"Kau akan pergi ke Afrika lusa? Bukankah ini terlalu mendadak..."
Jika Yuta peka, mungkin saja pemuda itu dapat mendengar kecewa dalam nada bicaranya.
"Memang, tapi semakin cepat semakin bagus, hanya Miguel yang bisa mengajariku cara mengendalikan kekuatan ini...," ucap Yuta, ia meneguk soft drink kaleng dalam genggamannya.
Maki melakukan hal yang sama, bahkan segarnya minuman di tangannya tidak bisa mengusir rasa sesak di dadanya. Ia menandaskan pelan cairan bersoda itu tanpa bersuara sedikit pun.
Yuta mendengus pasrah, "aku akan sangat merindukan kalian yang di Tokyo... Terutama Inumaki, Panda dan Maki-san...," Ia tersenyum lesu.
Maki menunduk lemas. Ia hanya punya waktu dua hari bersama pemuda yang telah mengisi kekosongan di hatinya.
"... Tapi jika ada waktu libur aku akan pulang mengunjungi kalian..."
Kalimat-kalimat Yuta berikutnya hanya terdengar seperti dengungan lebah, membuatnya tidak sanggup berkonsentrasi pada tujuan awalnya mengajak Yuta berbicara berdua.
Pikirannya kali ini kalut. Bercampur menjadi satu. Ia sedih, kecewa, cemas dan belum apa-apa sudah merasa rindu meski pemuda itu tepat bersisian tanpa jarak. Jemari hangat Yuta tak sengaja menyentuh tangan Maki, menyentakkan Maki kembali pada kenyataan. Untuk pertama kali dalam hidup seorang Maki Zenin merasakan sentimental terhadap situasi seperti ini.
Dulu, hanya Mai yang bisa mengisi kehampaan di dalam dirinya. Satu-satunya saudara, sekaligus sahabat yang menemaninya melewati hari-hari menyakitkan sebagai putri buangan keluarga Zenin.
"Maaf menyela, Yuta bolehkah aku meminta dua hal sebelum kau pergi?"
"Hm?" Dengan polosnya Yuta memiringkan kepala, menunggu Maki menyesaikan ucapannya. Maki refleks mengacak-acak rambut legam Yuta, fokusnya terpecah akibat ekspresi Yuta yang tampak menggemaskan di mata Maki.
Keduanya lalu terdiam. Bertukar tatap selama beberapa detik, sampai akhirnya Yuta berdehem ringan demi menyadarkan Maki.
"Jadi?" Yuta memastikan.
Maki menarik napas panjang kemudian berkata, "pertama, kau tentu harus kembali di manapun kau berada, jangan lupa kita punya janji untuk 'membersihkan' klan Zenin..."
"Aku tidak akan lupa janji itu."
"Dua..."
Gadis itu menggigit bibir bawahnya, oh ayolah kenapa ia tiba-tiba saja ragu.
"Maki-san? Ada apa?" Cemas Yuta mengamati sosok Maki yang akhir-akhir ini tampak bertingkah aneh, berbeda dari biasanya yang selalu bersikap ketus, kini gadis remaja itu menjadi lebih lembut padanya. Aneh tentu saja, tetapi Yuta senang Maki menjadi lebih terbuka padanya.
"Dua... Bisakah kau datang ke suatu tempat nanti malam. Aku belum memikirkan di mana tapi ada hal penting yang ingin kubicarakan berdua..."
"Kenapa tidak sekarang saja?"
"... Ini bukan tempat yang tepat untuk membicarakan hal sepenting itu..."
"Hm... Baiklah."
Maki segera bangkit dari posisinya, melirik sebentar pada Yuta, ia melangkah menjauh sambil melanjutkan, "bukan masalah juga jika kau memilih tidak datang, meski aku berharap kau mau meluangkan waktumu..."
"Hah?? Uh... Ok? Aku akan datang. Kirimkan saja lokasinya di mana ke ponselku," Yuta menggaruk pelan tengkuknya, kebingungan menanggapi ucapan Maki yang tumben sekali bernada labil seperti itu.
.
.
.
.
Ke sekian kalinya Maki melempar dress selutut yang selesai ia coba.
Tidak ada satu pun yang tampak cocok ia kenakan sementara itu 25 menit lagi ia sudah harus sampai duluan ke kafe XX. Maki menggeleng frustrasi, melompat ke tempat tidur hingga menimbulkan bunyi gesekan berdecit antara ranjang single bed dan lantai kamar.
Hanya bertemu Yuta, teman sekelasnya, yang tiap hari ia lihat batang hidungnya kenapa harus semerepotkan ini.
'Makiiiiiii! Buka pintunya!!!'
'SHAKE!'
Dua orang temannya ricuh menggedor pintu kamar Maki.
"Sedang apa kalian di asrama perempuan!" Jeritnya emosi sekaligus heran, ia sama sekali tak berniat membukakan pintu untuk sahabat-sahabat rusuhnya.
'Yuta berangkat hari ini juga, sebaiknya kau cepat-cepat menyusulnya!'
Segera saja ia menyambar jaketnya. Dengan rambut yang masih tergerai bebas tak sempat dikuncir, ia membuka pintu. Ia berusaha untuk tetap tenang.
"Di mana dia sekarang?"
.
.
.
.
End of Chapter 3
.
