"Dia imut sekali 'kan, Naruto?"

Seorang wanita dewasa tampak menggendong sesuatu di dalam dekapan kedua lengannya. Itu terlihat seperti anak kecil yang baru berumur satu tahun.

Seorang pria berambut kuning cepak yang berdiri di sampingnya, mengangguk setuju. Lengan kanannya melingkar di pinggul wanita itu, sementara jari tangan kirinya ia gunakan untuk mencolek hidung sang istri.

"Tentu saja … kan kau ibunya, Keqing. Lihat saja nanti saat dia besar, wajah anak kita pasti menurun dari kecantikanmu loh!"

Keqing tersenyum bahagia, kemudian menyenderkan kepalanya ke bahu pria dewasa bernama Naruto tersebut. "Kamu bisa saja~"

Melihat kedua orang tuanya yang bersenda gurau, sang bayi tampak cekikikan dengan suara khas cemprengnya, menganggap itu adalah hal terlucu baginya.

Naruto dan Keqing sedang berada di dekat mercusuar dari Pelabuhan Liyue. Mereka menikmati pemandangan indah matahari sore yang sebentar lagi akan tenggelam.

"Naruto-kun …."

Keduanya menoleh ketika suara itu terdengar oleh Naruto dan Keqing. Mereka bisa melihat perempuan berambut biru yang berdiri tak jauh dari mereka. Wajahnya dipenuhi rasa kekecewaan.

"Oh, Ayaka … lama tak jumpa. Kamu masih di sini, ya?" Keqing yang pertama kali menyapanya. "Kupikir kamu sudah kembali ke Inazuma."

Perempuan bernama Ayaka langsung memicingkan matanya penuh aura permusuhan ke arah wanita itu. "Diam! Aku ingin berbicara dengan Naruto-kun, bukannya dengan kamu."

Keqing tersenyum jahil. "Heeeh~ kalau begitu … aku tidak mengizinkannya," balasnya cepat.

Mendengar hal itu, sontak saja Ayaka menjadi kesal. "A-Apa?! Ini tidak ada hubungannya denganmu, jadi … menepilah!"

"Tentu saja ada. Kamu lupa …? Sekarang, akulah istri Naruto, loh~" Keqing mulai berdiri di depan pria berambut kuning cepak itu. Seringaian kemenangan tak lepas dari bibir ranumnya.

Ayaka semakin dibuat kesal karena kata-kata Keqing.

"Sudahlah, jangan menyulut emosinya terus." Pria itu memegang pundak istrinya, memintanya agar berhenti mengatakan hal-hal aneh.

"Baik, baik~ aku hanya bercanda~" Keqing mengatakannya dengan nada terdengar main-main.

Naruto menatap Ayaka yang terlihat cemburu melihat kemesraannya dengan Keqing. "Aku tidak percaya kamu lebih memilih dia daripada aku, Naruto-kun. Kamu … memang bodoh!"

"Itu lagi …? Aah, kurasa kita sudah membicarakan ini tiga tahun yang lalu, Ayaka-san." Naruto berbicara dengan santai sekali, tak mengindahkan keterkejutan Ayaka. "Aku memilihnya karena aku lebih mencintai Keqing, hanya itu."

"Huh …? '-san', katamu?" Ayaka meremas dada kirinya yang terasa sesak. "Jadi … aku sudah menjadi orang asing bagimu?"

"Begitulah~"

—Itu tadi balasan Keqing. Dia seolah menabur garam di atas luka milik Ayaka.

Tanpa keraguan, Naruto ikut mengangguk. Dengan dirinya masih berdiri di belakang Keqing dan kedua tangan melingkar di pinggul istrinya, ia melanjutkan dengan memberikan kecupan singkat di pipi wanita terkasihnya itu. Keqing yang melihatnya pun tersenyum senang.

.

.

.

.

.

"Eeeennghh~"

Lenguhan panjang itu keluar dari mulut seseorang yang baru terbangun dari tidurnya. Wajahnya masih setengah sadar, rambut ungunya terlihat berantakan, tapi itu semua tak mengurangi sedikitpun poin dari paras cantik miliknya.

Dia adalah Yuheng dari salah satu Liyue Qixing, namanya Keqing.

"Sampai kebawa mimpi …? Aaaah, aku memang menyedihkan," gumam gadis itu pada dirinya sendiri. Ekspresinya berubah murung.


Sepenggal Kisah Petualangan

Summary: Sebagai seorang Pandai Besi Pengelana, tentulah Naruto sering berjumpa dengan berbagai macam tipe orang. Mungkin dia tak bisa menyebutkan nama mereka satu-persatu, namun … jika orang itu memiliki kesan mendalam bagi Naruto, tentulah ia akan bisa terus mengingatnya.

Disclaimer: Genshin Impact milik MihoYo

.

Character: Naruto, Ayaka, Keqing

Rated: T

Genre: Slice of Life, Romance, Comedy(?), Hurt/Comfort

Warning: Alternate Universe, Out of Character, Oneshoot, etc.

.

.

[Fanfic Komisi dari FCI. Dradlos]


Di salah satu area perumahan, arah Barat Daya dari Pelabuhan Liyue, tampak sekali bahwa penghuninya sedang sibuk dengan urusan masing-masing.

Seorang gadis berambut biru model ponytail, tengah semangat mengayunkan bokken miliknya. Pedang kayu di tangannya bergerak menebas dari atas ke bawah, hal itu terus si gadis lakukan berulang kali.

"Ha! Ha! Ha!"

Teriakan penuh semangat bahkan tak lupa ia lantangkan. Banyak peluh mengalir turun di lehernya, ditambah sinar mentari pagi yang mengenainya, hal itu bisa memberikan kesan seksi bagi lelaki manapun yang melihat keadaan Kamisato Ayaka sekarang ini.

Latihan gerakan dasar adalah apa yang selalu Ayaka lakukan setiap harinya. Bahkan, meski dia sudah menjadi ahli pedang pun, gadis itu tetap menyempatkan waktunya melatih ilmu dasar berpedangnya. Baginya, hal mendasar seperti ini adalah sesuatu yang penting untuk terus diasah.

Sementara itu, tak jauh darinya ada seorang pemuda berambut kuning jabrik. Ia dengan teliti melihat setiap sisi dari besi panas merah membara di depannya.

Dengan sebuah benda seperti pencapit di tangan kirinya, pemuda itu memasukkan besi tadi ke tungku besar penuh batu bara. Setelah menunggu beberapa saat, ia mengeluarkan besi tersebut dan menaruhnya di atas meja besi yang lain. Tangan kanannya yang memegang sebuah palu, mulai memukul-mukul besi tadi dengan kekuatan secukupnya. Percikan bunga api pun tercipta dari benturan kedua benda tersebut.

Tank! Tank! Tank!

Proses pembuatan pedangnya tinggal sedikit lagi hampir selesai. Uzumaki Naruto terus mengulangi hal tadi secara teratur.

Ayaka menghentikan gerakannya. Melihat Naruto yang berwajah serius saat menempa senjata, adalah sesuatu yang gadis itu sukai. Ia tak pernah bosan meski sudah setahun melihat kegiatan itu di setiap harinya.

Gadis itu beranjak menuju meja di pekarangan rumah. Di atasnya telah tersedia dua cangkir dan sebuah poci. Ayaka menuangkan teh ke dua cangkir tadi, kemudian memanggil si pemuda, "Naruto-kun, sini istirahat dulu. Bukankah kamu sudah melakukan itu sejak pagi buta?"

Ayaka memang sudah menyeduh teh itu sejak tadi, sembari ia tinggal berlatih sebentar. Ia tahu Naruto selalu bangun lebih awal ketimbang dirinya, tapi bukan berarti karena dia yang malas-malasan.

Mendengar namanya disebut, Naruto pun menoleh. "Ah, iya! Sebentar lagi!"

Dia kembali fokus pada besi tipis itu. Setelah menyelesaikan pukulan keempat, Naruto mengangkat pedang itu hingga setinggi kepalanya. Senyuman puas terlihat jelas memenuhi wajahnya. "Tinggal memolesnya agar menjadi tajam."

Ia meletakkan piringan besi itu, kemudian beranjak mendekati Ayaka. Ia duduk berseberangan darinya.

"Ini, Naruto-kun …."

"Terima kasih, Ayaka."

Ia menerima cangkir yang diulurkan kepadanya. Naruto menyesap minuman teh itu secara perlahan, menikmati rasa manis yang mulai menghangatkan tenggorokannya.

"Fuuuh, enak sekali!"

Senyuman kecil tercipta di wajah gadis itu. Hanya melihat Naruto yang menyukai teh buatannya saja sudah membuat Ayaka senang.

"Ngomong-omong, kamu ingin sarapan dengan apa, Naruto-kun?" tanyanya semangat.

Pemuda itu berpikir sebentar.

"Ehmm, kurasa sesuatu yang mudah dimakan seperti ramen atau mie soba akan bagus …" dia dengan panik, buru-buru melirik ke samping kala mendapat tatapan tajam dari Ayaka, "… tapi pasti kau tidak akan membuatkannya, 'kan? A-Ahaha~"

Si Kamisato Muda bersedekap dada, kedua alisnya saling bertautan. "Sudah kubilang berulang kali, sesuatu seperti itu tidak baik untuk dimakan di pagi hari!"

"Iya, iya, maaf …."

"Fufufu! Tak apa selama kamu paham. Hm, hm~"

Naruto menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal. "Bagaimana kalau masakan dari olahan ikan?"

Ayaka mengangguk senang. "Ikan, kah …? Kebetulan aku tahu resep dari Liyue yang berkaitan dengan bahan masakan itu."

"Ohhh! Pasti enak rasanya, 'kan?" Naruto kini bersemangat. Ia tak sabar mencicipi masakan Ayaka.

Gadis itu berdiri. "Begitulah~ kamu tunggu saja di sini, oke?" Dia kemudian beranjak masuk ke rumah.

Naruto yang ditinggal sendirian pun menengadahkah wajahnya ke atas. Sebelah tangannya mengambil cangkir teh miliknya, dan menyeruputnya. Ia kembali membayangkan masakan seperti apa yang akan dibuat Ayaka.

Belum lama semenjak Ayaka pergi ke belakang, ia tiba-tiba muncul dari balik pintu depan rumah. "Ternyata ikannya sudah habis. Aku akan pergi membelinya dulu, kamu tidak apa-apa menunggu sarapan kita sedikit terlambat, 'kan?"

"Benarkah? Ehm, maaf soal itu. Sepertinya pemasukan kita bulan ini memang lebih sedikit ketimbang bulan kemarin."

Fakta itu sedikit mengganggu isi pikiran Naruto. Dia tahu betul bahwa Liyue memiliki beberapa pengrajin senjata yang sangat mahir. Itulah mengapa para Petualang lebih memilih memperbaiki senjata mereka ke orang yang mereka percayai keahliannya ketimbang dirinya yang masih muda.

Ayaka menggeleng pelan. Dia memberikan senyuman kecil untuk menenangkan pemuda yang disukainya itu. "Kamu tidak perlu khawatir. Aku masih punya sedikit tabungan yang tersisa, kok!"

Itu benar, meski dirinya yang meminta Naruto untuk mengajaknya keluar dari Inazuma, ia tak mau hanya menjadi beban hidupnya. Maka dari itu, terkadang Ayaka pergi ke Guild untuk menerima tugas membasmi monster atau semacamnya agar memiliki penghasilan sendiri, meski tak begitu banyak uang yang ia terima dari pekerjaannya. Putri Sulung Kamisato itu benar-benar bersyukur karena telah memiliki ilmu berpedang yang mumpuni dari pelatihan keluarganya.

Naruto tertegun sebentar, kemudian bertingkah gugup. "Aku jadi merepotkanmu."

"Itu tidak benar~" Ayaka menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri.

"Kalau begitu, aku ke pasar dulu, Naruto-kun."

.

.

—o0o—

.

.

"Padahal kau tidak perlu ikut," gumam Ayaka kepada seseorang di sampingnya.

Naruto yang membawakan keranjang belanjaan Ayaka, menanggapi itu dengan senyuman lebar khas miliknya. "Tidak masalah, 'kan? Toh, kita sudah jarang sekali jalan-jalan begini bersama."

Tadi saat Ayaka sudah setengah jalan menuju Pelabuhan Liyue, ia tiba-tiba mendengar suara Naruto yang memanggilnya. Pemuda itu mengatakan kalau dia ingin menemaninya belanja bahan makanan. Karena tak punya alasan untuk menolak, jadi Ayaka pun tanpa pikir panjang … langsung mengangguk.

"Kamu benar, kita selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Fufufu~" Gadis itu tertawa dengan sebuah kipas menutupi mulutnya. Ayaka ingin sekali momen seperti ini berlangsung selama mungkin, tapi—

"Heiii, tunggu! Kalian tidak sengaja mengabaikanku, 'kan?!"

—ia tahu … bahwa segala keinginannya tidak mungkin berjalan sesuai rencana. Ayaka menoleh ke belakamg dengan perasaan jengkel.

"Apa, sih? Tidak bisakah kamu memberikan waktuku berduaan dengan Naruto-kun, meski hanya sehari saja?"

"Itu tak 'kan pernah terjadi!" balasnya cepat untuk menanggapi ujaran Ayaka.

Yang berjalan di belakang keduanya adalah Keqing. Mereka tak sengaja berpapasan ketika sedang di toko ikan. Sang Yuheng kebetulan berada di Pelabuhan untuk mengecek kapal-kapal yang berlabuh disana.

Naruto mencoba untuk menenangkan keduanya agar tak semakin memanas. Bagaimana pun, di sekitar mereka sedang ada banyak warga berlalu-lalang.

"Kami tidak bermaksud begitu, Keqing-san. Kau tuh yang jalannya lambat," ucap Naruto, membuat Keqing berubah cemberut.

"Itu bukan salahku." Keqing menunjuk tangan kiri Ayaka yang menggenggam tangan kanan Naruto. "Dia saja yang menarikmu agar berjalan cepat!"

Ekspresi pemuda itu untuk sekilas terlihat kebingungan. Ia bahkan tak menyadari cara berjalannya sendiri. "Oh, benarkah?"

Keqing mengangguk mantap. Ia tadi melihat jika Ayaka dan Naruto malah seperti sedang berlari-lari kecil saking cepatnya mereka melangkah.

Setelah cukup dekat dengan keduanya, Keqing menarik tangan Ayaka, berniat melepaskan genggamannya pada tangan Naruto … tapi tak berhasil.

"Cepat lepaskaaaan!"

"Tidak mau~"

Ayaka menjulurkan lidahnya sebagai bentuk ejekan. Itu sungguh membuat Keqing kesal! Dan lagi-lagi … Naruto harus melerai mereka sebelum keadaan makin memburuk.

—Pernah sekali kedua gadis itu berakhir saling mengacungkan pedang masing-masing karena berdebat mengenai sesuatu yang tak ia ketahui, namun untunglah ia berhasil menenangkan Ayaka dan Keqing. Naruto bahkan tak mau membayangkan apa yang akan terjadi jika dirinya terlambat sedikit saja.

"Ayo segera pulang. Perutku sudah keroncongan, nih."

Mendengar Naruto berkata seperti itu, keduanya terdiam bersamaan. Mereka secara patuh menuruti perintah pemuda itu.

Keqing ingin menggandeng tangan kiri Naruto, tapi langsung dicegat Ayaka. Sebagai gantinya, dirinyalah yang menggandeng gadis berambut model telinga kucing tersebut dan menariknya agar tidak dekat-dekat Naruto. Mereka saling bertatapan tajam penuh aura perselisihan.

Melihat keduanya yang malah meninggalkannya, Naruto pun cuma bisa memiringkan kepalanya penuh ekspresi bingung.

'Mereka berdua aneh,' batinnya. Dia segera menyusul, mempercepat langkahnya agar tak ketinggalan Ayaka dan Keqing.

Dalam perjalanan, yang ia dengar hanyalah perdebatan tak penting antara dua gadis muda di depannya. Entah apa lagi yang mereka perbincangkan, Naruto tak begitu mendengarkannya karena sibuk melihat keadaan sekitar. Liyue memang bangsa yang damai.

Orang tua yang masih kuat menjual barang dagangannya, dan anak-anak yang semangat berlarian kesana-kemari. Memandang hal itu membuat Naruto tersenyum tanpa dia sadari.

"Oooh! Bukankah ini Naruto?!"

Tepat ketika mereka bertiga sedang melewati pos terluar dari Pelabuhan Liyue, suara penuh semangat tadi mengagetkan mereka. Yang pertama menoleh ke belakang adalah Naruto—karena namanya lah yang disebut, kemudian diikuti Ayaka dan Keqing.

Tak jauh darinya, berdiri seorang wanita berkulit coklat eksotis. Rambut panjangnya yang berantakan menambahkan kesan garang bagi siapapun yang melihat penampilannya.

Untuk awalnya, Naruto kebingungan kenapa perempuan itu tahu namanya.

"Oi, oi, jangan bilang kau sudah lupa denganku, Sialan!" Meski dengan kata-kata kasar yang ia lontarkan, wajahnya tak lepas dari senyuman senang. Ia menghampiri Naruto dan langsung merangkul pundak pemuda itu.

Ayaka yang melihatnya pun menjadi cemburu. "Uuuuh! Dia lagi …."

Keqing melirik si gadis Kamisato. "Kalian saling kenal?" tanyanya sambil menunjuk perempuan yang terlihat asyik dengan Naruto.

Ayaka mengangguk. "Kami pernah bertemu di desa yang ada di wilayah Padang Pasir. Dan sejujurnya … aku tak menyukainya."

"Hoo~ benarkah?" Keqing menyeringai jahil. "Kau kan memang tidak suka dengan cewek manapun yang mencoba mendekati Naruto."

Ayaka tak mau membahasnya lebih lanjut. Ia hanya menoleh ke samping dengan pipi mengembung. Keqing pun cekikikan melihat tanggapan lucu gadis tersebut.

"Cara bicara dan perilaku sok akrab ini …."

Butuh beberapa detik hingga akhirnya ia bisa mengenali wajah perempuan di dekatnya. Ekspresi Naruto yang aaalnya kesusahan bernapas, langsung berubah cerah seketika. "Ohhhh! Dehya! Aku benar, 'kan?!"

"Akhirnya kau ingat, dasar Sialan!" Wanita garang yang diketahui bernama Dehya mulai tertawa keras. Ia bahkan mengacak-acak rambut Naruto tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Naruto dan Dehya tampak asyik bertukar kata. Setelah cukup lama menunggu, keduanya mulai menghampiri Ayaka dan Keqing. Pemuda itu menjelaskan kedatangan Dehya di Liyue karena mengawal klien-nya yang merupakan murid dari Akademi Sumeru, untuk keperluan penelitiannya di reruntuhan sejarah Liyue. Ia juga mengatakan tentang masalah Dehya yang sedang kesusahan menemukan tempat bermalam untuk dirinya dan klien-nya, padahal mereka akan di Liyue seminggu penuh.

"Karena itulah aku menawarkan mereka untuk tinggal bersama kita! Kau setuju 'kan, Ayaka?" Naruto mengatakan itu dengan penuh semangat.

Sebagai seseorang yang terkenal baik di Inazuma, Ayaka memang sering sekali membantu orang yang kesusahan. Bahkan jika dirinya membenci Dehya sekalipun, ia akan tetal mengulurkan tangannya sebagai bentuk tanda kepedulian sesama manusia. Hanya saja ….

"Tapi, kamu tidak lupa dengan keadaan kita sekarang 'kan, Naruto-kun?" tanyanya, menatap serius wajah Naruto.

Pemuda itu ingin menjawabnya, namun Dehya sudah mendahuluinya. "Ahh, soal itu? Tenang saja, Ayaka, aku dan klien-ku sudah punya dana sendiri untuk makan dan keperluan kami sehari-hari lainnya. Kau tidak usah khawatir."

"…" Si Kamisato Muda tak bersuara.

"Aku juga menawarkan Naruto untuk membantu kalian membayar kekurangan dari rumah sewaan kalian. Apa itu menurutmu cukup?" lanjut Dehya.

Ayaka tampak berpikir sejenak. Jika melihat pemasukan uang mereka berdua sekarang ini, sebenarnya tawaran dari Dehya tak begitu merugikan. Gadis itu pun mengangguk. "Baiklah, semoga kamu dan klien-mu betah, Dehya."

"Lihat, apa kubilang …? Mudah, 'kan?! Wahaha!"

Dehya ikut menanggapi tawa Naruto. "Kau memang yang terbaik, Naruto! Dan … oh ya, kau dulu juga pernah memberiku setengah harga dari perbaikan claymore-ku. Aku sangat berterima kasih!"

Dehya memang tak punya banyak uang kala itu. Pekerjaannya sebagai Eremite sedang sepi. Pertemuan mereka berdua sekitar 6 sampai 7 bulan yang lalu. Kebetulan Naruto saat itu sedang dikepung monster, dan Dehya-lah yang membantunya dengan membantai kawanan monster tadi.

Naruto melambaikan telapak tangannya beberapa kali, bertingkah sok keren. "Itu tidaklah seberapa dengan kau yang sudah menyelamatkan nyawaku, tahu. Jangan sungkan, aku pasti akan membantumu semampuku, Dehya!"

—Bagi Naruto pribadi, ia percaya bahwa segala kebaikan yang dirinya berikan kepada orang lain, pasti akan mendapat balasan yang serupa … entah butuh berapa lama pun waktunya berlalu. Begitulah yang pernah diajarkan Nenek dan Kakeknya dulu sekali.

Melihat mereka makin bicara kemana-mana, Ayaka memutuskan untuk mengambil alih inti perbincangan.

"Ehem. Maaf saja, rumah yang kami sewa tak begitu besar, jadi—" ujar Ayaka tiba-tiba, namun disela oleh yang bersangkutan tanpa merasa bersalah.

Dehya tertawa lebar. "Santai, santai! Aku bisa tidur dimanapun asal bisa digunakan berteduh dari hujan di malam hari."

Ayaka tersenyum kecil mendengarnya. Keqing juga ikutan senang karena permasalahan itu bisa diselesaikan dengan cepat.

"Kalian duluan saja, nanti aku menyusul!"

"Yeah, oke!"

Naruto melambaikan tangannya kepada Dehya yang kembali memasuki gerbang Pelabuhan Liyue. Katanya, ia akan menjemput klien-nya yang masih sibuk mencari-cari penginapan atau semacamnya. Lagipula, lokasi perumahan mereka sudah Dehya ketahui, jadi tak perlu khawatir akan tersesat.

"Ehem! Naruto-kun, lain kali harus kita diskusikan dulu sebelum kamu menawarkan hal seperti itu kepada kenalanmu, oke? Jangan egois."

"Tidak masalah, 'kan? Toh, lusa nanti kita sudah akan melanjutkan perjalanan. Jadi, Dehya dan klien-nya bisa memakai rumah sewaan itu."

"Itu memang benar~ tapi …! Naruto-kun, berbicara tanpa menatap lawan bicaramu … itu tidak sopan, tahu."

Naruto kali ini menoleh ke samping. Ia bisa melihat Ayaka yang sedang bersedekap dada, ekspresinya jelas menunjukkan kemarahan. "Ah, iya … maafkan aku karena sudah egois!"

Melihat Naruto yang membungkuk padanya, yang bisa Ayaka lakukan hanyalah menghela napas. Wajahnya berubah melunak. "Ya sudahlah. Ayo pulang, dan segera sarapan."

Sementara itu, seseorang yang dari tadi memilih untuk tidak ikut pembicaraan, kini mematung diam dengan pandangan fokus terhadap punggung Naruto yang kian menjauh. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Keqing?

'Aku … pasti salah dengar, 'kan? Mereka bilang … sudah akan pergi dari Liyue?' batinnya. Keqing merasa bahwa waktunya bersama mereka berdua terasa begitu singkat.

Dengan tubuh lesu, gadis berambut ungu itu memaksakan dirinya untuk berjalan agar tak ketinggalan Ayaka dan Naruto.

.

.

—o0o—

.

.

Tak! Tak! Tak!

Naruto menatap takjub pada Ayaka dan Keqing yang saling beradu serangan. Suara pedang kayu yang bertabrakan menghiasi suasana siang itu yang sedikit sunyi.

Sudah berlangsung 5 menit semenjak dirinya duduk dan melihat kedua gadis itu melakukan latih tanding. Entah apa alasannya, Naruto tak begitu tahu, karena ketika ia keluar rumah … pertarungan itu sudah lama terjadi.

Karena hanya pedang kayu … jadi tidak masalah membiarkannya, 'kan? Begitulah yang sempat Naruto pikirkan.

Baik tubuh Ayaka maupun Keqing, keduanya dengan luwes menghindari setiap serangan yang datang. Serangan mereka selalu tepat sasaran mengincar titik kelemahan dari lawan masing-masing. Bahkan, tak ada satupun gerakan sia-sia yang mereka keluarkan. Itu jelas membuktikan … bahwa mereka berdua adalah ahli pedang yang sangat cakap.

Tak!

Kedua pedang kayu itu saling bertemu lagi di depan wajah penggunanya. Itu adalah serangan terakhir mereka sebagai penutup dari latih tanding dadakan.

"Otsukare~" ujar Naruto. Ia menyerahkan dua botol wadah minuman yang terbuat dari batang bambu.

Ayaka dan Keqing menerima pemberiannya. Air segar mengalir di tenggorokan mereka, menghapus rasa haus tak tertahankan yang mengganggu mereka kala mengayunkan pedang sejak tadi.

"Kamu kuat sekali, Keqing," ujar Ayaka memujinya dengan tulus.

"Kau juga hebat." Dia baru saja menghabiskan minumannya. Keqing melanjutkan, "Tapi tetap saja, dengan kemampuan seperti itu … bagaimana bisa kau membiarkan Naruto dalam bahaya?!"

Ayaka tak suka mendengarnya, bahkan ia sampai berdecak pelan. "Sudah kubilang, saat itu aku tidak bersama Naruto-kun! Kamu harus diberitahu lewat cara apa baru bisa paham, sih?!"

Naruto menatap Ayaka dan Keqing secara bergantian. "Wow, wow, tahan! Sebenarnya, apa yang kalian bicarakan?"

Mendengar namanya disebut-sebut, tentu saja ia tak bisa diam saja sekarang. Apa ini karena dirinya, dua gadis itu sampai melakukan latih tanding barusan?

Keqing pun mulai menjelaskan mengenai pembicaraannya Naruto dengan wanita bernama Dehya saat di gerbang Pelabuhan Liyue. Ia mendengar bahwa Naruto pernah dikepung oleh monster, jadi dirinya bertanya-tanya … apa yang dilakukan Ayaka padahal mereka saat itu sudah berpetualang bersama, 'kan?

"Makanya … aku sudah menjelaskan padamu berulang kali, Keqing! Kamu bahkan tak mau memercayaiku!"

Ayaka yang selalu bersikap halus ketika berbicara dengan orang seperti apa pun, kini selalu dibuat naik darah jika bertukar kata dengan Keqing. Naruto bahkan bisa menyadari perubahan sifatnya itu.

Pemuda itu memegang sebelah pundak dari masing-masing Ayaka dan Keqing. Ia kemudian menariknya agar mereka sedikit menjauh. "Yah, kalau soal itu … memang murni kesalahanku, sih."

"Eeeh …?!"

Wajah Keqing langsung berubah seketika setelah mendengar balasan itu.

"Aku lupa secara jelasnya bagaimana, tapi memang Ayaka sedang pergi karena mendapat panggilan Guild saat itu. Dia sudah melarangku untuk menjelajahi padang pasir sendirian, tapi aku malah mengabaikannya."

Mendengar penjelasan panjang lebar itu, Keqing tak tahu harus membalasnya seperti apa. Dia merasa bersalah karena sudah mencurigai Ayaka.

Jika Naruto ingat-ingat lagi, saat dirinya memulai perjalanannya sebagai Pandai Besi Pengelana … dirinya sering sekali bertemu monster di setiap perjalanannya. Terkadang dia cuma bisa bersembunyi dan menunggu sampai monster-monster itu pergi, atau malah dirinya melarikan diri dan meninggalkan barang bawaannya begitu saja. Pemuda itu tak tahu berapa banyak pedang tempaannya ataupun barangnya yang hilang karena kecerobohannya. Naruto menertawai dirinya sendiri yang menyedihkan.

Tapi, sudah setahun ini semenjak Ayaka ikut dengannya, ia merasa bahwa kesehariannya mulai terasa berubah sedikit demi sedikit. Ia tak pernah lagi merasa khawatir ketika bertemu dengan monster di perjalanan, karena Ayaka-lah yang akan maju melindunginya. Tidak hanya itu, si Putri Kamisato bahkan sering sekali memasakkan sesuatu untuknya demi menjaga kesehatannya. Dulu saat dirinya sendirian, boro-boro Naruto memikirkan mau makan apa untuk sarapan dan makan malamnya. Ia bisa mengenyangkan perutnya saja sudah bersyukur.

"Huh, memiliki ilmu bertarung memang berguna untuk bertahan hidup di alam liar, ya …," gumamnya sangat pelan pada dirinya sendiri.

Ayaka kebetulan duduk dekat dengan Naruto, jadi ia bisa mendengarnya cukup jelas. "Kamu tertarik …? Aku bisa mengajarimu loh, Naruto-kun!" Gadis itu menjadi semangat. Ia bahkan sampai mengguncang-guncang bahu pemuda itu.

Keqing yang tak mengerti maksud pembicaraan mereka hanya menyimak saja. Ia sedikit penasaran.

"Itu hanya pemikiran sekilas dariku, Ayaka. Lagipula, aku tak punya bakat dengan ilmu berpedang." Naruto kembali menertawakan dirinya.

"Tidak apa-apa 'kan, kalau cuma melatih dasar-dasarnya?" Ayaka berdiri dengan menggenggam pedang kayu di tangan kanannya. Ia memasang kuda-kuda khas dirinya, lalu mengayunkan bokken-nya secara halus dari atas ke bawah. Gadis itu mengulanginya sebanyak tiga kali.

Naruto mengamatinya dengan seksama. 'Memang benar, akan bagus kalau aku punya sedikit kemampuan bertarung. Aku selalu merasa tak enak padanya karena dilindungi melulu ….' Itulah yang dipikirkannya. Ia bangkit dari acara duduknya, dan beranjak mendekati Ayaka.

"Hooo~ jadi, Naruto ingin belajar berpedang, ya?" Mendengar percakapan singkat mereka sudah memberikan kejelasan bagi Keqing. "Kalau begitu, belajar dariku saja. Aku sangat ahli mengajari seorang pemula, loh! He he~"

"Tidak! Karena Naruto-kun akan menjadi kepala klan Kamisato, sudah sepantasnya ia belajar dariku."

Kedua alis Keqing saling bertautan. "Tapi ilmu berpedang dariku sangat cocok sebagai permulaan! Seni berpedang keluargamu sulit dipelajari!" Kali ini, ia mulai menarik lengan kanan Naruto.

Ayaka tak mau kalah. Ia ikut menarik lengan kiri Naruto. "Siapa yang bilang? Dasar-dasar Kamisato Art sangat berfokus pada ketenangan jiwa, itu akan sempurna jika Naruto-kun ingin menerapkannya pada tekniknya dalam menempa senjata!"

Ayaka dan Keqing saling menatap tajam satu sama lain. Percikan listrik permusuhan menjadi penghubung di antara keduanya.

Set!

Naruto memiringkan kepalanya karena mereka berdua tiba-tiba menoleh padanya secara bersamaan.

"Siapa yang ka(m)u pilih, Naruto?! / Naruto-kun?!"

Mereka bahkan berteriak dan menanyakan sesuatu yang sama persis. Pemuda itu menghela napas lelah. "Yang mana saja boleh, lah~ Aku kan hanya ingin belajar dasar-dasarnya saja, bukan secara keseluruhan dari seni berpedang kalian. Haaah!"

Dirinya bukanlah seseorang yang paham secara mendalam mengenai setiap gaya berpedang yang ia lihat. Naruto tak tahu mana yang lebih kuat, ataupun seni berpedang mana yang akan cocok dengan dirinya. Bisa dibilang, meski ia ingin diajari oleh Ayaka dan Keqing … itu semua dirinya anggap hanya sekedar coba-coba.

"Kalau begitu, aku duluan yang akan mengajarimu, Naruto!"

"Seenakmu saja! Naruto-kun pasti ingin belajar dariku lebih dulu, 'kan?"

Entah sudah keberapa kalinya Naruto menghela napas seharian ini. Ia sendiri sudah tak sanggup menghitungnya. "Kalian seperti anak kecil, tahu. Apa kalian tidak capek memperdebatkan hal sepele begini setiap hari?"

"Uhm? Tentu saja tidak."

—Lagi-lagi, Ayaka dan Keqing menjawab dengan perkataan yang sama persis.

Bagi orang lain yang melihat perseteruan dua gadis itu, mereka pasti menganggap bahwa Ayaka dan Keqing hanya ingin memonopoli Naruto untuk diri mereka sendiri. Itulah mengapa tak ada yang mau mengalah sekali pun.

Tapi di mata Naruto, keduanya terlihat seperti dua anak kucing yang bermain-main demi menarik perhatian majikannya.

.

..

.

Naruto baru saja menyelesaikan latihan dasar berpedangnya. Ia tak menyangka akan memakan waktu cukup lama karena Ayaka dan Keqing selalu mencuri waktu bertengkar jika dirinya mengalihkan pandangannya.

"Jadi, kalian akan melanjutkan perjalanan lagi?"

Saat ini hanya ada Keqing dan Naruto, keduanya duduk santai di teras rumah sewaan tersebut. Ayaka kebetulan sedang pergi ke belakang rumah karena ada sesuatu yang harus ia kerjakan.

Naruto melirik gadis itu. Tumben sekali dirinya melihat wajah Keqing yang lesu begini. "Benar, Keqing-san. Aku dan Ayaka sudah membicarakannya, kami akan meninggalkan Liyue dua hari lagi."

Keqing tampak mengulum bibirnya. "Begitu, ya? Aaaa-ah, hari-hariku berikutnya … rasanya pasti akan sepi tanpa ada kalian. Tapi, Ayaka pasti akan senang karena tak ada lagi aku yang akan mengganggu kebersamaan kalian. Hihihi~"

"Yah, meski kalian sering bertengkar karena hal sepele, tapi sebenarnya Ayaka tidak membencimu kok, Keqing-san." Naruto sering mendengarkan curhatan Ayaka saat mereka sedang berduaan di rumah.

"Yang benar?!" balas Keqing cepat.

Naruto mengangguk. "Dia sudah menganggapmu sebagai teman yang sangat akrab, loh. Wahaha!"

Keqing tersenyum kecil. Mengetahui fakta itu sudah membuatnya merasa senang. 'Dasar Ayaka licik. Kalau kamu menganggapku begitu, mana mungkin aku merebut Naruto darimu?' batinnya.

Dan yang lebih membuatnya merasa kesal, Ayaka tak pernah sekalipun menagatakan hal ini padanya secara langsung, bahkan tetap menerima ejekan ataupun sindiran Keqing setiap hari. Yah sejujurnya, kedua gadis itu tetap menikmati momen pertengkaran mereka, sih.

"Tapi, kau tidak usah cemas …"

Perkataan Naruto membangunkan Keqing dari lamunannya.

"… kami suatu saat pasti akan kembali lagi ke sini, kok!"

"Begitu, kah? Aku senang mengenal kalian berdua."

Keqing bangun dari acara duduknya, berdiri di depan Naruto. Pemuda itu bahkan sampai mendongak karena kebingungan dengan tingkah gadis itu, yang entah karena apa malah hanya diam membisu.

Cup~

"Hei, hei, hei! Apa yang kau lakukan?!"

Tentu saja Naruto akan kaget kalau dahinya tiba-tiba dicium begitu. Bahkan terkadang Ayaka yang ingin menciumnya saja masih meminta izin, bukannya langsung srobot begini.

Sayangnya, Keqing tak berniat menjelaskan maksud dari kecupan singkatnya barusan. Ia berjalan mundur, sementara jari telunjuk kirinya ia letakkan di depan bibirnya. "Tolong rahasiakan itu dari Ayaka, oke?"

"Huuuuh?!"

Keqing pergi dari area perumahan itu, meninggalkan berbagai pertanyaan yang berkecamuk di kepala kuning Naruto.

Setelah cukup jauh, gadis itu tiba-tiba berhenti berjalan, dan akhirnya jatuh berjongkok karena otot-otot kakinya melemas. Ia menangkup kedua pipinya yang merona. "A-A-Apa yang baru saja k-kulakukan?! AaaaaAAaaaa …!"

Sekarang dia baru merasa malu karena telah mencium Naruto. Tingkahnya yang seperti itulah yang membuat Keqing terlihat imut, sayangnya … dia jarang melakukannya.

Sang Yuheng teringat mengenai mimpinya pagi ini, tentang dirinya menjadi istri dari Naruto dan mereka memiliki seorang anak perempuan yang imut. Sejujurnya, ia ingin hal itu menjadi kenyataan, namun dia sadar bahwa itu tak mungkin terjadi.

Ia bisa melihat perbedaan ekspresi yang diciptakan Naruto ketika bersamanya dan saat bersama Ayaka. Tingkat kebahagiaan yang dipancarkannya sungguh berbeda.

"Sepertinya karena Naruto sudah mengenal Ayaka lebih lama ketimbang aku. Haaah~"

Keqing merasa bodoh karena tak punya keberanian mengungkapkan isi hatinya kepada pemuda yang disukainya itu. Ia takut jika dirinya ditolak, dan di sisi yang lain … ia tak ingin melihat Ayaka—yang menganggapnya sebagai teman akrabnya—bersedih, persis seperti di dalam mimpinya. Yang bisa dirinya lakukan hanyalah lari dari permasalahannya.

Keqing melanjutkan perjalanannya untuk pulang dengan perasaan campur aduk di dalam hatinya. "Aku … seperti pengecut saja, huh?"

.

.

—o0o—

.

.

"Pasti terjadi sesuatu di antara kalian berdua, 'kan?"

Ayaka menatap tajam Naruto yang menoleh ke samping, seolah menghindari pertanyaannya.

Ia merasa aneh karena Keqing tak kelihatan sejak kemarin. Saat dirinya bertanya pada Dehya pun, wanita itu menjawab kalau memang Keqing tidak ada berkunjung ke rumah mereka. Maka dari itu, Ayaka berasumsi sudah terjadi sesuatu di antara Keqing dan Naruto, tanpa sepengetahuannya.

"Kamu tidak memarahi Keqing, atau apapun itu yang sejenis 'kan, Naruto-kun?" Dia makin gencar melontarkan interogasi kepada si pemuda Uzumaki.

Naruto mengacak-acak rambutnya secara frustrasi. "Aaaah! Sumpah, Ayaka, aku juga tak tahu alasannya karena apa! Dia saat itu langsung pergi begitu saja, jadi aku mana sempat bertanya lebih lanjut!" Ia memasang wajah memelas, meminta Ayaka agar berhenti memelototinya.

"Pokoknya, kita harus bertemu Keqing. Kamu tidak berencana pergi dari Liyue tanpa berpamitan, 'kan?"

Mendengar hal itu, Naruto cuma bisa mengangguk. Lagipula, Keqing sudah banyak membantu mereka selama tiga minggu ini.

Ayaka mengembuskan napas lelah. 'Apa mungkin Naruto-kun menolak perasaan Keqing, sehingga ini yang terjadi?' Gadis itu hanya menerka-nerka saja.

Mereka berjalan cukup lama, hingga akhirnya sampai di depan bangunan megah— tidak bisa dikatakan sebagai rumah. Apa ini istana?! Itulah yang selalu Naruto pikirkan. Tidak peduli berapa kali dirinya berkunjung ke sini, Naruto selalu takjub melihat kekayaan yang dimiliki Keqing.

Ayaka mencoba berbicara dengan kepala pelayan rumah itu, dan setelah beberapa menit menunggu … mereka diizinkan masuk. Kepala pelayan itu tahu bahwa kedua orang ini adalah kenalan dekat dari majikannya.

"Sebenarnya, Nona Keqing sudah melarang saya untuk menerima tamu selama beberapa hari ini, tapi … kami jadi khawatir karena melihat kondisinya makin memburuk."

Sang kepala pelayan menuntun Ayaka dan Naruto ke kamar majikannya.

"Apa terjadi sesuatu pada Keqing?" tanya Ayaka serius.

Pria tua itu menggeleng lemah. "Saya tidak tahu. Beliau terus mengurung diri di kamar selama dua hari ini."

Ini masalah serius, Ayaka bahkan tahu itu. Keqing adalah seseorang yang perfeksionis jika menyangkut pekerjaan, ia pasti mengutamakan hal itu dibanding apapun. Jika gadis itu sampai mengabaikan pekerjaannya … sudah pasti ini tidak normal!

Sang kepala pelayan izin pamit meninggalkan keduanya di depan pintu kamar Keqing.

Ayaka dan Naruto saling bertatapan selama kurang dari tiga detik. Dia maju selangkah, kemudian mengetuk pintunya beberapa kali. "Keqing …, ini aku. Bisa kamu bukakan pintunya?" panggil sang gadis Kamisato dengan lembut.

Hening. Tak ada balasan.

Ia tak menyerah, dan berniat memanggilnya lagi, "Keqing, kamu pasti—"

"Aku tidak tahu siapa kau, tapi kumohon pergilah. Aku sedang tak ingin bicara."

Dari dalam kamar terdengar suara begitu parau. Tentu saja itu Keqing. Seketika saja Ayaka berubah panik, ia bahkan sampai mengguncang bagu Naruto berulang kali.

"Gawat! Ini gawat, Naruto-kun! Kepalanya pasti terbentur sesuatu!"

"Huuh?!" Pemuda itu tak mengerti.

"Soalnya … bagaimana bisa dia tak mengenali suarakuuuu?!" Ayaka bahkan sampai berteriak histeris. Air matanya seolah bisa tumpah kapan saja.

'Malah itu yang kau pikirkan?!' teriak batin Naruto tak percaya. "Ah … soal itu, coba kau tenangkan diri dulu."

Ayaka pun mengikuti instruksinya. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya.

Naruto menatap dalam diam pintu di depannya. Sekarang gantian dirinya yang membujuk Keqing.

Tok, tok, tok….

"Keqing-san, bisa kita bicara sebentar?"

Dia menunggu sampai mendapat balasan. Dan tepat saat menit kelima—

"…. Naruto? Benarkah itu kau?"

Akhirnya! Naruto dan Ayaka saling berpadangan, tersenyum senang.

"Yeah. Apa kau mau membuka pintunya?"

"Hu-um."

Cklek. Kriiiieet~ swuuush!

"Woaah!"

Dia terkejut karena sebuah bayangan keluar dari dalam kamar Keqing, menerjang ke arahnya. Naruto yang tak sanggup menahan dorongan itu pun langsung jatuh terduduk.

"Aku pikir … kau sudah pergi. Apa sekarang kau sudah memilih untuk tinggal di Liyue?"

Naruto tak menyangka jika Keqing akan memeluknya seerat ini. Ia membawa telapak tangannya untuk mengelus pucuk rambut berwarna ungu di hadapannya. "Tidak, keputusanku untuk melanjutkan pengembaraanku tidaklah berubah. Aku ke sini hanya untuk berpamitan denganmu, Keqing-san."

"Tidak … mungkin …?" Keqing secara perlahan melepaskan pelukannya. Wajahnya menunjukkan ekspresi ketidakpercayaan.

"Jika aku sampai berhenti mengembara, berhenti menempa senjata … maka saat itu juga, hidupku sudah tak berarti apa-apa lagi." Wajahnya sangat serius.

Mendengar kata-kata penuh makna dari Naruto, wajah Keqing kini tertunduk. Ia tahu betul cita-cita pemuda itu karena Ayaka pernah menceritakan padanya.

"Jangan berlebihan, Naruto-kun. Kamu ingin Keqing kembali mengurung diri di kamarnya lagi, hm?"

"Ah, Ayaka?"

Gadis itu tersenyum hangat. "Halo~ akhirnya kamu menyadariku."

Naruto menjadi panik. "Bu-Bukan begitu maksudku, Ayaka! Aku … aku hanya—"

Penjelasannya dipotong tanpa persetujuan Naruto. "Dan berhentilah bertingkah sok keren dengan kata-kata tadi. Aku sudah bosan mendengarnya setiap kali kita akan berpamitan dengan seseorang."

Jleb!

Perkataan Ayaka sungguh menusuk perasaan Naruto. Ia merasa semangatnya terjun bebas saat ini, terus turun tanpa bisa dihentikan.

Melihat percakapan singkat dua insan tersebut, Keqing merasa geli sendiri. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menahan ketawanya. "Pfft!"

Karena Keqing sudah bisa tertawa begitu, maka mereka tak perlu khawatir lagi, 'kan? Ayaka dan Naruto merasa tenang sekarang.

Si Kamisato muda membantu Keqing berdiri. Ia mengusap pipinya yang masih memiliki bekas air mata. Pasti Keqing sering menangis dua hari ini. "Kamu belum mengatakannya juga pada Naruto- kun, ya?"

Mengerti dengan apa yang dimaksud, Keqing pun mengangguk lemah. Ayaka memang sudah menduganya.

Ia tahu jika Keqing menyukai Naruto, karena Keqing sendiri yang mengatakan itu. Sayangnya, sang Yuheng tak punya keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya secara gamblang. Dia berbeda dengan Ayaka yang berbicara terus terang mengenai perasaannya.

"Dan kamu, Naruto-kun! Apa kamu tak menyadari hal seperti ini?" Telunjuk Ayaka mengarah tepat ke hidung Naruto.

Pemuda itu menoleh ke samping, jari-jarinya menggaruk pipinya dengan gugup. Ia sedikit paham mengenai arah topik perbincangan ini. "Bukannya begitu. Tapi, aku kan harus memikirkan perasaanmu, Ayaka."

Naruto bukanlah idiot yang tak bisa mengamati segala hal di sekitarnya, terutama mengenai pandangan orang terhadap dirinya. Ia bisa langsung tahu saat Ayaka menyukai dirinya bahkan sebelum gadis itu mengungkapkan perasaannya. Dan sama dalam kasus Keqing, gadis itu memberikan perhatian yang berlebihan kepadanya, bagaimanapun kalian melihatnya … itu jelas tak normal.

Akhirnya, Naruto menyadari jika Keqing memiliki perasaan khusus terhadapnya. Namun, pemuda itu sengaja untuk tetap bersikap senormal mungkin. Naruto sudah punya Ayaka, dan ia tak ingin sampai menyakiti perasaannya karena dirinya memilih untuk membuka hatinya pada gadis lain.

Jadi, pemuda itu memutuskan pilihannya, suatu saat kalau Keqing menembaknya … sama seperti yang dilakukan Ayaka, maka dia akan langsung menolak—

"Panggilan Baka-Ruto memang cocok untukmu, Naruto-kun."

Naruto terbangun dari dunia pikirannya. Ia tak mengerti maksud Ayaka.

"Jika itu yang kamu pusingkan, seharusnya kamu mendiskusikannya denganku …." Ayaka tersenyum kecil. "Aku tidak keberatan kok berbagi, asalkan itu dengan Keqing."

Keqing secara patah-patah menoleh ke gadis di sampingnya. Ia tak percaya, Ayaka yang begitu protektif terhadap Naruto, akan mengatakan hal seperti itu. "A-Aya-Ayaka! Kau … paham dengan apa yang kau bicarakan ini …, 'kan?"

Sebelah alisnya terangkat. Dia membalas kata-kata Keqing, "Tentu saja. Apa kamu tidak puas dengan ini?"

Keqing menggeleng cepat. "Bukan begitu! Aku … senang malahan. Terima kasih!" Dia memeluk Ayaka secara erat, dan dibalas balik olehnya.

Ayaka sudah menganggap Keqing sebagai salah satu orang yang berharga baginya. Ketika dirinya di Inazuma, tak banyak orang seumuran dengannya berani mengajaknya berbincang layaknya teman akrab, kecuali Thoma. Itu membuatnya sedikit kesepian.

Lalu, saat dirinya dan Naruto singgah di Liyue, ia bertemu Keqing … seorang gadis yang juga menyukai Naruto, calon suaminya di masa depan. Hari-hari berikutnya, Ayaka selalu merasa kesal, sedih, dan marah jika berurusan dengan Keqing. Tapi entah bagaimana, ia tidak membenci momen pertengkaran kecil itu.

Dia seolah menemukan seseorang yang bisa mengerti dirinya. Bagi Ayaka, Keqing itu terlihat seperti kakak perempuan yang tidak pernah ia miliki.

Naruto menatap kedua gadis itu dengan perasaan campur aduk. Sejujurnya dia senang jika bisa menikahi kedua gadis cantik seperti Ayaka dan Keqing, tapi apa semuanya akan baik-baik saja? Ia paham kalau Ayaka membolehkannya, namun bagaimana dengan pihak keluarga mereka?

"Ayaka, ada banyak risiko jika kita melakukan ini, apa kau sudah memikirkannya baik-baik? Terutama, Ayato-san mungkin …."

"Jika soal Onii-sama, aku bisa meyakinkannya, kok. Bukankah ini akan menjadi alasan bagus untuk menjalin hubungan Inazuma dengan Liyue?" Dia masih memeluk Keqing karena sang Yuheng belum mau melepaskannya.

Naruto kembali angkat suara. "Kau tak akan bisa menarik kata-katamu lagi, paham?"

"Tenang saja. Aku sudah memikirkan ini baik-baik, kok!" Ayaka menjawabnya tanpa ada keraguan sedikitpun.

Naruto tertawa lepas. Yah, ia tak perlu khawatir lagi kalau begini.

Keqing melirik malu-malu ke pemuda itu. "Lalu, bagaimana denganmu sendiri, Naruto? Apa—"

"Tentu saja!"

Naruto tak perlu menunggu perkataan Keqing sampai selesai karena ia sudah tahu kelanjutannya. "Aku menyukai tipe gadis yang pekerja keras dan penuh semangat sepertimu, tahu!"

Kedua pipi Keqing sedikit merona. Ayaka menarik kedua orang di sampingnya sehingga mereka bertiga saling berpelukan.

"Untuk ke depannya, mohon bantuannya!"

Keqing benar-benar bersyukur bertemu Ayaka dan Naruto. Tapi, sekarang Keqing tak perlu khawatir lagi. Bahkan, meski Naruto dan Ayaka meninggalkannya di Liyue sendirian, mereka sudah berjanji akan bertemu kembali. Dan saat itu terjadi, mereka bertiga akan mulai membangun hubungan yang lebih serius … seperti halnya sebuah keluarga.

Selesai


A/N:

Fanfic komisi lagi dari FCI. Dradlos.

Maaf re-publish. Sekian~

.

.

.

Tertanda, [Abidin Ren]. (26/Oktober/2023).