Disclaimer : Jujutsu Kaisen by Gege Akutami
A Fanfiction by Noisseggra
Pair : Gojo Satoru X Ryomen Sukuna
Genre : Supernatural, Drama, Romance, Gore
PERINGATAN : Fanfic ini berisi banyak adegan kekerasan, immoral, adegan seksual dan dewasa. Jika ini bukan selera kalian, tolong nggak usah baca fanfic ini.
OOC (Out of Character), YAOI, BL, SHOUNEN AI, RATED M, AU (Alternate Universe), maybe typo (s)
You have been warned !
Fanfic ini terinspirasi dari sebuah post di group facebook yang menceritakan tentang lore Sukuna mengenai 'unwanted child'.
Author Note : Fanfic ini ditulis untuk kepuasan pribadi, jadi serah aing mau nulis apa :"V
.
.
Sacrifice
.
.
"Satoru-sama…Satoru-sama…?!" seorang pelayan wanita tampak panik mencari tuan muda yang diasuhnya itu. Ia mencari ke segala sudut bangunan tapi belum ketemu. Ia menghela nafas lelah, mencari satu bocah kecil di bangunan kamar sebesar itu sangatlah menyulitkan. Lagipula kenapa juga kamar untuk satu orang, dibuatkan satu bangunan penuh di sayap kanan mansion Gojo, khusus untuk putra tunggal mereka yang bahkan baru berusia 9 tahun.
"Satoru-sama," panggil pelayan itu kembali. Ia mencari sampai ke belakang bangunan dan tetap tidak ada. Tapi saat hendak melangkah pergi, ia melihat pergerakan di semak yang mengelilingi halaman belakang. Ia memperhatikan ke arah itu, dan tak lama kemudian seorang bocah dengan surai seputih salju dan mata biru cemerlang muncul dari sana. Pakaiannya lecek, dan ia membopong beberapa buah yang ia taruh di kimono nya.
"Satoru-sama!" pelayan itu dengan panik menghampiri. "Satoru-sama, sudah saya bilang kalau mau keluar jangan diam-diam begini. Kau membuat semua orang panik. Lain kali bawalah pengawal atau–..."
"Urusai. Aku bukan anak kecil lagi. Aku tidak pergi jauh atau ke tempat berbahaya. Berhenti menceramahiku," balas Satoru dan dengan entengnya terus melangkah menuju rumah tanpa mempedulikan pelayan tadi. "Lagipula yang kau maksud dengan 'semua orang panik' juga palingan kau dan pelayan lainnya saja," gerutu Satoru selanjutnya. Ia berjalan di beranda samping, mau menuju kamarnya, tapi ia lalu menghentikan langkah dan menatap mansion utama keluarganya.
"Tch!" ia mendecih kesal menatap mansion itu, lalu melanjutkan langkah.
.
Satoru adalah putra tunggal keluarga bangsawan Gojo. Ia terlahir dengan kondisi langka, memiliki rambut seputih salju, dan mata biru yang begitu cemerlang. Meski terlihat indah, banyak sekali yang justru takut padanya karena penampilannya yang berbeda. Mereka pikir ia adalah anak kutukan, pertanda buruk. Bahkan di usia nya yang masih kecil itu, ia dibuatkan satu bangunan sendiri untuknya tinggal.
Mereka bilang supaya ia lebih bebas bermain. Tapi Satoru tahu sebenarnya mereka takut padanya. Para pelayan, serta anggota keluarga Gojo, selalu tersenyum dan memperlakukan ia dengan baik. Tapi Satoru tahu semua itu hanya topeng. Mungkin takut terjadi apa-apa kalau sampai membuat Satoru marah. Padahal, apa yang bisa dilakukan bocah berusia 9 tahun?
"Manusia itu penuh kebohongan," ucap Satoru sambil menatap tajam ke langit-langit kamar. Ia berdiam sejenak sebelum akhirnya berguling ke samping di dalam selimutnya dan mulai memejamkan mata.
.
Keesokan paginya, seperti biasa, Satoru dimandikan pelayan, lalu dipakaikan baju, setelah itu pelayan lain datang membawakan makanan. Dan setelah membawakan makanan, maka para pelayan akan pergi dan tak akan kembali sampai jam makan siang. Saat itulah kesempatan Satoru. Setelah yakin para pelayan itu pergi, ia membungkus makanan-makanan itu, lalu memasukkannya ke kantong kain. Setelahnya ia meraih sepotong kain yang cukup lebar untuk menutup seluruh tubuhnya bagaikan jubah, lalu mengendap-endap pergi dari bangunan itu.
Pelayannya selalu cerewet soal ia yang pergi tanpa bilang, tapi kenyataannya hanya bualan saja. Kalau ia betulan tak ingin Satoru pergi, kenapa tak menunggui Satoru makan, kenapa tak menyuruh penjaga menungguinya, kenapa tidak memasang pagar di sekeliling bangunan. Ya, bagi Satoru semua itu omong kosong saja. Kalaupun ia menghilang, ia rasa tak akan ada yang keberatan.
Ia bahkan tak yakin para pelayan melaporkan ke keluarganya bahwa ia sering keluar tanpa izin. Keluarganya tak pernah menjenguk ke bangunan itu, ia bahkan sudah hampir lupa wajah orang tuanya sendiri.
Satoru melangkah menembus hutan yang mengelilingi mansion. Ia terus melangkah sampai ke desa. Ia melewati jalanan desa dengan tetap memakai kerudung menutupi tubuhnya. Ia tahu penampilannya mencolok, dan ia juga tahu kalau penduduk desa mengenali dia sebagai putera keluarga Gojo. Mereka menghormari keluarganya, mereka selalu tersenyum dan ramah kepadanya, tapi ia tahu semuanya palsu.
Karena di saat ia menyamar begini, di saat penduduk desa tak tahu ia ada, ia pernah mendengar penduduk desa berkata tak menyenangkan tentangnya.
"Iya, kau sudah lihat anak keluarga bangsawan itu kan? Aneh sekali. Seperti penyihir."
"Iya benar, jangan-jangan dia membawa bencana."
"Hush, jangan berkata begitu. Kalau sampai ketahuan keluarga Gojo, kita bisa dipenggal. Kita harus pura-pura menerima monster itu sebagai anak mereka."
"Iya benar. Jangan sampai deh berurusan dengan bangsawan."
Begitu kira-kira. Satoru hanya diam saja dan terus melangkah sampai meninggalkan keramaian desa. Di ujung desa, ada jalan setapak yang mengarah ke sebuah rumah kayu di tepi sungai. Di sanalah tempat yang Satoru tuju.
Wajah Satoru berubah cerah, ia melangkah semakin cepat menuju tempat itu.
"Suguru…Suguru…" panggil nya. Tapi tak ada jawaban. Ia melongok ke dalam rumah, hening. Satoru meletakkan makanan dan kain yang dibawanya di tepi ruangan. Ia sempatkan mencari seisi rumah sambil memanggil nama itu. Tak ada jawaban.
"Ah, pasti di tempat itu lagi," gumam Satoru. Ia lalu keluar dari rumah, berjalan mengikuti aliran sungai.
Di ujung sungai itu adalah air terjun, tebing tinggi yang mengarah ke arah hutan di bawah nya. Ada dataran luas di samping kanan air terjun itu, dan di situlah ia dan Suguru biasa bermain, atau sekedar duduk menikmati pemandangan.
Saat semakin mendekati tempat itu, benar saja, ia melihat Suguru di sana. Seorang bocah bersurai hitam panjang. Bocah itu tampak berdiri di tepi tebing, menatap jauh ke depan dengan tatapan kosong.
Senyuman Satoru lenyap melihat itu. Ia hanya berjalan mendekat dengan langkah senyap. Ia tatap wajah Suguru yang tetap menatap kosong belum menyadari kehadirannya meski ia sudah sedekat itu. Ia sudah beberapa kali melihat Suguru begitu. Seperti…ia sudah siap terjun dan mengakhiri hidupnya, menjemput kematiannya.
"Suguru…" panggil Satoru pelan.
"Ah…" Suguru seolah baru sadar. Ia menoleh dan tersenyum menatap Satoru. "Oh, kau datang lagi."
"Iya. Aku bawa makanan. Ayo kita makan. Kau belum sarapan kan?" cengir Satoru.
"Mm," Suguru mengangguk. Mereka lalu berjalan kembali menuju rumah. Satoru menceritakan cerita konyol mengenai apapun, entah buah yang masam, atau batu yang aneh. Hanya obrolan ringan antar bocah.
"Ini nih, aku bawa banyak. Kau makan semua nya ya," ucap Satoru bersemangat sambil membuka kantong kain, lalu mengeluarkan semua isi nya. "Aku sudah makan, jadi ini untukmu semua," bohong Satoru. "Tapi aku minta roti nya ya. Melihatmu makan aku jadi ingin makan lagi. Hahaha."
Mereka pun makan bersama di dalam rumah kayu itu. Mereka sesekali diam saat mengunyah dan tak ada obrolan. Satoru mengamati keheningan yang ada. Orang tua Suguru sudah tidak ada, dia tinggal di rumah tua tepi hutan itu sendirian, dan keberadaannya dibenci warga.
Selepas kepergian orang tua Suguru, ada saudagar kaya yang mau membeli tanah milik orang tua Suguru, termasuk lahan dimana rumah itu berdiri. Tapi Suguru menolak, karena ia tak mau peninggalan orang tuanya ia jual. Ditambah, ia akan tinggal di mana kalau rumah itu ia jual?
Semenjak penolakan itu, saudagar itu selalu cari perkara dengannya. Selalu memfitnah dan mengatakan hal buruk soal Suguru, sehingga banyak penduduk desa yang terhasut.
"Sungguh, gadis cilik ini pernah mau mencuri dari kereta kuda ku," tuduh saudagar itu. Ya, mereka bahkan tidak tahu bahwa Suguru itu anak laki-laki, mereka tahunya Suguru perempuan karena rambutnya yang panjang dan wajahnya yang manis. Hanya segelintir tetangga nya saja yang tau Suguru sejak lahir, sementara penduduk lainnya hanya tahu Suguru dari ocehan saudagar itu.
Sejak fitnah tak menyenangkan itu, orang-orang jadi termakan ocehan si saudagar. Suguru yang notabene hidup dari upah bekerja serabutan di desa, sudah tak ada lagi yang mau mempekerjakan dia karena takut dicuri. Padahal Suguru tak pernah mencuri apapun.
Suguru mencoba berkebun dan menjual hasil kebun di pinggiran jalan, tapi jarang sekali ada yang mau membeli. Semua sudah dikuasai oleh saudagar besar itu. Sehingga seringnya Suguru memakan sendiri hasil kebun tersebut, tanpa memiliki uang. Pakaiannya pun adalah milik orang tua nya, ia coba jaga baik-baik karena jarang dapat uang untuk beli sesuatu. Meski begitu ia tetap berjualan demi sesekali mendapat uang jika ada orang yang belum tahu gossip mengenai dirinya, datang membeli.
Hari itu ia juga sama, sedang berjualan hasil kebun di pinggiran jalan. Karena sepi pembeli ia sambil mengelus kucing jalanan yang menghampiri. Saat itulah ia dihampiri oleh seorang tuan muda bersurai putih itu.
"Woaah, kucing itu menurut padamu? Dari tadi aku kejar tidak bisa kupegang," ucap si tuan muda.
"Ya, dia sering main ke dekatku," jawab Suguru.
"Namanya siapa?"
"Eh?"
"Kucingnya. Nurut padamu kan. Kau nggak memberinya nama?"
"Hmm…" Suguru baru kepikiran. "Riko. Ya, namanya Riko," Suguru memutuskan.
Tuan muda itu tertawa. "Kau pasti memberinya nama barusan ya. Dasar."
Suguru balas tertawa kecil. Tuan muda itu menjulurkan tangan untuk berkenalan. "Namamu siapa? Aku Satoru."
Dengan sedikit ragu Suguru menyambut uluran tangan itu. "Suguru," ucapnya dan segera melepas jabat tangan, ia takut tangan Satoru kotor karena tangan Suguru yang berdebu.
"Begitu ya. Ne, Suguru. Kau jualan apa?" Ia melihat dagangan Suguru. "Bweeh, sayur. Aku nggak suka sayur, enakan daging."
Suguru tertawa. "Seperti anak kecil saja."
"Heiii, kau kan paling seumuranku, jangan anggap aku anak kecil," omel Satoru.
"Tapi nggak suka sayur."
"Memangnya kau suka?"
"Suka. Lagipula sayuran itu sehat."
"Tapi nggak enak," Satoru menjulurkan lidahnya. "Oh, tapi kalau buah aku suka. Kau ada?"
"Hmm, ada buah mangga tapi belum kupetik. Soalnya tadi pagi lumayan buru-buru ke sini."
"Woaah mangga. Aku mau aku mau," jawab Satoru bersemangat.
"Tapi belum kupetik. Besok paling."
"Geez, besok aku nggak tau bakal kesini lagi atau enggak. Ini aku ikut orang tuaku belanja, dan jalan-jalan sendiri karena mereka lama coba baju nya."
"Hmm…ya sudah, aku pulang dulu saja untuk petik. Sebentar kubereskan ini, sepertinya sudah terlalu siang juga untuk orang beli sayur," Suguru mulai membereskan dagangannya. Satoru membantu meski hanya sedikit saja. Saat Suguru melangkah pergi, Satoru mengikuti.
"Eh? Kau ikut?" tanya Suguru.
"Iya, biar kau nggak bolak balik. Lagipula orang tuaku sepertinya masih lama. Ayo."
Satoru pun mengikuti langkah Suguru menuju rumah nya. Di belakang rumah Suguru ada sebuah pohon mangga besar yang berbuah lebat.
"Woaaah kelihatannya manis sekali, sudah matang," antusias Satoru saat melihat pohon itu.
"Ya, tunggu sebentar aku taruh ini dulu," Suguru membawa dagangannya ke dalam rumah, lalu kembali ke Satoru. "Memangnya kau mau beli berapa?"
"Umm…satu kantong," balas Satoru.
Suguru tertawa. Biasanya mangga dijual dengan satuan kilo, bukan kantong. Tapi ia tak mengatakan itu pada Satoru. Ia lalu mendekati pohon itu dan memanjatnya.
"Eeehhh? Kau memanjatnya?" Satoru terkejut.
"Ya, memangnya bagaimana?"
"Ya…pakai galah atau apa."
"Haha, kelamaan," Suguru terus naik. "Awas jangan di bawahku, mau kujatuhkan buahnya," ucapnya lalu mulai memetik mangga-mangga itu. "Satoru?" panggil Suguru mendengar tak ada jawaban. Ia melongok ke bawah dan melihat Satoru tengah berusaha memanjat pohon itu sama sepertinya.
"Hnghh…ugnh…" Satoru tampak kesulitan.
"Pfftt…sudahlah, kau ngapain ikut-ikutan," tawa Suguru.
"Habisnya aku ingin manjat juga, ternyata nggak segampang itu."
"Sudahlah, daripada kau jatuh malah gawat," Suguru melanjutkan memetik, dan setelah dirasa cukup, ia pun turun. "Ayo bantu kumpulkan."
Mereka pun mengumpulkan mangga-mangga itu lalu membawanya ke beranda rumah. "Sebentar kuambilkan kantong."
Suguru masuk ke dalam rumah, ia muncul kembali dengan kantong kain, juga sebuah piring dan pisau. "Mau dicoba dulu? Tenang saja, yang ini gratis," cengirnya.
"Hehe mau mau," semangat Satoru.
Suguru lalu mengupas sebuah dan memotongnya kecil kecil ia taruh piring. Setelah itu mereka makan bersama.
"Hmmm, iya ini manis banget. Enak," ucap Satoru.
Untuk beberapa lama mereka makan sambil ngobrol ringan. Setelahnya Suguru memasukkan mangga-mangga itu ke kantong dan memberikannya pada Gojo.
"Harga nya berapa? Segini cukup nggak?" Satoru menyodorkan sekantong koin emas.
"Eh?" Suguru terkejut melihat jumlah itu.
"Eh? Kurang kah?"
Suguru tersenyum lalu mengambil satu koin emas saja. "Ini sudah lebih dari cukup. Kalau sekantong itu bisa membeli sama pohon mangga nya, haha," tawa Suguru. "Aku ambil satu ya. Soalnya kau nggak punya koin perak atau perunggu yang nilainya di bawah ini."
"..." Satoru terdiam lalu mengikat kantong uang itu kembali, dan menaruhnya di genggaman Suguru. "Ambil semuanya. Anggap saja upah karena sudah memetikkannya, juga membuatmu pulang jualan lebih awal."
"Hei, jangan begitu. Aku tidak–..."
"Tak apa, ambillah. Kau simpan dan pakai di saat perlu."
Mata Suguru berkaca-kaca, ia mengucek matanya dengan lengan tangan, membuat lengan itu basah. "Arigatou…" ucapnya dengan suara gemetar. Sudah berapa lama ia tak memiliki uang karena belum ada yang membeli hasil kebun nya.
"Hm," Satoru mengangguk dan tersenyum. "Ya sudah, aku kembali dulu ya. Bye bye."
"T-tunggu, biar kuantar."
"Tak apa. Aku masih hafal jalannya kok. Siang hari begini juga. Kau istirahatlah. Sampai ketemu lagi ya," Satoru pun pergi dari tempat itu. Dadanya terasa penuh, dan ia tak berhenti tersenyum sepanjang jalan.
"Ah, tuan muda Gojo, selamat siang," orang-orang menyapa nya dengan ramah saat Satoru lewat.
"Siang," balas Satoru dan terus berjalan menenteng mangga di kantong kain nya. Ia kembali ke toko kain di mana orang tuanya tadi belanja. Saat ia datang, ia sama sekali tak ditanyai dari mana, beli apa, uangnya sisa atau habis. Sama sekali tak ada pertanyaan.
Begitu melihat Satoru mereka hanya melirik, setelah itu mengajak pulang. Mereka pun meninggalkan desa menaiki kereta kuda. Di perjalanan mereka pun sama sekali tak mengobrol, Satoru hanya diam menatap keluar jendela.
Semenjak kejadian itu Satoru jadi tahu seberapa tak pedulinya orang tua dia padanya. Setelah kembali ke mansion, ia juga kembali ke kamarnya sendiri membawa mangga-mangga itu. Tak ada yang menanyai dia beli apa, isi kantong kain itu apa.
Satoru memakan mangga itu sendirian di kamar nya.
"Hmmm manis," ucapnya senang. Ia kembali kepikiran dengan Suguru, dan itu membuatnya tersenyum.
"Ah…" ia tercengang saat menyadari sesuatu. Ia menatap ke arah mansion utama, lalu ke arah hutan yang mengelilingi mansion mereka.
Ya…orang tuanya tak begitu peduli padanya, tak pernah mengunjungi ia di bangunan itu juga. Jadi…apa tak apa jika ia menyelinap pergi? Palingan tak ada yang peduli juga. Sama seperti yang terjadi barusan.
Satoru menelan ludah berat mendapati pemikiran yang untuk pertama kalinya itu. Ia berdiri, melangkah setapak, tapi terlalu nervous, jantungnya berdegup tak karuan. Dan akhirnya ia kembali duduk.
"Besok saja," ucapnya kemudian. Ia masih menyiapkan mental.
.
Keesokan harinya setelah pelayan mengantarkan makanan, Gojo terdiam sambil mengunyah. Ia menatap pelayannya pergi. Ia tahu pelayannya tak akan kembali sampai jam makan siang nanti. Apakah ini waktu yang tepat untuk pergi?
Satoru buru-buru menghabiskan semangkuk sup yang sudah terlanjur ia cicipi. Ia bungkus roti dan makanan kering lainnya karena merasa masih lapar, mungkin bisa ia bagi dengan Suguru nanti. Setelahnya ia bersiap keluar.
Tapi baru sampai halaman belakang, ia kembali ke dalam rumah. Ia baru sadar, orang desa pasti mengenalinya. Bagaimana kalau ada yang melapor?
Ia celingukan, sampai menemukan selembar kain besar di tumpukan lemari. Ia mengambil kain itu, lalu mengerudungi tubuhnya, setelah itu kali ini dia betulan pergi.
Butuh waktu hampir dua puluh menit keluar hutan di area mansion tanpa kereta kuda. Setelah itu Satoru masih harus melewati desa. Ia melewati tempat jualan Suguru yang kemarin, dia tak berjualan hari itu. Jadi Satoru terus melangkah menuju rumah Suguru.
Benar saja, bocah itu ada di rumah. Ia tampak sedang membelah kayu dengan kapak yang terlihat terlalu besar untuk ukuran tubuhnya.
"Oooy," panggil Satoru seraya mendekat.
Suguru tampak terkejut. "Hey, kau datang lagi," ucapnya.
"Ya, aku bawa makanan. Ayo makan bersama."
Begitulah awal mula mereka sering bertemu. Semenjak hari itu Satoru sering ke rumah Suguru, membawa makanan. Ia jadi tahu kondisi Suguru, tentang keluarganya, tentang rumahnya, dan tentang saudagar jahat itu.
"Lihat saja, kalau aku sudah dewasa nanti aku akan melakukan sesuatu untuk memperbaiki ini," kesal Satoru saat mendengar kisah itu. Sementara Suguru hanya tertawa kecil menanggapinya.
Semenjak hari itu, Satoru yang sering bolak balik ke rumah Suguru juga jadi menyadari apa pandangan penduduk desa padanya. Sering saat ia lewat dalam penyamaran, ia mendengar orang-orang membicarakan tentangnya. Hal-hal yang tidak menyenangkan. Karena itulah Satoru tahu sifat buruk para penduduk di sana.
.
Hari berganti hari, Satoru masih sering main ke tempat Suguru. Ia mulai mengetahui sifat Suguru, ia yang begitu rapuh di balik senyumannya. Ia sering mendapati Suguru melamun, dan melihat tatapan matanya tak ada cahaya kehidupan. Satoru merasa…kalau yang menahan Suguru untuk tetap berada di dunia ini hanyalah dirinya.
Satoru tak ingin membayangkan apa yang akan Suguru lakukan jika ia berhenti mendatangi bocah itu. Satu-satunya teman yang ia miliki. Ya…Satoru tak ingin Suguru pergi, karena jika bagi Suguru, Satoru adalah satu-satunya teman, begitu juga bagi Satoru.
Hanya saat bersama Suguru, Satoru bisa tersenyum lepas dan merasakan kebahagian. Ia ingin Suguru membagi penderitannya dengan Satoru, dan Satoru ingin bisa sedikit membantunya. Karena baginya Suguru sangatlah berharga.
.
.
Musim berganti hingga kemarau pun tiba. Sungai mengering, tanah berubah tandus. Sungai di samping rumah Suguru juga alirannya sudah mengecil, meski masih ada airnya sehingga Suguru tak kesulitan air.
Tapi untuk para petani di desa, mereka mengeluh karena lahan mereka kekurangan air. Tanah tandus, tanaman tidak tumbuh. Dan parahnya, kondisi itu berlangsung lumayan lama. Penduduk mulai resah, bahan makanan semakin menipis, hujan belum kunjung datang.
"Bagaimana ini, kalau begini terus kita bisa mati kelaparan."
"Kenapa wilayah ini belum turun hujan, aku dengar dari saudagar dari wilayah lain, di wilayah mereka sudah turun hujan."
"Apakah tanah kita dikutuk."
"Ya, pasti begitu. Jangan-jangan anak keluarga bangsawan itu adalah pertandanya."
"Ya, ya, pasti begitu."
"Tapi harus bagaimana? Tidak mungkin mengusir putra bangsawan itu dari desa."
"Tidak, aku dengar dari saudagar satu lagi, katanya wilayah sebelah sudah mulai subur karena mereka melakukan persembahan kepada sang raja kutukan."
"Persembahan apa?"
"Apa saja, bisa kambing atau sapi. Semakin besar nilainya, semakin subur tanah kita."
"Kalau begitu ayo kita lakukan persembahan itu."
Berita itu menyebar cepat dari mulut ke mulut. Penduduk desa berencana mengadakan festival demi persembahan itu. Dan berita itu juga sampai di telinga Satoru.
"Di desa katanya akan ada festival," ucap Satoru saat pelayan selesai memandikannya dan kini tengah memakaikan baju.
"Iya benar. Apa Satoru-sama ingin pergi ke festival?" senyum pelayan itu.
"Ya, aku ingin pergi. Nanti di sana banyak makanan kan. Aku mau makan."
"Haha, baiklah. Nanti saya sampaikan pada tuan dan nyonya."
"Nggak usah, aku ingin pergi sendiri. Kalau mau paling sama pengawal saja. Nggak seru pergi sama mereka."
"Baik Tuan."
Satoru hanya diam. Ia tahu sebenarnya pelayan itu tak begitu peduli pada keinginannya. Mungkin nantinya ia akan pergi sendiri saja.
.
Malam festival pun tiba. Dan benar saja, tak seorang pun pelayan datang untuk menjemput dan mengajaknya pergi. Mungkin mereka bahkan tak mengatakan keinginan Satoru kepada orang tuanya.
Satoru yang sudah menduga itu tak terlalu kecewa. Ia meraih pakaian yang sudah ia siapkan. Pakaian itu normal, hanya saja memiliki penutup kepala. Dengan begitu dia tidak perlu terlihat aneh karena harus memakai kerudung kain di tengah festival.
"Yosh," setelah memastikan sandalnya terikat kuat, ia menenteng lampu minyak kecil dan berjalan menembus hutan menuju desa.
"Uwaah…" Satoru takjub melihat festival yang ada. Ia akan menjemput Suguru. Tapi ia tergoda dengan jajanan yang ada. Sebaiknya ia beli dulu, membawanya ke rumah Suguru. Dengan begitu Suguru pasti mau datang ke festival bersama nya.
Saat mau membeli jajanan itulah ia mendengar sekelompok pedagang berkumpul mengobrolkan sesuatu.
"Malam ini kan? Tepat jam 12 malam bulan purnama? Di atas bukit belakang desa?"
"Iya, benar."
"Persembahannya sudah siap?"
"Sudah. Di luar dugaan gadis itu menurut saja. Kupikir dia akan mengamuk dan menolak untuk menjadi persembahan."
Deg…!
Jantung Satoru berdetak keras mendegar itu. Persembahan? Gadis? Apa itu artinya ada seorang manusia yang akan dikorbankan malam nanti?
Satoru kembali mendengarkan orang-orang itu berbicara.
"Ya maklum saja, dia sudah tidak punya orang tua. Hidupnya juga miskin, menderita begitu. Pantas saja dia sudah tak mau hidup lagi. Malah pas dijadikan persembahan. Kita tidak perlu merasa bersalah. Dia yang mau."
"Benar. Meski sayang juga ya, wajahnya cukup manis. Pasti saat dewasa akan jadi gadis yang cantik."
"Tapi ku dengar gossip katanya dia anak lelaki loh."
"Hah? Mana mungkin? Tadi aku sempat melihatnya saat kepala desa mengarak gadis itu ke balai desa, dia manis sekali, badannya juga ramping. Tidak mungkin lelaki."
Mata Gojo semakin terbelalak. Kenapa semua itu terdengar seperti Suguru.
"Suguru…" ucap Satoru lirih dengan bibir bergetar. Ia batal membeli jajan, dengan kaki gemetar ia berlari menuju arah balai desa.
Di sana juga ramai, ia mencari-cari sekiranya di mana Suguru berada. Sampai akhirnya ia menemukan tenda besar yang berbentuk seperti lingkaran, dihiasi kain-kain yang indah. Ia merasa Suguru ada di sana.
Dengan hati-hati Satoru menyusup ke tenda itu. Hanya ada dua penjaga di depan pintu nya. Karena tubuh Satoru kecil, ia lumayan gampang menyelinap lewat tenda bagian samping belakang. Dan di dalam tenda itulah, ia terkejut melihat Suguru berada di dalam sebuah kerangkeng besi. Ia duduk di tengah kerangkeng memakai pakaian seperti pengantin wanita.
"Suguru, Suguru," Satoru memanggil dengan berbisik, ia menghampiri kerangkeng itu.
Suguru terkejut melihat Satoru. "Hey, kau kenapa di sini?" tanyanya sama terkejutnya.
"Tunggu, akan segera kubebaskan kau dari sini," Satoru berusaha membuka gembok kerangkengnya. "Aduh, pakai apa ya. Apa tidak ada palu, tapi nanti berisik. Pakai kawat–..."
"Satoru…satoru…hentikan. Cukup," cegah Suguru. Mereka saling tatap. Suguru mendekat ke tepi kerangkeng. "Mereka…mereka tidak memaksaku. Aku yang mau melakukan ini."
"..." air mata yang sejak tadi Satoru tahan kini tumpah juga setelah mendengar kata itu dari mulut Suguru sendiri.
Suguru tersenyum sendu. "Setelah kepergian orang tua ku…kehidupanku tak pernah membahagiakan. Kau tahu sendiri ceritanya," lirih Suguru. "Sudah berulang kali aku berpikir untuk mengakhiri hidup. Sering aku berdiri di tepi air terjun, memandang ke bawah. Aku berpikir…kalau aku lompat, maka semuanya akan berakhir."
Suguru menatap Satoru lembut. "Tapi kau ada di sana. Kau yang membuatku bertahan untuk tak melakukan itu. Satoru…dalam kehidupanku yang menyakitkan ini, kau adalah salah satu hal terbaik yang pernah datang di hidupku."
"Ugh…hngk, hik…" Satoru sekuat tenaga menahan tangisnya.
"Tapi…aku tak bisa melakukan ini lagi," Suguru menjulurkan tangannya keluar kerangkeng, memegang pipi Satoru dengan lembut. "Satoru…sekarang pulanglah. Anggap kau tak pernah datang ke sini. Anggap semua ini tak terjadi. Anggap…kau tak pernah tahu soal pengorbanan ini. Kau pulanglah, dan tidur. Esok pagi kau akan bangun dan anggap semua ini hanyalah mimpi. Mengerti?"
Satoru tak menjawab, ia masih sesenggukan tak karuan. Suguru tersenyum, ia melepas tangannya dari pipi Satoru, lalu kembali ke tengah kerangkeng.
"Selamat tinggal Satoru. Hiduplah yang bahagia, teman."
Satoru tak bisa menahan dirinya lagi. Ia pergi dari tenda itu dan berlari pulang sambil menangis. Ia tak membawa lampu minyaknya, ia berlari di tengah kegelapan malam menembus hutan. Ia terus menangis, kakinya tak berhenti berlari meski menerobos semak atau tersandung akar.
Begitu sampai rumah, ia langsung masuk kamar dan menangis sejadi jadinya. Ia menenggelamkan wajah ke bantal, lalu menangis sekuat yang ia bisa. Dadanya terasa begitu sakit, ia tak tahu harus apa kecuali menangis.
.
Satoru terus menangis sampai ia kelelahan sendiri. Matanya bengkak, nafasnya sesak. Ia masih terisak meski sudah berhenti menangis. Ia menatap pintu kamarnya yang masih terbuka, menampilkan pemandangan luar. Gelap.
Ya, sebaiknya ia tidur. Seperti yang Suguru katakan, ia akan tidur, dan besok ia akan bangun menganggap semuanya adalah mimpi. Tak ada yang berubah. Satoru akan menjalani kehidupannya seperti semula. Tak ada yang berubah.
Anggaplah ia tak pernah keluar mansion, tak pernah bertemu Suguru. Ia hanya tinggal di kamar itu, seperti yang orang tuanya duga. Ya. Itulah yang akan terjadi.
Satoru mencoba memejamkan mata, tapi matanya panas. Dan saat ia membuka mata, ia kembali melihat kegelapan hutan. Satoru bangkit berniat menutup pintu geser itu. Saat itulah ia perlahan melihat sinar bulan kembali menyinari.
Bulan. Ya. Malam nanti, tepat jam 12 malam. Suguru akan dikorbankan.
Keteguhan hati Satoru seketika goyah. Meski ia sudah memantapkan hati untuk melupakan semua dan tidur, menganggap esok hari akan menjadi hari biasa, tekad itu seketika runtuh. Ia tak ingin Suguru pergi.
Ia melangkah keluar pintu, dan di kejauhan dia melihat titik cahaya yang berbaris meninggalkan desa. Satoru terkesiap. Apakah mereka sudah mau menuju tempat pengorbanan?
Tak peduli lagi dengan tekadnya tadi, Satoru kembali berlari meninggalkan kamar. Mansion nya itu berada lebih dekat dengan puncak bukit yang mereka tuju, jadi Satoru menang start. Tapi apa yang mau dilakukannya? Menuju rombongan itu dan meminta Suguru dibebaskan sudah pastilah tak akan berhasil. Apalagi Suguru sendiri yang mau. Jadi…
Ah…Satoru mendapatkan ide. Ia pun berlari ke arah yang dituju rombongan itu. Ia berlari melewati jalur hutan sementara mereka melewati jalan setapak. Ia mendahului rombongan itu.
Nafas Satoru terengah. Ia lelah. Ia beristirahat sebentar, lalu berlari lagi. Dia harus sampai duluan.
Setelah perjalanan yang melelahkan, Satoru pun sampai di puncak bukit. Di sana ada sebuah pohon beringin yang sangat besar. Sulur-sulur ya menjulur lebat ke bawah. Di tengah pohon itu ada lubang seperti gerbang, akar-akar dan sulur pohon membentuk di tepian lubang layaknya membentuk gapura. Di kanan kiri gapura itu tertancap sebuah obor, dan di depannya ada sebuah tumpukan batu yang atasnya datar.
Satoru menatap ke arah bawah, melihat rombongan iring-iringan itu semakin mendekat. Satoru naik ke atas altar batu tersebut, lalu berteriak ke dalam lubang pohon beringin.
"Woooyy, siapapun kau, penunggu gunung, dewa, atau kutukan. Kau mencari persembahan? Aku persembahan untukmu!" teriak Satoru.
Ya, ia sudah memutuskan. Ia yang akan menggantikan Suguru. Jika persembahan sudah diberikan, ia yakin Suguru akan ditolak sebagai persembahan berikutnya.
"Woooooyyy, kau dengar? Heeyy, kaauu, penunggu gunung, dewa, kutukan, siapapuuun. Aku persembahannya. Aku. Bukan anak yang sedang menuju ke siniiii…" teriak Satoru sekali lagi. Tetap hening, tak ada jawaban.
Beberapa detik berikutnya ia mendengar suara langkah orang berlari mendekat. Satoru terkesiap, ia melihat dua orang penduduk desa muncul membawa obor. Sepertinya mereka mendahului rombongan karena mendengar teriakan Satoru.
"Hey, bocah! Apa yang kau lakukan!"
Satoru berniat kabur, tapi ia ditangkap dengan mudah. Ia berusaha berontak, tapi apalah daya, melawan dua orang dewasa tentunya ia tak mampu.
"Hey, bukankah ini putra keluarga Gojo?"
"Hah? Benarkah?"
"Iya, lihat saja rambutnya, matanya. Apa yang dilakukan putra keluarga Gojo di sini?"
"Uuughh, lepaskan…! Lepaskan!" Satoru terus berontak meski sia-sia.
Tak berapa lama, rombongan yang lain akhirnya tiba. Suguru terkejut saat melihat Satoru ada di sana.
"Ada apa ini?" tanya orang yang tampak seperti pemimpin rombongan.
"Tidak tahu. Putra keluarga Gojo tiba-tiba ada di sini. Bagaimana ini tetua?"
"Putra keluarga Gojo?" tetua itu mendekat, menatap Gojo dan menjambak rambutnya. "Aah, kebetulan sekali. Bukankah ini anak yang membawa kutukan di desa kita. Sekalian saja kita korbankan."
"Iya benar."
"Iyaaa…"
Sambut yang lain beramai-ramai. Tetua itu tertawa puas. "Ya, benar. Kita lakukan saja. Pengorbanan dua nyawa, desa kita pasti akan subur lebih cepat, lebih subur dari wilayah laim."
"Benar."
"Pasti itu," sahut warga.
"Ikat dia," perintah tetua.
"Ughh…uurrghh," Gojo berontak tapi percuma. Ia pun diseret lalu diikat ke sebuah pohon kecil di samping tanah datar depan altar. Kerangkeng Suguru diletakkan di samping Gojo, sementara para penduduk melakukan upacara yang tak Satoru pahami upacara apa.
"Jadi, kenapa kau di sini," tanya Suguru. Di dalam kerangkeng tangannya juga dengan posisi terikat ke belakang, jadi ia tak bisa membantu Satoru atau apapun.
"Aku ingin menggantikan posisimu," balas Satoru.
"Dasar bodoh. Kan sudah kubilang aku bukan dipaksa, tapi sukarela. Aku tidak ingin digantikan."
"Tapi tetap saja, aku tak ingin kau pergi. Kau…" suara Gojo pecah di tengah. "...kau satu-satunya temanku."
"..." Suguru terdiam, lalu tersenyum. "Yah, sepertinya malam ini kita mati bersama."
"..." Satoru berhenti menangis mendengar itu, ia baru menyadarinya. "Haha, benar juga. Mungkin setelah mati, kita akan bersama selamanya."
Suguru balas tersenyum mendengar itu.
Setelah beberapa waktu, tampaknya upacara itu telah selesai.
"Bawa mereka kesini," perintah tetua.
Dua orang berdiri. Satu orang membuka kerangkeng Suguru dan menuntun Suguru, satu orang melepas ikatan Satoru dan menyeretnya mengikuti Suguru.
"Bawa yang perempuan ke altar," perintah tetua, sementara Satoru ditendang bagian belakang lututnya sampai ia berlutut ke tanah, tangannya masih dipegang oleh lelaki tadi.
"Hey! Apa yang mau kau lakukan! Aku juga, biarkan aku juga menjadi persembahan sepertinya!" teriak Satoru, tapi tentu saja tak ada yang peduli. Seorang warga bahkan membawa kain dan menyumpalkannya ke mulut Satoru.
"Lakukan," ucap si tetua.
Suguru dibaringkan ke altar. Satu pria memegangi bagian tangannya di atas kepala, dua orang di bagian kaki. Mereka lalu menaikkan paha Suguru. Suguru tampak bingung.
"Tunggu…apa yang…" ucap Suguru.
"Kau yang pertama," tunjuk tetua pada seorang warga yang duduk di kerumunan. Warga itu bangkit menghampiri Suguru di bagian kaki, lalu menurunkan celananya.
Suguru terbelalak. "Hey! Apa-apaan ini! Bukankah kalian harusnya membunuhku?" Suguru berontak, tapi bagaimanapun ia dipegangi oleh tiga orang dewasa.
"Diamlah, persembahan tidak seharusnya bicara," pria yang menurunkan celananya itu mengocok penisnya sendiri sampai tegak.
"Tidak! Hentikan! Hentikan!" teriak Suguru.
"Hmmpphh! Hhhhmmpppp!" Satoru juga mencoba berteriak meski masih disumpal mulutnya, tapi yang ada dia malah mendapat tempelengan sampai ia bungkam karena menahan sakit.
Pria itu hanya menyingkap sedikit kain yang menutupi bagian bawah Suguru lalu bersiap memasukinya.
"Tunggu! Aku seorang anak laki-laki. Kalian salah paham," akhirnya Suguru mengatakan itu.
Warga yang ada di sana saling tatap. Pria tadi akhirnya menyingkap keseluruhan kain bagian bawah Suguru, ia terperanjat. "Tetua, benar. Dia anak laki-laki," ucapnya.
Suguru dan Satoru tersenyum kecil. Mungkinkah mereka ada kesempatan?
"Tak masalah," jawab si tetua. "Tutupi saja bagian bawahnya kalau kau tak nyaman, kau sudah berdiri kan? Masukkan saja. Kau palingan juga tetap menikmatinya!"
Dasar gila! Edan! Tak waras!
Umpatan-umpatan itu ingin sekali Satoru lontarkan, hanya saja mulutnya tak bisa berkata dengan kain menyumpal di sana.
"Baik," ucap pria itu. Ia kembali menutupi bagian bawah Suguru dan kini mendorong masuk ke lubangnya.
"Tu-tunggu, tunggu, hentikan, henti–...aaaaaahhhhhhh," Suguru menjerit keras saat tubuhnya dimasuki secara paksa. Tak ada persiapan sama sekali, langsung dimasuki begitu saja.
Lelaki itu menggerakkan tubuhnya maju mundur. "Ngh…ooohh, yeah…nn," ia terlihat menikmati itu, tak peduli pada Suguru yang terus menjerit kesakitan dan memohon untuk berhenti.
"Hmn, mn…aahhh," setelah pria itu ejakulasi, tetua menunjuk orang lain lagi untuk melakukan hal yang sama. Mereka menggilir Suguru sampai teriakan Suguru tak terdengar lagi. Suaranya habis, matanya bengkak dan berlinangan air mata.
Begitu juga dengan Satoru, tenggorokannya sakit karena terus berteriak, pergelangan tangannya memerah karena berusaha berontak dan akhirnya diikat kembali dengan tali. Setiap kali ia mencoba bangkit dan menuju Suguru, ia akan ditendang sampai terjerembah. Ia dipaksa menonton adegan bejat itu dilakukan kepada sahabatnya.
"Bulan sudah hampir di titik tengah, harus lebih cepat. Kau dan kau, lakukan berdua, yang keras. Pastikan dia meninggal saat bulan tepat di atas kepala," perintah tetua.
"Baik," ucap mereka. Dan keduanya menghampiri Suguru, memasukkan dua penis kotor mereka ke lubamg kecil Suguru yang sudah penuh cairan kental bercampur darah.
"Kau juga," tunjuk tetua pada yang memegangi tangan Suguru ke atas. "Dia sudah tak berdaya, tak perlu dipegangi terlalu kuat. Kau lakukan di mulutnya."
"Baik," pria itu pun memasukkan penisnya ke dalam mulut Suguru.
Mata Satoru nanar menatap pemandangan itu. Ia mendengar suara Suguru tersedak, tak bisa bernafas dengan benda kotor di mulutnya. Kakinya dibuka begitu lebar sambil bagian bawahnya dimasuki oleh dua predator tak berotak. Satoru juga bisa melihat cairan sperma bercampur darah mengalir di bawah tubuh Suguru.
Dada Satoru sesak menahan tangis. Amarah meledak ledak di dalam dada nya. Ia ingin sekali orang itu mati. Mati ! Ia ingin kepala mereka terpisah dari leher mereka. Lalu penis mereka dimakan oleh anjing-anjing kelaparan. Ia ingin…mereka masih bisa merasakan sakit saat semua itu terjadi. Ya!
"Ooh, sudah meninggal kah?" ucap tetua.
Jantung Satoru seolah berhenti berdetak. Ia melihat wajah Suguru, ia menggelepar seperti orang yang mencari udara untuk dihirup. Matanya memutih karena pupilnya ke belakang, tubuhnya mengejang, menggelepar, hingga akhirnya diam untuk selama-lamanya.
"Ah, tepat sekali. Bulan sudah ada di tengah," ucap si tetua sambil menatap langit, kedua tangannya terlentang dengan satu tangan memegang tongkat. "Wahai kutukan penguasa segala kutukan, raja dari segala raja, kami persembahkan tubuh suci seorang anak manusia. Ah, lebih baik lagi," tetua itu lalu menatap ke arah Satoru. Ia mendekat, mencengkeram lengan bocah itu dan menyeretnya ke dekat altar.
"Kami persembahkan dua tubuh suci anak manusia," tetua itu melanjutkan mantera pemujaan nya.
Sementara Satoru terpaku berdiri di depan altar, menatap tubuh Suguru yang sudah tak bernyawa. Tubuhnya yang sudah dinodai oleh manusia-manusia durjana. Mata Satoru terbelalak konstan, tak mampu melakukan apa-apa. Di belakangnya tetua itu masih mengucapkan mantera mantera.
Amarah Satoru bergejolak. Dadanya benar-benar panas.
"Wahai penguasa malam, terimalah persembahan kami, yang mulia, raja kutukan, Ryomen Sukuna."
Satoru menatap dengan mata terbelalak, tak peduli matanya sakit. Dalam hati ia berujar.
'Raja, dewa, kutukan, siapapun kau, Ryomen Sukuna? Akan kupersembahkan jiwaku asalkan kau cabik-cabik para manusia yang ada di sini. Akan ku abdikan jiwaku dalam keabadian untuk melayanimu. Tapi…bunuh, bunuh mereka dan kuliti mereka hidup hidup!'
Seusai berucap itu dalam hati, tiba-tiba suasana berubah mencekam. Angin berhembus kencang, awan hitam membentuk pusaran di langit di atas mereka.
"Haha, hahaha, hahahaha, ritual nya berhasil. Ritual nya berhasil," tawa si tetua senang. "Ritualnya ber–...khhkhh….ooohhphookk…" tapi ucapan itu terhenti digantikan suara tercekik dan suara ketakutan warga.
Satoru menoleh, ia melihat tetua itu kulitnya mengelupas, dari bagian kepala, lalu turun ke leher, pundak, lengan, sampai bawah. Suara tercekik itu adalah suara darah yang muncrat mengisi kerongkongannya.
"Hhaa…huuaaaahh…" para warga berteriak ketakutan, mencoba kabur, tapi saat baru mencoba kabur, hal yang sama terjadi pada mereka, menyisakan mereka yang masih duduk di tempat belum mulai labur. Mereka tentu saja menatap dengan tatapan horror.
Detik berikutnya, gumpalan asap hitam mengepul di samping Satoru, asap itu lama-lama membentuk sebuah wujud tinggi besar. Seperti manusia, hanya saja memiliki empat tangan dan dua wajah, ukuran tubuhnya dua kali besar orang dewasa. Di perutnya ada mulut yang sangat besar, sementara di salah satu tangannya memegang sebuah tombak.
Para warga semakin ketakutan melihat perwujudan mengerikan itu, sementara Satoru sudah menatap mati.
"Kaukah Ryomen Sukuna?" ucap Satoru datar dan tetap menatap mati ke arah para warga.
"Jadi, apa yang kau mau?" tanya Sukuna dengan seringaian di bibir.
"Kuliti mereka, pastikan mereka masih hidup untuk merasakan itu."
"Ryoukai."
Detik berikutnya semua warga yang ada di sana kulitnya mulai terkelupas, sama seperti para warga sebelumnya. Mereka masih menjerit, menggelepar, merintih selama pengulitan itu. Bahkan setelah dikuliti, mereka tampak masih hidup, merintih menangis kesakitan.
"Ada lagi?" tanya Sukuna.
Satoru memicingkan mata menatap ke arah desa, mereka yang masih mengadakan festival, mereka yang membuat kehidupan Suguru seperti di neraka sampai ia menginginkan kematian.
"Bunuh juga. Semuanya," ucap Satoru dingin.
"Ii no ka? Orang tua mu juga ada di sana," balas Sukuna.
"Ah, aku tak peduli. Mereka juga. Bangsawan yang tak peduli pada kehidupan rakyat miskin di wilayah mereka. Bunuh saja."
"Fufu," Sukuna hanya tertawa kecil, detik berikutnya terdengar suara riuh dan jeritan dari arah desa. Di satu dua titik terlihat api menyala, begitu juga dari arah mansion Gojo.
"Aku ingin memastikan kau membunuh semuanya," Satoru menatap tajam. "Bukan sekedar bualanmu saja."
Sukuna menyeringai. Ia membopong tubuh mungil Satoru dan mendudukkannya di salah satu lengan. Setelah itu Sukuna melesat ke arah desa.
Keadaannya sudah kacau sekali. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Ada yang tertusuk besi panggangan, ada yang tertebas kapak, ada yang terbakar hangus.
"Kupikir butuh variasi supaya tidak bosan," ucap Sukuna seraya berjalan menyusuri jalanan desa.
"Hm," Satoru hanya mengangguk pelan. Mereka melangkah sampai ke mansion Gojo. Keadaan di sana juga tak jauh beda. Semua orang mati. Sukuna membawa Satoru ke kamar orang tua nya, dua orang itu juga sudah mati dengan posisi saling menikam.
Sukuna menyeringai melirik ekspresi datar Satoru yang tak berubah. "Kau tidak bersedih?"
"Sama sekali tidak," jawab Satoru datar. "Aku bahkan hampir tak mengenal mereka."
Setelah itu Satoru menyuruh Sukuna membawanya ke rumah Suguru. Ia ingin melihat tempat penuh kenangan itu untuk yang terakhir kali. Rumah kayu di tepi sungai, begitu sunyi, hanya derit lantai kayu tua yang sesekali terdengar, juga tikus yang mencicit. Pohon mangga di belakang rumah yang sedang tak berbuah. Lalu tempat di dekat air terjun, Satoru juga menyuruh Sukuna membawanya ke sana.
Ia menatap ke tepi tebing, melihat ke bawah. Mungkin itulah pemandangan yang setiap hari Suguru tatap setiap kali ia ingin melompat. Kini…ia sudah menemui kematian yang diinginkannya itu.
"Sudah cukup, ayo kembali," ucap Gojo. Kali ini suaranya sedikit pecah.
Sukuna hanya menyeringai, lalu kembali melesat ke puncak bukit. Sudah ada serigala dan burung bangkai mengintai di kejauhan. Seekor serigala bahkan sudah terlihat mengunyah seseorang yang tampak masih hidup. Serigala itu tak terganggu dengan kehadiran Sukuna.
Sukuna menurunkan Satoru di depan altar, menatap sahabatnya yang sudah tak bernyawa itu.
"Ada yang kau inginkan? Aku bisa menghidupkannya kembali," seringai Sukuna.
"Tak perlu. Kematian adalah hal yang diinginkannya. Lagipula," Satoru menoleh ke arah Sukuna dengan tatapan datar nya. "Sekuat apapun kau, aku tahu kau tidak mungkin bisa membangkitkan orang mati."
"...fufu, kukuku, hahahahahha," Sukuna tertawa keras mendengar itu, tawanya mengerikan, benar-benar tawa iblis. Ia tertawa untuk beberapa lama. Setelahnya kembali menatap Satoru yang diam memandang tubuh beku sahabatnya.
"Jadi…kau sudah siap pergi?" tanya Sukuna.
"..." tak langsung menjawab. "Ya…" jawabnya kemudian.
Sukuna kembali membopong tubuh Satoru dengan satu lengannya. "Bocah ini, aku bebas melakukan apa saja padanya kan?" ucap Sukuna.
"Asal jangan menyakitinya. Ia sudah cukup menderita dengan semua ini. Kalau mau kau makan, telanlah dalam satu kali lahapan."
"Pffttr hahahaha, begitu rupanya. Menarik," ucap Sukuna. "Uraume," ucapnya. Detik berikutnya muncul sosok bersurai putih pendek dengan sedikit warna merah di rambutnya, ia memakai kimono berwarna putih dibalut kain hitam.
"Hai, Sukuna-sama," ucapnya sambil berlutut di belakang tubuh Sukuna.
"Kau yang urus ini," ucapnya.
"Ryoukai."
Sukuna melangkah menggendong Satoru menuju lubang besar di tengah pohon beringin. Satoru menoleh lewat atas pundak Sukuna, melihat jasad Suguru untuk yang terakhir kali.
"Jadi yang akan memakan Suguru anak buahmu?" tanya Satoru.
"Pfftt…" Sukuna hanya tertawa kecil sebagai respon. Ia melanjutkan langkah memasuki gapura pohon itu dan menghilang di kegelapan, membawa bocah bersurai putih di tangannya.
.
.
.
~To be Continue~
.
Support me on Trakteer : Noisseggra
