Cahaya yang membawa mereka kembali sama seperti cahaya yang membawa mereka pergi. Tanpa peringatan, apa-apa yang ada di hadapan mereka seakan runtuh dan mereka terperosok ke dalam palung yang begitu dalam. Mereka terjebak dalam dunia yang menyilaukan, sebuah lorong yang sungguh panjang menembus dimensi. Langit yang biru di atas sana mungkin sama seperti langit yang tampak di Cephiro, tetapi sesungguhnya kini Cephiro telah menjadi dunia yang tidak ada lagi di alam di mana mereka hidup. Mereka berhasil kembali ke dunia mereka, Bumi, sesuai dengan keinginan terbesar mereka ketika berada di sana, yaitu: pulang.
Kaki mereka menapak di tempat yang sama di mana mereka bertemu untuk pertama kalinya dahulu dan berakhir terikat satu sama lain dalam takdir sebagai ksatria yang terpanggil dari dunia lain. Mereka berharap segala hal yang menghubungkan antara sesama mereka dan Cephiro akhirnya terputus... Benar-benar berharap sehingga mereka dapat kembali melanjutkan kehidupan seakan-akan yang pernah dialami tidak pernah terjadi: Cephiro tidak ada. Cephiro bukan eksistensi yang nyata. Cephiro hanya mimpi. Cephiro hanya dunia di balik cermin. Cephiro adalah fantasi; fantasi yang mengerikan, hanya mimpi buruk seperti yang pernah dialami semua manusia. Cephiro adalah mimpi yang luar biasa buruk yang bisa dialami manusia... dan itulah sebabnya, bukan, mengapa mereka berurai air mata tanpa mampu menghapusnya?
Semua justru menegaskan ikatan itu! Tangan mereka merengkuh satu sama lain, saling mencari eksistensi yang dapat dijadikan pegangan dan tempat bergantung ketika kaki mereka sendiri tak mampu bertahan menyusul ledakan peristiwa yang menghantam mereka. Mereka terus bertanya, benarkah ini mereka? Benarkah tangan mereka yang melakukan semua itu? Mengapa begitu brutal memaksa mereka tenggelam dalam ketertipuan? Diri mereka masih begitu muda untuk merasakan pedihnya hati yang tercabik lantaran ternodanya tangan karena pernah membunuh jiwa manusia.
Dan ini bukan permainan atau sesederhana yang mereka kira sebelumnya! Air mata mereka tak bisa berhenti mengalir. Mereka, tanpa diri mereka sadari, telah menjadi penjahat terbesar. Keinginan mereka untuk menyelamatkan negeri itu justru berbalik menjadi jalan kehancurannya. Mereka telah melakukan hal yang paling kejam dengan mengakhiri hidup seseorang yang menjadi Pillar negeri Cephiro, Putri Emeraude.
Jeritan, teriakan-teriakan itu masih menggema, terus menggema dalam jiwa. Sedapat mungkin menutup telinga kuat-kuat, tetapi yang ada selalu kesakitan yang semakin dalam. Ketidaktahuan membuahkan penyesalan, tetapi seandainya tahu pun apa yang mampu dilakukan selain hanya membeku? Kekuatan muncul dari keberanian, keberanian muncul dari ketidaktahuan. Bertindak lebih baik daripada diam, membunuh sebelum dibunuh. Bukankah seperti itu? Hukum kehidupan yang kejam menyeret orang-orang dalam tragedi yang sesungguhnya dapat tidak terjadi. Mengapa seperti itu?
Sejak hari itu mereka mengenal apa itu ketakutan, penyesalan mendalam, rasa bersalah, dan dosa yang menghantui. Sejak hari itu pula, mereka sadari bahwa tragedi bukan lagi sekadar cerita seperti di buku-buku, melainkan kenyataan yang tak akan pernah dilupakan, dilepaskan, atau diingkari. Sejak hari itu, mereka tidak lagi bisa menjadi diri mereka yang dulu. Magic knights yang legendaris, Hikaru Shidou, Umi Ryuuzaki dan Fuu Houoji... Tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka dari duka yang mereka rasakan, atas kematian Emeraude, atas diri mereka sendiri...
Dan mereka menangis, berusaha saling menghibur, berpelukan dengan tubuh sama terguncang. Orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar memperhatikan mereka sambil bertanya-tanya. Tiga orang gadis dari tiga sekolah yang berbeda saling berpelukan dan menangis bagaikan tiga sahabat yang lama tidak berjumpa. Menara Tokyo pun menjadi tempat yang penuh kenangan bagi mereka, tempat mereka akhirnya mengerti sesuatu bahwa takdir mereka saling berikatan. Kini selain penderitaan, mereka mengenal satu hal lagi: persahabatan.
Jadi, berapa hari telah berlalu? Hampir satu tahun... mereka benar-benar menghitungnya. Saat ini musim panas sedang semarak-semaraknya, baik karena langitnya yang selalu cerah dan mentari yang bersinar menyenangkan, bunga-bunga di halaman dan kolam-kolam yang bergemericik riang, festival-festival dan turnamen olahraga, maupun suasana dan semangatnya itu sendiri. Mencari-cari waktu di antara kesibukan masing-masing, Hikaru, Umi dan Fuu pun memutuskan untuk bertemu di Menara Tokyo.
Menatap sendu ke kejauhan, sungguh pikirannya tengah mengembara... Hikaru seakan-akan lupa dan tak tersentuh pada apa yang terjadi di sekelilingnya. Keceriaan hari itu di mana orang-orang berceloteh riang, berseru-seru kesenangan karena berada di tempat yang luar biasa menarik, memanggil-manggil keluarga atau teman-teman mereka, menunjuk-nunjuk apa yang terjadi jauh di suatu tempat yang terlihat dari ketinggian lewat teropong pandang, terasa aneh olehnya.
Senyuman sedih di wajahnya sulit dijelaskan. Ia tengah merindukan masa-masa yang lampau ketika ia dapat bergembira sama seperti orang-orang yang dilihatnya. Sejak lama ia tahu, ia bukan lagi bagian dari mereka yang hidup dengan hati ringan. Ia telah menjadi asing dan mengundang pertanyaan bagi orang-orang di dekatnya, kakak-kakak lelaki dan teman-temannya.
Apa yang membuat gadis periang itu berubah menjadi diam? Apa yang tengah dikhawatirkannya atau dipikirkannya dengan sedemikian mendalam? Hikaru menyimpan itu semua untuk dirinya sendiri. Tentu saja, bagaimana bisa ia membaginya bersama orang lain? Siapa yang akan percaya tentang Cephiro, NCephiro bagi dunianya? ... Mungkin, kecuali neneknya yang telah tiada, yang memenuhi masa kecilnya dengan mimpi dan fantasi akan dunia yang tidak ada, dan dua magic knight yang lain yang bersamanya mengalami dunia yang tidak ada itu?
Tapi, ia tidak bisa yakin... Siapa orang yang bersedia membuka luka masa lalu, yang mati-matian disembuhkan, dengan kembali membicarakannya? Ia tahu apa yang terjadi pada masing-masing dari mereka setelah hari itu. Dan ia dihadapkan pada dilema yang luar biasa... Jika ia tidak membicarakannya, bagaimana ia bisa mengakhiri rasa menderita ini? Lebih parah, ia menyeret orang-orang di sekitarnya yang menyayanginya untuk turut merasakan duka karena memikirkan dirinya!
Semua menjadi semakin tak tertahankan. Hikaru benar-benar merasa bersalah karena tak bisa mengatakan apapun pada saudara yang selama ini selalu melindunginya. Ia pun selalu tahu tatapan cemas kedua kakaknya yang lain, Masaru dan Kakeru. Ia benar-benar meminta maaf kepada mereka. Ia kehilangan keyakinan... sampai pada hari ketika kakak laki-lakinya, Satoru mendekatinya dan memberinya sebuah kalimat yang mengakhiri kebimbangannya...
"Kau sulit untuk menceritakan mengapa kau bersedih, bukan? Aku mengerti, karenanya aku tidak akan bertanya... Tetapi, seseorang perlu membuat pilihan. Bertanggungjawablah pada apa yang kau putuskan."
Benar. Aku harus bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi, pikir Hikaru kemudian. Dengan begini, semua akan kembali pada jalurnya yang benar sekalipun mungkin beban karena rasa berdosa ini tetap tak akan terangkat.
"Kau tampak seperti akan menangis..." Hikaru terkejut setengah mati; seseorang tiba-tiba merangkulnya. "Hikaru..." Gadis bermata biru itu tersenyum berusaha menghibur.
"Umi..." Menyusul di belakangnya, "Fuu..."
"Kalau kau menangis, aku juga ingin menangis," lanjut Umi sambil mengguncang bahu Hikaru.
"Kalian datang..." Hikaru merasa terharu. Ia pantas merasa pesimis jika kedua sahabatnya memilih untuk melupakan masalah ini dan tidak menjawabnya.
"Kau tidak sendirian, Hikaru. Bukan hanya kau yang bersedih dan mengkhawatirkan Cephiro... Aku juga." Umi memeluk Hikaru dan menepuk-nepuk punggungnya pelan.
"Aku juga dan aku pun merasa aku harus membicarakannya dengan orang-orang yang bisa memahaminya, untuk menyelesaikannya." Fuu memandang kedua temannya. "Kalian. Aku sangat ingin bertemu kalian, tetapi aku tak punya keberanian untuk memulainya. Karena itu, terima kasih, Hikaru..."
"Fuu..."
"Benar-benar berat bagiku menyimpan ini semua sendirian. Kita mengalami hal yang sama, sekalipun itu berupa duka... Kita saling memahami hal yang tidak bisa dipahami oleh orang lain, sekalipun mereka adalah keluarga kita. Sejak di Cephiro, kalian telah menjadi orang yang penting bagiku. Kakak perempuanku, Kuu, mendorongku untuk menemui kalian. Karenanya, tekadku muncul..."
Umi mendesah. "Hidupku kacau ketika aku tak bisa memutuskan apa-apa untuk memperbaiki keadaan ini. Orangtuaku sangat mengkhawatirkanku. Aku tak bisa lebih lama lagi membuat mereka seperti itu. Andai ini persoalan cinta biasa, seperti yang mereka kira... aku akan merasa jauh lebih baik. Tapi, ini bukan."
"Aku terus bermimpi tentang Cephiro," kata Hikaru memecah keheningan di antara mereka. Umi dan Fuu mendengarkannya, tercenung. "Dunia di mana kita terpanggil sebagai penyelamatnya... Gunung api, lautan, dan daratan yang melayang di udara... Dunia yang dilindungi oleh Sang Pillar... Lalu, pertempuran yang kita pikir akan mengembalikan segala sesuatu pada tempatnya..." Hikaru memandang kedua tangannya seakan-akan ada yang mengerikan di sana. Seakan-akan ada pisau yang menusuk jantungnya.
"... Putri Emeraude, Sang Pillar yang memelihara kedamaian Cephiro dengan hatinya... Tapi, dengan tangan ini... kita..." Hikaru tak bisa mengatakannya lagi. "Aku selalu hanya berpikir bahwa menjadi magic knight akan menjadikan kita pahlawan... Tapi, aku melewatkan satu hal penting. Aku tidak tahu mengapa Zagato menyababkan pertempuran itu atau mengapa Putri Emeraude melakukan semua itu... Itu kesalahan besar."
"Aku pun tidak," kata Umi mengatakan hal yang sama menyakitkannya. "Di awal aku justru selalu ingin pulang. Kemudian aku menguasai magic dan memperoleh senjata... Kita berpikir kita sedang menolong Putri Emeraude dan rakyat Cephiro..."
"Dunia itu seperti hanya permainan, tetapi begitu nyata dan yang terjadi tidak sekadar pertarungan antara yang baik dan yang buruk... Pertempuran yang sangat kejam. Kita mengikuti kata hati kita, tetapi kita justru menyebabkan tragedi." Fuu pun terdiam.
"Rasanya seperti musuh dalam permainan itu adalah musuh kita, bukan? Kita adalah pahlawan dalam permainan, tetapi musuh kita memandang kita sebagai penjahat..."
"Karena itu aku membuat keputusan." Umi dan Fuu menoleh pada Hikaru, memandangnya dengan tatapan penuh tanya, lalu sangat terkejut. "Aku ingin pergi kembali ke Cephiro."
