Mitos mengatakan hari Senin akan tiba sangat cepat seperti kereta api yang melaju, sementara hari Minggu adalah kebalikannya. Untuk saat ini, Boboiboy membenarkan mitos itu.

Hari Senin kali ini adalah Senin pertama kehidupannya di sekolah berubah. Lebih tepatnya di kelas, saat pelajaran berlangsung, ia akan terus berhadapan dengan Yaya. Entah apa yang dilakukan dirinya di masa lalu sampai harus menghadapi cobaan seperti ini.

Boboiboy menarik napas panjang, menatap lama gedung sekolah di depannya sebelum melangkah masuk tanpa menyapa atau disapa siapapun. Ia bukan seorang siswa populer di sekolahnya. Kebanyakan orang mengenalnya sebagai teman dekat Fang, si most wanted sekolah karena ketampanannya. Yah, ia juga tampan, cuma kurang terkenal aja.

Sesampainya di kelas Boboiboy sudah mendapati suasana baru. Teman kelasnya yang sudah datang duduk di bangku sesuai rolling yang telah diatur. Bahkan tempat duduknya bersama Gopal kemarin sudah ditempati oleh Ying dan Fang. Keduanya tampak mengobrol ria, seolah mereka sudah dekat sejak lama. Bukan hanya mereka, tapi teman-temannya yang lain tampak tak keberatan dengan rolling tempat duduk ini. Sial. Apa jangan-jangan hanya ia yang merasakan ketidakadilan disini?

"Oi, Boboiboy! Masuk lah, ngapain berdiri doang disitu?" seru Stanley, membuat dirinya jadi pusat perhatian satu kelas. Termasuk Yaya yang juga ikut menatap dirinya.

Boboiboy mendengus dan tak menghiraukan Stanley. Ia menghampiri tempat duduknya bersama Yaya tanpa membalas tatapan cewek itu. Posisi meja mereka dekat meja guru persis. Saking dekatnya, sisi depan meja itu bahkan saling menempel.

"Nggak ada tempat lain kah sampai harus duduk disini?" tanya Boboiboy langsung sebagai bentuk protesnya lagi.

"Gue suka di sini. Bisa lebih fokus belajar." jawab Yaya, membuat Boboiboy mengernyit kesal. "Kalo lo nggak suka, duduk aja di lantai. Gampang, 'kan?"

Boboiboy menggeram kesal. Tatapannya kini sudah berubah dingin, berharap Yaya bisa merasakan emosinya yang ingin meluap. Tapi sebelum itu terjadi, Fang sudah menghentikannya.

"Woi, masih pagi. Ributnya nanti aja bisa ga?" sindir Fang di belakang sana.

Boboiboy menatap teman bangkenya sinis hingga cowok itu bungkam. Ia kemudian kembali menatap Yaya lagi untuk membalas ucapan si ketua kelas. Tapi sebelum itu, Boboiboy melempar tasnya ke kursi dengan sebelah tangan. Suara debumannya membuat teman-temannya terkejut dan menatap mereka lagi.

"Sesuai peraturan yang gue kirim, gue gak mau duduk sama lo kecuali pas lagi belajar." ucap Boboiboy penuh penekanan, ia mengangkat tangan kanannya ke udara seperti sedang melambai. "See u." Kemudian dengan santai cowok itu pergi ke belakang kelas untuk duduk di meja Fang yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

Yaya menghela napas jengah. Tentu ia tahu peraturan apa yang dimaksud cowok itu. Yaya sudah membacanya semua, terhitung ada 20 peraturan ngaco yang Boboiboy buat seenaknya. Karena merasa itu bukanlah hal penting, Yaya membacanya saja tanpa peduli Boboiboy akan kesal.

Sabar, Yaya, sabar. Lo harus bertahan sampai pertanyaan dari semua ini terjawab. Batin Yaya. Ia sekali lagi meyakinkan dirinya untuk keputusannya ini.

Kelas pun dimulai setelah sepuluh menit berlalu. Boboiboy sudah kembali, cowok itu duduk di sebelahnya dengan berusaha tak menengok sedikit padanya. Yaya bisa melihat dari sudut mata, ketika Boboiboy juga secara diam-diam menggeser kursinya ke samping agar menciptakan jarak darinya. Lalu cowok itu duduk anteng seolah tak terjadi apa-apa, membuat Yaya ingin sekali menaboknya jika tak lupa ia harus memimpin teman-temannya untuk memberi salam pada guru, sesuai tugasnya sebagai ketua kelas.

Setelah selesai, Yaya kembali duduk tenang dan membiarkan Pak Kasa memulai kelas pagi ini.

"Baik. Bagaimana rolling tempat duduknya? Tidak ada yang protes kan?"

"Adaaa!"

Pak Kasa dan yang lainnya langsung menoleh pada sumber suara. Oh, kecuali Yaya. Karena ia tidak perlu repot-repot menoleh ketika sudah tahu lebih dulu sumber suara itu berasal dari manusia di sampingnya persis.

"Kenapa Boboiboy? Yaya ada buat salah sama kamu?" tanya Pak Kasa. Anak muridnya itu dengan cepat membalas.

"Wah, banyak, Pak! Makanya saya nggak mau duduk sama dia!" balas Boboiboy tampak menahan kekesalannya. Yaya langsung melotot tajam ke arahnya.

"Emangnya siapa yang mau duduk sama lo! Dasar kegeeran!"

"Tuh, Pak. Mana ada ketua kelas kayak gini? Lengserin aja, lah!"

"Apa lo bilang?!"

"Sudah cukup!" teriak Pak Kasa memutus pergulatan antara Boboiboy dan Yaya sebelum lebih panjang. Keduanya saling melempar tatapan membunuh sebelum membuang wajah, Pak Kasa yang melihatnya menghela napas. "Rolling tempat duduk ini diatur secara acak, bukan kemauan bapak atau siapapun. Jika teman sebangku kalian bukan yang kalian mau, itu berarti kalian harus menerimanya dengan lapang dada. Belajar untuk berusaha tidak memaksa apapun yang sesuai kalian inginkan. Paham?"

"Paham, Pak." seru semuanya, kecuali Boboiboy dan Yaya.

Tahu ucapannya tak dibalas, Pak Kasa menatap dua muridnya itu. "Paham, Boboiboy, Yaya?"

"Paham," balas mereka dengan suara pelan dan ogah-ogahan.

"Sudah. Berbaikan dari sekarang. Bapak tidak mau melihat kalian bertengkar." kata Pak Kasa. "Dan Yaya, nanti umumkan ke teman-teman ya, bagikan ini juga." Pak Kasa menyerahkan setumpuk kertas surat edaran pada Yaya yang menerimanya dengan bingung. Ia tak sadar Boboiboy ikut melirik penasaran kertas apa yang diberi Pak Kasa.

"Bapak pamit dulu. Selamat belajar."

"Terimakasih, Pak."

Setelah Pak Kasa pergi, kelas kembali ribut karena guru mapel selanjutnya belum datang. Yaya yang masih bingung dengan maksud Pak Kasa barusan membuka salah satu kertas itu, membacanya dengan kernyitan di dahi.

"Itu kertas apa?" tanya Boboiboy.

"Pemberitahuan kegiatan kemah." balas Yaya tanpa sadar. Sedetik kemudian, keduanya memelotot kaget dan mendengus kesal.

"Nggak usah ngajak gue ngobrol walau itu hal penting sekalipun. Peraturan nomor 15."

"Yeee, lo kali yang ngajak gue ngobrol!" seru Yaya kesal.

"Itu bukan gue tadi." jawab Boboiboy asal. Berusaha menyembunyikan rasa malunya dengan melempar pandangan ke jendela di sampingnya.

Yaya tak membalasnya lagi dan membiarkan keheningan tercipta. Tangannya meletakkan surat edaran itu di mejanya, lalu menghitungnya lagi untuk memeriksa apakah sesuai dengan jumlah murid di kelasnya.

"Soal peraturan itu, gue serius." ucap Boboiboy tiba-tiba. Yaya pura-pura budeg, membiarkan cowok itu berbicara sendiri. "Gue udah capek-capek bikin tapi malah lo read doang. Sopankah begitu?"

Yaya masih diam seraya terus menghitung surat. Padahal tadi jumlahnya sudah sesuai, tapi cewek itu lebih baik berurusan dengan surat daripada makhluk di sebelahnya ini.

"Woi, lo denger gak sih?"

Yaya tetap cuek di tempat. Karena kesal, Boboiboy akhirnya merubah posisi tubuhnya agar menghadap cewek itu. Ia baru akan protes lagi ketika guru mapel pertama datang. Dan berikutnya Yaya menatapnya tiba-tiba sampai ia terkejut.

"Udah ada guru. Sesuai peraturan sekolah, lo gak boleh berisik. Paham?"

"Sialan lo."

.


.

Istirahat menjadi satu-satunya waktu favorit semua siswa, tak terkecuali Yaya. Di tengah-tengah serangan materi yang harus mereka pelajari, waktu istirahat bagaikan pahlawan untuk mereka meski hanya 20 menit. Tidur, makan, bersantai, bebas melakukan apa saja demi merefresh otak sebentar. Seharusnya sih begitu...

"Boboiboy bangke!" Garpu yang menancap bakso itu harus bertabrakan dengan permukaan mangkok hingga menciptakan bunyi nyaring. Ying memejamkan mata karena kaget atas aksi tiba-tiba dari Yaya yang akhirnya bisa meluapkan amarahnya sekarang.

"Lo bener. Gue setuju." celetuk Ying, malah melempar bensin di api amarah sahabatnya. "Gue jadi lo sih udah lempar tuh anak ke tong sampah."

"Iya, kan?! Gue harus gimana Ying, yang ada gue darah tinggi berhadapan sama dia terus!" rengek Yaya.

Ying menatapnya prihatin. Selagi Yaya mengoceh tentang keluhannya, Ying memakan baksonya sambil sesekali menyuapi Yaya agar tetap makan. Alhasil cewek itu mengeluh sambil ngunyah.

"Gue nggak tahan asli! Mau nyerah!" seru Yaya. Ia menengguk es tehnya dengan brutal, tak peduli air itu sedikit tumpah di dagunya.

"Tapi... lo harus inget tujuan awal lo lakuin ini, Yaya." tegur Ying membawa fakta. Yaya menghela napas panjang. Ia sungguh melupakan itu. "Gue waktu itu udah bilang sama lo buat cari cara lain, tapi lo kekeuh kalo ini cara satu-satunya."

"Ya, gue harus gimana lagi Ying. Lo 'kan tau gue sama dia musuhan. Ngobrol aja jarang." keluh Yaya.

"Iya juga, sih." balas Ying.

Yaya menopang pipinya dengan lesu, mengaduk-aduk baksonya dengan tidak minat. Moodnya benar-benar sudah kacau, padahal belum ada setengah hari ia berada di sekolah.

"Tapi yang gue bingung sampai saat ini, kenapa harus Boboiboy orangnya?" gumam Ying entah pada siapa.

Yaya menggeleng pelan. Memberitahu pada Ying kalau ia juga tak tahu soal itu.

"Kadang gue ngerasa kalo ini semua gak masuk akal. Apakah memang kebetulan sama, atau memang itu beneran kenyataannya?" tanya Yaya pelan.

Ying diam sambil memikirkan ucapan Yaya. Cewek berkacamata itu meletakkan jarinya di dagu, berusaha keras menemukan jawaban yang selama ini tak kunjung mereka temukan.

"Selain itu, apa yang lo temuin di diri dia sampai lo yakin buat nyari semua jawaban itu ke dia?" ucap Ying serius.

Yaya mengangkat alisnya. Ia diam sesaat sebelum melepas topangan pada pipinya dan menatap Ying.

"Dia cerdas."

Ying memutar mata malas. "Yaya, semua orang bisa cerdas. Yang lebih spesifik."

Yaya menggeleng. "Nggak, Ying. Maksud gue, dia bener-bener cerdas. Lo inget kan, waktu kelas 10 gue sempet ikut olimpiade sama dia. Tapi di luar dugaan yang menang dia, padahal dia selama latihan bareng gue kayak santai banget."

Tatapan Ying berubah sangsi. Jelas tidak memercayai ucapan Yaya.

"Gue serius, Ying. Walaupun gue nggak terlalu tahu pola pikir dia, tapi gue yakin kalo dia sama seperti paman–"

"Yaya!" desis Ying memperingatkan. Yaya langsung merapatkan bibirnya, melupakan lagi kalau ia dan Ying sepakat untuk tidak mengucapkan kata yang hampir ia ucapkan tadi. "Kata gue lo selidikin dulu, jangan nganggep gitu aja kalo tebakan lo bener."

Yaya melengkungkan bibirnya ke bawah. Kata-kata Ying sungguh menamparnya. Tapi sahabatnya itu benar, ia tidak boleh asal membuat kesimpulan.

"Jadi apa rencana lo selanjutnya?" tanya Ying kemudian.

Terdengar helaan napas panjang dari Yaya. Jarinya yang memainkan sedotan es teh bergerak pelan tanpa semangat. Tapi hatinya meyakinkan diri sekali lagi, bahwa ia akan menghadapinya.

"Gue harus terus deketin dia."

.


.

"Kemah SMA Pulau Rintis. Tanggal, 10 Oktober. Tempat, Bumi Perkemahan Hilir. Acara ini wajib bagi seluruh angkatan kelas 11, jika tidak ikut maka nilai akan dikurangkan. Au ah!"

Boboiboy melempar asal surat edaran itu ke meja ruang tamu. Tubuhnya direbahkan ke sofa, mencoba melupakan surat itu ketika Tok Aba tiba-tiba muncul dari dapur.

"Surat apa, sih?"

Surat yang sempat dibuang itu diambil oleh Tok Aba. Kemudian Tok Aba membacanya dengan mata menyipit-nyipit meski sudah pakai kacamata tebal. Wajar, faktor usia.

"Kemah, ya? Kamu harus ikut, nih!" seru Tok Aba berubah antusias setelah selesai membacanya.

"Nggak mau!" balas Boboiboy cepat.

Tok Aba memelototi cucu kesayangannya tersebut. Ia kemudian duduk di sofa single, bersiap menandatangani lembar persetujuan wali di lampiran ketika Boboiboy dengan cepat melarangnya.

"Atok!"

"Kamu nggak baca? Acaranya wajib, kalau gaikut bisa berkurang nilai kamu."

"Nilai Boboiboy selalu bagus, tuh."

"Hoki aja itu, mah." balas Tok Aba cuek walaupun tahu cucunya memang cerdas. Boboiboy mendengus. Ia mencoba merampas kertas itu dari Tok Aba, namun Tok Aba lebih cepat mengelak. "Udah, kamu harus ikut pokoknya! Atok dulu selalu ikut kemah, sekarang jadi bugar kan?"

"Apa hubungannya coba?" cibir Boboiboy. Tak habis pikir dengan jawaban Tok Aba. "Acara begituan tuh selalu nggak jelas. Boboiboy nggak mau buang-buang waktu cuma buat ikut acara itu!"

"Kayak kamu selama ini nggak buang-buang waktu aja." balas Tok Aba membalikkan fakta. Sang cucu menggerutu kesal, matanya menatap pasrah tangan Tok Aba yang dengan luwes menandatangani surat persetujuan itu. "Nih, ikut sana. Atok mau tidur." katanya seraya menyerahkan kembali surat itu.

Boboiboy menerimanya sambil mengeluh. Tak menghiraukan rengekan cucunya lagi, Tok Aba pergi ke kamar sesuai perkataannya tadi. Tersisalah dirinya di sana. Cowok itu memilih tinggal lebih lama dengan mata menatap lurus surat di tangannya, sementara pikirannya berkelana jauh. Setelah puas menatapnya, ia meletakkan kertas itu di meja ruang tamu, lantas bangkit menuju lorong samping dapur.

Lorong dengan temaram lampu itu terlihat menyeramkan jika orang lain yang melihat. Namun tidak baginya. Langkah Boboiboy dengan mantap maju ke lorong itu dengan pelan. Ada sebuah pintu di ujung lorong itu ketika Boboiboy memasukinya. Cowok itu terdiam sebentar dalam remang-remang cahaya lampu, memerhatikan gagang pintu berwarna emas itu sambil menimbang untuk memasukinya atau tidak. Berapa lama ia tak memasuki ruangan ini? Sebulan? Dua bulan? Rasanya sudah lama sekali, padahal sebelumnya ia selalu datang kesini tanpa pernah sekalipun absen.

Meskipun sudah menimbangnya, tangan Boboiboy tetap bergetar karena ragu kala menurunkan kenop pintu itu. Suasana dari ruangan itu begitu berbeda, untuk sesaat Boboiboy merasakan jantungnya berdegup cepat. Ia segera mengatur napasnya, lantas melangkah masuk semakin dalam. Saklar lampu dinyalakan, saat itulah ia bisa melihat keseluruhan ruangan sampai sudutnya. Ruangan inilah, tempat barang-barang sang ayah diletakkan.

Ayahnya adalah seorang ilmuwan tersohor pada saat ia kecil. Bersama sahabatnya, ia mendirikan sebuah perusahaan besar yang menciptakan teknologi hebat di dalamnya. Boboiboy ingat, ayahnya ingin membuat sebuah robot canggih yang dapat mengerti perasaan manusia. Ia sangat menantikan itu terjadi, namun tak ada yang tahu bawah setelahnya sang ayah akan meninggal dunia ketika sedang mengerjakan proyek itu di rumahnya sendiri. Di ruangan inilah barang-barang yang tak terbakar maupun nyaris hangus disimpan, sehingga membuatnya dapat mengenang sang ayah meski tak bisa melihat secara utuh proyek itu berhasil.

Boboiboy tersenyum pilu. Matanya tak sengaja menemukan bingkai foto berisikan dirinya bersama sang ayah. Tersenyum begitu lebar, seolah takkan ada masalah yang menghampiri. Betapa ia rindu pada sosok yang selalu ia kagumi. Andai waktu bisa diputar, Boboiboy pasti akan selalu menghargai waktu saat ayahnya masih ada.

Setelah merasa sudah cukup berlama-lama di sana, Boboiboy berniat ke kamarnya. Namun tangannya tak sengaja menyenggol tumpukan dokumen di sudut meja, sehingga kertas-kertas itu jatuh berserakan di lantai.

"Boboiboy, belum tidur kamu?" seru Tok Aba, sepertinya mendengar suara berisik yang ia ciptakan.

"I-Iya, Tok! Sebentar lagi!" sahut Boboiboy. Dengan terburu-buru, ia memungut semua dokumen yang jatuh itu. Di saat berusaha memungutnya, Boboiboy tak sengaja menemukan secarik kertas yang ditulis menggunakan spidol hitam. Karena warna tulisannya yang pekat dan besar membuat Boboiboy penasaran. Ia membaca tulisan yang ia tebak milik ayahnya.

"DeStar Group harus diselamatkan?" gumamnya bingung. "Kenapa Ayah menulis ini?"

"Boboiboy! Tidur sekarang!" Suara Tok Aba terdengar lagi, membuat Boboiboy dengan cepat membereskan dokumen itu dan mengambil kertas yang ia temukan tadi.

Setelah mengunci kembali dan memastikan Tok Aba tak keluar dari kamarnya, Boboiboy langsung membuka laptop setibanya di kamar. Ia membuka laman pencarian dan mengetik DeStar Group di sana.

DeStar Group mengalami peningkatan saham setelah bertahun-tahun melarat.

Pendiri DeStar Group, Amato, meninggal dunia akibat kebakaran di rumahnya.

Menyusul sang sahabat, CEO DeStar Group bunuh diri di rumahnya.

Amato dan Pian, pendiri DeStar Group yang akan selalu dikenang.

Boboiboy terdiam menatap judul-judul artikel teratas yang ia temukan. Ia mengetik lagi di kolom pencarian, kali ini dengan nama sang ayah.

Amato ditemukan tewas di rumahnya karena insiden kebakaran.

Penerus DeStar Group jatuh ke tangan Andy Yah, teman dekat Amato dan Pian.

Artikel kedua ia buka, mata Boboiboy membaca pelan isi artikel tersebut. Bahwa Andy Yah resmi menjadi Pimpinan DeStar Group sejak tahun 2010. Boboiboy mengernyit karena tak menemukan informasi bahwa sang ayah memilikinya untuk menjadi pewaris DeStar Group di masa depan.

Jari Boboiboy menekan tombol kembali, lalu mengetik di kolom pencarian dengan 'Anak Pendiri DeStar Group'.

Amato dan Pian tidak memiliki putra yang dapat meneruskan perusahaan.

Kebingungan Boboiboy semakin bertambah. Ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kenapa artikel itu menyebutkan ayahnya tak memiliki anak?

Semakin penasaran, Boboiboy terus semakin menggalinya lebih dalam. Tentang DeStar Group, tentang sang ayah, dan tentang tragedi kebakaran itu. Ia jelas mengingat bahwa dirinya bersama sang ayah saat kebakaran itu terjadi. Tapi tak ada satu pun artikel yang mengatakan tentangnya. Semuanya memberikan informasi, bahwa hanya ada sang ayah ketika itu.

Jadi... tak ada yang tau bahwa dirinya anak Amato?

.


.

Kelas ricuh karena topik perkemahan yang akan diadakan sebentar lagi menjadi headline news pagi ini. Si ketua kelas sibuk mengumpulkan surat persetujuan orang tua, sementara yang lainnya asyik mengobrol apa saja yang harus mereka persiapkan nanti.

Hanya Boboiboy yang termenung sendirian di kursinya. Pikirannya mengulang kembali percakapannya bersama Tok Aba saat sarapan tadi.

Boboiboy turun dari kamarnya dengan langkah pelan, matanya langsung menemukan Tok Aba tengah menata sarapan di meja makan. Ia memerhatikan baik-baik wajah Tok Aba yang tampak dalam mood baik pagi ini, sehingga membuatnya yakin untuk menanyakan persoalan yang sungguh membingungkannya semalam.

"Atok." panggilnya bersamaan dengan kursi yang ia tarik mundur sebelum didudukinya.

Tok Aba menyahut dengan dehaman, tak membalas tatapannya karena terlalu fokus membuatkan teh.

"Boleh tanya sesuatu?" tanya Boboiboy pelan. Hal itu membuat Tok Aba menatapnya dengan heran. Karena tak biasanya ia meminta izin terlebih dahulu ketika ingin bertanya sesuatu.

"Kenapa? Tumben." balas Tok Aba. Ia kemudian ikut duduk di kursi, menatap penuh pada sang cucu yang terlihat ragu-ragu. "Kamu dipanggil Pak Kasa lagi, ya?"

"Bukan!" rengut Boboiboy kesal.

"Habis tu?"

Boboiboy menghela napas. Bagaimana cara ia mengatakannya?

"Atok tahu, 'kan? Alasan ayah meninggal dulu?"

Ekspresi Tok Aba langsung berubah ketika pertanyaan itu ia lontarkan. Jelas, Tok Aba pasti tak menyangka topik yang ingin ia bicarakan pagi ini menyangkut almarhum sang ayah.

"Boboiboy ingin tau lebih jelas. Semalam, Boboiboy mencari artikel tentang tragedi itu, tapi tak ada satupun yang berkata Boboiboy juga ada di sana." jelasnya. "Nggak. Bahkan nggak ada yang menjelaskan bahwa Boboiboy adalah anak ayah. Apa maksudnya, Tok? Ayah tak mengakui Boboiboy sebagai anaknya?"

"Bukan, Boboiboy." jawab Tok Aba cepat. Pria paruh baya itu masih terkejut dengan apa yang cucunya sampaikan. Nasi goreng dan teh manis hangat buatannya pun tanpa sadar mereka abaikan. "Ayah kamu hanya berusaha melindungi kamu. Jadi ia selalu memperingati media untuk tidak menyorot kamu agar tak diketahui orang-orang." kata Tok Aba, tapi belum memuaskan rasa penasarannya.

"Tapi kenapa? Boboiboy bisa melanjutkan perusahaan ayah dan om Pian. Dan Boboiboy bermimpi saat hari kebakaran itu, ada seseorang yang membawa Boboiboy keluar dari sana, Tok!"

"Boboiboy. Cukup. Itu hanya mimpi. Habiskan sarapan kamu sekarang atau kamu akan terlambat."

"Surat."

Suara jutek seseorang membuat lamunannya buyar. Yaya sudah di sampingnya dengan tangan terulur padanya. Ternyata cewek itu sudah selesai berkeliling mengumpulkan surat.

"Gue gak ikut." jawab Boboiboy.

"Ikut gak ikut, surat itu harus dikumpulin lagi. Mana cepet." desak Yaya.

Boboiboy berdecak kesal. Tangannya mengambil surat di dalam tasnya dengan rusuh, lalu memberinya tidak santai pada Yaya.

"Wali lo setuju kok lo ikut. Kenapa lo bilang gak ikut?" tanya Yaya saat membaca lampiran surat milik cowok itu.

"Males, ada lo."

Yaya mencibir sebal. Ia melenggang pergi untuk menyerahkan surat ke Pak Kasa bersama Ying.

Merasa lega Yaya akhirnya meninggalkannya sendiri, Boboiboy kembali melamun. Ia tak sadar kelakuannya pagi ini membuat dua sobibnya terheran-heran di belakang sana.

"Si Boboiboy ngapa, dah? Diem terus daritadi." celetuk Fang. Mata sipitnya memperhatikan punggung sang kawan yang tak setegap biasanya.

"Au. Nahan berak kali." sahut Gopal seraya memainkan game di ponselnya.

Berdecak kesal, Fang bangkit untuk menghampiri Boboiboy. Secara ajaib Gopal mengikutinya dengan mata serta tangan masih fokus pada game.

"Woi, ngab. Ngapa lo? Kesambet?" tegur Fang, tangannya menepuk pundak Boboiboy hingga cowok itu terkejut.

"Anjir, kaget gue." seru Boboiboy refleks. Fang dan Gopal saling berpandangan, membuat Boboiboy menghela napasnya panjang. "Gapapa gue, cuma lagi mikir."

"Mikirin apaan? Utang?" tanya Gopal asal.

Boboiboy berdecak. Ia sebenarnya tak mau bilang soal ini pada sahabatnya. Tapi sepertinya ia membutuhkannya sekarang karena sudah muak memikirkannya sendirian.

"Lo berdua pernah nggak, mimpiin sesuatu tapi kayak terasa nyata banget?"

Pandangan Boboiboy mengarah pada Gopal dan Fang bergantian, menanti jawaban dari mereka yang tampak bingung ingin menjawab apa.

"Kayaknya pernah, deh. Tapi gue nggak terlalu inget." jawab Fang.

"Gue... lupa." timbal Gopal sambil menyengir.

"Tapi biasanya, kalo mimpi itu kerasa nyata banget, mimpi itu bagian dari ingatan lo." kata Fang serius.

Gopal menatap Fang sangsi. "Tau darimana lo?"

"Gue pernah baca di salah satu buku, katanya memang kayak gitu. Karena lo terus kebayang-bayang sama kejadian itu, tanpa sadar alam bawah sadar lo menarik ingatan itu untuk masuk ke dalam mimpi lo." jelas Fang panjang lebar.

Sementara Gopal mengangguk-angguk paham, Boboiboy tetap diam mencerna semua ucapan Fang. Benarkah mimpi itu bagian dari ingatannya? Jika benar, kenapa Tok Aba mengatakan yang sebaliknya? Apa atoknya itu menyembunyikan sesuatu padanya? Boboiboy semakin penasaran.

.


.

"Lo yakin mau kesini?"

Ying menatap ragu bangunan di depannya. Di sebelahnya, Yaya mengangguk mantap. Tatapan matanya lurus ke depan seolah tak memedulikan apa yang akan terjadi ke depannya.

"Ayo." ucapnya, lalu melangkah santai masuk tanpa menoleh lagi pada Ying yang hanya bisa meringis pelan.

Beberapa saat yang lalu saat mereka sama-sama berjalan pulang ke rumah, Yaya tiba-tiba mengajaknya—memaksa lebih tepatnya—untuk mampir ke Cafe Koko Tiam milik kakeknya Boboiboy. Ternyata ucapan Yaya hari itu serius, ia ingin mencari tahu lebih dalam tentang teka-teki yang selama ini belum mereka temukan jawabannya. Tapi Ying sama sekali tak menyangka Yaya akan secepat ini melakukan penyelidikannya.

"Selamat da—"

Suara itu terjeda ketika dua insan yang sudah lama bermusuhan saling bertatapan. Ying langsung mengkerut di tempat, menarik ujung baju lengan Yaya agar gadis itu berubah pikiran.

"Ngapain lo?" tanya Boboiboy sinis.

"Gue dateng sebagai pelanggan. Nggak boleh?" balas Yaya santai.

Boboiboy menggeram kesal. Ia baru akan mengusir Yaya ketika tiba-tiba Tok Aba muncul dari dapur.

"Oh, temannya Boboiboy? Ayo silakan duduk." ucap Tok Aba ramah. Boboiboy mendecak kesal. Yaya tersenyum kemenangan sebelum berjalan ke meja di sudut ruangan.

"Atok! Dia itu musuh Boboiboy!" seru Boboiboy.

"Terus? Itu 'kan musuh kamu. Bisnis tetaplah bisnis." kata Tok Aba sambil terkekeh. Boboiboy menggerutu kesal. "Sudah. Sana layanin. Nggak boleh musuhan, nanti jadi suka, lho." goda Tok Aba.

"Pret." Boboiboy memutar matanya malas. Ia bersumpah hal itu tak akan terjadi.

Saat ia tiba di meja yang Yaya dan Ying tempati, Boboiboy memasang wajah tak ramah selagi menyerahkan buku menu pada mereka.

"Mau apaan? Cepet." ucap Boboiboy dingin.

"Gue—"

"Strawberry smoothies 1." jawab Yaya velat tanpa sadar memotong ucapan Ying.

"Nggak ada. Lo gabisa baca? Ini cafe cokelat." balas sang waitress.

Yaya mengangguk-angguk paham. "Tapi gue maunya strawberry smoothies. Gimana, dong?"

"Lo bisa pergi dari sini dan cari strawberry apalah itu ke tempat lain. Atau lo mau gue bantu cari dimana yang jual minuman itu?"

Ying meringis. Ia menatap bergantian Boboiboy dan Yaya yang melempar senyum, tapi tentu ia tahu senyum itu adalah palsu.

"Gue yakin disini masih jual. Lo bisa tanya pemilik Cafe ini."

"Lo—"

"Ying, lo pesen apa?" Yaya tak menghiraukan protesan Boboiboy dan menatap Ying untuk segera memesan. Yang ditatap seketika gelagapan.

"G-gue cokelat panas aja." jawab Ying.

"Oke. Strawberry smoothies kalo ada dan cokelat panas. Mohon ditunggu." ucap Boboiboy pura-pura tersenyum ramah, lalu melenggang pergi sambil memutar bola matanya.

Sampai di meja kasir, Boboiboy menyerahkan kertas pesanan itu pada Tok Aba.

"Strawberry smoothies?"

"Kita nggak menjualnya kan, Tok?" tanya Boboiboy langsung.

Tok Aba menatap cucunya itu dengan senyum geli. "Teman kamu mesen ini?"

"Iya. Udah Boboiboy bilang nggak ada, tapi dia mau kekeuh mesen itu."

"Ada, kok. Siapa bilang nggak ada?" kata Tok Aba membuat Boboiboy mengangkat alis bingung.

"Tapi di menu nggak ada, tuh. Kenapa dia bisa pesan itu?" tanya Boboiboy penasaran selagi Tok Aba menyiapkan pesanan.

"Hm, entah. Mungkin dia cenayang?" ujar Tok Aba meledeknya.

"Atok!"

Tok Aba tertawa. Ia mengambil sendok kecil untuk mengaduk cokelat panas. "Sebenarnya, dulu ada seorang pelanggan yang selalu memesan strawberry smoothies."

Boboiboy mengernyit tak paham. Ia terus menatap Tok Aba untuk menuntut jawaban lebih lengkap.

"Atok bilang tidak ada. Tapi dia saat itu sangat ingin meminumnya. Untungnya di kulkas masih ada persediaan strawberry. Atok akhirnya membuatkannya, dan dia menyukainya. Sejak itu, dia sering kesini karna ingin meminum strawberry smoothies buatan Atok. Nah, ini pesanannya."

Boboiboy menerima nampan berisi pesanan Yaya dan Ying yang diberi Tok Aba. Kernyitan di dahinya belum menghilang meski Tok Aba sudah selesai bercerita. "Dia siapa, Tok?"

Tok Aba tersenyum kecil dengan mata menatap langit-langit Cafe. "Teman dekat ayahmu dulu." gumam Tok Aba.

"Teman dekat?"

"Sudah, antarkan pesanannya cepat. Tidak baik membuat pelanggan menunggu lama." perintah Tok Aba.

Boboiboy cemberut. Ia akhirnya mengantarkan pesanan itu pada Yaya dan Ying. Si oknum pemesan strawberry smoothies tersenyum lebar ketika mengetahui pesanannya masih tersedia.

"Puas lo?"

Yaya mengangguk kalem. Ia memperhatikan Boboiboy yang meletakkan satu per satu pesanan Yaya dan Ying. Karena posisi tubuhnya yang membungkuk sedikit, sebuah kalung menyembul keluar dari dalam bajunya. Kalung dengan bandul petir berwarna kuning menyala. Yaya tanpa sadar menahan napasnya. Hanya beberapa detik ia bisa melihat kalung itu karena Boboiboy dengan cepat kembali menyembunyikanny di dalam baju.

"Sudah, ya. Selamat menikmati." kata Boboiboy, bersiap pergi dari sana ketika Yaya memanggilnya.

"Apa?" tanya Boboiboy.

Yaya berusaha melupakan apa yang dilihatnya barusan. Ia kemudian mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya untuk diserahkan pada Boboiboy.

"Pak Kasa nyuruh gue serahin ini ke lo."

Boboiboy menerimanya dengan bingung. Sebelum ia bertanya, Yaya sudah lebih dulu menjelaskan.

"Lo diminta kepala sekolah buat ikut olimpiade tahun ini."

"Hah?"

Yaya berdecak. Ia kembali mengingat saat menyerahkan surat izin kemah pada Pak Kasa, dan wali kelasnya itu secara tiba-tiba memintanya untuk membujuk Boboiboy ikut olimpiade.

"Saya? Bujuk Boboiboy?"

"Ya. Kamu kan ketua kelas, teman sebangku Boboiboy juga. Tolong bujuk dia ya, Yaya? Peserta dari kelas lain tiba-tiba mengundurkan diri karena alasan kesehatan. Satu-satunya nama yang terpikirkan oleh Bapak adalah Boboiboy, karena dia pernah ikut dulu."

Yaya menggeleng tak percaya. "Tapi Pak—"

"Ah, ya. Kalau Boboiboy mau, kalian bisa belajar bersama untuk mempersiapkannya. Jadi kamu tidak perlu sendirian lagi berlatih."

"Ogah!"

Yaya kembali ke situasi nyata lagi. Sudah ia duga Boboiboy akan menolaknya mentah-mentah.

"Lo harus ikut." Dan Yaya benar-benar tak memiliki cara untuk membujuk musuhnya ini.

"Lo maksa gue?"

"Gini, gini. Dengerin gue." Ying akhirnya ikut dalam pembicaraan mereka karena tak tahan melihatnya. "Yaya nyuruh lo buat ikut olimpiade ini karena anak dari kelas lain nggak bisa ikut. Kepala sekolah meminta lo untuk ikut karena cuma Yaya yang jadi perwakilan sekolah. Dan—"

Boboiboy menghela napas jengah. "Terus? Gue harus nurut gitu? Gue nggak mau pokoknya!" tolak Boboiboy lagi. Ia akhirnya melangkah pergi dari meja mereka.

Yaya yang melihatnya lantas berdiri tiba-tiba. Ia tak boleh menyerah begitu saja.

"Temenin gue!" seru Yaya. Langkah Boboiboy terhenti. Tubuhnya perlahan berbalik lagi pada Yaya dan menatapnya bingung. "Temenin gue olimpiade..." ujarnya pelan. Yaya meringis dalam hati. Apa yang ia lakukan sekarang? Kenapa kesannya ia jadi memohon pada Boboiboy?

"Kenapa gue harus temenin lo? Lo lupa kita musuh?" tanya Boboiboy balik.

"I-iyasih, tapi..." Yaya kehilangan kata-kata. Ia menatap Boboiboy yang mengangkat alisnya, menunggu ia melanjutkan ucapannya. "Gue bakal nurutin semua kata-kata lo!"

"Yaya!" tegur Ying kaget.

"Apa lo bilang?"

"Gue bilang, gue akan nurutin semua kata-kata lo kalo lo ikut olimpiade ini." ulang Yaya dengan mantap.

Boboiboy membeku di tempatnya. Ia tidak salah dengar, 'kan?

"Ahahaha, yasudah i-itu saja, Boboiboy! Kita duluan ya, sampai jumpa! Yaya, ayo!"

Dengan tergesa-gesa, Ying menarik paksa lengan Yaya yang masih linglung untuk keluar dari sana. Boboiboy memperhatikan mereka sampai keluar dari Cafe. Mencerna ucapan Yaya padanya beberapa detik lalu.

"Dia kenapa dah?" gumamnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

to be continued...