Banyak hal yang lahir dari abu. Peradaban manusia telah banyak membuktikan. Kota-kota yang mati ditinggalkan dan tumbuh kota-kota baru di tempat yang lain. Sungai-sungai yang mati selalu dapat mengalirkan air kembali. Di tanah-tanah yang gersang, kehijauan dapat dengan mudah pulih ketika hujan turun dan mentari bersinar.

Begitu juga dengan diri manusia. Manusia-manusia baru lahir dari jiwa mereka yang sebelumnya begitu putus asa, tidak berdaya dan dihantam penderitaan yang bertubi-tubi. Jika kemudian mereka berubah 180 derajat dan menjadi begitu menghargai kehidupan, sungguh itu adalah misteri. Semangat mereka untuk hidup bangkit sama seperti tumbuhan ketika mendapatkan air, udara, dan cahayanya. Manusia membutuhkan kepercayaan, kasih sayang, dan uluran tangan. Ketika manusia mendapatkan ketiga hal itu, betapa besar rasa terima kasih dalam hati mereka. Pertama kalinya mereka pun dapat mensyukuri sesuatu, yaitu ditakdirkan untuk hidup sebagai diri mereka, bukan yang lain.

Primera baru saja menceritakannya, betapa ia bersusah-payah menyelam ke dasar danau untuk mendapatkan pusaka Cail kembali. Peri itu bukan peri penyelam. Lantis memandang pusaka di telapak tangannya dan hanya memandangnya... Ia semakin tidak tahu lagi tentang perasaannya, pikirannya, apa yang harus dilakukannya. Ia menerima begitu banyak hal dalam semalam... Air matanya pun meleleh pelan...

"Tuan Lantis..." Primera, yang tidak mengerti yang sebenarnya dirasakan Lantis, merasa begitu bersalah. "Kau tidak senang?"

"Bukan. Bukan begitu..." Lantis menghapus air matanya dan melayangkan senyumannya yang sangat langka. Mata Primera membesar... "Aku hanya tidak tahu... apa yang harus aku lakukan untuk berterima kasih kepadamu. Kau rekan seperjuangan yang hebat..."

Primera berkaca-kaca. Air matanya menitik... "Kau tidak boleh membuangnya lagi."

"Ya." Sama seperti aku tidak boleh kehilangan dia lagi... lanjut Lantis dalam hati. Lantis memandang wajah Eagle Vision yang terbaring di sebuah ranjang. Guru Clef menyediakan sebuah kamar khusus untuk komandan Autozam itu. Lantis melepaskan tangan Eagle yang sedari tadi digenggamnya. Ia yang telah menerima begitu banyak kebaikan harus melakukan sesuatu... "Tolong jaga Eagle untukku."

"Kau hendak ke mana?" tanya Primera sambil duduk di dekat kepala Eagle.

"Aku harus bertemu seseorang. Ia yang membuat mimpiku menjadi kenyataan... akan pergi dari dunia ini sebentar lagi."

Primera memandang punggung Lantis yang berlalu menghilang. Kebahagiaannya sedikit bercampur kesedihan. Ia tahu, ia adalah seorang rekan yang baik, tidak lebih. Menerima kebaikan hati adalah sebab seseorang jatuh cinta dan itulah yang dialaminya saat ini.

"Ia berbuat kasar padamu, bukan?" komentar Umi kesal. "Kau sebetulnya bisa membalasnya sedikit. Kau bisa membakarnya dengan mudah..."

"Aku tidak melakukannya karena aku tak berniat bertarung sedikit pun!" Hikaru mengernyit kesakitan. Fuu menekan-nekan lukanya. "Aku masuk ke dalam ruangan itu secara tak sengaja. Aku terus ingat tugasku. Aku akan sangat menyesal jika sampai gagal..."

"Ya, ya. Aku tahu. Aku percaya itu."

"Luka di tangan ini akan sedikit berbekas..." kata Fuu sambil membalut lengan kanan Hikaru dengan perban.

"Bukan masalah," jawab Hikaru ringan. Ia terkekeh sambil melihat refleksi dirinya di dalam cermin. Mereka bertiga telah kembali ke kamar mereka. "Aku biasa luka-luka. Kalau kau punya tida orang saudara lelaki, kau akan mengerti..."

Fuu memeriksa bagian tubuh Hikaru yang lain. "Kau memar-memar... Tetapi semua baik-baik saja. Syukurlah..." Fuu duduk di samping Hikaru. "Semua kembali normal. Beristirahatlah, Hikaru. Beberapa waktu lagi kita akan pulang..." Fuu terdengar sedih. Ia gelisah, sambil menyentuh cincin di jarinya.

"Pulang?"

"Dunia kita. Tempat tinggal kita..."

"Namun, rasanya... aku mulai terikat pada tempat ini," kata Umi. "Kita datang sebagai Magic Knights. Kita memulai semua sebagai orang asing, tetapi pelan-pelan kita mengenal banyak. Cephiro sudah menjadi tempat tinggal kita..."

"Kau tak ingin pergi, Umi?" tanya Fuu.

"Ini dunia kita." Umi dan Fuu memandang Hikaru. "Adakah jalan untuk kita?" tanyanya. "Aku pikir kau sendiri lah yang membuat portal terbuka waktu itu."

Hikaru terdiam. "Aku bukannya tidak mengerti hati kalian. Hanya saja ada konsekuensi dalam setiap keputusan dan kita harus bisa mempertanggungjawabkannya. Tidak semua hal akan berjalan mulus. Kita mungkin akan kembali dituntut untuk mengorbankan sesuatu sebagai harga atas keinginan kita tinggal di sini."

"Hikaru... Ketika semua telah selesai, tak ada alasan bagi kita untuk tetap di sini?" tanya Fuu gelisah.

"Kita akan kembali ke dunia kita..." bisik Umi. "Setelah semua telah menjadi lebih baik, kita harus meninggalkan tempat ini."

"Kalian seperti hendak menangis..." Hikaru meraih tangan mereka. "Aku merasakan hal yang sama. Cephiro begitu istimewa di hatiku. Kita yang melahirkan hari ini ingin bisa melihat masa depannya. Sebagian diri kita yang tetap ingin berada di sini tak bisa kita ingkari..."

"Apa yang akan kita lakukan?

"Tidak mengingkarinya." Mendengar itu, mata Umi dan Fuu melebar. "Kita punya alasan untuk berada di sini. Ketika kita mencintai tempat ini... ketika tempat ini menjadi tempat kita untuk kembali... Akan ada jalan bagi kita untuk kembali. Selalu."

"Bagaimana kau bisa yakin?" tanya Umi.

Hikaru berpikir sejenak. "Entah bagaimana aku bisa memahaminya... tentang menjadi seorang Pillar sekalipun tidak ada lagi sistem yang mengikatnya. Kekuatan seorang Pillar rupanya tidak hanya beresonansi pada dunia ini, tetapi juga dunia kita. Seorang Pillar mengendalikan portal yang menghubungkan dua dunia. Itu sebabnya Putri Emeraude dapat memanggil kita kemari... Itu sebabnya aku dapat membuka portal."

"Sulit dipercaya."

"Ya. Kita dapat kembali ke Cephiro. Selalu." Hikaru terlihat termenung...

"Hikaru, apakah kau baik-baik?" Fuu mendorong tubuh Hikaru agar ia berbaring. Umi mengambilkan selembar selimut tipis untuknya.

"Aku baik-baik saja. Tak perlu cemas..."

"Beristirahatlah... Diam di sini, tidur, dan pulihkan dirimu..."

"Aku masih ingin bersama kalian-" rengeknya.

"Jangan membantah," kata Umi galak. "Kau membutuhkan istirahat. Untuk hari ini, kamar ini sepenuhnya adalah kamarmu. Istirahatlah sepuas-puasnya... Kami ada di luar."

"Baiklah..." Dan sebentar saja ia sudah terlelap.

"Seperti bayi... Ia sudah pergi diri ke alam mimpi," ujar Umi sambil tersenyum. "Ia tidak tahu, ada seseorang yang gelisah menunggu ingin bertemu dengannya sejak tadi." Keduanya pun tertawa. "Tapi, ia memang harus beristirahat. Kau juga, Fuu."

"Sama denganmu."