"One Night Stand"
Kento Nanami belong to Akutami Gege
NSFW, FRONTAL, DOSA TANGGUNG SENDIRI
.
.
.
"I'll pick you up at 8.30 am, be ready ya," ucap pria bernama Kento di seberang sana. Suaranya agak serak seperti baru bangun tidur.
Aku memang memiliki janji dengan seorang pria hari ini. Aku memutuskan bertemu pria itu walaupun baru mengobrol selama dua jam melalui telepon semalam. Ya, semalam. Kami bertemu tak sengaja melalui aplikasi kencan. Tak banyak pria yang mampu membuat rasa penasaranku tergelitik. Berbeda ketika aku bertemu dengan pria bernama Nanami Kento ini. Ia mengaku bekerja sebagai finance manager di salah satu advokat ternama di kota ini. Kontras dengan segala profil yang ia suguhkan, foto profil telegram pria itu hanyalah sebuah croissant berbentuk keroppi dan secangkir cappucino.
Sisi impulsif diriku menggelitik begitu obrolan kami semakin intens. Caranya berbicara benar-benar menghipnotis, aku menyukai bagaimana ia membawa alur pembicaraan menjadi sangat natural dengan selipan candaan nakal yang malah membuatku tersanjung. Ia pun mampu menjelaskan passionnya dengan detail tanpa intensi menggurui. Berbeda sekali dengan kebanyakan pria dari media daring yang pernah kutemui. Ia betul-betul sopan dan tahu bagaimana cara menyenangkan wanita.
Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Sudah lima belas menit berlalu sejak Kento memberitahuku bahwa ia akan menjemput nanti. Parfum sudah ku semprotkan ke seluruh tubuh, kupakai underwear sepasang yang cantik lalu ku balut dengan dress santai berwarna hijau daun selutut. Tak ada maksud khusus, hanya saja aku suka tampil cantik untuk diri sendiri. Aku menunggu di lobi apartemen tak lama sebab beberapa menit kemudian sebuah mobil sedan hitam bermerek Mercedes Benz seri C200 berhenti di hadapanku. Dari balik jendela yang turun terlihat wajah yang semalam fotonya kulihat sedang tersenyum sembari memintaku masuk ke dalam.
"Sudah menunggu lama?" tanyanya sambil menyetir mobil keluar area apartemenku.
"Ah, engga kok. Baru aja turun. By the way, mau ke mana dulu?"
"Hmm.. sarapan? Mumpung masih pagi, mau sekalian jalan ke galeri seni, nggak?"
"Hmm…" aku bergumam menimbang, "kayaknya sarapan aja deh, weekend gini aku malah pengen santai-santai aja di indoor hahaha".
Kento hanya tertawa renyah mendengar jawabanku kemudian kami melaju menuju tempat sarapan favoritnya. Bubur Ayam Pak Seno namanya. Kami makan di sana sekitar tiga puluh menit sebelum akhirnya ia membawaku menuju tempatnya. Sebuah apartemen mewah di daerah Jakarta Selatan. Kami berbincang ringan sebentar di kafe di lantai satu apartemen tersebut sambil menyeruput espresso hangat yang rasanya tak terlalu manis.
Namun entah mengapa aku berakhir dibawa ke apartemen miliknya. Ia mempersilakan masuk seakan diriku adalah sahabatnya.
"Mau minum apa?" Ia membuka kulkas dan dua kancing kemejanya sehingga urat leher dan dadanya terekspos jelas. Aku sudah melihat tubuhnya melalui foto saat kami trade foto semalam, namun aku tak menyangka melihatnya langsung sungguh menakjubkan.
"Air putih aja, masih pagi kan hahaha," jawabku diikuti Kento yang tersenyum manis dengan kacamata yang sedikit melorot. Ia ikut duduk bersamaku di sofa dengan segelas air putih yang ia suguhkan padaku.
"Benar juga," kuperhatikan wajahnya yang sedang fokus memilih tontonan dari samping, menatap kagum pahatan Tuhan yang maha indah ini. Kento memilih "The Great Gatsby" sebagai santapan mata kami siang ini.
Sepanjang menonton, jujur saja aku tak fokus. Walau matanya terpaku pada layar televisi, tangannya diam-diam melingkar di pinggangku yang sesekali kurasakan jarinya meniti pinggulku perlahan.
Mataku pun… tak mau diam.
Tatapanku naik turun turut meniti tiap detail wajah Kento sampai ke dada bidang pria itu serta menelisik lelahnya yang terpatri di sana dengan kerutan di bawah mata yang justru sangat… atraktif?
"Hei, ngeliatin apa kok serius amat?" ucapannya membuyarkan fokusku, aku gelagapan tak mampu menjawab begitu ketahuan menatap dadanya intens.
"Mau lihat ini?" Kento menunjuk bagian tengah dadanya. Aku pun refleks mengangguk dengan sinar mata antusias diikuti dengan kekehan geli Kento.
"You've got a beautiful body so I couldn't help being curious," pujiku asal supaya tetap terdengar sopan.
"Hahaha bilang dong," Kento berujar santai namun caranya melepas kemeja putihnya justru tidak santai. Ia menggigit bibir seolah kesulitan melucuti kemeja karena ketatnya kain tersebut pada kulitnyaㅡ yang dimana itu sangat seksi di mataku. Dada bidang dan otot perut itu pun terekspos jelas, aku refleks mendekat padanya lalu menyentuh pria itu dengan ujung jemariku. Kento hanya terkekeh geli dengan reaksiku membuat sekujur wajahku memerah karena malu.
"Sebegitu mempesonanya kah saya? Hahaha. Kamu lucu," ucapnya enteng, tawanya ringan khas pria perempat abad. Tangannya menggenggam pergelangan tanganku menuntunku menyentuhnya lebih dalam. Seolah terhipnotis dengan wangi tubuhnya yang semakin menguar di hidungku, aku pun mengikuti alur yang dimainkan pria berkacamata itu.
Tiba-tiba saja kami sudah saling memagut bibir dengan kecupan-kecupan kecil. Sial, masih pagi kok udah cipokan gini. Gerutuku dalam hati. Tapi enggak apa-apa deh, bibirnya manis pahit kena rokok. Sejujurnya nagih.
'Mmch, mmch … ' suara kecupan kami memenuhi ruangan, tanganku meraba lehernya lembut sementara tangan besarnya melepas kaitan braku ketika lidah mulai bermain di mulut. Lidahnya mendorong kasar mulutku, menjilati tiap bagian gigi depan dan langit-langitku. Manis. Manis. Manis. Hanya itu yang bisa kurasakan.
Ciumannya agak kasar dengan gigitan yang kuat seolah ia tak ingin melepas pagutan, sialnya lagi setiap ia menggigit bibirku ia pun mencubit putingku. Memelintirnya seakan memerah sapi.
'Hmmfhh.. Kenth..oh...' desahan lolos begitu Kento memberiku akses untuk bernapas namun itu tak berlangsung lama sebab mulutnya langsung melahap lidahku, menjilati lidahku juga sampai air liur kami menetes kemana-mana. Kujambak rambutnya kuat tiap kali ia menggigit bibir dan mencubit puting payudaraku. Aku memekik dalam cumbuan. Selang sepuluh menit bercumbu Kento pun melepasnya.
Kami saling bertatapan dengan napas yang terengah dan wajah yang memerah sebab oksigen yang kami hirup bergantian saat bercumbu tadi, ia menyeringai dengan mata yang tajam sembari mengusap dagunya yang basah.
"Manis," katanya.
Ia pun kini menindihku, tubuh besarnya menghalangi penerangan sehingga yang terlihat jelas hanyalah wajah tampan dengan rambut pirang berantakannya itu. Kami memagut lagi, kali ini Kento sudah berani menggerayangi tubuhku.
Ia melepas lagi pagutan kami dengan menggigit bibir bawahku kemudian berbisik di telingaku persis.
"Your body is a poetry, I might read it in braille," bisiknya seduktif diikuti dengan gigitan kecil dan jilatan di daun telingaku. Seketika tubuhku merinding bereaksi atas sikapnya yang amat sensual. Aku bergeming tak mampu menjawab, hanya saja kubiarkan bibirnya mencium, menggigit, dan menjilati kulit leher serta rahangku. Aku tak mampu menahan gejolak rangsangannya hingga refleks membasahi celana dalamku.
Kento menggeram begitu hidung mancungnya menyentuh belahan dadaku, kulepas kacamatanya yang mengganggu. Bibirnya sibuk menggigit daging kenyal itu sembari tangannya berusaha mengangkat dressku sampai ke atas payudara.
"Fuck. You're prettier in real life ggrhh mmch," geramnya menggebu, tangan kanannya menyelinap ke dalam celana dalamku yang berwarna hitam. Meremas memekku kencang sementara mulutnya menghisap puncak payudara kiriku. Kurasakan lidahnya menekan putingku, menggigitnya kuat, dan menjilatinya memutar areola.
"Hanggh.. Kenth... G-geli,"
"Hmmch, geli?" Kento terkekeh, bukannya mengurangi rangsangan justru jari tengahnya kini malah menusuk liang kawinku dengan jempol menekan lubang kencingku. Menekannya memutar sementara jarinya terasa menggaruk dinding memekku.
"S-stophh.. geli, hahh.." lenguhku tak mampu menampung kedutan kuat di bawah sana.
"Stop, eh? Udah sebasah ini memeknya masa berhenti?"
Aku tak mau berhenti hanya saja aku malu karena terbawa suasana. Aku menggeleng sebagai jawaban, Kento pun tersenyum seolah ia menerima persetujuan untuk berbuat lebih.
Ia bangkit dari posisinya tanpa melepas jarinya di dalam memekku. Penampilanku pun sudah amat berantakan. Dress yang terangkat ke atas, satu payudaraku yang terekspos, dan keringat mengucur kemana-mana.
"Cantik banget. Saya suka lihat perempuan berantakan karena saya," ucapnya santai sambil mengocok memekku dengan tiga jarinya. Satu tangannya yang menganggur ia pakai membakar batang rokoknya yang ada di mulut. Kocokannya semakin kencang dengan garukan di dinding memek, jempolnya ia pakai mengucek bibir memekku kuat.
"Ahh hnggh! Kento, stophhhㅡ ahh ngilu,"
Seolah tak mendengarku Kento justru mempercepat gerakan mengocoknya. Asap rokok yang menguar dari mulutnya menambah sesak di dada. Mimik wajahnya berubah tak seperti Kento ramah yang kutemui sejam lalu, matanya menatapku tajam tanpa ekspresi.
"Nggak usah jual mahal, saya tau kamu lonte yang seneng dilecehin gini," ucapnya dingin. Dadaku berdegup kencang melihat perubahannya.
Seusai rokok yang ia hisap habis, ia menahan kangkanganku kuat supaya aku tak menutup kakiku. Kocokannya makin kuat dengan tempo yang tak beratur. Aku hanya mampu melenguh merasakan nikmat tiap kali ia menyentuh titik tersensitifku. Kento menampar payudaraku kencang.
"Fffhhㅡ Kento ahhh!" pekikku keras merasakan perih, diikuti pinggulku yang terangkat tinggi-tinggi sebelum akhirnya aku memuncratkan cairan bening keluar. Napasku terengah.
"Hahh... Gila kamu.."
Kento tak menjawab, wajahnya masih dingin. Namun kini kedua tangannya mengunci tanganku ke atas, mengikatnya dengan dasi kuningnya itu.
"H-hei! Mau ngapain?"
"You'll see it later, just enjoy. I know your inner slut would come out if I do things more extreme," ucapnya sembari melucuti seluruh pakaiannya, menyisakan boxer abu-abu. Bulgenya jelas terjiplak di balik celana itu.
Kento mengambil sesuatu dari nakas di samping sofa yang kuketahui adalah sebuah penjepit yang kini menjepit putingku.
"Ah! Sakit!" pria itu tak peduli terbukti dengan dirinya yang kini malah melebarkan kakiku dan mengangkatnya ke atas, melucuti celana dalamku. Ia menunduk menenggelamkan kepalanya di selangkanganku. Kedua tangannya menahan pahaku sementara kurasakan hidungnya menggesek kulit pahaku hingga ke memekku. Napasnya yang hangat berhembus membuat diriku menggelinjang geli.
"Hmmffhh.. memek lonte. Semalam saat kita video call saya sudah terbayang mainin memek kamu," Kento berujar sebelum lidahnya menjilati bagian luar memekku. Menyesap kelentit memekku kuat sementara lidahnya menbelah bibir memekku. Lidahnya dengan lihai keluar masuk liang kewanitaanku menjilatinya bagai ia menjilat es krim.
'sllrrphh..' ia menyedotnya kuat sampai pinggulku refleks terangkat bereaksi atas rangsangannya yang super kuat, mataku setengah terpejam dengan pupil yang naik ke atas. Sial. Lidah hangatnya justru membuatku semakin terbakar meminta lebih terbukti dengan kedua kakiku yang malah mengunci punggungnya.
"Ssh.. hah, Kenー p-pleasehhh stophh..! I might came if you suck my pussy that hARDH!" aku memekik kencang saat ia mengemut bibir memekku kuat dengan dua jari menyodok lubangku paksa. Goddammit this guy won't stop.
Tepat saat aku ingin memuncratkan cairanku, Kento mengangkat kepalanya menyeringai dengan mata sipitnya yang tajam, rambut pirangnya yang berantakan terlihat amat seksi di mataku. Ia menjilat bibirnya yang lengket karena cairanku dengan cara yang angkuh. Aku menatapnya sayu seolah kecewa karena ia berhenti.
"Memeknya udah kedutan, hm?" ujarnya sembari mengocok lagi memekku dengan tempo sedang. Aku menggeleng namun Kento hanya menyambut tawa kecil. Kedua jarinya semakin cepat melesat keluar masuk hingga cairan precumku terlihat muncrat hingga ke sofa. Rasa perih di putingku perlahan hilang berganti kebas akibat jepitan kayu yang ia sematkan sebelum menyiksa kemaluanku.
"Anghh! Hahh.. Kentt..oh..shhh,"
"Does two fingers feel good enough for you, eh, pecun?" kata terakhir yang diucapkan begitu merendahkan untukku namun entah kenapa aku tak keberatan bahkan ingin berbuat lebih dari seorang pelacur di hadapannya.
"I'll give you four," melihat reaksiku pinggulku yang bergoyang naik turun, Kento menambah kocokannya dengan empat jari. Aku tak sanggup lagi sebab dinding memekku terasa menyempit menjempit jari jemarinya yang keluar masuk. Sialnya, jempol besarnya pun ikut menekan lubang kencingku.
"EUNGHH. AHH.. SSTTOPHHーAHH!" lenguhku kuat begitu kenikmatanku berada di puncak. Kento tersenyum puas tanpa memberi jeda, ia kini menanggalkan celana boxer Calvin Kleinnya, membuat kejantannya yang tegak ke atas siap menggempur terlihat jelas.
Good lord. Gede banget itu kontol. Batinku terkejut dengan pemandangan kontol yang cukup besar dan gemuk untuk ukuran pria Asia Timur seperti dia.
Kento masih membiarkan lenganku terkunci, ia membuka lebar lagi pahaku sembari menggesek batang kontol itu membelah memekku.
"Shall we start the real game?"
Mataku terbelalak sebagai respon atas sensasi menyetrum di bagian bibir memek yang terbelah oleh batangnya. Aku menggenggam tangannya yang menekan pahaku supaya tetap terbuka lebar.
"Oh! Ahng.. Kento, mau apa?"
Ucapku lirih saat kepala kontolnya mulai menyentuh dan menyodok liang wanitaku berusaha menerobos pertahanan memek yang menyempit karena kedutan.
"What else?"
Ia terlihat mulai mendorong pinggulnya, aku memekik keras ketika kontol gemuknya kini sepenuhnya berada di dalam liang surgawiku. Ia terlihat menggeram dan membiarkan kejantanannya di dalam beberapa saat. Matanya menatapku tajam tak lama ia menamparku keras saat kutatap balik diriknya dengan sayu dan tak berdaya.
PLAK!
"Who said you could see me in that slutty stare?"
Ia mulai bergerak maju mundur dengan tempo sedang, urat kontolnya yang menyembul karena ereksi terasa tajam menggesek labia memekku yang melar cengap berlendir mengeluarkan cairan. Sensasi tersebut sukses membuatku meracau tak karuan. Di hadapanku Kento terlihat sangat dingin namun frustasi.
"Anjing ggrhgh. Ahhh! Memek lonte b*mble sesempit ini, hah?"
Ia menamparku lagi sembari meludah ke tubuhku layaknya tempat pembuangan. Tak lupa tetekku yang bergoyang baik turun ia remas kuat dan tampar berulang kali menyisakan kulit kemerahan. Ucapan sumpah serapahnya dan racauanku menyatu di ruangan bersamaan dengan senggama kami.
Memekku pun mau tak mau menjepit dan meremas batang gemuk itu saat di dalam. Aku sudah tak peduli dengan harga diriku sebab lendirku tak bisa berbohong.
"Ohngh ahh! Yahh.. hah aku lonte b*mble yang memeknya sempithh, kamu suka, hah?"
Ujarku dengan napas tersengal-sengal. Keringat kami melumuri tubuhku membuat cumbuan terasa lengket dan jorok. Kento dan henti-hentinya menghentak memekku tanpa ampun hingga rasanya pikiranku kosong, hanya ada kontol gemuk pria itu.
Aku meninggikan pinggul merasakan perutku membesar dan mengecil karena kontolnya terasa penuh saat di dalam. Saat ia menyodok palkonnya dalam, aku hampir tak mampu menahan puncaknya.
"Ah! Anjinghh saya mau crot, mau saya hamilin kamu hah hah ffuckhhㅡ!"
Kento menghentak pinggulnya kasar berulang kali sebelum akhirnya kamiㅡ
"AHNGH!"
Orgasme secara bersamaan. Kurasakan benihnya meleleh di dalam sampai pinggulku terasa bergetar. Aku hampir gila karena pikiranku kosong dan hanya ada kehangatan di rahimku. Kami mengambil napas masing-masing sembari merasakan kehangatan masing-masing.
Kento menatapku lagi, meremas pipiku dan berbisik di depan bibirku.
"Ready for another round?"
Fin.
