"Hari ini tidak seperti kemarin... Langit menjadi lebih terang... Aku seperti bisa melihat matahari dari bawah sini..." Umi memandang ke luar jendela. Seakan-akan begitu menyilaukan cahaya di luar sana, ia melindungi matanya dengan keduanya tangannya. "Ya, bukan?"
"Benar..." kata Fuu sambil bolak-balik menata sarapan pagi di meja di kamar mereka. "Senang sekali! Minuman hangat dan kue! Ayo kita makan!" ajaknya riang.
Umi tersenyum nakal. "Kau tampak bahagia sekali... Ayo, ceritakanlah! Apa yang terjadi padamu dan Ferio dua malam yang lalu, kemarin, dan tadi malam?"
Wajah Fuu merona.
"Kau malu!" Umi tertawa-tawa, semakin bertekad menggoda sahabatnya itu.
Fuu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Hentikan, Umi..."
"Ah, aku tahu! Ia memberikanmu itu!" tunjuk Umi.
Fuu sadar akan cincin emas di jari manis tangan kirinya. Ia berteriak malu. "Jangan salah paham! Aku tidak..."
"Ya! Kau menerimanya?" Umi menarik Fuu untuk duduk. "Ceritakanlah... Ah, tak usah! Aku tahu kau sudah menerimanya! Wah, kau benar-benar sudah dewasa! Aku iri padamu!"
"Hentikan, Umi... Mari kita makan saja... Aku dan dia hanya melihat-lihat seisi kasti." Fuu menyuap sepotong roti ke dalam mulutnya dengan tangannya yang dingin bergetar. "Kita makan. Ayo." Ia menunduk dalam-dalam, menyembunyikan wajahnya.
"Kau benar-benar suka padanya..."
"Umi..." Fuu memohon sekali lagi.
Umi merenggut Mokona yang melompat-lompat senang di sekitarnya. "Kau tahu apa itu cinta, Mokona?" Ia masih menggoda Fuu. "Fuu sedang jatuh cinta! Bisakah kau bertanya padanya bagaimana rasanya untukku?"
Fuu tak tahan lagi. "Lalu, bagaimana denganmu? Kau pergi bersama Ascot, bukan?"
"Kau tak akan percaya jika mendengar ini. Ascot mengembangbiakkan monster di Cephiro. Aku melihatnya dan mereka benar-benar sangat berguna untuk mempertahankan kastil. Aku pun memikirkan sebuah strategi..."
Fuu memandang Umi, lalu mengangkat alisnya. "Hei, aku tak mendengar suara seseorang yang seharusnya dan biasanya terdengar..."
Umi seketika terdiam. "Benar juga." Ia menoleh pada si rambut merah yang asyik duduk di tepi jendela, memandang ke luar dengan begitu diamnya, tak terganggu oleh keributan dan diskusi yang mereka buat. "Hikaru?"
Umi dan Fuu kembali saling memandang. Hikaru tak menjawab mereka. Hikaru tak mendengarkan... Pikirannya tengah mengembara entah ke mana.
Umi mendekat. Ia hanya menyentuh Hikaru, tetapi Hikaru begitu terkejut. "Hei, ada masalah apa? Apakah kau baik-baik saja?" Umi meraba kening Hikaru... "Kau sakit? Kau sedikit hangat, kau tahu?"
"Apakah kau merasa lelah? Kau terlihat tak bertenaga. Apakah kau tidak bisa tidur dengan baik?" tanya Fuu cemas. Hikaru hanya memandangnya. "Hikaru, dengan kekuatanku, aku aku tak bisa menyembuhkan keletihan. Kumohon, jaga dirimu."
Jelas ada sesuatu yang menyusahkannya, "Bagaimana aku bisa tidur jika setiap malam aku mencari-cari kalian?" Ia mencoba membicarakan sesuatu yang lucu. Umi dan Fuu saling memandang sekali lagi. Ada rasa bersalah di wajah mereka dan Hikaru menyadarinya. "Hei, tak apa-apa! Aku baik-baik saja... Mungkin aku hanya lapar... Benar, tidak apa-apa." Hikaru sadar dirinya berbohong. Setiap malam ia mencari Lantis...
"Aku tidak percaya 'aku baik-baik saja'-mu, Hikaru?" Umi mendekatkan wajahnya ke wajah Hikaru. Ia menggenggam tangan Hikaru kuat-kuat dan merasakan betapa tangan itu sangat dingin. "Kalau kau ingin kami berada di sampingmu, kami akan berada di sampingmu. Kau hanya perlu mengatakannya."
"Umi..."
"Kau selalu sangat ceroboh dan tidak pernah mengeluh jika kau sakit atau terluka. Kau selalu memikirkan orang lain ketimbang dirimu sendiri. Jadi, tak ada yang lebih tak ada artinya ketimbang 'aku baik-baik saja'-mu, Hikaru." Umi mendesah. "Aku tak ingin memarahimu... Tapi, apa yang kau sembunyikan kali ini? Apa yang tidak kau ingin kami tahu, Hikaru? Apa yang kau ragu-ragu untuk mengatakannya, Hikaru?"
"Jangan mendesak-desaknya, Umi. Ia akan bicara jika ia sudah siap. Begitu, bukan, Hikaru?" Fuu memberinya secangkir minuman. Hikaru menerimanya dan tertunduk memandangi isi cangkir itu.
"Fuu... terima kasih..."
"Hikaru, aku ingin kau mendengar ini." Hikaru mengangkat wajahnya dan memandang Fuu. "Kita datang ke Cephiro untuk berjuang bersama-sama lagi. Kita pergi ke sekolah yang berbeda dan tinggal di area yang berbeda, tetapi apa yang kita alami bersama di Cephiro adalah kenangan yang hanya kita miliki. Karena itu, Hikaru, aku ingin kau tahu, aku menganggap kau dan Umi sebagai temanku, teman terpenting dalam hidupku.
"Suatu ketika kakakku menasehatiku bahwa akan menjadi sangat sulit bagimu ketika kau tak punya orang lain yang memahami penderitaanmu. Tapi, jika kau tak sendirian, kau bisa berbagi kekhawatiranmu dan bekerja sama untuk mencari solusi atas permasalahanmu. Dengan begitu, kau akan benar-benar baik-baik saja.
"Akan ada banyak hal yang terjadi dan aku setuju pada apa yang kau pernah katakan bahwa selama kita bersama, kita akan menjadi diri kita yang terbaik. Kita bertiga, bersama-sama..."
Hikaru meletakkan cangkirnya di sampingnya. Sekonyong-konyong ia berdiri dan memeluk Umi dan Fuu kuat-kuat beberapa lama. "Terima kasih... Umi... Fuu..." Mokona melompat-lompat di dekat mereka. "Kau juga ingin ikut dipeluk? Kemarilah!" Hikaru membuka tangannya dan Mokona melompat.
Umi menepuk-nepuk kepala Mokona dan mengelus bulu putihnya yang lembut. "Haha... kau terasa enak. Aku bertaruh, kau enak dimakan!"
"PUU!" Mokona langsung melompat melarikan diri ke sudut kamar. "Puu!"
"Tinggal dicelup dalam teh, Mokona akan menjadi camilan yang lezat..." Fuu ikut-ikutan menggodanya.
Umi dan Fuu tertawa-tawa, mengejar-ngejar Mokona ke seantero kamar. Mokona tak terkejar. Mokona kembali pada Hikaru untuk mencari perlindungan.
"Mereka tak benar-benar akan memakanmu, Mokona!"
Umi diam-diam mendekat dan mengagetkan Mokona. Namun, selanjutnya ia sendiri yang berteriak ngeri ketika bumi tempat mereka berpijak guncang sedemikian hebat. Cahaya terlihat dari luar sana, bertubi-tubi menghantam pelindung kastil...
"Perang... Cephiro diserang..." Hikaru terbelalak memandang itu semua. Guncangan hebat terjadi lagi dan kali ini sukses menjatuhkan mereka ke lantai, bersama barang-barang di kamar mereka. "Teman-teman, kalian tak apa-apa?"
"Hikaru!" panggil Fuu.
"Kau tak apa-apa?" tanya Umi. "Sebaiknya kita keluar!"
Umi menarik Hikaru dan Fuu keluar dari kamar mereka. Mokona aman dalam pelukan Hikaru. Mereka berlarian dan bergabung dengan arus manusia yang juga hendak menyelamatkan diri. Pertama kalinya mereka bertemu penduduk Cephiro. Mereka turun dari lantai-lantai kastil yang tinggi, menuju bunker bawah tanah yang lebih aman. Sepasukan sorcera membimbing mereka, menunjukkan arah evakuasi.
Fuu ingin mengikuti mereka, tetapi Hikaru mencegahnya. "Kita ke tempat Clef!" Ia begitu gelisah, tidak semestinya pelindung kastil selemah itu sampai tak bisa menahan serangan dari luar. Mereka berlari secepat mungkin menerobos orang-orang... Terdengar orang-orang berteriak ketakutan, anak-anak yang menangis... Semua orang begitu panik...
Sebuah serangan lagi... Begitu menyilaukan...
"Kalian baik-baik saja? Apakah ada yang terluka?" tanya Hikaru cepat sambil berhamburan masuk ke dalam ruangan Clef. Ada Presea dan Ferio di situ. "Di mana yang lain? LaFarga, Caldina, Ascot!" Ia ingin juga menanyakan Lantis, tetapi ia menghentikan dirinya.
"Kami baik-baik saja. Mereka bergabung bersama pasukan sorcera untuk melindungi dan menenangkan rakyat," jawab Clef.
Ketiganya terengah-engah... Hikaru, Umi dan Fuu pun merasa lega.
"Bagaimana penjelasan untuk kejadian ini, Guru Clef?" tanya Hikaru. "Pelindung kastil... Tanah-tanah terbelah dan berguncang..."
"Cephiro mulai runtuh kembali dan itu bersamaan dengan serangan orang-orang Fahren..."
"Fahren?!" Ketiganya sangat terkejut.
"Kita benar-benar tak punya banyak waktu..." kata Umi tegang.
"Itu benar..." Fuu membenarkan. "Kita harus melakukan sesuatu."
Tetapi Hikaru berpikiran lain, "Benarkah tanpa Sang Pillar Cephiro tak akan bertahan?"
"Cephiro bahkan akan menghilang."
Hikaru mencengangkan mereka. "Jika kalian memang membutuhkan Pillar untuk menyelamatkan Cephiro, mengapa tak membiarkan orang-orang itu masuk? Salah satu dari mereka adalah calon Pillar Cephiro, bukan?"
"Tidak semudah itu. Bagaimana jika benar salah satu dari mereka memenuhi syarat? Apa yang akan mereka lakukan pada Cephiro? Mereka hanya mengejar kekuatan dan kekuasaan dari menjadi seorang Pillar! Apa yang akan mereka berikan atau sisakan bagi rakyat Cephiro?"
"Apakah yang penting sekarang? Jika kau mengkhawatirkan hal semacam itu, mengapa kau tak membangkitkan orang-orang untuk berjuang dan mempertahankan diri ketimbang bersembunyi? Mengapa kau tak mempersiapkan orang-orang untuk bertarung?"
"Hikaru... Jangan..." Umi ingin agar Hikaru berhenti bicara.
"Kami tak punya prajurit..." Ferio yang menjawab. Kepahitan keluar dari mulutnya. "Tak ada orang yang berpengalaman bertempur. Kami hanya bisa bertahan sekuat tenaga..."
"Jika kalian punya kekuatan untuk bertahan, kalian juga punya kekuatan untuk melawan... Pada titik ini, Cephiro harus bertempur! Kalian tak akan mencapai apa-apa jika kalian bimbang. Kalian tak bisa hidup dengan satu tangan menolak, sementara satu tangan yang lain menginginkan Sang Pillar. Kalian harus memilih dan menghadapi segala risikonya..."
Clef tercenung tegang. Ia benar-benar merasa pernah mengalami hal ini. Ia menggenggam tongkatnya erat-erat... Tubuhnya merinding oleh sesuatu yang sulit dipahaminya.
Semua orang terdiam. Fuu menyentuh bahu Hikaru, "Itukah yang kau pikirkan selama ini?"
Umi mendekap mulutnya, menyadari kesalahan apa yang baru saja dilakukannya terhadap Hikaru. Ia selalu ingin agar Hikaru dapat jujur terhadapnya, tetapi ia sendiri meminta Hikaru untuk tidak mengatakan apa-apa. "Hikaru..." Umi ingin meminta maaf, tetapi Hikaru tak memberinya kesempatan.
"Kita tak bisa terus-menerus bimbing dan mempertaruhkan hidup rakyat Cephiro," kata Hikaru tegas. "Sekarang katakan padaku, bagaimana kalian memilih Sang Pillar? Akan aku cari si penyembunyi itu untuk kalian! Kita akan menyelesaikan ini."
