Maki belum lama mengenal Yuta. Pemuda canggung nan kikuk itu benar-benar mengganggu pikirannya selama beberapa bulan terakhir. Terukir jelas dalam benaknya setiap gerak-gerik sang lelaki bersurai hitam. Ia merekam jelas bagaimana tingkah Yuta ketika pertama kali menjalankan misi bersama, dan saat Yuta menyatakan kekaguman padanya. Cukup lama ia memandangi Yuta dari kejauhan tanpa mengucap sepatah kata.

Setelah mencari Yuta sejak pagi hingga jelang siang sekadar untuk mengucapkan terimakasih pada pemuda itu, akhirnya Maki menemukannya.

Di lapangan basket sekolah Jujutsu High School kota Tokyo, pemuda itu tengah duduk di salah satu bangku, tepat berseberangan dengan posisi Maki yang saat ini tersibukkan oleh pemandangan Yuta yang begitu serius menekuni kegiatannya. Khusyuk membersihkan katana tersayang, mengelapnya hingga mengilap sempurna, Yuta lalu tersenyum bangga. Maki pun ikut tersenyum tipis tanpa sadar.

Yang tak pernah diduga oleh Maki, Yuta secara tak sengaja mengangkat pandangannya, bersitatap dengan sepasang manik milik Maki.

"Maki-san!" Sapanya ceria. Matanya menyipit membentuk bulan sabit, seiring senyum cerah menyertainya. Yuta bergegas membereskan katananya kemudian berlari kecil menuju Maki.

"H-Hai Yuta apa yang sedang kau lakukan disini?," Maki bertanya retoris. Ia bahkan sudah berada di sana selama beberapa menit hanya untuk memerhatikan setiap pergerakan kecil Yuta. Ia berusaha tetap bersikap wajar ketika pemuda itu berdiri di depannya.

"Hanya bersantai... Bagaimana kondisi Maki-san saat ini?" ia menggaruk belakang kepalanya canggung, kemudian melanjutkan, "dan bukankah sebaiknya Maki-san beristirahat di kamar saja sampai pulih."

Kupu-kupu berterbangan dalam perutnya, sontak maki menggigit bibir bawahnya yang gatal ingin tersenyum malu, hingga terasa sedikit sakit hanya demi mengalihkan perasaan aneh di dalam dirinya.

"Sedang bermain peran menjadi Dokter pribadiku, hm? Sejak kapan kau cerewet begini?" Gadis remaja bermarga Zenin itu menaikkan kacamata miliknya. Menampilkan aura tegas sebagaimana seharusnya seorang Maki Zenin bersikap.

Yuta menggeleng pelan, "beberapa hari lalu Maki-san terluka parah karena serangan Geto-san, aku khawatir..."

Maki berdehem kikuk, "jangan khawatirkan aku, bukankah kau juga lelah karena pertarungan itu. Pulang sana," pipinya merona samar, luput dari pandangan mengobservasi Yuta.

Beruntung sekali laki-laki di depannya ini tidak peka soal perasaannya...

"Maki-san, mukamu merah." secepat kata itu dilontarkan, jemari panjang Yuta hinggap di dahinya.

... Astaga Yuta ini benar-benar...

Tanpa diduga tangannya menepis sentuhan lembut Yuta. Baik Yuta dan Maki sama-sama terkejut.

"Ah, maaf... Aku tidak bermaksud buruk pada Maki-san..." Penjelasan Yuta juga terpotong oleh tindakan Maki selanjutnya.

Maki tidak mendengarnya, ia sudah kepalang malu dan berlari keluar lapangan basket tanpa menoleh, untuk saat ini ia sungguh tidak sanggup melihat sosok remaja laki-laki itu. Ia meninggalkan Yuta Okkotsu dalam kebingungannya.

.

.

.

.

.

.

Hari berikutnya, selagi Yuta menghilang, trio Panda, Inumaki dan Maki mengadakan sebuah rapat dadakan di kelas.

"Aw~ Maki-chan sepertinya menyukai Yuta-kuuun~ aku akan mendukungmu sepenuh hatiku~"

"Shake."

Panda dan Inumaki kompak mengacungkan jempol. Sepasang mata dua teman terbaik Maki itu entah kenapa berbinar, sikap mereka kelewat ceria.

"Suka? Ya, dia temanku. Dia sudah menyelamatkan nyawaku, aku berhutang budi padanya."

"Maki, sudahlah~ jangan berpura-pura. Kau pasti tahu 'suka' seperti apa yang kumaksud, hm?" Godaan Panda semakin menjadi-jadi, ia tak peduli meski raut wajah Maki kian kusut.

"Sepertinya aku menyesali keputusanku bercerita pada kalian," ia memijat pelan keningnya, terlihat jelas ketidakyakinannya pada perkataan Panda, "darimana kau tahu ini 'suka' yang seperti 'itu'? Memangnya kau sudah pernah merasakannya?"

"Oh ayolah, kau merasakan kupu-kupu berterbangan di perutmu jika Yuta berada di dekatmu? Merasa seperti senang sekaligus malu setiap kali Yuta memberikan perhatian padamu, apalagi?"

"Tapi bukan berarti aku menyukainya ke arah 'itu'?"

Ada sedikit rasa kesal di hatinya. Bagaimana tidak, untuk pertama kalinya ia merasa ragu akan sesuatu dan itu sungguh mengganggu.

"Ya~ terserah kau saja tapi kalau aku jadi kau, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan, kau punya oppai besar, itu tipe Yuta, dia sendiri yang mengatakannya padaku! Nanti saja terimakasihnya jika kalian sudah berpacaran!" Semangat membara terpancar dalam setiap kata Panda.

"shake!" Sambut Inumaki tak kalah antusias. Mantap sekali anggukan kepalanya.

Yang terdengar berikutnya dari kelas adalah suara gedebuk keras diiringi jeritan koor Panda dan Inumaki.

.

.

.

.

End of Chapter 1