Disclaimer

All characters of Naruto belongs to Masashi Kishimoto-sensei. l'm just playing with it.

.

Warning

AU, OOC, harsh word, rated M untuk keamanan, typo(s), miss typo(s), ejaan tak serapi yang kalian kira, gaya bahasa seenak udel yang mengandung muatan informasi ngaco, garing-garing kriuk nyes, etc.

.

Cerita ini menggunakan sudut pandang Sasuke yang mungkin akan membuat kalian geleng-geleng kepala. Silakan cuci tangan, siapkan berondong jagung (bukan berondong kaya), duduk manis, dan atur jarak pandang sesuai kenyamanan Anda saat karpet terbang ini lepas landas.

.

Enjoy!

.

.

Sequel of BUKUDA: Ketaksaan

Zona Transparansi

by kayaorangbiasa

.

.

.

Dua tahun terlewat.

Lembaran demi lembaran peristiwa kulalui dalam kehidupan sialan yang berjalan cukup gila ini. Langkah demi langkah kaki ini menapaki tangga, menyusuri takdir, dengan pikulan rasa bertahan yang menjadi dorongan untuk menjalani hari.

Meski mustahil selalu berjalan mulus seperti pantat bayi, segala masalah yang menghadang pasti tetap ada selama setan-setan jahat diciptakan untuk menjaga keseimbangan dunia. Yah, konklusi yang didapat sampai detik ini hidupku berjalan cukup baik. Sepertinya cukup baik, tapi entahlah.

Kalian mungkin tahu, meski aku bahkan tidak peduli kalau kalian tidak mengetahuinya, hubunganku dan Sakura sudah naik level ke tahap yang lebih spesifik. Tidak berada dalam zona ketaksaan seperti kemarin. Mengerucut dalam dua tahun belakangan.

Sebuah kemajuan dari kesabaran yang berbuah hasil, eh?

Kalau boleh jujur ini pengalaman yang sangat sulit sekaligus kompleks. Meski satu sisi aku tetap tak bisa menampik perasaan khusus nan sudah mengakar pada sahabatku itu sejak lama. Oh, benar juga. Sepertinya sah-sah saja kalau aku menyebut perempuan penggila makanan manis itu sebagai kekasih sekarang.

"Jadi … dua orang yang bersahabat sejak kecil, sering tanpa sadar bertingkah seperti pasangan suami-istri ini akhirnya masuk ke dalam tahap pacaran?" Jiraiya menatap kami bergantian.

"Yah," Sakura sepintas melirik ke arahku dan menjeda kalimatnya, "bisa dibilang seperti itu …." Sementara aku mendengus samar lalu kembali menyuap makanan.

Bisa dibilang seperti itu bagaimana? Kau bahkan memang benar-benar sempat menggantungku, merah muda! Setidaknya tunjukan rasa senang sedikit kalau hubungan ini bisa naik ke satu tahap dalam zona kepastian. Oh, entah kenapa alisku berkedut kesal. Seperti ingin mengeluarkan makian kepada seluruh isi semesta meskipun daging yang kukunyah ini rasanya enak.

Wanita tua (bukan secara fisik) yang berada di samping kanan Jiraya itu ikut membuka mulut, "Baru … hik! Ke tahap … pacaran?" tatapannya yang tampak sayu berusaha memfokuskan pandangan. Sudahlah, menyerah saja.

Sakura menghela napas.

"Ya."

Seolah dirinya baru tahu kalau perbincangan ini jelas akan melelahkan psikis. Wah, ternyata perasaanmu juga samanya tidak enak sepertiku, ya? Bahkan aku sudah merasakannya dari awal kita terdampar. Telat sekali radarmu itu dalam menangkap sinyal.

"Tch." Hei, apa kau baru saja berdecak ke arahku? Berani sekali kau, Sakura!

Tsunade langsung menyunggingkan senyum dengan anehnya, tiba-tiba tertawa geli. Sekarang aku mulai ragu akan kewarasannya. Sial, aku mulai semakin menyesal berada di sini! Kalau bukan karena daging yang kukunyah ini terkenal enak, aku sudah pulang ke rumah dan tidur dengan nyenyak.

"Aku turut senang." Aku mulai curiga di hadapanmu sekarang ini. Lagi pula, nenek tua aneh itu sebenarnya mengharapkan apa sih? "Kalau begitu ... hik! Berarti kalian sudah bisa memberiku cucu tahun ini—yeaaaaay!" melontarkan perintah asal yang membuatku langsung tersedak saat masih mengunyah makanan—

"Astaga!" tegur Sakura saat menoleh ke arahku.

—dengan tidak elitnya. Sial, rasanya aku hampir melihat wajah istri Madara yang sudah pulang sebelum kulahir. Bicara apa nenek tua itu tadi?

Oh, sungguh memalukan harga diri dan martabat keluarga. Refleks melirik ke arah Sakura yang sedang menatap kesal neneknya sembari menyodorkan minum kepadaku. Tentu saja kuterima pertolongan yang mulia ini. Meskipun perbuatanmu cukup baik, tetap saja dendamku masih ada untukmu merah muda! Jadi tolong camkan hal itu.

Sakura mendengus lagi dan—oh, hei! Dari mana ia bisa tahu seluruh isi keluhan di kepalaku sedari tadi? Oke, ini mulai menyeramkan.

"Minum perlahan dan berhentilah mengoceh." Aku tahu. Bahkan sebelah tanganku baru mengambil gelas sialan ini, Sakura. Cerewet sekali dan berhentilah untuk melotot! Bola matamu itu seperti mau keluar dengan sangat menakutkan seperti badut tahu!

Kami berempat, termasuk suami Tsunade, tak ada yang mengindahkan tawa Jiraiya yang masih mengalun kencang. Benar-benar sangat menyebalkan. Sepertinya kakek tua itu terlalu senang seperti tak ada beban hidup. Melupakan usia yang seharusnya sudah masuk ke kategori orang berbau tanah.

"Kenapa kau bisa tersedak, Uchiha bodoh?!" Tsunade tiba-tiba menuding ke arahku dan mulai merengek, "cepat—hik—serahkan aku cucu laki-laki berambut merah muda itu sekarang!"

Kau pikir aku menyembunyikannya?! Oke … tahan emosimu sekarang, Sasuke. Demi harga diri dan martabat yang kau pikul sekarang sebagai anak baik juga gemar menabung.

"Nek, kami baru saja memutuskan untuk pacaran bukan menikah." Aku masih meneguk air sembari mendengar Sakura yang sedang menceramahi Tsunade. Tentu saja berusaha menjaga sikap dengan mengeluarkan ekspresi seperti tembok dan tidak membalikkan meja. "Lagi pula seharusnya kau minta cicit kepada kami, bukan cucu."

Tsunade berdecak, mengangkat sebelah kakinya ke atas kursi makan yang sedang didudukinya itu. Memang tidak sopan tetapi bukan suatu masalah besar mengingat beliau salah satu tetua di sini. Silakan bersikap semaunya. Lagi pula ini teritorial milik keluarga Haruno, sebagai pendatang baru aku bisa apa?

"Apa salahnya sih kalian buat sekarang?!" nenek tua itu menggerutu dengan nada menyebalkan. Kuulangi, dengan nada menyebalkan.

Jiraiya terbahak mendengar celotehan gila sahabatnya. Memang tak salah dirinya menumpang makan ke keluarga Haruno hari ini. Benar-benar hiburan untuknya, tetapi kutukan untukku sendiri.

"Tentu saja tidak bisa semudah itu," keluh Sakura. Ia mengerang frustasi.

"Kenapa?"

"Pabriknya masih belum bisa beroperasi."

"Kenapa?!"

Sakura mengacak rambutnya kesal. "Ya, Tuhan! Kenapa rasanya Nenek jauh lebih menyebalkan ketika mabuk?! Kakek juga, jangan hanya diam saja!" Dan Kato tersenyum masam. Terlihat agak tidak mau disalahkan dan terseret masuk ke dalam gelanggang.

Usai menandaskan air pemberian Sakura, kutaruh gelasnya di atas meja separuh membanting. Menatap Filet Mignon Steak yang sudah kuhabiskan setengah. Masih tampak lezat, seksi, menggiurkan, menggoda iman, juga tak berdosa ini dengan pandangan tak berselera.

Maaf teman, hari ini aku tak bisa menikmatimu. Nafsu makanku sekarang benar-benar turun meski aku tetap mencintai rasamu.

"Hei—hik! Jawab saja pertanyaanku tadi. Kenapa tidak bisa?!"

"Kami tidak terima sistem pre-order hari ini. Silakan coba lagi besok!" kuharap nenek tua itu mengerti dengan bahasa manusia yang barusan Sakura keluarkan.

"Oh, jadi kalau besok sudah bisa?"

Jiraya sialan!

"Bisakah kau tidak memperkeruh keadaan?" ucapku dan Sakura bersamaan dengan nada yang dalam.

"Loh, padahal bahan bakunya 'kan sudah ada dan tinggal diolah."

"Kau dengar itu, bocah?"

"Diamlah, Nek."

Dan Kato juga tampak lelah karena Tsunade mulai menjambak rambutnya. Meski dengan pintar diam-diam menjauhkan sebotol wiski merek mahal yang isinya tinggal seperempat itu. Tentu saja agar tidak dapat dijangkau oleh sang istri. Entah sudah berapa seloki yang sudah Tsunade teguk. Konklusi yang bisa didapat nenek bertubuh seksi itu sudah pasti sakit jiwa dikarenakan mabuk.

"Mau cucu!" aku melirik Dan yang tampak mencoba menenangkan istrinya. "Dan, kau pasti mengerti perasaanku—AGRRRHHH! Pokoknya aku mau cucu laki-laki yang menggemaskan!" tsk, tsk, lihat orang ini. Ia membabi buta menggebrak meja seperti kehilangan akal sehat. "Berikan sekarang juga, sialan!"

"Kau mabuk, Tsuna …."

"Pokoknya aku mau cucu!"

Tsunade meracau, benar-benar meracau seperti kesetanan. Apa aku harus memanggil polisi sekarang?

Sakura ikut menggebrak meja, sementara aku sudah tak tahu lagi harus berbuat apa di samping kirinya. Benar-benar mati gaya. "Itu bukan sesuatu yang bisa didapatkan secara instan, Nenek. Berpikirlah rasional!"

"Usaha!"

"Merepotkan."

"Sakura … jangan berteng—"

"Kakek, diamlah!" padahal tadi kau yang menyuruhnya berbicara.

Tsunade beralih menudingnya. "Kau menyebalkan, dada rata!"

"Berhenti membawa fisikku ke dalam masalah ini!"

Mereka saling melontarkan makian terus-menerus tanpa ada niatan gencatan senjata atau setitik rasa untuk mengalah. Kalau sudah begini mustahil sekali pertengkaran mereka berlangsung dalam kurun waktu yang singkat. Memang menyebalkan sekali.

Terlebih lagi Hulk merah mudaku itu tampak kesal dan mulai sedikit menyeramkan. Sebenarnya dosa apa yang sudah kuperbuat waktu kemarin, sih?

Oh, astaga ... kepalaku makin sakit.

Omong-omong, hari ini aku resmi terdampar dalam situasi gila nan terkutuk—makan malam keluarga Haruno. Ceritanya panjang dan sebenarnya membuatku malas untuk menjabarkannya secara rinci. Namun, tak apa selagi aku masih berbaik hati.

Aku menerima undangan dadakan ini dengan rasa kantuk yang luar biasa menyerang dikarenakan sudah tidak tidur tiga harian penuh. Belakangan ini otak, tenaga, juga kewarasanku terkuras akibat mengurus proyek sinting Madara. Belum lagi banyak kerjaan yang menumpuk juga menyita waktu berhargaku. Bahkan untuk makan siang saja aku harus mencuri waktu. Haha, memang seberlebihan itu.

Yah, sebenarnya tidak apa sih … demi mencari sesuap nasi demi hidup bersama Sakura di masa depan. Kau tahu? Nasib mengurusi perusahaan milik keluarga gila yang dicurigai menganut sistem nepotisme dari zaman purba. Aku terseret mengurusi perusahaan karena pemaksaan si sialan Madara—kakek buyutku yang tak akan pernah bisa mati itu.

Kenapa? Karena nyawanya berjumlah lebih dari sembilan melebihi seekor kucing.

Beruntung saja mood-ku masih tersampul dengan baik juga stabil meski di dalamnya sangat uring-uringan dan ingin memakan orang. Meski yah, kehidupan selalu dipenuhi dengan ribuan lelucon tak lucu di dalamnya berlabel musibah. Salah satunya, sebelah lenganku patah dan baru tergips tadi pagi.

Benar-benar tadi pagi, saat rapat penting sedang berlangsung. Tentu saja berhadapan dengan puluhan calon investor. Ya, mereka semua menontonnya secara langsung tanpa diedit oleh komisi penyiaran—tanpa ada sensor. Luar biasa, bukan?

Wah, tentu saja hari yang indah sekali wahai para malaikat. Aku pun sangat menyanjungnya dalam suatu manifestasi yang tak akan pernah bisa kalian gambar atau bayangkan. Beruntung Itachi dapat menahanku dan menyuruhku pulang lebih awal. Agar tidak sepenuhnya mengacaukan (menghancurkan) harga diri pun citra baik perusahaan. Istilah mudahnya, mungkin yah … ia menahanku untuk tidak mengamuk lebih jauh sebelum iblis di dalam diriku mengambil alih.

Karena jelas tidak mungkin ia sudi melakukan eksorsisme untuk adik semata wayangnya ini. Apalagi di depan hadapan orang banyak. Hal itu hanya akan mendatangkan kerugian yang lebih besar saja bagi si keriput yang sedari dulu terkenal tidak pernah mau repot.

Jangan tanyakan tentang penyebab gips sialan ini bisa ada. Itu hanya akan mengingatkanku pada ribuan makian Sakura—Itachi menyuruh dan menyeretnya untuk menemaniku—yang telah kudengarkan bagai kaset rusak secara paksa. Dan itu benar-benar sangat menyebalkan. Hanya akan membuat mood ini makin memburuk atau bahkan sebenarnya sudah.

Tak hanya mood, penampilan ini juga samanya sedikit (sangat) mengerikan. Apalagi tambahan kantung mata yang mencolok dan telihat vulgar—tch, kalau tahu begini lebih baik aku pakai kacamata hitam sebelum keluar dari mobil tadi. Bahkan penampilan cukup rapi semacam pakaian hangat khas musim gugur ini pun tak menolong banyak.

Ah, benar, ini hanya sweter rajut tebal berwarna krem dan ripped jeans hitam biasa. Jadi apa yang sebenarnya dipermasalahkan di sini, sih? Apa karena rambutku yang sudah gondrong dan diikat asal-asalan makanya terlihat urak-urakan seperti wajah Naruto?

Sudahlah, aku tidak peduli.

Lagi pula aku tak mau ambil pusing dengan gosip pun omong kosong di belakang yang berbisik-bisik. Tidak mengurusnya, tidak penting. Aku sudah tahu kalau diri ini memang sudah tampan secara alami. Hah, sombong. Mayoritas dari penghujat dan pembenci pasti bilang itu.

Bahkan aku tidak memusingkan tawa menyebalkan Tsunade—yang sebelumnya masih waras—dan Jiraiya saat melihatku baru sampai tadi. Kompak menistaiku dengan olok-olokan yang bersifat tidak lucu, setidaknya itu dari segi perspektifku. Ah, sial … sudah kubilang harusnya aku pakai kacamata hitam!

Memang pada dasarnya mereka itu tipikal kumpulan orang tidak waras dan tidak jelas. Tak jauh beda juga satu spesies dengan trio idiot di keluargaku sendiri. Intinya terasa menyebalkan melihat kehangatan persahabatan atau eratnya hubungan mereka yang awet sedari dulu.

Yah, meski sudah satu kategori dengan Madara sih—sama-sama bau bunga pemakaman. Hei, apa-apaan tatapan kalian itu? Setidaknya hargai yang terakhir itu. Karena aku sudah berusaha memuji dan menghormati mereka selayaknya golongan muda!

Walau setidaknya aku merasa cukup beruntung karena masih ada satu orang normal tersisa sekarang. Dan harapan itu jatuh pada Yang Mulia Dan Kato seorang, tak lain dan tak bukan. Ia bahkan rajin kudoakan agar bisa terbebas dari lingkup pergaulan sesat tersebut. Meskipun kalau waktuku sempat atau otak ini mengingatnya, sih … soalnya jadwalku 'kan memang selalu sibuk. Jadi ia harus mengerti akan hal itu dan tidak memprotesnya.

"… Kau dengar itu, Sasuke?!" ditunjuk seperti itu tentu saja membuatku terkesiap.

"Hn?"

"Astaga … kau produk Uchiha apa bukan? Sudah sempat tersedak, melamun, dan sekarang malah telihat bodoh~"

Persetan denganmu, Jiraya!

"Pokoknya aku—hik! Harus dapat cucu malam ini juga!" nenek tua itu juga samanya. Kenapa Dan tidak mau bercerai dengannya, sih?

"Kau saja yang berkembang biak!"

Sakura makin telihat marah dilihat dari caranya melempar serbet makan ke arah Tsunade. Oh, aku selalu jatuh cinta dengan gaya barbar yang dimiliki Angry Birds-ku itu. Daya tarik tersendiri.

"Kalian harus membuatnya sekarang!"

"Kami bahkan belum pernah bersanggama!" teriak Sakura.

Krik.

Aku sontak melayangkan tatapan protes tanpa peduli dengan situasi yang tiba-tiba canggung. Mulutmu, Sakura ... kau sudah membuat gosip baru secara tidak langsung. Aku tak mungkin membungkammu dengan ciuman panas di hadapan mereka sekarang.

"Haha, menarik sekali~" tidak usah tepuk tangan, Jiraiya berengsek! Ini bukan sesuatu yang harus diberi apresiasi!

Tsunade masih cegukan, menatap sayu khas orang gila yang tengah mabuk. "Masa, sih?" berengsek, semua ini pasti akan makin panjang. Kepalaku berdenyut. Rasa ingin tidur dan menjauhkan diri dari peradaban manusia makin ingin terwujud. Jiwa introvert-ku kambuh lagi sekarang. Bertemu dengan orang memang membuatku energiku terkuras meski diam saja sedari tadi.

"Wah, jadi kalian benar-benar serius?" Jiraiya si penulis novel erotis dan maniak seks itu benar-benar masuk ke dalam gelanggang. "Tapi seingatku Shisui memang pernah bilang sih kalau Sasuke tidak bisa naik. Apa itu benar?" ingatkan aku untuk tidak menonjok wajah sok polosnya sekarang.

Dan Kato, pria biru yang awalnya kukira normal, ikut memandang penuh pengertian sembari mengusap dagu. "Apa kau memiliki fetish yang aneh makanya tidak bisa naik, Sasuke?" pandangannya menelisik. "Seperti kata Shisui."

"Astaga, Kakek!"

Ya, Tuhan ... jangan ampuni dosa Shisui dan biarkan aku menghakiminya nanti. Izinkan tekatku untuk membunuh Shisui beserta mulut berengseknya itu dalam menyebarkan fitnah.

"Hahaha, apa kalian menginginkan permainan ikat-mengikat? Atau butuh alat-alat tambahan?" sudah kubilang, tahan aku untuk tidak menghajar Jiraiya sekarang! "Tenang, Sasuke … aku punya referensi toko langganan yang bisa kau—"

"BUKAN ITU, KALIAN INI KETERLALUAN!" seru Sakura dengan muka yang bersemu luar biasa merah. Aku memijat pangkal hidungku karena makin pusing dengan segalanya.

Serius, aku benar-benar butuh tidur. Berbaring di atas kasur empukku sembari memeluk Sakura dari arah belakang dan berbagi kehangatan.

Jiraiya menopang dagunya dengan sebelah tangan sembari tersenyum menyebalkan. "Jadi berita tentang Sasuke benar-benar tidak bisa naik itu rumor atau fakta?" enyahlah ke neraka wahai penjahat kelamin!

"Fakta," celetuk Tsunade.

"Nenek!"

"Kalian menahannya, ya?"

Langsung saja kurespons dengan ekspresi dingin yang sebisa mungkin tidak bersahabat kepada mereka, khususnya Jiraya. Berusaha tidak terpancing emosi.

Dan tertawa kecil sembari mengelus kepala cucunya dengan sayang, berniat menenangkan tapi tidak begitu membantu sebenarnya. "Sudah, sudah, kami hanya bercanda. Mungkin kalian memang punya alasan sendiri yang orang tua seperti kami tidak mengerti."

"Women need a reason to have sex, but men just need a place," celetukan Jiraya benar-benar membakar nafsuku untuk segera mengirimkan orang jompo itu ke neraka, "apa? Aku hanya mengutip perkataan Billy Crystal. Lagi pula bodoh sekali kalau kalian berdua ternyata malah menahannya."

Persetan, aku tidak peduli dengan ceramah pendidikan seks dari orang gila!

"Hmm, omong-omong … bukannya kalian sudah memutuskan untuk tinggal bersama semenjak bulan lalu, ya? Kenapa tidak melakukannya?"

PERATURAN DARI MANA YANG MENGHARUSKAN KAMI BERSETUBUH HANYA KARENA TINGGAL BERSAMA?!

Aku hanya mengeluarkan decakan, tanpa sadar mencengkeram gelas pemberian Sakura tadi. Oh, oke, sekarang otakku sudah menyadari dan melepasnya. Tenanglah, kalian sudah bisa menghela napas lega sekarang. Aku bukan tipikal orang yang mudah meledak-ledak (sepertinya). Tidak usah berlebihan.

"Yah," cegukan sialan itu kembali menjeda perkataan Tsunade, "mungkin kribo penggosip itu benar. Sasuke memang tidak bisa naik." Semua pria jompo itu tertawa.

Omongan vulgar dan tawa mereka semua benar-benar membuatku makin sakit kepala. Bahkan Dan sudah terkontaminasi dan tak bisa terselamatkan. Meski aku tetap berusaha untuk bersikap apatis, menyimak semuanya tanpa melontarkan klarifikasi atas adikku yang selalu sehat secara jasmani dan rohani. Bukan begitu, jagoan?

Hei, diamlah berkerut di bawah sana. Biarkan hanya semesta dan Sakura yang tahu betapa hebatnya dirimu saat di permainan ranjang nanti. Tunggu saja waktu yang tepat untuk membungkam semua gonggongan pembenci dan tetangga julid seperti mereka.

Aku melirik Sakura yang tampak menggerutu, "Kenapa manusia yang memiliki pemikiran normal makin terkikis di dunia ini?" kali ini aku setuju denganmu, cantik. Meski mulutku tetap terkunci rapat dikarenakan malas meladeni.

"Jawab saja kenapa kalian tidak melakukannya."

Itu suara Tsunade dengan tangan yang sibuk membuka sebotol wiski baru dari bawah meja. Langsung menegaknya dengan beberapa tegukan tanpa dirasa-rasa. Dan Kato sudah menggeleng pasrah melihat kelakuan sinting istrinya.

Tinggal menunggu waktu saja dirinya diperbudak jika Tsunade sudah kehilangan kesadaran secara total. Pokoknya jangan mengharapkan belas kasihan dariku. Aku tak akan sudi bersimpati dengan dirimu yang sudah samanya terinfeksi penyakit otak, Yang Mulia.

Sementara Jiraiya masih menunggu konfirmasi dengan pandangan jenaka bercampur penasaran. Aku benci dia. "Nah, ayo jawab~ Lumayan untuk bahan referensi novel baruku."

Kakek tua mesum sialan. Tolong siapapun lempari kumpulan orang gila itu dengan batu atau benda keras juga tajam lainnya sekarang juga!

"Bisa gila diriku menghadapi orang-orang ini ..." Berhentilah membuat gerutuan, Sakura. Harusnya aku yang bilang itu.

Kepalaku makin terasa berat, Sakura menyikut lenganku yang tergips secara tiba-tiba sembari melotot. Tentu saja aku hampir berjingkat akan rasanya. Kau tidak tahu itu sangat sakit, sayang? Padahal sejak awal aku diam saja dan kepala sialan ini memang sedang sakit—sudahlah! Wanita memang tak pernah bisa mengerti. Persetan dengan segala hal.

"Wah, ada ribut apa ini?"

Kami semua menoleh ke arah sumber desibel tersebut. Sakura yang tadinya kesal sontak memekik senang sembari menerjang perempuan yang gayanya selalu nyentrik itu dengan sebuah pelukan kencang.

"Kakak!"

Ah, bagus. Maniak merah yang kubenci akhirnya menampakkan diri. Sungguh makin sial hidupku ini.

tbc.