"Kami melihatnya di luar kastil..."

Caldina berpikir. "Lantis memang lebih banyak menghabiskan waktu di luar sana. Tidak tahu apa yang dikerjakannya."

"Memangnya, bagian mana dari Cephiro yang perlu dikunjunginya?" LaFarga masih terdengar tidak senang.

"Hei, jangan membuat hati gadis-gadis ini menjadi keruh. Kalau kau tidak suka padanya, simpan itu untuk dirimu sendiri." Caldina mencoba menenangkan LaFarga.

"Aku punya alasan untuk tidak menyukainya dan kurasa mereka pun perlu memikirkan kemungkinan terburuk ini. Ia kembali dari Autozam yang menjadi musuh Cephiro. Ia selalu pergi ke luar selama berjam-jam dan ketika kastil diserang, ia tidak ada untuk setidaknya membantu kami padahal ia seorang magic swordsman!"

"Hei, hei..." Caldina memperingatkannya. "Jangan berprasangka buruk. Mungkin ia justru sedang melakukan sesuatu yang baik..."

LaFarga tidak mendengarkan Caldina. "Mungkin ia mata-mata Autozam."

"Tidak!"

...

Hikaru terkejut mendengar suaranya sendiri, ia pun terbangun dari tidurnya, terengah-engah. Benar-benar menjadi mimpi buruk. Potongan percakapan itu terngiang-ngiang di telinganya seakan-akan itu baru saja terjadi. Hikaru tidak merasa tenang dengan tidurnya kali ini. Bagaimana bisa, pengetahuan yang mencemaskan itu sampai memasuki alam mimpinya?

Hikaru mengedip mengantuk, tetapi seketika benar-benar menjadi terjaga. Ia terkejut mengetahui ia sendirian di kamar itu. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. "Umi? Fuu?" Ia merasa takut. "Jangan bercanda, teman-teman. Ke mana kalian pergi? Umi? Fuu?" panggil Hikaru sekali lagi. Ia cepat menutup mulutnya ketika Mokona yang tidur di sampingnya mulai terganggu.

Ragu-ragu dan hati-hati Hikaru turun dari ranjang dan bertukar pakaian... Ia melihat-lihat ke sekelilingnya sambil berpikir, haruskah ia mencari kedua gadis itu? Tidak ada waktu untuk mengepang kembali rambutnya, ia pergi ke luar dengan jantung berdebar. Tidak seharusnya ia menyelinap ke luar di jam seperti ini. Dan kastil terlihat menyeramkan di tengah situasi di mana dunia begitu gelap dan kilat menyambar di mana-mana.

Hikaru berjalan sendirian, mengelana di lorong-lorong kastil yang sepi. Pemandangan Cephiro di luar sana masih sama. Berapa lama semua ini terjadi, sudah berapa lama pemandangan tak berubah selalu gelap seperti ini? Semua orang memang terlindungi dengan adanya mental shield itu... Hikaru memandangnya, pelindung yang menakjubkan itu. Tetapi, siapa yang dapat melindungi hati orang-orang? Perasaan takut itu nyata... Kerentanan yang menjadi penyebabnya juga nyata.

Sangat berat apa yang kami hadapi kali ini... Mencekam... Kehancuran, kematian, akhir dari Cephiro membayangi dan dalam waktu dekat akan terjadi. Orang-orang Cephiro yakin bahwa hanya ada satu jalan yang dapat menyelamatkan mereka. Sang Pillar. Tapi, jika Pillar baru diangkat... tragedi yang sama mungkin akan terulang. Sang Pillar tidak dapat membunuh dirinya sendiri dan sebagai yang terkuat, ia tak terkalahkan. Itulah mengapa ia punya kemampuan untuk memanggil Magic Knights, yaitu untuk membunuh dirinya. Jika Pillar baru diangkat, maka Magic Knights yang lain dapat kembali dipanggil dan mereka akan mengalami mimpi buruk sama.

Haruskah hal menyedihkan ini terulang kembali? Tidak bisakah ini diakhiri? Sungguh ada alasan untuk menghentikan semua ini, bukan? Hikaru memandang ke seluruh kastil di hadapannya. Ia tahu, sejak Pillar tiada, tempat ini dipertahankan oleh kekuatan banyak orang... Mereka bekerja sama untuk melindungi hidup mereka dalam kesempatan paling terakhir yang mereka miliki. Tidak bisakah semangat yang sama digunakan untuk melindungi satu negara? Jika ya, maka... jalan itu ada.

Hikaru memasuki sebuah bilik berdinding kaca yang tak disangkanya merupakan sebuah taman dalam ruangan. Pohon-pohon tumbuh di situ, tanaman-tanaman berdaun lebar serta bunga-bunga menghiasi sudut-sudutnya. Terdengar suara gemericik air, mengalir dalam saluran-saluran berundak-undak, bersumber dari sebuah kolam besar yang dipagari dinding-dinding tinggi berukir berbentuk setengah lingkaran. Kandelar besar yang terbuat dari kristal-kristal cemerlang tergantung di atasnya, memancarkan cahaya hangat seperti matahari.

Tempat itu akan sangat cocok menjadi tempatnya menenangkan diri baginya seandainya orang itu tidak ada di sana. Hikaru terkesiap di ambang pintu kacanya. Ia mencengkeram dinding kuat-kuat, kakinya tiba-tiba menjadi lemah seiring dengan ketakutan yang menyergapnya. Hikaru melangkah mundur. Ia tak bisa bertemu orang itu. Ini akan menjadi mimpi buruk yang lain. Ia merasa harus pergi dari tempat ini. Ia harus pergi...

Pergi?

Langkah Hikaru terhenti dan ia menoleh ke belakang, ke arah Lantis yang begitu jelas di matanya tengah diam memejamkan mata seolah tengah memikirkan sesuatu, duduk bersandar di tepi kolam yang terbuat dari batu pualam. Ia seperti tengah beristirahat. Pemuda itu telah menanggalkan baju besinya, membuatnya terlihat seperti pemuda biasa.

Orang-orang membencinya... Orang-orang curiga padanya, takut padanya. Tapi, hal buruk apa yang telah dilakukannya? Mereka hanya menduga-duga dan tanpa bukti yang kuat memilih percaya pada kemungkinan terburuk. Kami pun ikut berprasangka sekalipun yang sesungguhnya telah berbuat buruk adalah kami, Magic Knights. Kami membunuh saudara laki-lakinya, Zagato...

Jangan pergi... Hikaru menggenggam kedua tangannya yang gemetaran kuat-kuat. Aku punya kesempatan untuk lari, tetapi aku memutuskan kembali. Aku diberi kesempatan untuk berlindung, tetapi aku memutuskan bertarung. Aku bertanggung jawab membawa Umi dan Fuu ke tempat ini. Jika ia memang hendak membalas kami... aku harus melakukan sesuatu untuk mencegahnya.

Hikaru menarik napas dalam-dalam. Ia membalik tubuhnya dan kembali melangkah memasuki taman. Tidak sampai Hikaru dekat, akhirnya Lantis menyadari kehadiran Hikaru. Ia membuka mata, menatap Hikaru dan langkah Hikaru pun terhenti. Hikaru tak berani memandang wajahnya, ia berusaha bersuara, tetapi lehernya terasa tercekat. Ia berusaha memulai dengan kata-kata yang sudah dipilihnya, tetapi sulit...

"Um... m-mereka mengatakan bahwa kau adalah adik Zagato..."

Lantis tak mengerti akan ke mana arah pembicaraan dengan topik menyakitkan ini. Ia tak berharap ada orang yang berani mengganggunya seperti ini. Ia hendak pergi atau sebaliknya mengusir gadis berambut merah ini dari hadapannya. Tetapi, ketika ia menyadari rasa takut dan betapa gadis itu bersusah-payah memberanikan diri untuk muncul dan bicara, Lantis menelan kekesalannya dan memutuskan mendengarkan.

Hening di antara mereka pecah setelah beberapa saat akhirnya Lantis bicara, "Itu benar."

"A-aku... Aku adalah orang yang..." Tiba-tiba Hikaru mengangkat kepalanya dan dengan seluruh keberaniannya ia mengungkapkan apa yang benar-benar ingin dikatakannya. "Kau dapat membalasku jika kau mau! Tidak, tidak. Membalasku saja mungkin tak akan cukup. Lakukan apa saja terhadapku, tetapi aku mohon... jangan menyakiti Umi dan Fuu!

"Aku tahu, aku egois... Umi dan Fuu benar-benar berubah setelah kami kembali ke Tokyo. Aku merasa tertekan dan mereka terus menghiburku. Aku tahu mereka menangis ketika mereka sendiri. Aku tak ingin mereka tersakiti lagi. Jadi, jika kau ingin membalas seseorang, lakukan saja padaku!" Entah mengapa, matanya berkaca-kaca... "Lakukan saja padaku, kumohon..." Cepat-cepat ia menghapus air mata yang tak bisa dibendungnya lagi.

Lantis melihatnya yang terguncang. Ia merasa prihatin. "Kau sangat menyayangi mereka..." Hikaru mengangguk. "Dengarkan. Aku tidak ingin membalasmu atau melakukan apapun terhadap kalian. Kalian, Magic Knights... dipanggil dari dunia lain. Kalian tak tahu apapun. Aku tak punya alasan untuk menyalahkan kalian."

"Tapi, aku...!"

"Kau juga," kata Lantis memotong Hikaru. "Kau juga menangis ketika kau sendirian, bukan? Kau perlu memikirkan kebahagiaanmu sebelum mengkhawatirkan kebahagiaan orang lain."

Hikaru terkesiap. Ia tidak berharap mendengarkan sesuatu yang sesimpatik itu dari Lantis.

Lantis melanjutkan, "Tidak ada alasan bagimu untuk tetap menyalahkan dirimu sendiri atas semua yang terjadi. Jika aku harus menyalahkan sesuatu, satu-satunya hal yang akan aku salahkan adalah Cephiro."

Mendengarkan itu, seketika beban yang selama ini memberati jiwanya terangkat. Dingin seketika sirna menjadi hangat. Tidak tahu dari mana asalnya, ketika ia pun merasakan sesuatu yang terang menyelimuti dirinya. Hikaru dan Lantis menengadah bersamaan, melihat langit-langit kaca di atas kepala mereka.

"Pertama kalinya matahari menerangi Cephiro..." bisik Lantis. Awan gelap tersibak. Terlihat langit biru di baliknya, juga matahari yang menyilaukan... meskipun hanya beberapa saat. "Hari rupanya telah pagi. Bangun Primera. Kita berangkat..."

Hikaru masih terpana pada titik di mana tadi ia melihat matahari untuk pertama kalinya sejak ia berada di Cephiro.

"Tuan... Kau membangunkanku?" Dari tempat yang tersembunyi di taman, terbang menampakkan dirinya, peri Primera dengan mata mengantuk. Begitu melihat Hikaru ada di tempat itu, di samping Lantis, seketika kantuknya hilang. "Tunggu... Apa yang terjadi di sini?!"

Hikaru hendak menyapanya, tetapi Primera menghentikannya dengan jeritan-jeritannya. "Kau kira kau dapat mencuri kekasihku sementara aku tidur?! Lantis adalah milikku!" tegasnya. "Ialah pelindungku ketika hutan tempatku hidup musnah... Oh, dia sangat hebat." Primera tampak merona. Tetapi cepat ia berubah galak kembali. "Jadi! Meskipun aku bertubuh kecil, jangan harap aku akan mengalah dalam persaingan cinta!"

"C-cinta?" Hikaru benar-benar tak mengerti. Ia menatap Lantis, lalu kembali pada Primera.

"Jangan dengarkan dia..." kata Lantis.

"Oh, Tuan Lantis..." Primera merajuk dan terbang ke sana ke mari. Primera kembali pada Hikaru. "Jangan mendekati Tuan Lantis lagi. Kau mengerti?"

Hikaru tak mendengarkannya. Ia melihat Lantis melangkah pergi. "Tunggu," pintanya. Hikaru mengejarnya. "Tunggu..."

"Apa lagi yang kau inginkan?"

"Kau berkata bahwa kau menyalahkan Cephiro... Apakah kau juga berpikir bahwa Sistem Pillar adalah salah?" Lantis terhenti. Dalam ketenangannya, sesungguhnya ia sangat terkejut. "Aku mohon, jawab aku..."

"Aku tak mau... membicarakan itu." Ada sesuatu yang pahit dalam suara Lantis.

"Kau akan ke mana?"

"Bukan urusanmu." Lantis benar-benar pergi sekarang. Hikaru mengejarnya, Lantis sudah memanggil kuda sihirnya dan naik ke punggungnya.

"Tunggu! Tidakkah kau peduli? Orang-orang mencurigaimu... Tidakkah kau ingin menjadikan segala sesuatunya jelas? Katakan, ke mana kau pergi? Kau bukan mata-mata Autozam, bukan?"

Lantis tak menjawab. Dari lubang besar yang ada di langit-langit, ia melesat pergi. Hikaru terpaku di tempatnya berdiri. Ia berbicara sekeras mungkin agar Lantis bisa mendengarnya. "Kau memintaku untuk memikirkan kebahagiaanku sendiri. Mengapa kau tak peduli bahkan pada dirimu sendiri? Apa yang kau kejar sehingga kau tak peduli pada dirimu sendiri?" Lantis telah jauh. "Tidak bisakah kita menjadi teman?" tanya Hikaru kepada udara kosong.

"Tidakkah kau peduli? Orang-orang mencurigaimu... Tidakkah kau ingin menjadikan segala sesuatunya jelas? Katakan, ke mana kau pergi? Kau bukan mata-mata Autozam, bukan?"

Lantis tahu, tak benar rasanya meninggalkan gadis itu seperti itu, tetapi ia tak ingin membicarakan apa-apa lagi. Ia dikejar oleh waktu, ia harus menyelesaikan sebuah misi yang teramat penting. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain, termasuk dirinya sendiri... Tetapi, gadis itu sungguh mengatakan sesuatu yang aneh... Apa yang ia tahu tentang Sistem Pillar?

"Tuan..." panggil Primera. Ia menatap ke bawah, ke arah kastil yang tampak mungil di matanya. Hikaru masih ada di sana, ia bisa melihatnya dengan penglihatannya yang tajam. "Gadis aneh... Ia masih ada di sana."

Lantis diam. Di hadapannya terlihat tiga jalan cahaya yang dibuat oleh tiga negara, Autozam, Fahren dan Chizeta. Mereka telah tiba di satu titik di ketinggian di mana seluruh Cephiro pun dapat terlihat dari situ.

"Primera, lakukan itu sekarang..."

"Aku tahu," jawab Primera. Ia memejamkan mata dan kristal yang tertanam di dadanya mulai berpendar. Ia berkonsentrasi.

"Sekali lagi, bisakah kau rasakan keberadaan para kandidat Pillar?" tanya Lantis tergesa-gesa. "Di Cephiro?"

"Benar. Tidak ada. Tidak ada seorang pun yang memiliki kekuatan besar dan memulai koneksi... selain mereka yang telah datang."

Mereka yang telah datang? Lantis melihat ketiga kapal perang negara lain yang semakin jelas. "Benarkah ada di antara mereka yang merupakan kandidat Pillar? Kau tahu, Primera?"

"Mereka membuat jalan menuju Cephiro. Kurasa, kita tak akan pernah tahu siapa mereka sebelum mereka memasuki menara seleksi." Primera membuka matanya, tetapi segera limbung karena kehilangan kesadaran. Lantis cepat menangkapnya.

"Primera, kau kelelahan..." Primera mengangguk lemah. "Maafkan aku, ini memang begitu berat bagimu. Maafkan aku..."

"Tidak masalah... Dengan begini aku bisa membalas budimu" Primera pun tertidur.

Kandidat Pillar berasal dari negara lain. Tapi, benarkah tidak ada jalan selain dengan membiarkan mereka mendekati Cephiro? Jika mereka mendekati Cephiro dengan seluruh kekuatan mereka, aku tidak tahu lagi apa yang bisa aku lakukan untuk mencegahnya... pikir Lantis.

Magic Guru tentu sudah mengetahui ini. Ia benar-benar tahu kemustahilan menemukan calon Pillar dari Cephiro sendiri. Tapi, ia tidak membiarkan para kandidat mendekat dengan mudah... Apakah untuk menghindari perang di daratan? Sekalipun mereka adalah kandidat, mereka membawa misi negara masing-masing... Tanpa proses seleksi, mereka sudah saling membunuh untuk memperebutkan posisi Pillar. Jadi, apakah lebih baik aku menunggu siapa yang keluar sebagai pemenangnya?

Benar. Aku hanya bisa menunggu. Aku akan menunggu... Lantis menggenggam pedangnya kuat-kuat. Ia tak suka pada pilihan yang menuntutnya untuk bersabar ini.