya. Dia menengadahkan kepala, dan mendesah saat jari-jemarinya yang basah menyentuh kulit lehernya, tulang selangka, hingga dadanya. Dia menjepit salah satu putingnya dan memelintirnya sedikit. "Der…" desahnya, mendengarkan napas Deri memburu di telinganya.
"Tell me what you want me to do," bisik Deri.
"Suck one of these," ujar Juni. "While I grab your hair to pull you closer. Kiss me, mark me. Kamu inget waktu itu aku ngapain di leher kamu? Do that to me, mark me all over."
Terdengar suara gemerisik di ujung sana, dan Juni menyipitkan mata melihat Deri di layar, sedang berusaha meraih sesuatu.
"Ngapain, Der?"
"Cari sabun…"
"Ketemu?"
"Udah." Deri menunjukkan botol sabun kecil di tangannya. Juni mendengar suara ritsleting kembali dibuka, dan Juni tidak melewatkan bagaimana ekspresi Deri berubah; mata terpejam, mulut terbuka sedikit, napasnya kian memburu.
Juni terus bermain api: "Mark me all over, and bend me to go inside. Kamu mau aku kayak gimana? Tiduran biasa, atau nungging? Atau aku di atas?"
"All of them sound great," jawab Deri, terengah-engah selagi mungkin membayangkan posisi mereka. "Kalo aku bisa, aku pulang sekarang."
"Oh, tapi kamu harus selesain ini dulu." kata Juni, tangannya turun pelan-pelan ke perut, paha, kemudian ke penisnya. "Look how I get down on my knees for you. Imagine my lips around your cock."
Deri mengerang.
"Better than your hands now, I promise." kekeh Juni. "Tapi kamu harus diem, jangan gerak-gerak. I will take care of you."
Napas Deri makin cepat, erangannya semakin keras. "Juni…"
"Stop dulu sekarang." kata Juni. Dia bisa melihat tangan Deri berhenti, matanya menatap Juni nanar, pipinya memerah. "Mau aku di mana?"
"Di…" Deri menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam, seakan begitu menginginkannya, begitu mendamba. "Di atas… kayak waktu itu…"
"Oke, bayangin kamu tiduran." Juni melihat Deri bersandar. Juni menahan senyum; dia tidak sabar Deri pulang untuk mewujudkan fantasinya. Sudah terlambat untuk mengambil dildo, jadi Juni meraih botol lubrikan, dan mengoleskannya di jari-jarinya. Juni masih berlutut, dengan lututnya terbuka, satu tangan di depannya sebagai tumpuan, satu tangannya lagi meraih ke belakang. "While I try to, lower down, letting you all the way in." Bokongnya turun, sementara satu jarinya masuk, dia menutup mata dan mendesahkan nama Deri, membayangkan itu jarinya yang memasuki, mempersiapkan dirinya.
Juni membuka matanya sedikit, dan melihat Deri tengah menonton dirinya. Juni menyeringai. "Tunggu, Sayang, pelan-pelan…"
Deri menelan ludah dan mengangguk, tanpa suara.
Juni memasukkan satu jari lagi, meregangkan otot-ototnya. Satu jari lagi… dan dia mengeluarkan jari-jarinya, kemudian dimasukkan lagi. Juni mendesah keras, dan Deri mengikuti.
"Put your hands on my waist, hold me—" Juni bersimpuh, tangan dan lengannya dijadikan tumpuan, sementara dia menggesekkan penisnya ke kasur. Seharusnya dia menggunakan kondom, tapi dia menepis pikiran itu dan akan menyesalinya nanti.
Desahannya dan erangan Deri di telinganya saling beradu. Juni memasukkan jari-jari di tangan satunya lagi ke mulutnya; membayangkan Deri ada di sana. Dia ingin mencium Deri; memasukkan lidahnya ke mulut Deri, mereguk semua suara yang dikeluarkan, merasakan lengannya memeluk Juni erat.
Dia merindukan Deri, sangat.
Dia memberitahu Deri, "Der, kangen… Aku juga gak bisa tidur gak ada kamu…" Napasnya terengah-engah, dan Juni hampir selesai. "Cepet pulang, Der, so we can do this again, skin to skin, lips to lips…"
Tubuh Juni gemetaran, kenikmatin menggerayangi seluruh tubuhnya dari ujung kepala ke ujung kaki. Seprainya basah, dan Juni teringat seharusnya di menaruh handuk di sana.
Dahinya bertumpu ke tangannya, sementara dia mencoba mengatur napasnya. Di telinganya, Deri mengerangkan nama Juni.
"Juni… wait for me home…" erangannya semakin keras. Juni mendongak, dan melihat tubuh Deri juga gemetar, matanya tertutup dan mulutnya terbuka. Juni ingin menyentuhnya, memberikan kecupan-kecupan kecil di pipi dan kening. Juni menyeka kedua tangannya dengan tisu, sebelum mengambil ponselnya dan kembali tiduran, menghindari bagian tempat tidur yang basah.
Dia menunggu hingga Deri tenang. Dia melihat dirinya sendiri di kotak kecil di ujung kanan atas; peluh membasahi kening dan lehernya, pipinya merah. Dia bertanya-tanya bagaimana dia akan terlihat di mata Deri.
Deri tersenyum kepadanya. "Hai," suaranya serak.
"Hai juga." jawab Juni, tertawa kecil. "I mean what I said. Cepet pulang, then we can do this again, and again, until morning."
"You look beautiful."
"Freshly fucked, you mean."
"Not by me." Deri merengut.
"I got off thinking of you." kata Juni. "Pengen cium…"
Deri tertawa kecil dan menggigit bibir bawahnya. "Nanti, ya…"
Juni melihat Deri mendongak dari ponselnya, dan berteriak, "Bentar, Ren, gue lagi mandi!"
"Reno, ya?" tanya Juni.
Deri mengangguk. "Iya, dia baru pulang. Udah ya, Jun, aku mau mandi…"
"Iya, aku juga mau mandi lagi…" Dan mengganti seprai, lanjut Juni dalam hati. Dia harus pergi ke binatu besok pagi sebelum kerja.
Malam itu, Juni tidur nyenyak.
Dunia tidak jadi lebih indah. Burung-burung tidak berkicau, dan perubahan iklim masih ada. Tapi, setidaknya Juni tidak sakit kepala lagi, dan merasa jauh lebih baik dibanding hari sebelumnya.
Gisel menyipitkan mata melihat Juni. "Lo abis ngapain semalam?"
"Tidur."
"Boong. Abis manja-manjaan sama Ayang, ya?"
Juni memutar mata. "Gue mukanya kusut, dikomentarin. Gue lagi semangat, dikomentarin juga. Lo cita-citanya jadi komentator bola ya?"
Kanan tertawa. "Bagus, deh, kalo lo semangat, Jun. Lembur lagi, ya, dua jam."
Sejak malam itu (sebelum Deri ke Jakarta) Juni menginginkan lebih. Dia ingin Deri menyentuhnya lebih erat, lebih dalam, hingga mereka menjadi satu… dan sejak kejadian semalam, hasrat itu semakin menjadi-jadi. Saat siang dan sore, ada pekerjaan yang mendistraksi pikirannya. Tapi saat sore menjelang malam, dia masih sendirian, dihantui oleh keinginannya sendiri.
Maka, dia pergi ke kost Deri.
Juni memiliki kunci kamar kost Deri. Untuk jaga-jaga kalau kepepet, kata Deri. Kepepet karena apa, Juni juga tidak tahu.
Mungkin, hal seperti ini yang bisa dikatakan kepepet.
Juni pulang dulu ke kostnya untuk mengambil beberapa barang. Sesampainya di kost Deri, dia segera mandi dan mempersiapkan diri. Setelahnya dia mengambil baju Deri, dan membenamkan mukanya di baju itu; menghirup aroma deterjen dan pewangi yang familiar, dan di dalam aroma itu, terdapat sedikit aroma Deri yang Juni kenal.
Dia mengenakan baju itu. Kebesaran bagi Juni, meskipun ukuran baju dia dan Deri tidak begitu jauh bedanya. Hanya saja, bahu Deri lebih lebar, dan dia senang membeli baju longgar.
Baru saja Juni melangkah ke tempat tidur, terdengar suara ketukan.
Juni ingat tetangga kost Deri, Ugi, suka menerima paket Deri apabila tidak ada orang di kost. Mungkin itu dia. Ugi dan Juni tidak pernah bertemu, tapi Deri pernah menceritakan Juni ke Ugi, dan Ugi ke Juni. Jadi, seharusnya Ugi tidak akan canggung saat tahu Juni yang ada di sini.
Juni membuka pintu, dan terkejut saat Deri yang berada di depannya.
"Kamu —"
Deri tersenyum, dan masuk. Juni melangkah mundur, menatap Deri yang mengunci pintu.
Deri berbalik menghadapnya. "Aku tadi nelepon kamu, gak diangkat-angkat."
Juni melirik ke ponselnya yang tergeletak di lantai. Kemudian, seakan tersadar kalau Deri di hadapannya adalah Deri, nyata dan tak diragukan lagi, Juni melangkah maju, mendorong Deri hingga punggungnya menyentuh pintu, dan berjinjit, mencium Deri. Tangannya meraih rambut Deri, menariknya, sementara tangan satunya lagi memegang kerah kemejanya.
Bibir Deri terasa manis dan pahit, aroma kopi menguar. Juni mereguknya, merasakannya lebih dalam. Deri merangkul pinggang Juni, menariknya lebih dekat, lebih erat, membalas ciuman itu. Bibir Deri membuka, lidah saling bertemu.
"Kangen…" bisik Juni, saat dia melepaskan diri dari Deri, kepalanya disandarkan di bahu Deri.
"Aku juga…" Deri mengusap rambut Juni.
Juni merengut menatapnya. "Kenapa udah pulang? Kata kamu hari Minggu?"
"Aku… izin. Hehehe. Lagian, jadwal hari Sabtu dan Minggu sebenernya cuma rekreasi aja sama buyer. Itu sih, Reno dan Pak Sugeng aja bisa. Yang penting, kerjaan aku beres." Deri menunduk untuk mencuri satu kecupan, kemudian mendekap Juni lebih erat. "Baru berapa hari tapi rasanya udah kayak satu abad…"
"Nah itu, sih, kamu yang lebay."
Deri tertawa, tubuhnya terguncang. "Yang penting aku ada di sini."
"Iya. Ayo lanjutin yang kemarin."
Deri menarik diri. "Sekarang?"
"Iya. Aku udah laper. Mau makan kamu."
Deri menelan ludah.
Juni berjinjit dan berbisik di telinganya. "I've been thinking, and imagining… things I want to do to you."
"Kayak… gimana?"
"I would rather show you." Juni mengedipkan matanya. "Shall we?" Juni menarik tangan Deri dan menuntunnya ke tempat tidur.
"Itu baju aku?" tanya Deri.
"Iya." jawab Juni sembari terduduk di kasur, menarik Deri untuk duduk di sebelahnya. "I miss you so much, it drives me crazy." lanjutnya sambil mendekati Deri. Deri bergeming, saat Juni menyentuh tangan, lengan, hingga bahunya. Tangan Juni kemudian berada di tengkuknya, menariknya mendekat, hingga bibir mereka bersentuhan.
Ciuman-ciuman itu begitu terburu-buru, untuk memuaskan rasa lapar mereka. Jari-jemari Juni bergerak untuk membuka kancing kemeja Deri. Mereka melepaskan diri sejenak agar Juni bisa melepas kaos dalam Deri.
Saat Juni akan melepas kaos yang dikenakannya, Deri mencegahnya. Juni mengangkat alis, bertanya dalam diam.
"I like seeing you with my clothes on," aku Deri.
Juni menyeringai, dan melanjutkan ciuman mereka.
Bibir Juni berjelajah; ke wajah Deri, turun ke leher, tulang selangka, dada, perut… Juni berlutut dan membuka celana Deri. Dia menempelkan hidungnya ke pangkal paha Deri, dan selangkangannya.
Napas Deri tercekat di tenggorokannya, tangan dia menggenggam bahu Juni erat. "Jun…"
"Aku dari dulu pengen banget ngelakuin ini… choking on your cock seems like a good dinner." Juni menarik celana dalam Deri, dan mulai merasai ujungnya, merasakan pre-mani di lidahnya, hasrat Deri semakin tumbuh dan mengeras.
Juni mendongak, dilihatnya Deri bertumpu di tangannya di belakang. Mata menutup, napas goyah.
Juni memasukkan penis Deri di mulutnya, sedikit demi sedikit. Satu tangan Deri yang memegang bahu Juni, semakin kencang genggamannya, seakan-akan dia akan jatuh apabila tidak berpegangan. Suara erangannya memenuhi ruangan. Juni bersyukur tetangganya tidak bisa mendengar Deri.
Deri miliknya, dia tidak akan membiarkan orang lain mendengar, dan melihatnya seperti ini.
Juni melepaskan Deri sejenak. "Fuck my throat, Der. Use me."
Deri membuka mata. "Kemarin aku disuruh diem…?"
"Well, I changed my mind." Juni memasukkan penis Deri ke mulutnya lagi. Deri bergerak perlahan, mencoba-coba, sambil menunduk ke Juni. Saat Juni mengangguk, dia bergerak lebih cepat; terengah-engah, mendesahkan nama Juni.
Juni menyentuh dirinya sendiri di celananya, merasakan hasratnya naik.
Saat dia merasa Deri sudah hampir dekat, dia menyentuh paha Deri, dan melepaskan mulutnya dari Deri.
Deri menatapnya nanar dan penuh tanyaan. Juni hampir merasa kasihan padanya, namun Deri harus sabar.
"Sebentar." Juni menyunggikan senyum, dan meraih tasnya di lantai, mengambil botol lubrikan, dan… penutup mata.
Juni melihat Deri mengangkat alis melihat penutup mata itu.
"Inget, kan, janji kamu?" Juni berdiri.
Deri mengangguk, menatap Juni yang menjulang di hadapannya.
"Mau pakai ini?"
Deri kembali mengangguk.
"Mau tiduran atau mau duduk, nyender di dinding?"
"Duduk aja…" jawab Deri.
"Kenapa?"
"Pengen deket kamu…"
Juni tertawa. Deri beringsut mundur, hingga punggung menyentuh dinding, kakinya diluruskan. Juni melepas celananya, kemudian duduk dengan paha Deri di antara kedua lututnya. Juni berlutut, menatap Deri di bawahnya; matanya nanar, merah menahan nafsu. Juni menyeka air mata Deri yang tersisa di ujung mata.
Menyenangkan.
"Kalo kamu pakai ini, kamu gak bisa lihat aku pakai baju kamu, lho?"
"Gak apa-apa."
Juni tersenyum.
Deri menutup mata, dan Juni melingkarkan penutup mata itu di kepalanya, mengikatnya. "Kekencengan, nggak?" tanya Juni.
"Nggak." jawab Deri.
Juni memberi kecupan di ubun-ubun Deri. Dia mengambil botol lubrikan di sebelahnya.
"Kamu ngapain, Jun?" tanya Deri.
"Mempersiapkan diri." jawab Juni. "Tadi, udah sih di kamar mandi sebelum kamu dateng."
"... Kamu, ke sini, mau ngapain niatnya?"
"Main." kata Juni enteng. "Aku bawa mainan ke sini. Tapi, kamu dateng, jadi aku mainnya sama kamu." Juni mengecup pipi Deri. "Kamu lebih besar dari mainan aku, jadi aku mau siapin diri lagi."
Dilihatnya Deri menelan ludah, jakunnya naik-turun. Kemudian, Deri berkata lirih, "... Boleh aku bantuin?"
Juni tersenyum. "Boleh." Dia meraih tangan Deri, melumurinya dengan lubrikan, dan mengarahkannya ke belakang Juni. Juni mendesah saat satu jari Deri masuk. Dia berbisik di telinga Deri, "Jari-jari kamu aja besar, ya."
Deri menelan ludah keras-keras, pipinya memerah.
"Satu lagi," bimbing Juni. Deri memasukkan satu jari lagi, merenggangkan Juni.
Juni mendesah dan menggerakkan pinggulnya. "Can't wait to have your dick inside of me." Dia berpegangan ke dinding saat bergerak. Tangan Deri yang satunya lagi memeluk pinggang Juni.
Saat tiga jari Deri masuk, Juni bertanya, "Mau pakai kondom? Tapi aku gak ada ukuran kamu… kamu ada?"
Deri mengangguk, lalu menggeleng.
Juni terkekeh kecil. "Gimana maksudnya?"
"Ada, tapi… gak mau pakai kondom."
"Oke." balas Juni. "I'm clean."
"Aku juga."
Juni melumuri lubrikan ke penis Deri untuk memudahkannya masuk. Dia mengencangkan pegangannya sedikit, dan Deri mengumpat. Juni terkekeh. Satu tangannya bertengger di bahu Deri, pelan-pelan, Juni menurunkan tubuhnya, merasakan ujung penis Deri menyentuhnya. Juni mendesah pelan, kedua tangannya memegang bahu Deri lebih kencang.
Ketika sudah masuk, Juni tidak merasa sakit, namun penuh, menyentuh semua titik rangsangan dalam Juni.
Belum apa-apa, Juni sudah terengah-engah. "Pelan-pelan, ya, Sayang…" bisiknya di telinga Deri. "Aku gak sanggup kalo kamu cepet-cepet."
Deri menyentuh punggung Juni. "Kamu dulu aja yang gerak…" katanya. "Nanti aku bantu…"
Maka Juni mencoba bergerak perlahan, hingga menemukan ritme yang dinikmatinya. Pujian dan desahan terus meluncur dari mulutnya, sementara Deri bergeming, berusaha untuk tidak bergerak. Peluh sudah membasahi keningnya; Juni menyekanya.
"Sayang, you feel good?"
"Iya…" suara Deri berat dan rendah.
"Bantuin ya, sekarang."
Deri memegang pinggang Juni, dan menggerakkan panggulnya; mendesak masuk dan keluar. Juni berpegangan ke bahu Deri, tidak bisa menahan suara penuh kenikmatannya.
Satu tangan Deri berpindah; ujung jarinya meraba-raba kulit Juni. Juni merasakan kembali gelenyar nikmat; segalanya terasa lebih sensitif baginya. Deri menemukan puting Juni, dan memelintirnya sedikit. Juni mengerang nama Deri. Deri menarik Juni mendekati bibirnya. Bibirnya menyentuh permukaan kulit dada Juni, mengulumnya. Juni menarik rambut Deri keras-keras.
"Deri…"
Deri melepaskan diri mendengarnya, namun didorong kembali oleh Juni.
"Lagi…" pinta Juni.
Deri menurutinya.
Juni menyentuh dirinya sendiri, mencari puncak kepuasannya. Dia sudah dekat. Deri menemukan tangannya, dan menggantinya dengan tangan Deri sendiri; membantu Juni. Juni melingkarkan kedua lengannya di bahu Deri, merapatkan tubuh mereka lebih dekat, dan terus berpegangan.
"Aku bentar lagi…" bisik Juni.
Deri menolehkan kepalanya ke arah suara Juni, dan Juni mengecup bibirnya. Ciuman mereka terasa basah, cepat, saling menikmati momen ini; rasanya, Juni tidak ingin ini berakhir.
Deri melepaskan bibirnya dan mengerang, tangannya memegang pinggang Juni erat, cairannya mengisi Juni; panas, basah, hingga terasa penuh. Tubuh Deri bergetar, dan Juni memeluknya, menahannya. Tak lama, Juni menyusul, nama Deri terucap dari bibirnya.
Setelahnya, Juni membuka penutup mata Deri. Deri tersenyum melihatnya.
"Hai." katanya.
Juni tertawa. "Hai."
Mereka kembali berpelukan.
Juni menaruh keningnya di bahu Deri.
"Kamu… gak mau makan abis ini?" tanya Deri.
Juni menggeleng.
"Kamu… mau gini aja terus?"
Deri masih di dalam Juni.
"Sebentar lagi." jawab Juni.
Juni menepuk dahinya keras-keras. "Aku lupa."
"Apa?" Deri menyeka peluh di kening Juni.
"Harusnya kita pakai handuk biar gak terlalu basah." Juni merengut. "Kamu, sih, gak mau pakai kondom."
"Tapi kamu suka, kan?"
Juni menghela napas, dan mengangguk.
Deri tertawa. "Nanti kita ganti sepreinya…"
Pada akhirnya, mereka saling melepaskan diri, dan belum apa-apa, Juni sudah merasa kosong. Mereka mandi bersama. Nampaknya, Deri merasakan hal yang sama, karena tangan dan bibirnya tidak bisa berhenti menyentuh Juni.
Suara pancuran air meredam suara Juni yang terus mendesahkan nama Deri, saat Deri berlutut di hadapannya,
Entah bagaimana, Juni terbangun dari tidurnya, dan menemukan dirinya berada di dekapan Deri. Badannya terasa sakit, jadi yang semalam bukan mimpi. Dia menyentuh pipi Deri pelan, berhati-hati agar tidak membangunkannya.
Tapi Deri membuka matanya, menarik tangan Juni dan mengecup telapak tangannya.
"Pagi," ujarnya, suara berat dan masih penuh kantuk.
"Pagi, Sayang…" balas Juni.
Deri menutup matanya dengan telapak tangannya. "Masih pagi ini…"
"Memangnya gak boleh panggil Sayang? Ada jam-jam tertentu?"
"Nggak, sih, tapi…" Deri menghela napas. "That reminds me of last night."
"So you're being turned on again?" Juni melirik ke bawah. Deri ikutan melirik. Mata mereka kemudian bertemu, Juni tersenyum, melingkarkan tangannya di bahu Deri. "Let's do it again."
"Kamu gak sakit badan?"
"Sakit, tapi enak."
Deri memutar matanya, tapi dia kemudian bergerak ke atas Juni; bertumpu di kedua tangannya di samping Juni. Buku jarinya mengelus pipi Juni.
"Kenapa ngeliatin terus?" tanya Juni. "Aku tahu aku ganteng."
Deri tersenyum. "Indah."
Mereka melakukannya dengan perlahan, tidak terburu-buru, saling menikmati waktu yang mereka punya dengan belaian dan ciuman. Juni melingkarkan kakinya di pinggang Deri, menghujani lehernya dengan kecupan.
Setelahnya, Deri menyandarkan kepalanya di dada Juni.
Juni menarik napas dalam-dalam. Pagi yang indah.
"Kamu energinya gak habis-habis, ya…" komentar Deri.
"Makanya nge-gym sama aku."
"Hmm…" gumam Deri.
Kantuk kembali menerpa Juni. Juni menguap, diikuti Deri.
"Lima menit lagi?" tanya Juni.
Deri mengangguk. "Lima menit lagi."
Juni menutup mata, dan mengelus rambut Deri.
seketika bayanganbalap (racingshadows) Chapter 2: belas kasih Notes:sebelumnya pernah aku post di privatter, tapi ada yang aku tambahin lagi
Chapter Textbeberapa bulan kemudian
Malam itu, Deri menyandarkan kepalanya di dada Juni, memeluknya erat. Katanya, dia pusing karena Wawan tidak masuk, semua pekerjaannya dilimpahkan ke Deri. Dia butuh recharge.
Juni sendiri, sedang asyik memainkan ponsel, melihat-lihat linimasa Twitter. Dia menyentuh bahu Deri.
"Der," panggilnya. "Kamu pernah denger, katanya posisi tahi lalat di tubuh kita itu, tempat kita sering dicium, di kehidupan sebelumnya?"
Deri tidak menjawab, tapi dia mendongak; tangannya meraih wajah Juni, memalingkannya sedikit agar dia bisa melihat tahi lalat di pipi Juni. Kemudian tangannya turun, ke tulang selangka Juni.
Deri berbisik, "Aku gak tahu kamu ada tahi lalat di sini…" Jarinya menyentuh titik itu pelan. Deri melanjutkan, "Berarti… di kehidupan ini, aku cuma perlu nambahin lagi, kan?"
Juni tertawa kecil. "Nambahin apa?"
"Nambahin tahi lalat kamu lagi, di tempat yang sering aku cium."
"Di mana?" tanya Juni.
"Kamu maunya di mana?"
"Kamu maunya di mana, Sayang?" Juni mengusap rambutnya pelan. "Coba tunjukin ke aku."
Deri menatapnya, tangannya kembali bergerak memegang wajah Juni, sementara dia mendekat, hingga bibir mereka bersentuhan. Juni menutup mata, menikmati kecupan-kecupan kecil itu. Dia merasakan lidah Deri menyentuh bibir bawahnya, Juni membuka mulutnya, menyambut lidah Deri masuk.
Deri menarik diri, namun dahi mereka bersentuhan, napas mereka beradu. Juni merasakan detak jantung Deri bergemuruh di bawah tangannya.
Perlahan, Deri mengecup pipi Juni, tepat di mana tahi lalatnya berada. Kecupan lembut itu meluluhkan Juni; tangannya meraih lengan Deri agar dia tidak terjatuh. Deri melingkarkan tangannya di pinggang Juni, membawanya turun sehingga punggungnya berbaring di atas tempat tidur.
Napas Deri memburu di telinganya. "Kamu cantik." bisiknya.
Juni tersenyum, menikmati perhatian Deri. "Coba tunjukin."
Maka jari-jari Deri bergerak melepas kancing piama Juni satu-satu. Juni melihat jari-jemarinya sedikit gemetaran. Juni mengambil satu tangan Deri, dan mengecup buku-buku jarinya.
"Tenang, Sayang." ujarnya. "You always make me feel good."
Deri menelan ludah, dan menunduk untuk memberikan kecupan di kening Juni. Dia bergerak turun; mengecup tahi lalat di tulang selangka Juni. Kemudian lebih turun lagi; ke dada Juni, mulutnya mengatup di puting Juni, giginya menyentuh ujung kulit, dan Juni mendesah, tangannya menggapai rambut Deri, mencengkeramnya erat.
"Di situ," desah Juni. "Terus di mana lagi?"
Tangan Deri menyentuh puting Juni yang satunya lagi, memelintirnya pelan, sebelum tangannya berpindah ke karet pinggang celana Juni.
"Boleh?" tanya Deri, suaranya berat dan serak, seperti menahan diri.
Juni mengangguk, melepaskan tangannya dari rambut Deri.
Deri menarik celana Juni, melepaskannya, hingga Juni hanya memakai celana dalam yang sudah terasa sesak. Dia ingin Deri segera menyentuhnya. Tapi, dia sudah sering mengajari Deri untuk bersabar. Maka, Juni berpura-pura memasang senyum, bangkit, dan menyentuh pipi Deri pelan.
"Terus gimana?" katanya.
Deri melingkarkan satu tangannya di bawah lutut Juni, menaruh telapak tangannya di paha, sementara bibirnya menjamah lutut Juni, hingga bagian dalam paha.
Juni menutup mulutnya dengan tangan; merasakan gelitik dan kenikmatan menjadi satu. Bibir Deri sudah amat dekat. Satu ruas jari lagi, mungkin. Tapi Deri malah berpindah ke pangkal pahanya yang lain.
Juni sudah tidak tahan lagi; tapi dia tidak akan menyuarakannya ke Deri. Dia menggertakkan gigi, dan membelai rambut Deri, menahan untuk tidak menariknya kencang.
Deri tidak menghiraukannya, dan terus memberi perhatian kepada tungkai atas: mencium, mengulum, hingga memancing Juni dengan menggunakan gigi, seakan-akan Deri akan menggigitnya.
"Coba aja," kata Juni. "Bite until it breaks."
Maka Deri menggigit pangkal paha Juni. Tidak terlalu keras hingga berdarah, namun Juni menggigil dibuatnya, merintih. Deri mengecupnya lembut, seperti permintaan maaf.
Juni menariknya hingga bibir mereka kembali bertemu. Kali ini, Juni tidak tahan lagi. Persetan dengan segala kesabaran dan ketenangan yang dia utarakan dan tunjukan ke Deri, di waktu-waktu sebelumnya.
"Deri," bisiknya saat dia menarik diri. "Be a good boy for me."
Deri membantu Juni melepaskan celana dalamnya, kemudian pertama-tama dia menyentuh ujungnya dengan lidah, sebelum memasukkannya ke mulut. Juni mencengkeram rambut Deri dengan kedua tangan, kepalanya terhempas ke belakang, ke atas bantal, kenikmatan tersebar dari kehangatan yang melingkupinya. Juni mengeluarkan suara yang lebih besar, agar Deri tahu, dia sangat menikmatinya.
Juni memandang Deri yang menggerakkan kepalanya naik turun, mengatur ritme. Deri begitu indah, begitu tampan, begitu patuh, begitu… menyenangkan.
Juni keluar di mulut Deri, hingga Deri terbatuk.
Ketika Juni selesai, dia terduduk, satu jari menyentuh ujung bibir Deri, mengusap sisa mani. "Mau ditelen?" ucapnya.
Deri mengangguk, dan menelannya.
Juni tersenyum. "Good boy." Dia melanjutkan, "And good boy deserves a reward."
Pipi Deri semakin merona. Juni mencubitnya.
"Kamu maunya gimana?"
Deri menelan ludah, dan membuka mulut untuk berbisik, tapi hampir tidak didengar Juni.
"Apa?"
"… Thighs. Your thighs…" Deri memandang Juni, meminta. "Boleh?"
"Boleh, dong." Juni mengecup bibir Deri cepat, sebelum mengambil botol lube di laci meja sebelah tempat tidur. "Dibuka, Sayang." katanya sambil membuka tutup botol.
Deri dengan cepat menurunkan dan melepaskan celananya. Juni ingin menertawakan ketergesa-gesaannya; sungguh tidak sabar. Juni menahan diri untuk tidak mengingatkannya soal kesabaran. Mungkin lain kali, karena Juni selalu menepati janjinya.
"Aku bantu?" Juni melumuri tangannya dengan lubrikan, dan memegang Deri. Genggamannya tidak terlalu erat, tapi cukup untuk memancing reaksi Deri. Napas Deri tersendat di tenggorokannya, dan Juni tersenyum.
"Sabar." katanya.
Deri menggigit bibir.
Juni berbaring di atas perut, tungkai saling menempel rapat. Dia merasakan tangan Deri di belikatnya, menahan diri saat dia memasukkannya di antara paha Juni. Juni menjepit pahanya lebih kencang, hingga dia mendengar erangan di belakangnya.
Deri terus mendorong masuk dan menarik, mencari kepuasannya sendiri. Di lain waktu, Juni akan mengajarinya untuk menahan diri, bergerak perlahan-lahan, hingga Deri akan memintanya dengan mata penuh iba, dan Juni akan berbelas kasih kepadanya.
Mungkin nanti.
Dorongan Deri mulai tidak teratur; dia semakin dekat. Juni merapatkan pahanya dekat, dan merasakan hangat membasahi pangkal paha, hingga bokongnya. Suara Deri bergema di telinganya, begitu dekat.
Deri menjatuhkan dirinya di atas Juni, dengan kedua tangan berada di sisi kepala Juni, menahannya untuk tidak jatuh seutuhnya.
Terengah-engah, Deri berbisik di telinga Juni, "Sayang…"
Juni menoleh menghadapnya. "Iya, Sayang."
Ciuman Deri disambut oleh Juni.
