Mereka membuka pintu dan mendapati Lantis tepat berada di depan mereka. Dengan tidak sabar ia bertanya, "Apakah aku bisa melihatnya?"

"Ia sudah tidur..."

Kekecewaan langsung membayangi wajah Lantis. Ia tahu ia tak bisa memaksa. "Apakah ia baik-baik saja?" tanyanya cemas.

"Ia tak apa-apa," jawab Fuu. "Jadi, apa keperluanmu dengannya? Mungkin kami bisa membantumu dengan menyampaikannya nanti..."

"Aku hanya... Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya..." kata Lantis pelan karena cangung.

"Hanya terima kasih?" Umi justru bertanya. "Aku pikir kau punya lebih dari sekadar itu. Ia telah menyelamatkan sahabatmu."

Lantis terdiam, lalu, "Kau benar." Ia menunduk. "Sesungguhnya ada banyak sekali... Tolong, biarkan aku yang menungguinya."

"Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Kau bisa masuk dan menunggu di dalam..."

"Umi," Fuu sedikit tak setuju. Fuu melemparkan pandangan khawatir ke arah Hikaru, lalu kepada Lantis.

Umi pun menarik tangan Fuu untuk keluar dari kamar. "Tidak apa-apa..." kata Umi menenangkannya. "Biarkan ia menyelesaikan urusannya dengan Hikaru. Anggap saja ini cara kita meminta maaf karena telah mencurigainya yang bukan-bukan. Ayo kita mencari Ascot!"

"Hei, sejak kapan kau jadi senang dengannya?" Umi hanya tertawa dan mereka pun menghilang.

Dan Lantis pun masuk. Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Begitu sunyi. Hari masih terang sekalipun mentari mulai condong ke barat. Jendela di buka lebar-lebar sehingga angin dapat masuk dan menyejukkan seisi kamar. Gadis itu terbaring di ranjang. Ia terlihat begitu tenang. Meskipun demikian ia terlihat parah dengan luka yang dibalut dan memar di beberapa tempat. Lantis pun merasa prihatin...

Lantis beringsut ke samping Hikaru. Tak ada kursi di situ sehingga ia memilih duduk di tepi ranjangnya. Namun selanjutnya, Lantis luar biasa terkejut sampai ia terlonjak berdiri. Hikaru tak disangkanya sudah membuka matanya dan berteriak mengagetkannya.

"Kau lucu sekali!" Hikaru tertawa-tawa. Ia benar-benar iseng. "Eh, maaf! Aku hanya tak tahan ingin mengerjaimu!" kata Hikaru cepat-cepat sambil duduk.

"Kau!"

"Maaf... Aku tadi berpura-pura tidur. Aku benar-benar tak ingin istirahat, tetapi mereka memaksaku. Aku tak ingin berdebat dengan mereka... Haha… biarkan saja mereka di luar."

Hikaru dengan penuh semangat turun dari ranjang dan menghampiri Lantis. "Aku senang bisa mendapatkan teman mengobrol. Hei, kau baik-baik saja? Mengapa kau diam saja? Kemarilah!" Hikaru menarik tangannya menuju beranda, Lantis tak bisa menghindari gadis itu. "Hari ini luar biasa, bukan? Aku masih merasa yang baru saja terjadi adalah mimpi!"

Lantis masih terkejut. Ia segera ingat apa tujuannya. "Aku mencarimu untuk... Aku ingin-" Lantis sangat ingin mengatakannya, tetapi gadis ini menghentikannya.

"Aku sudah tahu. Tak perlu kau ucapkan. Aku sudah menerimanya." Hikaru tertawa lagi. "Lihatlah! Tempat ini begitu tinggi..." Angin memain-mainkan rambutnya dan ia tampak kerepotan dengan rambutnya yang panjang beterbangan. "Aku sudah mendengarmu tadi..." Ia bersandar di salah satu sisi pagar beranda.

"Kau telah menyelamatkan orang terpenting dalam hidupku... Eagle Vision..." Lantis tak tahu apakah gadis itu mendengarkannya. "Aku sangat berterima kasih... Kau melakukan hal yang aku tak bisa..."

Hikaru mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Semua sudah berlalu dan aku ingin melupakan apa yang telah aku lakukan. Aku justru tertarik pada masa depan, apa yang bisa aku lakukan selanjutnya... agar Eagle dapat sembuh, agar Cephiro dapat normal kembali, agar orang-orang yang aku sayangi dapat hidup lebih baik. Itu semua masih jauh dari berhasil... Itu membuat yang pernah kulakukan terasa tidak begitu berarti lagi-"

"Tidak!" Lantis mengejutkan Hikaru. "Semua yang kau lakukan sangat berarti... untukku." Hikaru seketika terdiam. Lantis mengerang kesal, mengapa sulit membuat gadis ini mengerti. "Kau melakukan hal-hal yang membuatku hampir gila..."

Lantis tidak mengerti bagaimana dirinya bisa mengoceh seperti ini. "Melihatmu sedemikian bergembira setelah semua yang terjadi, aku tak bisa mengerti, mengapa tadi aku bisa merasa begitu takut?" Lantis menertawakan dirinya sendiri. "Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku andai kau celaka... Aku merasa ingin menghukum diriku sendiri karena membiarkanmu terlibat sedemikian jauh dalam masalahku. Kau melakukan sesuatu yang tak mungkin bisa aku balas dengan sempurna... Ucapan terima kasih tak akan pernah cukup... Apa yang bisa aku lakukan?" Lantis mengangkat wajahnya. Keduanya saling memandang dan diliputi keheningan... "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Lantis lagi. "Aku ingin berterima kasih, juga meminta maaf."

Rasa berutang budi memang sering tak tertahankan, tapi... "Aku tak tahu. Aku tak perlu balasanmu." Hikaru meyakinkan Lantis sekali lagi. "Aku benar-benar tak tahu. Aku melakukannya begitu saja, mengikuti apa yang hatiku berkata itu benar... Aku hanya ingin semua orang bahagia. Aku ingin kau bisa bahagia..."

Mata Lantis membesar mendengar itu.

"... Ini sama seperti aku ingin hidupku bahagia dan aku sudah mendapatkannya…" Hikaru sedikit merona. "Terima kasih, kau memikirkanku. Tetapi, aku baik-baik saja. Kau tak perlu merasa takut aku celaka... tak perlu merasa bersalah... Tak perlu membalas apapun-" Hikaru terkesiap.

Tak disangka oleh Hikaru, Lantis mendekat memeluknya. "Terima kasih banyak..."

"Lantis..." Lantis tak juga melepaskannya.

Sosok Hikaru tenggelam di dalamnya. Telinga Hikaru tepat mendengarkan suara jantungnya. Kata-kata tidak akan pernah benar-benar dapat menyampaikannya. Tetapi, tindakan yang emosional ini... lewat setiap suara napas, isakan tertahan, dan detak jantungnya yang cepat, Hikaru dapat mengerti satu hal lagi, yaitu tentang manusia yang satu ini. Ia sedikit banyak tahu perjalanan hidup orang ini dan ia ingin bisa memberikan sedikit rasa manis yang berharga. Ia yang seumur hidup menerima begitu banyak kebaikan lewat kehadiran keluarga, saudara, teman-teman, dan orang-orang yang mencintainya... ingin agar orang ini juga dapat memilikinya, alasannya untuk tetap hidup dengan cara yang baik...

"Terima kasih," ucap Lantis berulang-ulang.

Hikaru pun mengangkat tangannya, balas memeluknya dengan sedemikian hangatnya. "Aku sudah mendengarmu..." sambil menepuk punggung Lantis.

Mereka diam seperti itu beberapa saat lamanya sampai Lantis menegakkan tubuhnya. Keduanya saling memandang. "Maaf..." Lantis cepat menghapus air matanya.

"Tidak mengapa... Aku pun beberapa kali menangis. Tak perlu malu…"

"Jangan samakan aku denganmu. Aku laki-laki..."

"Kau manusia... Kau boleh menangis jika kau ingin." Keduanya pun tertawa kecil. "Kau pun boleh tertawa..."

Tawa Lantis semakin bebas. Apa yang selama ini menahannya telah menghilang. Ia memandang langit yang kemerahan dan bernapas dalam. Pertama kalinya ia bisa memuji Cephiro dan dunia ini begitu indah. Dan Hikaru berdiri di sampingnya, kini sebagai sosok yang sangat berarti baginya... Ia pun tersenyum kepada kehidupan. Setelah hari ini, jalannya akan berbeda. Ia bisa melihat masa depan dan mimpinya sendiri akhirnya terwujud.