"Mengejutkan. Rupanya aku tidak sendirian... menginginkan posisi Pillar."

Hikaru mendengarkan dan diam menahan kepedihan. Apa yang lama dapat dipahaminya tak bisa ia benarkan, tak berani ia mengiyakan. Ia begitu terkejut pada apa yang baru saja dialaminya. Ia tidak pernah menginginkan ini. Sedikit pun tak pernah terlintas di pikirannya tentang hal ini, tetapi bagaimana bisa? Bagaimana ia bisa masuk?! Ruang seleksi tak mengizinkan siapapun masuk kecuali kandidat Pillar...

Ia ingat, betapa takut dirinya ketika melihat pintu menuju ruang seleksi terbuka sementara Eagle telah berada tepat di depan gerbangnya. Ia tak bisa berpikir benar. Tubuhnya tak mendengarkannya. Ia tahu, kematian akan menghampirinya jika ia bukan kandidat. Keputusan yang akhirnya dibuatnya adalah misteri dan itulah kenekadannya yang bodoh... Karena Lantis ada bersamanya dan ia tak bisa membiarkan pemuda itu hancur lebih dalam lagi jika Eagle menjadi Pillar... Ia berhasil mendapatkan Eagle. Namun, bukannya mencegah, ia justru ikut terseret masuk.

"Kau tampak terkejut..." Eagle meraih sesuatu yang tergantung di ikat pinggangnya. "Kau pucat dan gemetar. Apakah kau baik-baik saja?" Jelas sekarang alat apa itu. Eagle menekan sesuatu dan dari benda yang diambilnya muncul sinar laser berwarna biru. Itu pedang panjang. Eagle memandangnya dengan air muka serius.

"Siapa namamu?"

"Hikaru... Shidou."

"Nama yang terdengar indah." Eagle menghela napas. "Aku telah membuat keputusan untuk menjadi Pillar Cephiro. Jadi, tidakkah sebaiknya kita mulai?"

Hikaru terkesiap, Eagle tiba-tiba menyerbunya. "T-tunggu..." Pedangnya diangkatnya tinggi-tinggi untuk membelahnya menjadi dua... "Aku tak ingin melawanmu!"

"Sayangnya, ini bukan tempatmu bisa mengatakan hal itu! Aku tidak akan menahan diri sekalipun kau perempuan!"

Eagle menebaskan pedangnya. Hikaru yang tidak siap terlambat menghindar. Tangan yang digunakannya untuk melindungi diri terkena... Hikaru terhempas ke belakang, berteriak kesakitan. Darah terpercik ke udara... ia merasa tangannya seperti terbakar. Ia terguling beberapa meter jauhnya. Seluruh tubuhnya terasa sakit karena benturan.

"Tunggu..."

"Inilah proses seleksi itu. Ia tidak memandang apakah seseorang itu pria atau wanita... Ia tak peduli apakah kau muda atau tua, sehat atau sakit... Seleksi ini tak mengampuni kelemahan! Lawan aku atau mati!"

Eagle tersenyum menang. Ini akan berakhir cepat, pikirnya. Hikaru berusaha bangkit, tetapi Eagle tak memberinya kesempatan untuk bernapas. Eagle menahannya. Tangannya mencengkeram leher Hikaru kuat-kuat, benar-benar mencekiknya. Darah dari tangan Hikaru telah menutupi sebagian lantai... Hikaru berontak, berusaha melepaskan diri, tetapi Eagle kuat menahannya ke lantai. Ia tak bisa bernapas, paru-parunya terasa terbakar...

"Inilah proses seleksi itu. Salah satu di antara kita harus mati dan itu adalah kau!"

Eagle melayangkan pedangnya, lalu menghunuskannya tepat ke tempat di mana jantung Hikaru berada... Tapi pedang Eagle tertangkis. Mental shield menyelubungi tubuh Hikaru. Eagle terpaksa melepaskan Hikaru ketika udara di sekitarnya memanas dengan cepat. Ia mundur ke belakang, untuk bersiap menyerang kembali...

"Aku tak ingin bertarung..." Hikaru terengah. "M-mari kita pergi... dari tempat ini..."

"Jangan bicara omong kosong!" Pedang lasernya menghantam perisai Hikaru, tetapi rupanya perisai itu kukuh. Eagle terlempar lebih jauh lagi ke belakang dan jatuh menghantam lantai.

Hikaru berusaha bangkit sambil berusaha menghentikan pendarahan di tangannya dengan tangannya yang lain. Lukanya cukup dalam... "Aku tak ingin bertarung..." ulang Hikaru. Hikaru tak sanggup berdiri dan jatuh berlutut. "Aku di sini bukan untuk menyaingimu. Aku ingin menghentikanmu, aku ingin membawamu kembali... Lantis menunggumu di luar sana-"

"Kau mengucapkan nama orang itu untuk melemahkanku?!"

"Ia sahabatmu!"

"Ia hanya penghalang!"

Eagle maju kembali. Kali ini Hikaru benar-benar mengerti bahwa Eagle tak akan mendengarkannya. Ia menarik keluar pedang apinya dan menangkis Eagle Vision. Eagle Vision mengunggulinya. Sekali lagi ia dijatuhkan, disudutkan ke lantai yang dingin. Hikaru tak bisa bergerak. Ia ngeri, Eagle semakin gelap mata. Eagle mengerang keras... tetapi bersamaan dengan itu air matanya menetes.

"Aku tak peduli padanya..." Napas Eagle memburu. Tiba-tiba saja, penglihatannya menggelap. "Aku tak peduli... jika ia akan membunuhku setelah ini..." Ia tak bisa berkata-kata lagi. Hatinya begitu sakit. Ia tak bisa mengingkari sesuatu... Bersamaan dengan itu Eagle kehilangan keseimbangan. Pedang di tangan Eagle terlepas dari tangannya...

Hikaru terbelalak melihat kondisi Eagle yang tiba-tiba aneh. Hikaru menangkapnya ke dalam pelukannya. Tubuh Eagle terkulai. "Eagle Vision?" tanyanya cemas.

Di saat-saat terakhir, ketika keinginannya hampir terwujud, tak disangkanya tubuhnya mengkhianatinya. Eagle mengerang marah. Serangan itu datang lagi dan terasa lebih berat... Kesadarannya hilang timbul. Hikaru terdengar memanggil-manggil namanya, tetapi suara gadis itu seperti terbawa angin. Eagle bisa mendengar suara jantungnya yang berdegup kencang. Ia ketakutan. Ia semakin kehilangan sensasi atas dunia di sekelilingnya... Ia akan mati!

"Tidak..." Eagle memaksa dirinya untuk tetap tegak.

"E-Eagle Vision?" Hikaru sekuat tenaga membaringkannya dengan gugup. Tangannya gemetar hebat ketika menyentuh tubuh pemuda itu yang tidak bergerak, kecuali napasnya yang terengah, tampak menyakitkan. Hikaru cepat melakukan apa yang bisa dilakukannya. Ia melepaskan pelindung mata dan alat komunikasi yang mungkin mengganggu Eagle dan melonggarkan pakaiannya.

"A-ada apa denganmu?" Mata Eagle terpejam rapat. "Apakah kau sakit? Eagle Vision!" Hikaru mendekatkan tangannya ke hidung Eagle. "Kau masih bernapas..." Hikaru mengguncang-guncang tubuhnya. Eagle tak bereaksi. "Katakan sesuatu! Eagle Vision! Kau tidak mati, bukan? Apa yang telah aku lakukan?! Apakah aku melukaimu? Katakan sesuatu! BANGUN! Kau dengar? Aku berjanji pada diriku sendiri untuk membawamu keluar! Kalau kau mati di sini, Lantis akan membunuhku! Apa kau tak kasihan padaku? BANGUN!"

Itukah yang ada di pikirannya? Begitu lugunya. Tak disangka, Eagle terlihat tersenyum lemah seperti hendak tertawa.

"Kau membuatku sangat takut..." Eagle menangkap tangan Hikaru dan mencengkramnya kuat.

"Membunuhku adalah keinginannya," desisnya dengan gigi bergemeretak.

Hikaru terperanjat. "Mengapa kau bicara seperti itu? Kalian bersahabat..."

"Tidak lagi..."

"K-kau sakit... Kita harus keluar dari tempat ini! Kau harus membawamu pada penyembuh..."

Seperti aku punya harapan saja... kata Eagle dalam hati. Ia memejamkan mata, sangat lega ini bukan saat kematiannya.

Panik Hikaru memandang sekelilingnya. Seluruhnya begitu putih. Tidak ada pintu atau jendela, hanya dinding-dinding cahaya yang tinggi menjulang, sementara langit-langitnya entah ada di mana. Tak ada jalan keluar... Tidak ada jalan...

"Mengapa seperti ini?" Ia pun tersedu-sedu, meratapi ketidakberdayaannya. "Apa yang harus aku lakukan?"

Eagle mendengarnya. Ia tak bisa mengerti gadis yang menangisinya ini. Dari celah matanya, ia melihat wajah Hikaru, air mata menetes di kedua sisi wajahnya. Ia belum pernah melihat seorang gadis menangis sedemikian sedih karenanya, untuknya.

Ia yang seumur hidup bertekad tak akan membiarkan orang lain mengasihani dirinya mempertanyakan kenyataan ini. Ia yang selalu membangun keteguhan hati, keberanian, dan kekuatan pertama kalinya mengakui kerentanan, ketakutan, dan kelemahannya. Ia, yang sekalipun dikatakan akan mati karena penyakitnya, terus percaya bahwa dalam kelemahan pun segalanya adalah mungkin, digempur oleh keraguan. Ia yang berhasil meraih banyak hal dan ingin menjadikan Pillar sebagai pencapaian terbesarnya, melihat kegagalan...

"Bunuh aku sekarang... atau aku yang akan membunuhmu nanti..."

Hikaru menggeleng kuat-kuat. "Kita akan keluar dari tempat ini." Hikaru menghapus air matanya. "Lantis akan sangat sedih... Kau tak boleh menjadi Pillar... Tak boleh ada Pillar lagi..."

"Mengapa kau terus mempedulikannya?"

"Kalian tak bisa lebih menderita lagi. Semua orang pun tak boleh mengalami penderitaan karena sistem Pillar lagi..." Hikaru menarik napas dalam. Ia membangun tekadnya lagi. "Kau akan baik-baik saja. Aku akan mencari jalan..."

Eagle merasa geli dengan diri mereka. "Tidak ada jalan sampai salah satu dari kita mati..."

"Tak akan ada yang mati! Aku tak mau mati! Aku ingin pulang kepada teman-temanku, ke duniaku, ke rumahku... Aku ingin melihat ketiga saudaraku... Aku ingin melihat Hikari..."

Apa yang diocehkannya? Teman-teman... dunia... rumah... keluarga... Kepedihan memenuhi hati Eagle. Ada banyak hal yang ia cintai, pikir Eagle. Sementara aku, ada banyak yang ingin aku buang. Sahabat... negara... rumah... keluarga... diri sendiri...

Hikaru berlari menuju dinding dan meraba-rabanya. Kukuh. Jika jalan itu tidak ada, maka ia harus membuat jalan. Ia menarik keluar pedangnya dan dengan sekuat tenaga melayangkannya untuk menghancurkannya. Ia harus membuat celah sekecil apapun itu. Apinya begitu kuat, menyambar ke segala arah. Inilah pertarungannya, untuk memecahkan kebuntuan dan ketiadaan harapan... Tangisannya berubah erang kemurkaan. Mengapa musuhnya begitu keras kepala? Satu serangannya yang terakhir pada dimensi itu justru berbalik melawan dan menjatuhkannya. Hikaru terhempas ke lantai...

"Ini ruang seleksi... Tak ada yang keluar sebelum Pillar terpilih..."

"Jangan menggangguku dengan ocehan putus asamu! Kita akan keluar! Kita pasti bisa keluar!"

Dimensi itu bergemuruh dan balas menjatuhkan Hikaru sekali lagi.

Eagle mengumpulkan kekuatannya. Pelan-pelan ia bangkit dan menyaksikan Hikaru sekuat tenaga meruntuhkan dimensi yang mengurung mereka. Semakin kuat Hikaru berusaha menghancurkannya, dimensi itu juga semakin keras menjatuhkan dan melukainya. Gadis itu belum mau berhenti dan inilah kesempatan baginya... Ia tetap tak ingin keluar sebelum menjadi Pillar.

Eagle meraih sesuatu dari balik jubahnya. Sebuah logam pendek yang tajam. Dengan tangannya yang bergetar, ia melukai salah satu lengannya. Darah merembesi lengan pakaiannya dan menetesi lantai lewat ujung jari-jarinya... Ini cukup untuk memperpanjang kesadaran. Rasa sakit ini akan membuatnya tetap sadar, pikirnya. Eagle mengerang kesakitan dan Hikaru berbalik tercengang melihatnya.

"Apa yang kau lakukan?"

"Sebaiknya kau tidak lupa, apa yang terjadi di antara kita belum selesai." Eagle memungut pedangnya.

"Mengapa..."

"Aku tak punya banyak waktu..." Eagle menarik napas dalam dan menegakkan tubuhnya. "Aku harus menjadi Pillar... sebelum waktuku habis."

Eagle memanfaatkan kelengahannya. Hikaru menangkis serangan Eagle yang lemah. "Kau sakit..." Hikaru berusaha menghentikannya, tetapi Eagle sudah tidak peduli apapun lagi.

"Ya! Aku selalu sakit!" teriaknya marah. Ia memberontak melawan belenggu dirinya sendiri. "Mereka terus meramalkan kematianku, tetapi akulah yang memilih jalan matiku dan aku berhasil sampai di sini! Aku tak akan menyesal, sekalipun akan selamanya hidup dalam kelumpuhan dan tak bisa bangun lagi! Akan aku buktikan pada mereka!" Begitu pahit semua yang keluar dari mulutnya...

"Mengapa... Mengapa kau bertindak sejauh ini... Mengapa negerimu membuatmu seperti ini?!"

"Bukan Autozam. Aku ingin menjadi Pillar... untuk diriku sendiri... yang memimpikan banyak hal... Aku mendengarkan cerita Lantis tentang Cephiro... Ia membuatku bermimpi... sampai akhirnya aku membuat keputusan! Aku ingin... menyelamatkan negaraku dengan mempelajari sistem ini... agar ada langit biru... bunga-bunga... kebebasan untuk hidup... tak perlu bersembunyi jauh ke dalam bumi..."

"Ada jalan untuk menyelamatkan Autozam dan itu bukan sistem Pillar! Sistem Pillar adalah kesalahan. Terlalu banyak orang yang mati karenanya. Cephiro hancur karenanya. Kau melihatnya!"

"Benar! Sistem Pillar adalah kesalahan terbesar manusia... Karena itu, aku akan mengakhirinya dengan membawa Cephiro tidur bersamaku. Tak akan ada Pillar lagi. Sistem Pillar akan beku. Aku akan mengakhiri sejarah Cephiro yang mengerikan... sehingga tak akan ada penderitaan semacam ini lagi!"

"Kau hendak mengorbankan dirimu-"

"Aku orang sekarat..."

"Tidak seperti itu!" Dengan satu sapuan, Hikaru berhasil membuat pedang Eagle lepas dari tangannya. Pedang itu melayang dan mendarat beberapa jauhnya... Eagle terperanjat.

"Kau hanya akan menjadi seperti Putri Emeraude! Kau tak akan membuat perbedaan! Tak akan ada yang berubah! Putri Emeraude mengorbankan dirinya untuk segala yang dicintainya, tetapi apa yang terjadi pada orang-orang yang ditinggalkannya?! Mereka yang mencintainya, mereka yang memikirkannya melebihi apapun... Apa yang harus mereka perbuat dengan hati mereka? Apa yang harus mereka lakukan, mereka yang mencintaimu dan membutuhkanmu, menginginkanmu tetap bersama mereka? Mengapa kau tak memikirkan mereka?"

"Aku sekarat..." Ia kehilangan kata-kata. Hal yang selalu diingkarinya justru adalah yang diyakininya sedemikian kuat.

"Itu bukan alasan bagimu untuk mengakhiri hidup dengan cara apapun! Kematian tak boleh mendiktemu. Kau berhak hidup sampai saat terakhirmu. Kau berhak untuk bahagia dan melepaskan segala beban yang selama ini menyiksamu... Kau berhak mendapatkannya..."

Hikaru mengejutkan Eagle. Api berwarna putih besar menyelimuti tubuh Hikaru. Udara di sekitar mereka bergejolak, gelombang energi besar menyapu dimensi itu dan dinding cahaya itu pelan-pelan memudar, gemerlap beterbangan di langit di atas kepala mereka... Dingin di ruangan itu berubah hangat.

Seakan-akan ada matahari di situ, Eagle terkesima menyaksikannya. Ia terpaku di tempatnya. Air matanya mengalir pelan ketika ia teringat banyak hal yang semula ia pikir mampu ia tinggalkan, ternyata tidak. Untuk sekali ini saja ia ingin takdir mengasihaninya, agar ia dapat melihat keindahan itu dan yang mungkin akan ada waktu yang sedikit lebih lama...

Hikaru melangkah mendekat. Ia bukan dirinya lagi ketika sosoknya berubah menjadi cahaya, seperti malaikat. Memandangnya, Eagle gemetar hebat. Keputusan telah dibuat dalam seleksi ini. Eagle tak sadar melangkah mundur. "Aku kalah... Aku akan mati..." Ia pun jatuh berlutut di hadapan Hikaru. Menunduk dalam, ia menyerah...

Eagle bersiap jika Hikaru yang tak bisa dibendungnya lagi akan membunuhnya sebentar lagi... Namun, ia tersentak karena Hikaru justru mengulurkan tangannya dan menyentuhnya. Eagle memandang tangan itu, tak percaya... Ia ingin bertanya mengapa, tetapi Hikaru menghentikannya dengan gelengan, lalu memeluknya sedemikian kuat dan berbicara tepat di telinganya:

"Kau tahu banyak tentang Sistem Pillar... kecuali satu hal. Aku selalu ingin menyampaikannya sebelum terlambat. Kali ini aku berharap kau mau mendengarkanku tentang apa yang dikatakan Guru Clef kepada kami.

"Posisi Pillar bukan untuk diperebutkan lewat peperangan. Sepenuhnya ia adalah misteri. Tidak ada hukum yang mengaturnya. Ia tanpa rumus ataupun perhitungan yang dengannya kau dapat membuka kuncinya dengan sengaja. Ia sama seperti kita yang tidak pernah tahu kedalaman hati kita. Apakah kita benar-benar yang terkuat, apakah hati kita adalah yang termulia? Apakah kita benar-benar bisa menjawabnya?

"Kau benar akan satu hal. Inilah proses seleksi itu. Ia tidak memandang apakah seseorang itu pria atau wanita... Ia tak peduli apakah ia muda atau tua, sehat atau sakit... Namun bagiku itu berarti satu hal bahwa... semua orang, tak peduli siapa dia atau apapun keadaannya, dapat menjadi penyangga bagi negeri ini... tanpa perlu menjadi kandidat ataupun seorang Pillar. Harapan semua orang adalah sumber kekuatan... karena bukan hanya doa satu orang yang didengarkan oleh Tuhan..."

Eagle mencengkeram lengannya yang terluka, merasakan sakitnya dan berharap tetap sadar... dan menyadari betapa keputusannya telah menyeret banyak orang dalam kesiaan. Ia membenci dirinya sendiri... Di saat-saatnya yang terakhir, ia justru melakukan dosa yang luar biasa.

"Kumohon... bunuh saja aku..." pintanya sepenuh hati. "Bebaskan aku..." Ia tak tahan lagi dengan kelemahan fisik dan penderitaan batinnya. Hikaru meraih tangannya, menggenggamnya kuat-kuat.

Matanya menjadi basah dan sosok Hikaru mengabur di matanya lalu menghilang sepenuhnya. Pegangan tangannya begitu kuat di tangannya yang tak berdaya lagi. Ini mungkin kehangatan terakhir yang dirasakannya... Ironis, ia justru sangat menginginkannya, untuk terus merasakan rasa menjadi manusia yang hidup... yang sungguh berharga.

"Eagle Vision... Tak akan kubiarkan kau pergi ke tempat yang gelap tanpa cahaya... Bagaimana bisa aku membiarkanmu menyerah? Kau yang selalu ingin melihat matahari dan bernapas di udara yang bebas... Kau harus melihat mimpimu itu. Aku berharap untuk kehidupanmu..."

Hikaru memandang wajah Eagle yang kini tenang seperti orang yang tengah tidur. Hikaru membelai wajah yang indah itu, yang kini dihiasi oleh senyuman sekalipun tidak kentara. Eagle telah meninggalkannya dan ia tidak tahu apakah harapannya akan menjadi nyata atau kosong... Hikaru tak ingin memikirkan kemungkinan itu, seakan-akan Eagle masih mendengarnya, ia terus bicara...

"Sebentar lagi tentu ada jalan keluar. Aku akan membawamu keluar, agar kau dapat bertemu mereka yang menunggumu, teman-temanmu, prajurit-prajuritmu yang setia... juga Lantis..."

Mengucapkan nama itu, hati Hikaru seketika terasa begitu sakit. Ia telah gagal dalam satu hal. Ia tidak bisa menghentikan agar Pillar tak terpilih kembali. Ia tak bisa mencegah takdirnya. Tekadnya yang begitu besar untuk mengakhiri tragedi ini justru menjadi jalannya menuju posisi Pillar... Hikaru memeluk Eagle Vision kuat-kuat, ia benar-benar membutuhkan pegangan. Eagle Vision tak bergerak lagi, ia telah ditinggalkan, ia sendirian di dimensi ini...

Air matanya semakin deras. Apa yang bisa aku lakukan untuk Lantis? tanyanya. Apa yang bisa aku lakukan untuk Cephiro... untuk Umi dan Fuu yang telah menyertaiku... untuk orang-orang yang mempercayaiku mampu menghentikan semua ini?! Aku mengkhianati mereka. Tolong aku... pintanya. TOLONG AKU!

Dinding dimensi telah sepenuhnya luruh... Cahaya telah menghilang, tanda proses seleksi telah usai. Tiba-tiba seberkas cahaya memasuki ruang seleksi, semakin lama semakin terang menyorotinya. Itulah pintu keluar yang dicari-carinya...

Hikaru hanya memandangnya dengan tatapan nanar. Ia tak ingin keluar. Ia ingin tetap berada dalam kegelapan ini, tak ingin ditemukan atau diketahui, tak ingin dilihat oleh siapapun. Ia memaku dirinya di tempatnya... Ia takut pada apa yang mungkin didapatinya di luar sana; mungkin orang-orang yang berubah membencinya... mengutukinya, karena ia bukan lagi dirinya yang dulu.