Disclaimer : Jujutsu Kaisen by Gege Akutami

A Fanfiction by Noisseggra

Pair : Gojo Satoru X Ryomen Sukuna

Genre : Supernatural, Drama, Romance, Gore

PERINGATAN : Fanfic ini berisi banyak adegan kekerasan, immoral, adegan seksual dan dewasa. Jika ini bukan selera kalian, tolong nggak usah baca fanfic ini.

OOC (Out of Character), YAOI, BL, SHOUNEN AI, RATED M, AU (Alternate Universe), maybe typo (s)

You have been warned !

Fanfic ini terinspirasi dari sebuah post di group facebook yang menceritakan tentang lore Sukuna mengenai 'unwanted child'.

Author Note : Fanfic ini ditulis untuk kepuasan pribadi, jadi serah aing mau nulis apa :"V

.

.

Sacrifice

.

.

Satoru tak pernah menanyakan soal alasan Sukuna melakukan apa yang ia lakukan, karena ia tahu Sukuna tak akan menjawabnya. Yang Satoru tahu, Sukuna adalah satu-satunya kutukan yang tak memakan persembahan untuknya, khususnya anak-anak kecil, ia menguburkan jasad mereka dengan layak, dan membawa jiwa mereka ke sebuah tempat untuk bermain selamanya.

Satoru masih menjalani harinya seperti biasa. Ia membantu Sukuna melakukan beberapa hal, dan merusuh pekerjaan Sukuna.

Malam itu Satoru sedang bertugas mengambil laporan dari kutukan yang hidup di sebuah rawa. Sesosok kutukan berbentuk buaya putih yang ramah. Ia tak bisa mengantar laporan karena anak-anaknya begitu banyak dan tak membiarkannya pergi, karena itulah laporan darinya harus selalu dijemput.

"Terimakasih banyak," ucap kutukan buaya itu setelah menyerahkan laporannya ke Satoru. Satoru melangkah pergi saat ia melihat beberapa anakan kutukan buaya bersembunyi dan menatap ke arahnya.

"Psst…psstt…oh jadi dia orangnya," mereka berbisik-bisik.

Satoru mendekat dan berjongkok di hadapan mereka. "Hoy, aku di depan kalian. Tidak sopan berbisik-bisik. Kalian membicarakan apa?" tanya Satoru.

"Ano, apa benar kau pengantin nya raja kutukan Ryomen Sukuna-sama?" tanya satu bocah.

"Hah? Pengantin? Bukan, aku hanya mengikat shibari dengannya."

"Tapi kudengar, kau mengikat shibari seluruh jiwa dan ragamu dalam keabadian bersama Ryomen Sukuna-sama. Kata Ibu itu pernikahan."

"..." Satoru terdiam sesaat, tapi ia lalu menyadari kalau ucapan bocah itu ada benarnya. Bukankah itu seperti sumpah pernikahan? Seketika wajah Satoru memerah total.

"Ah, ternyata benar ya," boca-bocah itu mulai ribut.

"Pasti benar, soalnya wajah Ibu juga memerah kalau sedang berbicara soal ayah. Waa waa waa…"

"U-urusai…aku tidak…"

Si kutukan buaya menghampiri. "Ah maaf, anak-anakku ribut ya. Ada apa ini? Sshh…jangan ribut, beliau adalah tamu," ia mencoba menenangkan.

"Ibu, Ibu, ternyata benar kata Ibu. Dia pengantin Ryomen Sukuna-sama."

"I-itu…tidak…bukan…" Satoru mengibas-ngibaskan tangannya penanda bukan. "Kami hanya…shibari…"

Kutukan buaya yang melihat gelagat Satoru itu sepertinya mengerti apa yang terjadi. Jadi ia menambahi saja. "Ara, tapi shibari dengan mengikat jiwa dan raga untuk selamanya bersama seseorang bukankah seperti pernikahan? Apakah aku salah?" godanya.

Wajah Satoru kian memerah. "A-aku permisi dulu," ucapnya dan segera pergi dari tempat itu.

Wajahnya masih memerah, ia sempat menenangkan diri dulu sebelum akhirnya teleport kembali ke istana Sukuna.

Setelah kembali ke istana, Satoru juga jadi canggung mau masuk ke ruang kerja Sukuna, padahal biasanya ia nyelonong saja. Ia berdiam di depan pintu, menelan ludah berat. Seharusnya ia biasa saja, tapi sepertinya ucapan kutukan tadi benar-benar mengganggu pikirannya.

Sraakk…!

Pintu geser terbuka dan Sukuna muncul di sana. Ia menatap Satoru tajam.

"Ada apa? Kenapa cuma berdiri saja di sana? Laporannya?" tanya Sukuna.

Satoru diam, ya, Sukuna saja bersikap biasa, kenapa dia yang nervous sendiri begini.

"I-ini," Satoru menyerahkan laporannya. Sukuna meraih laporan itu, tanpa sadar tangan mereka bersentuhan. Satoru segera menarik tangannya menjauh dan menempatkannya di belakang tubuh.

"Hng?" Sukuna menatap bocah itu, ia lalu berlutut dan menunduk, membuat wajah mereka cukup dekat. "Wajahmu merah. Kau sakit?"

"HAH?!" Satoru salah tingkah sendiri. "Ti-tidak, aku hanya…"

Tep…!

Sukuna meletakkan satu jari nya di dahi Satoru. "Kalau kau demam akan kusuruh Uraume mengantarmu ke dokter manusia."

"Sudah kubilang aku tidak apa-apa, bye," dan Satoru langsung kabur ke kamarnya.

"Fuuhh…" ia menghela nafas panjang begitu memasuki kamar. "Apa sih," umpatnya pada diri sendiri.

"Satoru-sama," Uraume mengetuk pintu di luar. "Sukuna-sama menyuruh saya mengantar Anda ke dokter manusia."

"Geeh, enggak, aku nggak sakit kok," omel Satoru, ia tak membukakan pintu.

"Kalau begitu biar saya bantu untuk mandi."

Wajah Satoru memerah. Mandi…ya, selama ini ia masih dimandikan Uraume. Kenapa Sukuna tak melarang kalau memang Satoru pengantinnya.

"Nggak, aku bisa mandi sendiri. Mulai sekarang aku mau mandi sendiri," omel Satoru.

"Tapi…"

"Sudahlah, aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa mandi dan berganti baju sendiri."

"...baiklah…" lirih Uraume dan akhirnya undur diri.

"Ugh…" Satoru masih sedikit kikuk. Ia pun melakukan apa yang ia ucapkan. Ia mandi sendiri. Tapi ia masih kikuk karena ini baru pertama kali. Dulu ia selalu dimanja pelayan, sekarang dimanja Uraume, baru sekarang ia melakukan semua ini sendiri.

Ia mengingat apa yang biasa Uraume lakukan padanya saat mandi, ia mempraktikan itu. Setelahnya ia juga memakai pakaiannya sendiri meskipun sedikit berantakan.

"Yosh, aku bisa kan," ucapnya. Ia pun keluar dari pemandian besarnya itu untuk kembali ke kamar. Dan ia terkejut saat melihat Sukuna sudah duduk di dekat futon nya yang masih terlipat.

"Su-Sukuna–..." ucapnya kaku.

Sukuna mendengus lalu melambaikan tangannya menyuruh mendekat. Dengan langkah kecil Satoru menghampiri. Sukuna meraih handuk dan mengeringkan rambut Satoru.

"Kau bisa masuk angin kalau tidak dikeringkan begini," omelnya.

"Iya…" balas Satoru lirih.

"Lagipula kenapa tiba-tiba melakukan ini sih? Biasanya juga dibantu Uraume tak masalah."

"Ya…tidak apa-apa."

"Yakin bukan karena demam? Manusia itu gampang sekali sakit. Kalau kau sampai sakit bagaimana."

"Nggak kok. Aku nggak…" ucapan Satoru terhenti saat Sukuna meraih dagu nya dan mendongakkan wajah Satoru. Seketika wajah Satoru kembali memerah.

"Nah kan, kau ini pasti sakit. Wajahmu tak biasanya memerah begini," ucap Sukuna.

"Sudah kubilang bukan!" omel Satoru.

"Terus kenapa?"

"..." Satoru membuang pandangan. Tangannya saling menaut dan bergerak kikuk. "Umm…"

Sukuna menghela nafas lalu membopong Satoru dan mendudukkannya di paha. Hal yang biasa ia lakukan sejak Satoru berusia 9 tahun. Tapi kini wajah Satoru kembali memerah karena hal itu.

"Ayo katakan," ucap Sukuna.

"Ettoo…umm…" Satoru mengumpulkan keberaniannya. "S-Sukuna, apa benar…aku ini pengantinmu?"

"..." Sukuna diam.

Satoru diam menanti jawaban. Detik berikutnya tawa Sukuna meledak.

"Pffftt…Hahahahahaha."

"H-hey, jangan tertawa. Aku serius," ucap Satoru.

Sukuna masih tertawa sampai beberapa lama, ia bahkan sampai menutup wajahnya dengan salah satu tangan.

"Heeehh…astaga," ucapnya setelah berhenti tertawa. "Jadi ini yang membuatmu bersikap aneh dari tadi?"

Satoru menggembungkan pipi. "Ayo jawab, iya atau bukan. Kutukan buaya itu bilang, karena shibari denganmu mengikat jiwa dan ragaku selamanya bersamamu, itu adalah pernikahan."

Sukuna menyeringai. "Kalau kujawab iya bagaimana? Kau pengantinku. Kau yang melamarku dengan shibari itu, dan aku yang memilih untuk menerima lamaranmu saat aku memutuskan untuk menerima shibari darimu malam itu."

Blush…

Wajah Satoru bersemu. "Ja-jadi betulan kita suami istri?" ia mencengkeram kimono Sukuna, menatap lurus mata Sukuna.

"Ya, tentu. Kau mau aku mengadakan pesta pernikahan?"

Wajah Satoru berubah cerah. Ia mengangguk.

"Ya sudah, kalau begitu besok kusuruh Uraume menyiapkan pesta. Kita rayakan pernikahan kita. Bagaimana?"

"Iya," cengir Satoru.

.

.

Singkat cerita, Sukuna betulan memegang janji untuk mengadakan pesta. Ia mengundang para kutukan untuk datang ke istana nya. Mereka berpesta pora, sementara ia dan Satoru duduk bersanding memakai pakaian pernikahan.

Sukuna menyeringai menatap pesta sambil meminum sake. Sementara Satoru duduk di sampingnya menikmati secangkir teh susu.

"Kau bisa minum juga ya? Itu sake betulan kan?" tanya Satoru sambil mendongak menatap Sukuna.

Sukuna batal minum demi menoleh menatap Satoru. "Ya. Kau sendiri tahu kutukan bisa makan manusia, mereka benda nyata kan? Kami juga bisa makan makanan manusia kalau mau, termasuk sake juga."

Ia menyodorkan cawan sake itu pada Satoru. "Kau mau coba?"

"Aku belum cukup umur untuk minum sake."

"Keh, kau masih khawatir aturan manusia?"

"..." iya juga ya. Satoru harusnya sudah tak terikat pada peraturan apapun. Ia pun meletakkan cangkir teh nya dan meraih cawan dari tangan Sukuna. Meski cawan kecil bagi Sukuna, bagi Satoru tentu saja cawan yang besar. Ia menyecap sedikit saja sake dari cawan itu.

"Bwaahh, hoeek…" Satoru langsung menjulurkan lidah dan membuang sake itu dari mulutnya. "Huaaa tidak enak," mata Satoru langsung berkaca-kaca, sementara Sukuna tertawa puas dan menghabiskan sake itu.

"Hee, Sukuna-sama, kau membuatnya menangis," goda sesosok kutukan yang Satoru ketahui bernama Mahito.

"Hiks…hueee…" Satoru masih sesenggukan, dia meminum teh susu nya kembali untuk menghilangkan rasa sake tadi.

"Ahahaha dia manis sekali ya," Mahito seenaknya menoel-noel pipi Satoru yang menggemaskan.

Crassshhh…!

Detik berikutnya tangan Mahito putus, melayang ke udara.

"Jangan menyentuh pengantinku," ancam Sukuna dengan raut mengerikan.

"Waah kowaii kowaii," ucap Mahito dan menumbuhkan kembali tangannya. Tapi ia lalu mundur dari tempat itu.

Sukuna membopong Satoru ke pangkuannya, satu tangan meraih kain dan mengelap wajah Satoru dengan kain itu.

"Sudah sudah, kau bilang kau bukan anak kecil lagi. Kenapa menangis hanya karena sake," ucap Sukuna.

Satoru pun menghentikan tangisnya meski masih mingsek mingsek.

"Ya sudah. Mau kembali ke kamar saja? Biarkan mereka pesta, kau istirahat saja," ucap Sukuna.

"Hu um," Satoru mengangguk.

Akhirnya Sukuna membopong Satoru pergi.

"Wah, sudah mau malam pengantin Sukuna-sama," goda para kutukan itu.

"Urusai, kalian lanjut pesta saja," balas Sukuna dan meninggalkan aula utama. Ia membawa Satoru ke kamarnya lalu membantunya berganti pakaian tidur.

"Apa kau mau kembali ke pesta?" tanya Satoru.

Sukuna terdiam, ia merapikan pakaian Satoru lalu menggelar futon untuknya. Ia menepuk futon itu, menyuruh Satoru berbaring. Setelah Satoru masuk ke dalam selimut, Sukuna berbaring miring ke arahnya dengan satu tangan menyangga kepala, dan satu tangan menepuk-nepuk tubuh Satoru.

"Aku akan menemanimu sampai kau tidur," ucapnya.

"Hu um," Satoru mengangguk kecil. Ia pun perlahan mulai memejamkan matanya.

.

~OoooOoooO~

.

Tak begitu banyak ada yang berubah dari kehidupan Satoru setelah itu. Ia masih sering merusuh Sukuna yang sedang kerja, lalu bertugas menjemput laporan, lalu menemani Sukuna ke ritual persembahan. Benar-benar kegiatannya yang biasa.

Hanya saja sesekali Sukuna menyebut kata 'pengantinku' jika sedang menggoda Satoru, dan itu cukup untuk membuat Satoru tersipu.

Satoru berbaring di futon nya malam itu, menatap langit langit ruangan. Ia belum bisa tidur saat itu. Ia tengah memikirkan sesuatu tentang dirinya dan Sukuna.

Ia berpikir apa iya yang dilakukan suami isteri hanya begini? Satoru tidak tahu, tapi juga merasa hubungannya dengan Sukuna tak seperti suami isteri. Ditambah, ia selalu berada di realm Sukuna yang isinya kutukan, Satoru tak bisa melihat contoh bagaimana pasangan suami istri menjalani kehidupan mereka.

"Ah, sudahlah. Cari tau lain kali saja," ucapnya lalu berguling ke samping dan masuk ke dalam selimut.

.

.

Malam itu Satoru bermimpi aneh. Ia tak tahu ia mimpi apa, yang ia tahu ia merasa enak, meski tak tahu enak karena apa.

"Nn…mn…" ia mengerang pelan untuk beberapa lama. Hingga ia akhirnya terbangun dari tidur secara tiba-tiba. Nafasnya terengah, tubuhnya terasa gerah.

"Heeh…" Ia menghela nafas panjang setelahnya. Ia bergerak berniat menyamankan posisi saat ia menyadari bagian bawah tubuhnya terasa basah.

Satoru segera bangun. Ia membuka selimut dan melihat ke bagian bawah tubuhnya. Basah. Wajah Satoru memerah. Ia merasa malu karena masih mengompol di usianya yang segitu.

Dengan segera Satoru menuju pemandian. Ia membuka celananya yang basah dan berniat mencucinya. Saat itulah ia menyadari kalau basahannya itu licin, seperti bukan air seni. Ia mengendus celana itu, dan mengernyit mencium bau yang tak familiar. Satoru berganti meraih bagian selatan tubuhnya. Sama, basah oleh cairan lengket dan licin. Ia menatap tangannya yang barusan menyentuh cairan itu, kini ada cairan putih lengket menempel di tangannya.

"Eewww, ini apa," ia mengernyit. Ia mengendus tangannya dan mendapati bau yang sama dari celananya itu.

Entahlah, ia tak mengerti. Ia hanya lalu menuju pancuran air dan mencuci celananya di sana.

.

.

Satoru sarapan pagi bersama Sukuna. Ya, itu juga salah satu kegiatan baru yang Satoru lakukan semenjak malam pernikahan itu. Kini mereka selalu makan bersama. Meski Satoru tak yakin Sukuna betulan makan atau hanya pura-pura makan, karena seperti yang Sukuna bilang, kutukan bisa makan makanan manusia kalau mau. Karena makanan utama mereka memang bukan itu.

"Uraume bilang kau bangun lebih pagi hari ini," ucap Sukuna. "Sudah ganti baju pula. Tumben."

Wajah Satoru memerah dengan kepala tertunduk. Ia tak berani bilang. Nanti pasti ditertawakan kalau ketahuan dia ngompol di usia segitu, meski ia tak yakin apa dia betulan ngompol semalam.

"A-anu…apa aku boleh ke dunia manusia hari ini?" akhirnya ia membuat alasan lain.

"Boleh saja. Ada perlu apa?"

"Tidak ada. Hanya ingin saja. Nggak apa kan?"

"Ya, tak apa," Sukuna membelai lembut pipi Satoru dengan satu jarinya yang besar. "Mau aku atau Uraume temani?"

Satoru menggeleng. "Aku nggak akan ke tempat yang berbahaya kok."

"Baiklah. Langsung teleport kembali kalau terjadi sesuatu oke."

"Mm," Satoru mengangguk.

.

.

Sesuai rencana, hari itu ia pergi ke dunia manusia. Kali ini ia pergi ke ibu kota, bukan desa kecil seperti biasanya, karena yang ia cari tak ada di sana. Satoru pergi ke perpustakaan. Ia ingin mencari tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya.

Sebagai putra bangsawan, ia sudah diajari baca tulis sejak dia kecil, jadi Satoru sudah bisa membaca. Ia melihat-lihat buku dan gulungan di rak-rak perpustakaan itu, mencari di bagian kesehatan tubuh manusia, dan juga penyakit-penyakit nya.

Satoru mengambil beberapa buku dan gulungan, lalu duduk di salah satu meja dan mulai membaca. Tapi sayangnya sepertinya bukan buku-buku itu yang ia cari. Ia pun mengembalikan buku-buku itu ke rak, mengambil yang lain, membaca lagi, dan mengembalikannya lagi.

Hingga setelah beberapa kali tak menemukan buku yang dicari, ia mulai sedikit kesal. Ia bangkit lagi dari meja berniat mengembalikan buku saat seseorang menghampiri.

"Hey nak, kau mencari buku apa? Dari tadi aku melihatmu bolak balik ke rak buku," tanya seorang lelaki berkumis tipis.

"..." Satoru tidak langsung menjawab.

"Hey, begini-begini aku seorang guru loh. Jadi siapa tahu mengerti buku apa yang sedang kau cari," ia mengulurkan tangan untuk berjabat. "Namamu Kusakabe, panggil Kusakabe-Sensei saja."

"..." Satoru menyalami Kusakabe tapi tak yakin mau menyebutkan nama. "Sato–..." ia batal bicara saat sudah mengucapkan nama itu. Ia menarik kembali jabat tangannya. Ia baru ingat kalau ia putra seorang bangsawan keluarga Gojo, dan saat ini dia berada di lingkungan ibu kota, di mana mungkin saja ada orang yang mengenal nama nya.

"Hai hai, Sato-chan," Kusakabe mengacak rambut Satoru. "Jadi, buku apa yang kau cari?"

"...tentang tubuh manusia, atau penyakit," jawab Satoru.

"Ooh, kau mau jadi dokter? Memangnya penyakit seperti apa yang kau maksud?"

"Itu, jadi saat malam," Satoru sedikit malu mau cerita, tapi berpikir lagi bahwa orang di depannya orang yang tak ia kenal, dan kemungkinan mereka tak akan pernah bertemu lagi, jadi rasanya tak apa. "...bukan seperti pipis. Tapi warnanya putih. Baunya aneh. Lalu…licin, dan lengket begitu. Keluar dari…dari…" wajah Satoru bersemu.

"..." Kusakabe terdiam, membuat Satoru semakin malu dan bingung karena mungkin penjelasannya memang tak bisa dimengerti.

"Pfftt…hahahaha," tapi lalu Kusakabe tertawa, dan membuat Satoru yang bingung kini. "Astaga, ternyata itu. Yaah, pantas saja sih. Kau sepertinya berada di usia itu ya," pria itu kembali mengacak rambut Satoru. "Sini ikut," ia lalu bangkit dan menyuruh Satoru mengikuti. Satoru menurut saja. "Memangnya kau tidak tinggal dengan ayahmu? Kau tidak tanya saja pada dia?"

Satoru menggeleng.

"Begitu ya, kau tinggal dengan ibu mu saja berarti," Kusakabe menuju sebuah rak dan mengambilkan satu buku. Ia berikan pada Satoru.

Satoru menerima buku itu dan sedikit terkejut dengan buku di tangannya yang ternyata bukan buku tentang penyakit, tapi buku tentang pertumbuhan anak remaja. "Eh?" ia menatap bingung.

"Baca saja. Aku ada di sebelah sana kalau kau mau tanya-tanya nanti," tunjuk Kusakabe ke salah satu arah. "Sampai nanti," ucapnya lalu pergi meninggalkan Satoru.

Satoru kembali ke meja nya, lalu mulai membaca buku itu. Awal-awal buku itu hanya menyebutkan tentang bagaimana seorang anak tumbuh, mulai dari balita dan perkembangannya, juga fase-fase di setiap pertumbuhan. Hingga ia sampai juga di chapter organ reproduktif.

Ia membaca chapter itu yang menyebutkan tentang apa yang akan terjadi pada anak manusia baik laki-laki maupun perempuan saat mereka memasuki masa pubertas. Anak perempuan akan mengalami menstruasi saat tubuh mereka sudah mulai memproduksi sel telur, sementara anak lelaki akan mengalami mimpi basah, di saat tubuh mereka sudah mampu memproduksi sperma. Dan hal itu terjadi bertujuan untuk proses reproduksi pada manusia.

"..." Satoru sempat tercengang saat mengetahui informasi itu. Ia melanjutkan membaca, mencari tahu tentang tubuh laki-laki dan sperma. Kini ia tahu bahwa cairan putih yang semalam keluar dari penis nya merupakan sperma, dan semalam ia mengalami sesuatu bernama mimpi basah.

Ia juga membaca sampai chapter belakang di mana cara reproduksi manusia. Di sana disebutkan bahwa cara terbentuknya bayi adalah bertemunya sel sperma dengan sel telur. Penjelasannya secara teknis, dan membuat Satoru bingung. Bagaimana cara sel sperma dan sel telur bertemu kalau keduanya diproduksi di dalam tubuh masing-masing?

Di buku itu ada beberapa gambar yang menunjukkan sistem reproduksi, tapi tak ada gambar yang menunjukkan bagaimana reproduksi itu berlangsung, dan cara pertemuan sel telur dengan sel sperma. Buku itu hanya menyebut secara umum.

Satoru mengangkat kepala dari buku bacaannya, ia menoleh ke arah perginya Kusakabe tadi. Ia membawa buku itu lalu pergi ke arah yang ditunjuk Kusakabe sebelumnya. Ia menemukan Sensei itu tengah duduk sambil mengerjakan sesuatu dengan beberapa buku dan gulungan berada di meja. Satoru menghampiri.

"Oh, kau sudah selesai membaca?" tanya Kusakabe begitu melihat Satoru mendekat. "Bagaimana, ada pertanyaan?"

Satoru duduk di kursi yang berhadapan dengan Kusakabe, ia menaruh buku itu di hadapan mereka.

"Bagaimana cara bayi dibuat?" tanya Satoru.

"..." Kusakabe menarik bibir sebelah. Ia kurang lebih sudah tahu akan mendapat pertanyaan sejenis ini. "Kalau di buku itu dijelaskan bagaimana?"

"Bertemunya sel telur dan sel sperma. Tapi tidak dijelaskan bagaimana mereka bertemu. Padahal sperma itu diproduksi di tubuh laki-laki, sedangkan sel telur di dalam tubuh perempuan."

"Ehm…" Kusakabe berdehm, ia sedikit nervous. Ia harus memperhatikan pemilihan kata untuk menjelaskan kepada anak kecil. Ini adalah bagian dari sex education, ditambah bocah di hadapannya tak memiliki ayah sehingga tak ada yang menjelaskan soal itu. Kusakabe harus menggantikan peran tersebut.

"Nak, kau tahu kan, kalau sudah dewasa, perempuan dan laki-laki akan menikah?" Kusakabe harus memberikan landasan pernikahan lebih dahulu, jangan sampai ia malah memberikan sugesti bocah ini bisa melakukannya dengan gadis manapun sebelum menikah.

"Iya, lalu apa? Apa hubungannya dengan pertanyaanku?" tanya Satoru.

"Kau tahu kan, setelah menikah, biasanya mereka punya anak."

"Ah, souka. Jadi supaya hamil itu harus menikah dulu? Jadi…bertemunya sel telur dan sel sperma itu dengan cara menikah," tapi Satoru jadi berpikir, dia dan Sukuna sudah menikah, tapi tidak terjadi apa-apa saat pernikahan. Bahkan mimpi basah nya saja sudah lewat jauh dari hari pernikahan.

"Hampir tepat, tapi bukan hanya karena menikah hal itu terjadi. Aku hanya sedang menjelaskan bahwa hal ini boleh dilakukan kalau seseorang sudah menikah saja, mengerti?" ucap Kusakabe.

Satoru mengangguk. Itu artinya dia dan Sukuna sudah boleh, pikirnya.

"Ehm, jadi begini," Kusakabe meraih buku di tangan Satoru dan membukanya ke bagian alat reproduksi. Ia menunjuk gambar alat reproduksi pria. "Kau sudah baca sampai sini kan? Kau tahu ini apa?"

Satoru mengangguk.

"Jadi sel sperma kan diproduksi di bagian ini, lalu disalurkan lewat bagian ini, akan keluar lewat lubang di ujung kemaluanmu."

Satoru kembali mengangguk tanda menyimak.

"Sedangkan sel telur wanita diproduksi di dalam sini," Kusakabe menunjuk gambar sistem reproduksi wanita. "Berbeda dengan lelaki, sel telur tidak dikeluarkan lewat lubang mereka, tapi hanya dilepaskan saja, dan akan menempel di sini. Nah, menurutmu bagaimana cara agar sperma ini, bisa bertemu dengan sel telur itu."

"..." Satoru mengamati sesaat. "Masukkan…ke…lubang wanita?"

"Benar."

"...ehhh? Seriusan?" Satoru menatap sangsi dan tak percaya.

"Ya memang begitu. Makanya kan kubilang hanya dilakukan oleh orang yang sudah menikah. Itu yang mereka lakukan untuk membuat bayi."

"Tapi bagaimana caranya? Bukannya susah ya?"

Kusakabe memijit pelan keningnya. "Umm…begini. Ettoo…ah, ya, kalau kau baru bangun tidur, punyamu biasanya tegak kan, kaku begitu?"

"..." Satoru terdiam lalu berubah ekspresi seolah mengerti. "Ah, iya benar. Jadi kaku begitu. Oooh, benar juga ya. Kalau dalam posisi kaku begitu bisa dimasukkan."

"Y-a…begitulah…" ucap Kusakabe. Ia merasa berdosa menjelaskan itu pada anak-anak. Tapi ini edukasi. Edukasi! Batinnya kukuh.

"Hmm, baiklah, sepertinya aku sudah mengerti. Arigatou Sensei," ucap Satoru.

"Begitu? Baguslah. Tapi ingat, hanya dilakukan dengan orang yang sudah kau nikahi oke. Jangan sembarangan," Kusakabe memperingatkan.

"Iya, aku menger–..."

"Kusakabe-Sensei," seseorang menyapa. Seorang pria berjenggot serta berkumis menghampiri. "Kau di sini rupanya."

"Oh, Yaga-gakuchou, iya, saya sedang mengerjakan tugas dari sekolah juga ini," balas Kusakabe.

"Hm?" Yaga menoleh pada bocah di hadapan Kusakabe. Ia tampak terkejut begitu melihat Satoru. "Bukankah kau putra keluarga Gojo?"

Satoru terbelalak begitu mendengar nama itu.

"Kau selamat dari tragedi ma–...hei," ucapan Yaga terhenti karena Satoru sudah berlari pergi dari tempat itu.

"Keluarga Gojo?" tanya Kusakabe. "Keluarga bangsawan yang seluruh anggotanya meninggal dalam satu malam itu? Bersama seluruh penduduk desa?"

"Ya, aku yakin. Aku hanya pernah melihatnya sekali, tapi putra keluarga Gojo itu penampilannya unik. Ia memiliki rambut putih semenjak lahir, dan mata biru cemerlang. Banyak yang mengatakan matanya itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Sehingga banyak yang berspekulasi apakah malam tragedi itu adalah ulahnya."

"Ulah bocah…sekecil itu?" Kusakabe menatap tak percaya. "Tidak mungkin…anak sepolos itu…"

"Ya, mungkin saja bukan, mungkin hanya kecelakaan. Jika benar mata itu memiliki kekuatan yang luar biasa, ada kemungkinan dia hanya belum bisa mengendalikannya saja. Dan tanpa sengaja menyebabkan kecelakan, dan tragedi malam itu. Setelahnya dia menghilang karena ketakutan, dan bersembunyi sampai sekarang. Jadi pantas jika dia tadi langsung kabur begitu tahu ada yang mengenalinya."

Kusakabe mengacak rambutnya sendiri. Pantas saja…pikirnya. Tadi bocah itu batal saat mau menyebutkan nama. Dan karena tragedi malam itu, bocah itu tak memiliki ayah lagi, dan sekarang harus pergi ke perpustakaan untuk mencari tahu apa yang terjadi pada tubuhnya ketika memasuki masa pubertas.

"Tapi tak kusangka dia masih hidup. Sejak berita dia menghilang tiga tahun lalu, orang-orang menyangka bahwa dia sudah meninggal," ucap Yaga. "Apa kita harus melapor supaya anggota bangsawan lain mengadopsinya?"

"Tidak perlu," ucap Kusakabe dengan senyuman tipis. "Kau juga lihat tadi kan Yaga-san. Pakaiannya layak, dia juga tampak sehat. Dengan siapapun dia sekarang, kurasa hidupnya baik-baik saja kini. Dan melihatnya kabur begitu tahu ada yang mengenali, mungkin dia memang lebih memilih kehidupannya yang sekarang."

"...begitu," ucap Yaga pada akhirnya.

.

.

Satoru sedikit terengah. Ia lumayan tegang juga dengan kejadian tadi, tapi sudahlah. Ia putuskan ia tak akan pernah kembali lagi ke sana. Ia menatap buku yang ada di tangannya, ikut terbawa karena panik tadi.

"Ya sudahlah, buatku saja," ucapnya. Ia berada di hutan pinggiran kota kini. Ia melihat ke sekeliling, setelah yakin tak ada yang melihat, ia teleport kembali ke istana Sukuna. Ia menuju kamarnya, ia sembunyikan buku itu di dalam laci meja. Setelahnya ia pergi ke ruang kerja Sukuna, mau merusuh seperti biasa.

"Sukunaaa…" panggilnya dan seenak jidat membuka pintu geser ruang kerja Sukuna.

"Hmm?" Seperti biasa Sukuna ada di meja kerja nya. "Sudah kembali? Cepat sekali. Kupikir mau seharian di sana."

"Nggak, sudah cukup kok," Satoru nemplok di punggung Sukuna, memeluk lehernya dari belakang. Kakinya bergelantung ke bawah, ia bahkan tak bisa menyentuh tatami ketika sedang naik ke pundak Sukuna yang sedang duduk begitu. "Kau ini kerja terus, nggak capek apa."

"..." Sukuna menghentikan pekerjaannya, lalu dengan dua tangan meraih tubuh Satoru dan membawanya ke depan tubuhnya. "Kau mau aku melakukan sesuatu bersamamu? Pergi jalan-jalan?"

"Hmng…" Satoru tampak berpikir. "Nggak deh," ucapnya. Bocah itu lalu melepaskan diri dari tangan Sukuna dan berlarian mengitari ruangan besar itu. Sukuna lanjut kerja. Setelah merasa cukup, Satoru membuka pintu geser yang menuju beranda samping. Ia merengut karena yang bisa dia lihat hanya kegelapan. Di sana dia mengetahui siang dan malam, tapi pemandangan di luar sama sekali tak berubah.

"Sukuna, aku mau ganti pemandangan dong. Taman atau apa begitu. Terus pemandangannya kalau siang ya siang, kalau malam ya malam. Begitu."

"Heeeh, mendokuse," Sukuna menghela nafas malas, tapi ia lalu menjentikkan jarinya dan pemandangan di luar seketika berubah.

"Uwaah, haha," tawa Satoru senang. Ia segera keluar ruangan. Sudah ada halaman dengan rumput hijau di sana. Juga pohon-pohon besar, tanaman bunga, kupu-kupu beterbangan, juga burung-burung berkicau. Satoru berlarian mengejar serangga yang ada di sana.

Taman itu dibatasi tanaman bunga yang tertata rapi seperti pagar, di balik tanaman itu barulah pemandangan gelap seperti sebelumnya. Sepertinya Sukuna hanya memperluas batasan tepi istana nya saja. Yah, tapi tak apa lah. Sudah cukup bagi Satoru.

Ia bermain di sana sampai puas. Ada kucing juga dengan jumlah ekor bermacam-macam, ada juga yang tubuhnya besar sekali. Setelah lelah bermain ia tidur di atas rumput, di bawah naungan pohon besar bersama kucing-kucing tadi.

.

.

Srek…srek…

"Ngh…" suara langkah mendekat membangunkan Satoru. Saat ia membuka mata ia melihat wajah Sukuna yang berdiri di atasnya.

"Bangun, sudah sore. Mandi sana," ucapnya.

"Hmng," Satoru mengusap-usapkan kepalanya ke bulu kucing tempat ia berbaring. Ia duduk, mengamati sekitar. Ya, hari sudah berubah sore. Ia menjulurkan tangannya ke arah Sukuna, minta gendong. Dan Sukuna menuruti itu.

"Mandikan aku," ucap Satoru.

Sukuna menyeringai. "Katanya sudah besar, bisa mandi sendiri."

Satoru memeluk leher Sukuna, mengusap-usapkan kepalanya ke sana. "Nggak papa, kita kan sudah menikah. Suami istri boleh mandi bersama."

"..." Sukuna terdiam, tapi hanya menurut saja. Ia membawa Satoru ke pemandian, membilas tubuh dengan memakai handuk sepinggang, setelah itu masuk ke pemandian. Satoru berenang ke sana kemari di pemandian besar itu, sementara Sukuna hanya duduk di tepian sambil menikmati sake.

"Sukuna, Sukuna," panggil Satoru sambil berenang dengan tubuh terlentang menuju Sukuna.

"Apa?" balas Sukuna.

"Apa mulai sekarang kita bisa tidur satu kamar juga?"

"..." Sukuna terdiam lalu menyeringai. "Apa itu yang kau dapatkan dari datang ke dunia manusia seharian ini?"

Wajah Satoru sedikit memerah. Ia membalik tubuhnya dan berenang mendekat, berdiri di atas paha Sukuna dan dipegangi oleh satu tangan Sukuna supaya tak jatuh.

"Katanya suami istri tidurnya harus satu kamar."

"Begitu? Baiklah, kamar seperti apa yang kau inginkan. Biar kusuruh Uraume menyiapkan."

Satoru menelengkan kepala dengan sebelah alis mengkerut. "Nggak bisa di kamarku atau di kamarmu saja?

"Kamarmu kamar anak-anak, kamarku…bisa dikatakan bukan untuk manusia. Jadi kita harus membuat kamar baru yang sesuai untuk kamar suami istri."

Satoru pun mengangguk senang.

.

.

Sesuai permintaan Satoru, Sukuna membangun satu kamar lagi untuk mereka tempati bersama. Karena kamar ini kamar nyata, jadi butuh beberapa waktu sampai persiapannya selesai, bukan seperti pemandangan halaman yang Satoru minta waktu itu.

"Silahkan tuan," Uraume mempersilahkan.

Sukuna membiarkan Satoru yang membuka pintu, melihat kamar baru mereka.

"Wuaahh…" ucap Satoru takjub. Ia langsung berlarian ke dalam kamar. "Kamarnya luas sekali," ucapnya sambil berkeliling.

Ia melihat sekeliling kamar. Ada penyekat yang bisa dilipat, bisa untuk tempat ganti. Tempat pakaian Satoru juga sudah dipindah ke sana. Ada juga meja besar di salah satu sudut ruangan, dengan rak buku sebagai pembatas di bagian depan sehingga membentuk seperti ruangan.

"Sukuna bisa kerja di sini," ucap Satoru. Ia kembali berlari lagi membuka pintu lainnya. Rupanya ada lorong yang menghubungkan kamar dengan pemandian besar yang biasa mereka pakai.

"Apa ada yang Anda inginkan lagi, Satoru-sama," tanya Uraume.

"Hm, sudah cukup. Ini bagus," balas Satoru. Ia membuka pintu geser di samping, rupanya menghadap ke beranda di mana ada pemandangan taman di luarnya. "Iya, ini bagus. Ah, futon nya bagaimana," ia berjalan lagi ke lemari dengan pintu geser di salah satu sisi ruangan. Ia membuka pintu itu dan melihat sebuah lipatan futon yang sangat besar.

"Uwaaah ini muat untuk Sukuna," ucapnya dan berusaha menarik futon itu tapi tak kuat.

"Iya, untuk Anda dan Sukuna-sama," Uraume membantu Gojo menarik futon itu. "Ada futon kecil juga untuk Anda, tapi barangkali Anda ingin satu futon dengan Sukuna-sama, futon ini pasti muat."

"Begitu ya. Ayo coba bentangkan. Hnggh…" Satoru membentangkan futon itu dibantu Uraume. Ukurannya benar-benar luas. "Uwaah, luas banget," Satoru rebahan di tengah-tengah ambil melebarkan kedua tangan dan kakinya. "Sukuna sini, cobain futon mu."

"Hm," Sukuna menjentikkan jari mengisyaratkan Uraume untuk pergi.

"Saya permisi," Uraume pun meninggalkan ruangan itu.

Sukuna naik ke futon lalu berbaring di samping Satoru. "Kau mau tidur bersama di sini?" tanya nya.

"Hu um," Satoru mengangguk. "Ah, iya, bantal," Satoru bangkit kembali dan mengambil bantal dari lemari. Tapi karena besar, ia sedikit menyeretnya sampai ke futon. Sukuna bantu mengangkat dan menatanya. Satoru lalu mencoba berbaring di bantal itu. Ia terlihat kecil sekali di bantal besar tersebut.

Sukuna berbaring di sampingnya dalam posisi miring dan tangan menopang kepala. Satoru berguling ke samping dan memeluk lengan Sukuna. "Ayo tidur," ucapnya.

"Ya," balas Sukuna dan menaikkan selimut sampai ke dada Satoru. "Oyasumi."

"Oyasumi," balas Satoru dan mulai memejamkan mata.

.

.

"Nn…" keesokan paginya Satoru terbangun. Ia segera duduk dan melongok ke balik selimutnya. Ya, miliknya berdiri tegak seperti biasa. "Sukuna–..." ia menoleh ke samping dan mendapati sudah tak ada Sukuna di sampingnya. Satoru langsung merengut marah.

"Sukunaaaaaaa…!" panggilnya kesal, dan yang datang malah Uraume.

"Ada apa Satoru-sama, sudah bangun kah? Anda mau mandi atau sarapan dulu?" tanya Uraume.

"Sukuna mana!" omel Satoru.

"Sudah pergi, beliau bilang ada urusan."

"Hiihhh, menyebalkan!" kesal Satoru dan dengan langkah dihentak-hentakkan menuju pemandian, meninggalkan Uraume yang hanya bisa bengong melihat kelakuannya.

.

.

Malamnya ia sudah menunggu sambil duduk kesal di atas futon. Setelah selesai dengan pekerjaannya, Sukuna kembali ke kamar hanya untuk mendapati pengantin kecilnya itu tengah ngambek.

"Ada apa?" tanya Sukuna.

"Kenapa kau pergi sebelum aku bangun?"

"Hah? Ya karena kau biasanya bangun siang, aku banyak pekerjaan," ucap Sukuna.

"Nggak mau, pokoknya kau harus di sini saat aku bangun!"

Menghela nafas lelah, Sukuna mengacak rambut Satoru. "Iya iya, baiklah," balas Sukuna. Mereka pun pergi tidur.

.

.

Keesokan paginya, Sukuna menatap Satoru yang masih tertidur lelap. Sekarang bagaimana?

"Hoi, Satoru, aku sudah harus pergi. Kapan kau bangun," ucap Sukuna sambil menoel pipi Satoru.

"Hmngh…" Satoru hanya menggumam tak jelas dan menggeliut pelan.

"Oi, bocah," Sukuna membangunkan sekali lagi.

Satoru membuka mata dan menatap Sukuna yang barusan membangunkannya.

"Ah, akhirnya bangun juga. Aku sudah harus pergi. Jadi kau mau aku bagaimana?" tanya Sukuna.

"..." Satoru masih diam, mengumpulkan nyawa. Ia lalu duduk dan membuka selimutnya, melongok ke bagian bawah tubuhnya. Ia lalu menatap Sukuna dengan raut murka. "Jangan bangunkan aku! Tunggu aku bangun sendiri. Aaaaahhh kau menyebalkan," Satoru mulai tantrum lagi.

"Hei, kau ini kenapa sih. Menyuruhku tak pergi sebelum kau bangun, sudah kuturuti. Sekarang kau mau apa lagi?"

"Tapi aku nggak mau dibangunkan, kalau dibangunkan jadi tidak terjadi. Huaaaahh…"

Sukuna makin bingung dibuatnya. "Apanya yang tidak terjadi? Kau ini ngomong yang jelas."

Satoru manyun, tapi lalu duduk menghadap Sukuna meski tatapannya tak menatap raja kutukan itu. "Katanya kalau mau melakukan yang seperti suami istri lakukan, harus dalam keadaan berdiri. Punyaku biasanya berdiri saat bangun tidur. Tapi kalau dipaksa bangun tidur seperti tadi, jadinya punyaku belum bangun."

"..." hening. Sukuna masih mencoba mencerna apa yang bocah ini katakan. Beberapa detik kemudian, setelah Sukuna mengerti, ia tertawa begitu keras. Ia bahkan sampai tengkurap untuk meredam tawa nya.

"A-apa sih! Apanya yang lucu!" omel Satoru, wajahnya memerah karena malu, sementara Sukuna masih saja tertawa.

Untuk waktu yang cukup lama Sukuna masih belum bisa berhenti tertawa. "Cho–... chotto matte… kukuku… hahahaha," ia berusaha berhenti tapi belum bisa. "Ka-kau…hahaha, kau ingin melakukan apa yang suami istri lakukan? Denganku? Kuku…kukuku…hahahaha."

"Memangnya kenapa? Kita sudah menikah kan. Kau bilang sendiri aku pengantinmu."

"Kukuku…hihihi, ahahaha," beberapa saat kemudian barulah Sukuna berhenti tertawa meski masih terkikik kecil. "Baiklah," ucapnya. "Tapi kuberitahu, hal seperti itu justru biasanya dilakukan di malam hari, bukan pagi saat bangun tidur."

"Hah? Bagaimana bisa?"

"Pfftt…" Sukuna bangkit lalu mengacak rambut Satoru. "Sudahlah, tunggu saja malam nanti. Sekarang aku mau pergi dulu. Kerja kerja," ucapnya sambil lalu menuju pemandian.

.

.

Seharian itu Satoru merasa tak sabar untuk menunggu malam. Ia habiskan hari itu di kamar lama nya untuk membaca buku itu lagi. Ia hanya ingin sedikit lebih paham saja, tapi tetap saja, ia tak mengerti karena memang tidak ada penjelasan di buku.

Satoru menatap ke luar kamar di mana pemandangan sudah berubah sore. "Heeh, sudahlah," ucapnya. Ia pun kembali menaruh buku itu dan berganti menuju pemandian untuk membersihkan diri.

.

.

Satoru tak sabar menunggu Sukuna datang. Tapi ia tahu Sukuna biasanya masuk ke kamar malam sekali, ya kecuali di malam-malam tertentu, dia malah tak pulang sama sekali. Tapi semenjak agenda tidur dengan Satoru, Sukuna sepertinya menyesuaikan jam kerja nya supaya bisa berbaring bersama Satoru di kamar itu.

Sraakk…

Satoru menoleh begitu mendengar pintu dibuka. Sukuna muncul dan menyeringai melihat bocah itu menantinya. "Nggak tidur? Ini sudah lewat jam tidur untuk bocah sepertimu."

"Kau nggak lupa yang kau bilang pagi tadi kan," manyun Satoru.

"Kufufuu," ia pun duduk di atas futon yang sudah Satoru gelar, ia lalu membopong Satoru untuk duduk di paha nya. "Beritahu aku dulu semua yang sudah kau pelajari di dunia manusia."

"Kalau laki-laki bisa mengeluarkan sperma, dan perempuan sel telur, itu tandanya mereka sudah bisa menikah dan mau punya anak," jelas Satoru. "Caranya, yang laki-laki memasukkan miliknya ke milik wanita, tapi dilakukan kalau milik laki-laki berdiri. Biasanya punya laki-laki itu berdiri kalau baru bangun tidur."

Sukuna terkikik geli tapi mencoba menahan diri. "Memangnya kau kenapa tiba-tiba ke dunia manusia hanya untuk mencari informasi mengenai hal itu?"

"Aku pernah mimpi aneh. Aku nggak ingat mimpi nya, tapi saat aku bangun, celanaku basah. Bukan oleh pipis loh ya, tapi cairannya warna putih, dan licin begitu."

"Heee souka souka, kau sudah mimpi basah rupanya."

Mata Satoru melebar. "Kau tahu soal mimpi basah?"

Sukuna hanya tertawa kecil. "Jadi, kau mau tahu bagaimana suami istri melakukannya tanpa harus menunggu mimpi basah atau bangun tidur dulu?"

Satoru mengangguk.

"Baiklah, akan kuajari. Belajar baik-baik, bocah."

"Jangan memanggilku bocah terus, aku kan pengantin–...nn…" Satoru terdiam saat lidah di perut Sukuna menjilat lehernya. "...kenapa?" Satoru mengusap lehernya yang basah kini.

"Berhenti bicara dan rasakan saja, oke?" Sukuna membuka obi Satoru dan menyibakkan kimono nya. Ia lanjut menjilat tubuh Satoru dengan lidah besar nya itu.

"Ng…wahh…kau seperti…ahh, kucing," protes Satoru.

"Pfftt…sudah kubilang, berhenti bicara dan rasakan saja," Sukuna melepaskan seluruh pakaian Satoru.

"Hey, apa harus dilepas semua?"

"Geez, kita sudah sering mandi bersama dan aku juga sering membantumu memakai baju. Aku sudah melihat semua tubuhmu."

"Hng…iya sih, tapi untuk apa…nn, uwaahh…" Satoru tersentak saat lidah Sukuna menjilat dada nya, ia merasakan sensasi aneh saat nipple nya dijilat.

"Di sini enak?" tanya Sukuna sambil kembali mengarahkan lidahnya menjilati nipple Satoru.

"Hng…ahh, nn…tidak tahu… rasanya geli, ahh…"

Sukuna menyeringai. "Yakin cuma geli?"

"Hnn…ahh, entah…lah. Aku tidak tahu. Ahh…"

Ibu jari Sukuna ganti menekan-nekan nipple Satoru sementara lidahnya ganti menjilat leher Satoru.

"Hngh…ahh…Su-Sukuna…" Satoru berpegangan ke lidah Sukuna yang besar dan basah itu. "K-kau…nggak berniat memakanku kan?"

"Kukuku apa kumakan saja ya. Kau terlihat lezat," goda Sukuna.

"Hm, mn…" Satoru mendesah ringan. Hingga…"Ahhhh," ia mengerang saat jari Sukuna di tangan yang lain menyentuh kemaluannya.

Sukuna menarik lidahnya kembali ke perut supaya Satoru bisa melihat ke bawah. "Hora, lihat Satoru. Sudah berdiri kan," ucap Sukuna.

Satoru melihat ke bawah dan mendapati penis nya sudah tegak.

"Begini yang kau maksud?" tanya Sukuna.

Satoru mengangguk. "Jadi begini caranya biar berdiri?" tanyanya polos.

Sukuna tersenyum, lalu kembali menjulurkan lidah di perutnya, kali ini mengarahkannya ke kemaluan Satoru.

"Uwaaahhh…" Satoru langsung berteriak. Sukuna menjilati benda itu, membasahinya, dan melakukan gerakan sensual di sana. "Su-Sukuna…Sukuna," panggilnya berulang, tangannya mencengkeram kimono Sukuna untuk berpegangan.

"Kau suka?" tanya Sukuna.

"Mm…mnnn," Satoru mengangguk malu-malu.

"Kuajari satu hal lagi," ucap Sukuna memundurkan lidahnya kembali, ia lalu meraih satu tangan Satoru dan menuntunnya menuju selangkangannya sendiri. "Genggam, lalu lakukan gerakan naik turun."

"Mnn…begini…" Satoru menurut, ia mengocok penisnya sendiri. "Oohh, aaahh," ia mulai mendesah keenakan, tangan satu nya berpegangan erat ke kimono Sukuna. "Hmn…ngghh…ngghh," Ia mengocok semakin cepat merasakan kenikmatan yang baru pertama kali ia rasakan.

"S-Sukuna…ada yang mau keluar, bagaimana ini…ahh…" desahnya.

"Keluarkan saja, lanjutkan gerakan tanganmu sampai keluar. Dan perhatikan baik-baik, jangan menutup mata."

"Hmn, mnh…ngh…ahhh," Satoru menggerakkan tangannya semakin cepat hingga ia tak tahan lagi. "Aaahhh…" ia mendesah kuat saat akhirnya cairan putih keluar dari ujung penisnya.

"I-ini…seperti yang malam itu," ucap Satoru terengah, ia memandangi tangannya yang belepotan sperma.

"Sekarang sudah mengerti bagaimana suami istri melakukannya?" tanya Sukuna. "Bedanya, suami akan memasukkan benda ini ke dalam lubang istrinya. Lalu menggerakkannya sampai cairan ini keluar," tunjuk Sukuna ke penis Satoru.

"Begitu…jadi begitu ya," ucap Satoru lemas, sepertinya lelah sekali.

"Sekarang kau sudah mengerti. Ya sudah, waktunya tidur, pengantinku," goda Sukuna.

"Hm ng," Satoru mengangguk dan berniat bangun, tapi batal. "Tunggu dulu."

"Apa lagi?" tanya Sukuna.

"Kan seperti katamu, ini dilakukan oleh suami istri. Kenapa aku saja yang melakukannya, kau bagaimana?"

Sukuna menghela nafas lelah. "Sudahlah, yang itu lain kali saja. Lagipula aku tidak berminat pada kau yang masih bocah begini. Tunggu sampai kau sedikit lebih besar lagi."

"Argh, tidak mau. Ayo lakukan," rengek Satoru, berusaha membuka obi Sukuna meski tak bisa. "Kau sudah pernah melihat seluruh tubuhku tapi aku belum pernah melihat punyamu. Mandi bersama pun kau selalu memakai handuk untuk menutupinya."

Lagi, Sukuna menghela nafas lelah. "Mendokuse," keluhnya lalu mulai membuka obi nya sendiri. Setelah itu ia membuka kimono nya, memperlihatkan bagian bawah tubuhnya yang seketika membuat Satoru membeku.

Sukuna menyeringai. "Nah, waktunya tidur, suami kecilku," godanya dan menurunkan Satoru dari tubuhnya, kemudian mulai merebahkan diri.

Sementara Satoru masih mematung di tempat, kaku dengan tubuh memutih seperti batu kapur.

Semenjak melihat pemandangan itu, Satoru tak pernah lagi membahas tentang kegiatan suami istri dengan Sukuna.

.

.

.

~To be Continue~

.

Support me on Trakteer : Noisseggra