Lantis berjalan melintasi sebuah tanah lapang, menghabiskan malamnya memandangi langit, berhenti pada satu titik di mana sebuah pohon tumbuh sedemikian besar dan lebatnya. Dahan-dahannya menjuntai rendah, terdengar bunyi berkerisik lantaran daun-daunnya tertiup angin. Begitu banyak kenangan... Lantis mengingatnya. Segalanya pernah menjadi begitu damai dan indah. Di sinilah dan begitulah segalanya bermula...
Seandainya saat itu aku bisa menghentikanmu... Kakak... Mengapa aku tak bisa kuat untuk menghadapimu... mengubahmu dan hatimu yang telah bertekad? Apakah karena kau telah memahami kebenaran sementara aku belum?
Apa yang terjadi tiga tahun yang lalu seakan terjadi kemarin... Lantis menengadah, membayangkan dan bisa merasakan kembali kehangatan yang menyelimuti tempat itu ketika cahaya matahari menembus sela-sela dedaunan, membuainya dalam kedamaian dan ketenangan... lalu sebuah bom...
...
"Jadi, kau ada di atas sana lagi?" Zagato membangunkannya dengan sebuah sindiran. Lantis yang tengah tidur di salah satu dahan seketika membuka matanya.
Lantis menguap. "Ini tempat terhangat di kastil..." Lantis melompat turun dengan gesitnya. Ia berpegangan pada batang pohon itu. "Maafkan aku... Tak ada hal lain yang bisa aku lakukan."
"Kau masih begitu muda... benarkah tidak adakah hal lain yang bisa kau lakukan? Bagaimana bisa seorang pemimpin pasukan khusus penjaga Pillar tidak melakukan apa-apa kecuali tidur?"
Zagato mengguruinya lagi. Lantis menjawabnya sekenanya... "Bahkan sebagai petarung terhebat, selama Sang Pillar melindungi Cephiro, tidak akan ada pertarungan. Perburuan monster adalah hal membosankan yang baru dapat kulakukan ketika malam- Kenapa?" Lantis mendapati kakaknya berubah muram...
"Lantis..." Lantis tahu, jika kakaknya memanggilnya seperti itu, ada hal penting yang sedang dipikirkan dan ingin dibicarakannya. Sejenak ia merasa dirinya sedang diperingatkan. "Apa yang kau pikirkan tentang Sang Pillar? Apa yang kau pikirkan tentang sistem Pillar?"
Lantis tak mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Semua orang tahu tentang apa itu Pillar dan apa tugasnya. Lantis hanya diam.
"Sang Pillar harus menanggung segalanya di Cephiro. Hanya orang dengan hati terkuat yang dapat menjadi Pillar, karenanya tidak salah jika mengatakan, Pillar bagaikan pencipta di Cephiro... Tetapi, apakah hatinya betul-betul bebas?"
"Kakak... Kau dilarang membicarakan hal ini." Baginya, mengasihani seorang Pillar bukan sesuatu yang layak untuk dilakukan.
Zagato tak mendengarkan. "Apakah hatinya sendiri bahagia?"
Zagato dan Lantis terkejut dan menoleh ke arah suara berkerisik itu berasal... Sang Pillar tak disangka ada di dekat mereka dan mendengarkan mereka. Kecantikannya seketika terselubungi kepedihan, Zagato terus memandangnya... dan Putri Emeraude pun melakukan hal yang sama terhadap Zagato.
Lantis menjalani sesi latihannya dengan perasaan kacau dan tertekan. Ia bukan anak-anak lagi yang tidak mengerti apa yang mungkin dapat dirasakan antara pria dan wanita. Ia melihat Zagato dan Emeraude, sekalipun ada jarak yang sedemikian besar membentang di antara mereka... Ia terus menyimpannya, kenyataan penuh dosa ini, cinta di antara keduanya.
Lantis tak dapat merasa senang sekalipun Guru Clef yang mengawasinya terus memberinya pujian; bahwa ia akan menjadi petarung yang hebat, bahwa ia mampu melampaui diri sang Magic Guru...
"Jangan menyanjungku, Guru... Kau tahu sendiri, kau yang terhebat di Cephiro... Aku tak bisa menyamaimu..."
"Lupakah kau bahwa Cephiro adalah negeri di mana kekuatan hati menentukan banyak hal? Takdir seseorang ditentukan oleh hatinya. Mereka yang tekadnya kuat, seperti Zagato sekarang... dapat mengubah sesuatu dari yang tidak mungkin... menjadi mungkin."
Lantis terkesiap. "Guru, apakah kau juga menyadarinya?"
Guru Clef tidak menjawabnya, justru menunjuk... "Lihat dunia ini. Begitu indah... Berpuluh-puluh tahun tanpa bencana alam maupun perang. Semua orang hidup dalam damai. Semuanya karena hati seseorang. Tetapi, siapa yang bisa melindungi kebahagiaan hatinya?"
"Guru..." Lantis menunduk dalam, merasakan tubuhnya yang bergetar karena ketidakpercayaannya pada kata-kata Clef. Clef sengaja memakluminya! "K-kau membiarkan mereka..."
"Aku menyayangimu, menyayangi Zagato, juga semua muridku. Aku menyayangi Emeraude. Aku melihatnya sejak ia lahir sampai hari ini. Aku benar-benar tak ingin melihat kalian semua tidak bahagia... Tapi, kebahagiaan bermakna berbeda bagi setiap orang." Clef menunduk. Suaranya memelan dalam kesedihannya.
"Sang Pillar... sekalipun keinginannya yang terdalam terpenuhi, ia tidak dapat mengabaikan fakta bahwa ada orang yang mungkin terluka karenanya. Ada orang yang mungkin tidak bahagia karenanya. Lihatlah Cephiro yang indah ini..."
Clef menatap kekejauhan, ke arah gunung-gunung dan lembah, sungai yang mengalir dan danau yang tenang dan berkilauan di hadapan mereka. "Apakah dunia yang seperti ini benar-benar indah?"
Apakah dunia yang seperti ini benar-benar indah?
Kini ia bisa menjawabnya. Tidak. Ini palsu. Begitu lama dan panjang yang ditempuhnya sampai ia bisa menjawab tidak. Cephiro telah terlalu lama bermain-main dan sistem Pillar adalah pelindungnya yang celaka!
Lantis menarik sesuatu keluar dari balik jubahnya. Sebuah kalung dengan bandul kristal putih yang indah di tangannya. Lantis memandanginya. Liontin pusaka warisan ibunya. Ia menyadari pahit keputusan yang harus diambilnya sebagai seorang magic swordsman, status yang selama ini ingin dibuangnya. Ratusan tahun klannya menerima kehormatan sebagai pelindung Sang Pillar dan secara tragis menemui ajalnya karena sistem Pillar ini. Ia, Cail terakhir, akan secara kurang ajar mengakhiri tradisi itu. Ia bukan lagi seorang pelindung. Ia akan menjadi seorang pembunuh.
Lantis menarik putus rantai tarisman dari lehernya. Ia melemparkan benda itu jauh-jauh ke arah danau yang airnya menyapu kakinya. Ia tahu, ia tak terelakkan lagi akan melakukan perbuatan ini, sesuatu yang membuatnya ingin memilih untuk tak hidup lebih lama lagi menanggung rasa bersalah mengakhiri hidup orang terpenting dalam hidupnya, sahabatnya.
Eagle Vision...
Primera mengawasi Lantis dari sela-sela dedaunan dengan berurai air mata karena cemas. Ia mencengkeram ranting tempatnya berpijak kuat-kuat. Ia ingin mencegah Lantis membuang benda berharga itu... Ia ingin menangkap benda itu agar tidak tenggelam, tetapi ia terhenti. Terdengar untuk pertama kali baginya... Lantis yang menangis.
