"Lantis adalah adik Zagato."

Berapa lama percakapan itu telah berlalu, mereka masih dihantui olehnya.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Hikaru dalam bisikan. Pandangan matanya menerawang, langit-langit di atasnya terlihat begitu jauh. Umi dan Fuu berbaring tidur mengapitnya di kanan dan kiri. Dari kejauhan terdengar suara gemuruh. Ia mengetatkan selimutnya...

"Menggelisahkan, bukan?" tanya Fuu pelan. "Hal mengejutkan apa lagi yang bisa kita temui besok?" Ia tertawa miris. "Apa yang harus kita lakukan?"

"Ia tahu kita. Apakah ia akan membalas kita?" tanya Umi. Ia mengkhawatirkan kemungkinan pembalasan dendam ini.

"Jangan memikirkan itu," Hikaru memejamkan matanya, berusaha untuk tidur. Dadanya terasa seperti mau meledak. "Ia menyelamatkan kita." Ia masih berusaha untuk percaya sesuatu. "Ia menyelamatkanku."

"Ia pun menyelamatkan orang Autozam itu. Kau tahu itu..."

"Kita harus waspada... Ia mungkin merencanakan sesuatu yang buruk bagi kita. Ia punya alasannya untuk membalas kita karena..." Fuu tercekat. Sulit mengatakannya. Kita membunuh saudaranya, katanya dalam hati. "Aku ingin tidur..."

...

"Ia meninggalkan Cephiro jauh sebelum kalian dipanggil ke sini. Aku tidak tahu sebabnya. Ketika aku ditunjuk untuk melayani Putri Emeraude sebagai ketua pasukan pelindung Pillar, ia sudah menghilang dari Cephiro." LaFarga bercerita.

"Aku tidak pernah tahu Zagato memiliki saudara sebelumnya," kata Caldina.

"Itu karena kau orang Chizeta," Ascot. "Aku mengenalnya. Ia salah seorang murid terbaik Guru Clef. Guru Clef sendiri yang membesarkan dan mendidiknya. Ia satu-satunya vandarin di Cephiro. Lantis dari klan Cail."

"Mengapa kau begitu membencinya?" tanya Hikaru dengan suara lemah.

"Karena ia meninggalkan Sang Pillar dan membiarkan Zagato membuat kekacauan di Cephiro! Aku tak bisa memaafkannya! Sebagai ketua pasukan penjaga kastil, kini aku pun tepat mencurigainya. Hanya segera setelah Sang Pillar tiada, ia kembali... Dari Autozam."

"Ia akhirnya tertidur..." Umi membelai rambut Hikaru. "Ia tampak begitu kacau."

"Aku tak bisa tidur," kata Fuu sambil bangkit untuk duduk. Ia turun dari ranjangnya dan mengambil pakaiannya. "Mau berjalan-jalan?"

"Ide bagus." Umi mengikuti Fuu. Sebelum keluar dari kamar mereka, ia berbisik pada Mokona yang tidur di samping Hikaru. "Tolong jaga dia untuk kami."

"Puu..." katanya.

Ruang Magic Guru...

"Tinggalkan pekerjaan itu untuk besok..." pinta Clef pada Presea yang begitu serius menekuni bertumpuk-tumpuk perkamen. "Beristirahatlah."

"Andai masih ada besok..."

"Masih ada besok. Cephiro masih dapat bertahan." Clef merebut selembar perkamen dari tangan Presea. Clef tersenyum padanya. "Anak-anak di menara pengajaran akan tertawa jika kau muncul dengan wajah mengantuk besok."

Presea tampak tertekan. "Aku tak bisa beristirahat. Hatiku tidak tenang... Izinkan aku melampiaskan kegelisahankan secara positif. Berikan perkamen itu."

Clef menggeleng. "Kau sungguh keras kepala. Apakah kau masih tidak rela ketiga gadis itu mendapatkan kembali senjata dan kekuatan mereka?" Presea tak menjawab. "Kau tak bisa mengalahkan tekad mereka, Presea." Clef merapikan perkamen-perkamen dan alat tulis di meja. "Mereka sangat percaya pada diri mereka. Tugas kita adalah percaya pada mereka."

"Apakah mengandalkan mereka adalah sesuatu yang benar?" tanya Presea. Ia memandang Clef tepat di matanya. Ia menuntut jawaban.

Clef memutuskan duduk. Ia tidak segera menjawab. "Tidak sepenuhnya benar ataupun salah. Di satu sisi, kita tidak bisa menolak mereka yang bertekad menyelamatkan Cephiro karena kita benar-benar membutuhkan mereka untuk bertahan. Tetapi di sisi lain... Cephiro perlu berjuang demi masa depannya sendiri, untuk membayar kekeliruan cara hidupnya selama ini. Kita harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi."

"Bertanggung jawab? Benarkah sistem Pillar yang selama ini melindungi Cephiro adalah suatu kesalahan?"

"Sistem Pillar tidak melindungi Cephiro," kata Clef membuat Presea terperanjat. "Sistem ini hanya membuai Cephiro dalam tidur panjang dan mimpi-mimpi yang indah. Cephiro tidak bangun sama sekali untuk membangkitkan dirinya. Selama itu berlangsung, Cephiro adalah negeri yang lemah. Seperti orang tidur, kau dapat mencelakakannya kapan saja. Kau mengerti?"

"Memang ini salah," kata Presea dalam, berat mempercayainya. "Tetapi, adakah jalan lain bagi kita?" Dalam sehari, ia telah menanyakan hal yang sama pada dua orang.

"Ada."

"Apa?"

"Dengan menghentikan sistem Pillar..."

"Itu ide berbahaya..."

"...dan tidak mengangkat seorang Pillar lagi."

"Itu pilihan yang ekstrem."

"Di masa lalu, keputusan menegakkan sistem Pillar juga adalah sesuatu yang ekstrem."

"Adakah pilihan yang lain, Clef?"

"Bagiku, tidak ada."

"Kau tak keberatan jika itu berarti mengorbankan hidup satu negeri?"

Clef terdiam. Ia tidak pernah bisa berkata tidak. Ia pun menunduk. "Mungkin kita justru dapat belajar dari kehilangan ini..."

Memecah keheningan yang tercipta, tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Clef dan Presea saling memandang. Siapa?

"Biar aku," kata Presea menawarkan diri untuk membukanya. "Sekalian aku kembali ke tempatku. Kau tidak mengembalikan pekerjaanku."

"Terima kasih."

Clef menunggu beberapa lama sampai akhirnya ia tahu siapa yang datang. Pelan melangkah, Umi hadir di hadapannya. Clef sedikit terkejut. Ia tidak mengharapkan pertemuan di waktu yang selarut ini.

"Umi?"

"Presea mempersilakanku masuk..." kata Umi. "Maafkan aku datang di waktu seperti ini. Bolehkah?"

"Tentu saja." Clef menawarkan sebuah kursi kepada Umi. Umi pun duduk di sana. "Tidakkah kau seharusnya tidur? Kau tidak bisa tidur?"

"Bukan seperti itu." Umi menunduk.

"Jika kau tidak bisa tidur, aku bisa membuatkanmu segelas ramuan untuk membantumu beristirahat..."

"S-sebenarnya... ada satu hal yang..." potong Umi. Ia terlihat gelisah. Ia sebenarnya takut menyampaikan ini. "Ada satu hal yang selalu ingin aku sampaikan. Aku merasa tidak akan bisa tenang... sebelum aku menyelesaikan satu hal... denganmu."

Clef terdiam.

"Aku ingin meminta maaf kepadamu."

"Maaf?" Clef tak mengerti.

"Aku bersalah padamu. Ketika pertama kali datang ke Cephiro, aku tidak sadar betapa pentingnya negeri ini bagimu. Aku tidak medengarkanmu dan justru bersikap memberontak. Aku anak nakal. Aku selalu bertanya, mengapa aku yang dipilih untuk menjadi Magic Knights. Aku tidak sadar betapa menyedihkan pertarungan dan semua yang terjadi... Maafkan aku..." Ia menunduk semakin dalam.

"Umi..." Clef menghentikan Umi dari berbicara lebih banyak. "Kau tidak melakukan kesalahan."

"Huh?" Umi terkejut. Serta-merta ia mengangkat kepalanya.

"Semua orang akan bersikap seperti itu jika dipanggil ke dunia lain dan harus menghadapi persoalan yang sesungguhnya bukan urusannya. Kau tidak perlu meminta maaf. Kau tidak punya alasan untuk meminta maaf," kata Clef mencoba menghiburnya.

"Clef..."

"Ketika kau mengatakan bahwa jiwamu kini bertambah dewasa, aku bahagia mendengarnya. Kesulitan yang kau alami membuatmu menjadi lebih baik. Aku merasa lega, setidaknya keputusan Sang Pillar membawa kalian ke Cephiro tidak sepenuhnya buruk. Andai ada orang yang harus merasa menyesal, tentulah itu aku... Aku membiarkan kalian sendirian menghadapi pertarungan itu."

"Itu tidak benar!" seru Umi tiba-tiba. "Tanpa semua yang kau lakukan, kami tidak akan berkembang sejauh ini. Kau pun memberi kami Mokona yang sangat berguna bagi kami!"

Bukan itu. Apa yang telah aku lakukan kau tidak pernah mengerti, Umi. Clef berubah sedih. Bagaimana semua ini akan berakhir setelah 100 tahun berlalu? Apa yang telah aku lakukan? Akulah yang memulainya lewat kegagalanku dan keyakinan semu bahwa semua berjalan baik-baik saja... Siapa yang akan mengampuniku? Ia pun teringat orang-orang yang pernah menyertainya dan pergi meninggalkannya lebih dahulu. Apakah aku akan kembali mengambil keputusan yang salah?

"Clef..."

Clef pun tersadar dari lamunannya. Umi tampak kebingungan. Ia akhirnya berkata sambil meraih tangan Umi, "Aku akan membuatkanmu ramuan. Kumohon, beristirahatlah... Esok mungkin akan berat."

"Clef... Terima kasih..." kata Umi ragu-ragu. Ia menyaksikan Clef yang bersikap aneh. Sedikit banyak ia merasa khawatir.

Clef menyaksikan Umi pergi. Ia terduduk di kursinya, putus asa. Ia benar-benar bertanya, adakah jalan yang lain? Jalan yang tidak akan menghancurkan Cephiro, tidak juga menghancurkan hati ketiga gadis itu... juga hatinya sendiri. Labirin yang dimasukinya telah menjadi semakin rumit. Mungkin semua ini bukan tentang ada atau tidaknya jalan yang lain itu... Jalan itu memang tidak ada di mana pun!